Tampilkan postingan dengan label Ray Han. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ray Han. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Agustus 2021

Berbagi Cerita Praktik Partisipasi Masyarakat dalam rangka Akreditasi Perpustakaan

 


Eksistensi Perpustakaan tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan informasi masyarakat penggunanya. Perpustakaan hadir karena dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi melalui penyediaan, pengelolaan dan pelayanan beragam jenis informasi. Selama perpustakaan mampu memenuhi kebutuhan informasi masyarakat penggunanya maka selama itu pula kehadiran perpustakaan dinantikan oleh masyarakat.

Pada umumnya, pengembangan koleksi perpustakaan terbentur dengan keterbatasan anggaran. Permasalahan klasik yang masih belum terselesaikan sampa saat ini. Selain itu, kurangnya atensi dari lembaga induk perpustakaan acapkali menyebabkan abai pemenuhan standar kebutuhan pemustaka sehingga kondisi perpustakaan baik dari aspek koleksi, sarana prasarana tidak mengalami perubahan yang berarti dari tahun ke tahun. Dilain sisi, ekspektasi pemustaka cukup tinggi terhadap peningkatan layanan perpustakaan guna mendapatkan pemenuhan informasi. 

Bisa dikatakan bahwa akreditasi perpustakaan merupakan salah satu wujud advokasi terhadap perpustakaan dan pustakawan. Dengan acuan standar nasional perpustakaan (SNP)  maka lembaga induk perpustakaan ‘didorong’ untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan mencakup aspek koleksi, sarana prasarana, layanan, sumbedaya manusia, kelembagaan dan inovasi. Salah upaya advokasi adalah komponen partisipasi masyarakat. Tulisan  bermaksud berbagi pengalaman perpustakaan R.I Ardi Koesoema, KLHK dalam upaya pelibatan partisipasi masyarakat guna mengembangkan koleksi perpustakaan

Mengenal komponen partisipasi masyarakat pada perpustakaan

Komponen partisipasi masyarakat memiliki kode yang berkode 5.2.7 pada lembar instrumen penilaian akreditasi perpustakaan. Indikator partisipasi masyarakat adalah jumlah dana partisipasi masyarakat/sumbangan yang tidak mengikat. Wujud partisipasi masyarakat lebih bersifat kuatifikasi guna memudahkan melakukan penghitungan skor pada proses akreditas perpustakaan. Selanjutnya pada kriteria partisipasi masyarakat diperinci kedalam 5 pilihan jawaban, yakni: A.) 10 juta atau Lebih; B.) 5  juta – 9 juta; C.) 1 juta – 4 juta; D.) Kurang dari 1 juta; E.) Tidak ada

Pada saat pertama kali saat membaca indikator 5.2.7, Hal yang terbayang dibenak kami adalah sumbangan uang tunai dari masyarakat. Hal tersebut tentu memberatkan bagi pengelola perpustakaan/pustakawan dengan berbagai alasan, yakni: 1.) perpustakaan yang bernaung dibawah lembaga pemerintahan tidak bisa serta merta menerima sumbangan uang dari masyarakat karena ada beberapa regulasi yang mengatur; 2.) Pustakawan/pengelola perpustakawan belum terlatih menyusun proposal dana hibah; 3.) Tidak banyak lembaga/individu  yang mau/berkeinginan menjadi donatur bagi perpustakaan. Namun bayangan tersebut perlahan berangsur sirna setelah berdiskusi dengan teman sejawat melalui jejaring pustakawan. Tafsir lain atas dana publik tersebut dapat berupa sumbangan barang/benda yang dapat dikonversikan kedalam nominal rupiah. Alhasil tafsir alternatif tersebut menjadi rujukan bagi kami dalam memenuhi unsur komponen partisipasi publik.

