Rabu, 06 Februari 2019

Menjadi Pustakawan dan Berjihad ‘Content Creating’

"Pustakawan perlu sekali untuk memahami siapa yang akan menjadi konsumen dari konten yang dibuat. Sementara ini, konsumen paling besar tentu milenial."
Oleh: Akmal Faradise*

Bulan lalu, yang baru lewat beberapa hari, ada informasi di sebuah grup WA. Seorang kolega membagikan tautan invitasi ke sebuah grup bernama ‘Pustakawan-Blogger’. Saya tertarik untuk bergabung. Tapi saya qualified tidak ya?. Pikiran itu menghantui tersebab perkara identitas. Saya blogger sih iya, tapi pustakawan ... hmm sayangnya belum (secara legal-formal). Akhirnya saya memberanikan diri masuk, karena ternyata di grup tersebut banyak kenalan saya. Urusan kena kick karena tidak lolos kualifikasi sih pikir nanti.

Menjadi Pustakawan dan Berjihad ‘Content Creating’

Beberapa hari di grup dan ratusan chat saya baca, akhirnya sampai pada kesimpulan sederhana ini: ‘Oh ternyata ini grup koordinasi-advokasi pustakawan untuk menulis toh’. Seluruh member grup menyuarakan aspirasinya dalam wadah bersama pustakawan.web.id. Situs tersebut, di langkah awalnya, berisi tulisan mengenai ‘apa itu profesi pustakawan’. Tentunya penulis/kontributor situs tersebut adalah mereka yang sudah berpengalaman di bidang kepustakawanan: bisa sebagai pustakawan, dosen, peneliti atau juga praktisi. Jadi, saya sebagai anak kemarin sore bingung juga mau nulis apa? Jadi pustakawan aja belum. Tentu apa yang saya tulis tidak akan bernas –tidak punya ruh, seperti tulisan mereka yang memang berprofesi sebagai pustakawan, misal. Ah udahlah hajar aja! Tulis sak anane.

First draft always rubbish. Quote dari Austin Kleon tersebut selalu menjadi senjata andalan apabila menemui kebuntuan ketika menulis. Menulis apapun, tema apapun. Termasuk tema mengenai pustakawan kali ini. Lalu hal termudah untuk mendapat pencerahan mengenai tema kali ini adalah putar ingatan lama, flash back.

Selama menjadi mahasiswa S1, definisi mengenai pustakawan dan tugas kerjanya tentu sudah diberikan oleh dosen dan saya pelajari. Pustakawan secara sederhana adalah seorang penjaga buku pengelola perpustakaan, dengan seabrek library housekeeping. Namun dalam pengembangannya (perlu) dikenal juga sebagai information expert atau knowledge manager atau guardian of knowledge dll. Dalam kasus saya, titel tersebut masih sebatas definitif dan sangat normatif.

Sejak sebelum saya kuliah di IImu Perpustakaan, gambaran paling dasar saya mengenai field library and information sciences adalah tentang pengelolaan: baik pengelolaan perpustakaan sebagai institusi atau pengelolaan atas koleksi dan informasi. Pustakawan adalah seorang manager, in libary and over knowledges around his/her environtment.

Informasi mengenai pustakawan sebagai pengelola perpustakaan dapat ditemukan di berbagai literatur. Undang-undang pun sudah mengatur hal tersebut. Namun pustakawan sebagai knowledge manager, bisa memiliki arti yang sangat luas. Bahkan sepertinya akan asik kalau kita diskusikan pengertian dan ranahnya kerjanya. Eh gimana, setuju?

Pengelolaan sebuah pengetahuan dan informasi, semakin lama menjadi semakin penting. Hidup di era tsunami informasi tak pelak membuat diri kita dihantam berbagai informasi setiap hari, meski tidak kita minta. Pemberitahuan masuk kepada gawai dan setumpuk notifikasi di media sosial kita sepertinya sudah membuktikan asumsi barusan. Sialnya, dari beberapa informasi yang masuk atau berseliweran di sekitar kita, tidak sedikit yang tidak valid –hoaks masih selalu menjadi mimpi buruk. Dan saya yakin, pada dasarnya para pustakawan gatal untuk turut melawan hoaks dan terpancing untuk mengedukasi masyarakat agar cerdas mencari informasi di internet. Cuma mungkin, ada yang belum mau bergerak, belum sempat dan belum-belum yang lainnya.

