Selasa, 15 September 2020

Refleksi HKP. dan geliat literasi mengejar lebel identitas


Di era disrupsi digital,  masa pandemi saat ini bertepatan hari kunjung perpustakaan (HKP) buah pikiran Martini Hardjoprakoso,  kepala Perpustakaan nasional pertama tahun 1980-1998.

Ada yang klise dari Hari nasional yang ditetapkan pada setiap 14 september melalui surat keputusan kepala perpustakaan nasional RI. Nomor: 020/A1/VIII/1995 ini.

Sebelum pandemi para pemustaka (pengunjung perpustakaan) masih terlihat berbondong bondong mngunjungi gedung yang mnyimpan bahan pustaka biang ilmu pengetahuan.

Sekejap ruang itu bertransformasi ke platform digital. Perpustakaan mengunjungi pemustaka melalui gadget di ruang virtual.

Layanan di plosokpun meradang untuk memenuhi kebutuhan baca masyarakat kunjungan langsung pustaka ke masyarakat dilakoni dgn transportasi beraneka ragam mulai dari  bersepeda,  perahu sampai betkuda,. 

Pustaka saat ini

Informasi berseliweran terus mewarnai media. Para penulis antusias mengisi media online dengan beragam genre, beragam topik dan beragam manufer yang seakan tidak pernah kosong dari ide ide.

Dunia menulis menggeliat, eksistensi  penulis dari segala disiplin terus merespon kondisi sosial dalam susunan diksi untaian kalimat dalam artikel mengalir di dunia maya saling berebut pembaca.

Kalimat tanya yang berkelindang di benak saya.  Apakah ini diartikan bahwa tugas sebuah perpustakaan sebagai penyebar informasi antusias mengambil peranan sebagai lembaga penyebar informasi?.

Apakah bisa diyakini bahwa informasi tulisan yang bertebaran di media sosial itu terbaca. Seperti tugas perpustakaan yang selalu memastikan bahwa informasi berupa buku yang dimiliki memiliki data berapa banyak orang yang menggunakan buku di perpustakaan?.

Apakah di zaman ini perpustakaan masih menjadi identitas di beberapa kota ketika pandemi Covid-19 mengasingkan kita dari layanan langsung perpustkaan dan ketika era disrupsi digital betul betul sudah terjadi?.

Perpustkaan saat ini tutup, kehilangan spirit literasi. Kontradiktif dengan sejarah ketika saudara laki laki Kaisar bizantium Konstantinus XI yang lari ke Roma dengan membawa serta perpustakaan dalam sejarah abad ke -15 ketika Turki menaklukkan Konstantinopel.

Menyambut quote Bung Hatta yang melegenda “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas”.

Buku saat ini betul betul menjadi barang yang antik melebihi kesan antik ketika sebuah  buku tidak terbaca berbaris berhias debu di dalam etalase dan rak perpustakaan.


Perpustakaan sebagai ikon kota

Dalam sebuah komune pegiat literasi saya diajak ngobrol sebagai seorang pustakawan. Mereka bersemangat membahas tentang kota tercinta yang berlabel kota pendidikan, namun tanpa melibatkan sebuah gedung perpustakaan sebagai landmark atau identitas kota.


Bersama pegiat literasi Kota Parepare


Saya menghela nafas merasa ada yang beda dari obrolan perpustakaan bersama para pegia literasi ini.

Kepedulian bukan sekedar mereka berkumpul untuk mengajak mereka yang tidak membaca tapi,  berkumpul berkolaborasi untuk tujuan membahas bagaimana perpustakaan bergeliat.

Perpustakaan seumpama mall, tempat wisata, warkop, dan cinema yang banyak dikunjungi pemustakanya di kota yang banyak menjanjikan kenyamanan.

Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan.

Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa,  salah satu  item dalam UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan.

Fungsi perpustakaan di atas seharusnya memantik kesadaran pemerintah kota untuk membangun perpustakaan dengan fasilitas pendukung bagi pustakawan dan pemustaka.

Sekuat apa kita butuh perpustakaan, Kita adalah bangsa dengan budaya ngobrol yang tinggi dan hegemoni budaya ini mungkin hanya bisa dibungkam oleh. Kemewahan perpustakaan yang salah satunya saya gambarkan Trinity College Library: Dublin, Irlandia.

Dengan panel kayu gelap dan langit-langit yang melengkung tinggi, perpustakaan ilmiah ini begitu mempesona. Selain itu, Trinity College juga dikenal sebagai perpustakaan terbesar di Irlandia. Tidak hanya itu saja, perpustakaan ini juga mendapatkan gelar "perpustakaan hak cipta", yang memberikan hak untuk memperoleh materi yang dipublishkan dalam negeri tanpa biaya apapun.

Saya berfikir di keterbatasan dukungan pemerintah kota tidak harus menjadi penghambat untuk menggunakan fasilitas yang ada saat ini,  namun pegiat literasi " Gelanggang buku" jauh berfikir perpustakaan sebagai identitas kota.

Ini adalah kemajuan cara pandang tentang kota meskipun gemerlap perpustakaan di tanah air ini belum mampu memalingkan kita dari gagap gempita ala warkop dan keseruan teman ngobrol sembari menyeruput dibalik rindangnya "setangkai bunga makka" (warkop literasi).

Saat ini buku meninggalkan rumah nyaman perpustakaan, merangsek masuk ke setiap ruang kumpul kita, apakah ini bagian dari "identitas"?.


Inklusi sosial

Perpustakaan yang diharapkan saat ini adalah perpustakaan berinklusi sosial.  Perpustakaan memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensinya dengan melihat keragaman budaya.

Melakukan perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya dan hak azazi manusia.

Data tes internasional menunjukkan lebih dari 55% orang Indonesia yang menyelesaikan pendidikan masih mengalami functionally illiterate.

Functionally illiterate,  kurangnya kegiatan membaca dan menulis untuk mengelola kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya yang membutuhkan kemampuan membaca.

Kunjungan perpustakaan dapat bermanfaat untuk kehidupan dengan memperoleh skill yang mampu meningkatkan taraf ekonomi. 

UNESCO di tahun 2016 menyatakan Pogram Literasi untuk Orang Dewasa muncul untuk menghasilkan beberapa manfaat, khususnya membangun self esteem (kepercayaan diri) dan empowerment (pemberdayaan) dengan mekanisme pembiayaan yang sama efektifnya dengan pendidikan utama di sekolah.

Perpustakaan sebagai pusat belajar masyarakat menyediakan informasi dan fasilitas belajar yang berperan untuk mendorong peningkatan literasi masyarakat.

Menuliskan literasi tidak akan terhenti sampai disini karena fenomena ini bergeliat memasuki ruang gemerlap kota yang diusung pegiat literasi,  sisanya bagaiman pemkot mengapresiasi,  menfasilitasi kerja mereka untuk membangun "Perpustakaan sebagai identitas kota". Wassalam. 

0 komentar:

Posting Komentar