Head of Marketing kitabisa.com, Iqbal Hariadi, sering menyuarakan agar ‘orang baik harus berisik’. Maksudnya, untuk melawan konten negatif di internet (hoaks dan segala macam tetek bengeknya), konten positif juga harus pop up. Semangat untuk spread kindness dan share positive vibes lekat sekali di dunia ‘content creating’. Orang baik banyak, namun kadang tidak bersuara. Orang yang sebal sama hoaks banyak, tapi berapa persen yang bangkit melawan?

Dari itu, saya rasa pustakawan layak sekali mengisi ruang ini, berkontribusi di arus utama. Pustakawan sudah punya skill mumpuni mengenai literasi informasi. Pun juga, kompetensi mengelola informasi-pengetahuan sudah diluar kepala. Tidak perlu diragukan. Selanjutnya yang paling penting adalah mengetahui target konsumen konten dan bagaimana cara mengemasnya.

Pustakawan perlu sekali untuk memahami siapa yang akan menjadi konsumen dari konten yang dibuat. Sementara ini, konsumen paling besar tentu milenial. Apalagi, sudah mendekati 2020 dan akhir-akhir perangkat akses internet kian beragam dan murah. Yap, bonus demografi Indonesia akan dimulai dan kemudahan akses internet perlu dikawal oleh pustakawan. Harus ada figur yang menjadi imam generasi milenial dalam konteks mencari informasi di internet, dan juga hadir dengan konten yang edukatif-menarik tentunya.

Generasi milenial lebih lekat dengan budaya visual, yang secara ‘alami’ menarik rasa ingin tahu mereka. Foto dan video merupakan santapan sehari-hari mereka. Untuk mendekati (menyuguhkan konten kepada) para milenial, pustakawan harus menggunakan strategi yang baik dan medium/platform yang tepat. Pada paragraf berikutnya, ada beberapa penawaran mengenai opsi teknis yang mungkin bisa diaplikasikan pustakawan untuk mengedukasi milenial.

Pustakawan dapat membuat web series tentang asiknya belajar di perpustakaan atau tutorial mencari informasi yang valid di internet. Bisa juga foto mengenai dampak phubbing di kehidupan sehari-hari, tentunya foto tersebut memiliki story telling yang baik. Atau pustakawan menghadirkan 10 situs terbaik untuk belajar robotik, dengan desain menarik seperti majalah minimalis. Membuat podcast yang berbicara mengenai dampak negatif hate speech di ruang publik digital sepertinya juga bisa menjadi bahasan menarik. Youtube, Instagram, dan Spotify bisa menjadi platform yang baik untuk menggencarkan konten positif. Selain memang gratis dan ramai digunakan, tentu sudah sangat dekat dengan milenial. Eh iya satu lagi, tulisan menarik tentang cerita jalan-jalan pustakawan. Boleh tuh dishare di tumblr atau wattpad. Hihi.

Terakhir, hal yang perlu diperhatikan dari semua itu adalah cara bercerita. Pustakawan pasti punya banyak kegelisahan untuk disampaikan, namun harus membuat konten menarik yang bisa dinikmati banyak orang –dengan berbagai medium, di platform yang tepat. Menulis di pustakawan.web.id sebut saja langkah awalnya. Kemudian, penting sekali untuk terus mengembangkan rasa keingintahuan, yang pada akhirnya mengarahkan kita semua untuk belajar menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk semua.

Jadi, sudah se-ngawur apa tulisan saya? Sejauh mana ocehan yang saya buat? Setidaknya meski tulisan ini belum bagus, saya hanya mencoba untuk menjadi ‘orang baik yang bikin konten positif’. Hiya.

* Netizen yang tinggal di Papringan, Yogyakarta. Masih sebagai konsultan perpustakaan di Perpustakaan PP Annuqayah Lubangsa, Sumenep, Jawa Timur. Baru-baru ini diterima sebagai mahasiswa Kajian Budaya dan Media UGM. Akmal adalah pemilik rumah akmalfaradise.blogspot.com dan pengasuh podcast ‘Kuliah Perdana’. Dapat terhubung di Instagram @akmalffaradise.

1 komentar:

  1. Keren tulisannya mal.. ntar dicoba utk mengedukasi milenial dimulai dari anak2ku dulu hehe

    BalasHapus