Praktik menggaet partisipasi masyarakat


Perpustakaan kami mencoba menggaet partisipasi publik dengan memprioritaskan program Tanggung Jawab Sosial perusahaan (Coorporate Social Responsibility (CSR)). Setelah menelusuri informasi peluang CSR dari berbagai sumber maka diperoleh bahwa salah satu penerbitan di kota kami (Bogor) tengah menggelar program berbagi buku kepada perpustakaan dan masyarakat yang membutuhkan. Kebetulan juga bahwa genre (topik) bukunya terkait ilmu kehutanan, pertanian dan lingkungan yang sesuai dengan subyek perpustakaan RI Ardi Koesoema yang mengelola sumber informasi terkait ilmu lingkungan hidup dan kehutanan. Kami pun bersurat dan menyampaikan proposal permohonan hibah buku dari penerbit tersebut dan gayung pun bersambut dengan ‘lampu hijau’ tanda persetujuan hibah. Berkaca dari pengalaman tersebut maka penerbit merupakan mitra potensial bagi perpustakaan dalam pengembangan koleksi. Penerbit membutuhkan media promosi terhadap produk-produk terbitannya dan perpustakaan merupakan lembaga pengelola informasi dan beberapa layanan seperti resensi buku, jasa penyebaran informasi terseleksi, paket informasi merupakan sarana penyebarluasan informasi (baca: promosi) bagi penerbit dan produk-produknya. Hubungan mutualisme tersebut dapat berperan menumbuhkan ekosistem masyarakat cinta baca. Sebab, mustahil tercipta masyakat pecinta baca tanpa didukung bahan bacaan yang memadai beserta fasilitas pendukungnya.

Berlanjut pada tahapan konversi buku hibah kedalam nominal rupiah. Setelah melengkapi berkas administrasi hibah buku, seperti Berita Acara Serah Terima hibah buku dan sesi foto bersama sebagai bukti pendukung maka buku hibah CSR tersebut kami olah dan konversikan nilainya kedalam nominal rupiah. Hal tersebut bertujuan mengetahui kapitalisasi buku hasil CSR. Proses tersebut mengacu pada Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia nomor 1 tahun 2017 tentang Tentang Pedoman Penaksiran Harga Bahan Perpustakaan. Adapun file lengkapnya dapat diakses melalui tautan berikut: https://jdih.perpusnas.go.id/file_peraturan/Perka_1_2017_Pedoman_Penaksiran_BP.pdf. Garis besarnya, terdapat 9 (sembilan) aspek penaksiran  Bahan Perpustakaan meliputi: tahun terbit, jumlah halaman, jenis kertas, bahan kulit muka (cover), finishing kulit muka (cover), penjilidan karya cetak, Ilustrasi, indeks, glossary, Kondisi dan jenis. Adapun penjelasan detail tolak ukur tersebut diatur pada bab III halaman 16 s.d 21. Sedangkan hasil konversi/penaksiran bahan perpustakaan disajikan dalam bentuk tabel seperti gambar berikut:

 

Catatan akhir 

Perpustakaan berasal dari masyarat dan keberadaannya untuk melayani masyarakat. Diperlukan dukungan masyarakat agar eksistensi perpustakaan dapat terjaga. Perwujudan partisipasi masyarakat kepada perpustakaan tidak mutlak berbentuk uang namun dapat berupa barang atau benda yang bernilai ekonomi seperti: bahan pustaka. Selain itu, penerbit merupakan mitra strategis bagi perpustakaan untuk saling bahu membahu mengembangkan minat baca masyarakat. Penerbit pun dapat berkontribusi kepada perpustakaan dalam bentuk hibah buku sebagai wujud kepedualian sosial perusahaan. Diperluhan komunikasi dan koordinasi yang harmonis antara perpustakaan, penerbit dan masyarakat.Selain itu, Perpustakaan Nasional RI telah mengeluarkan acuan dalam penaksiran bahan perpustakaan melalui Perka PNRI nomor 1 tahun 2017. Aturan teresebut mempermudah pustakawan/pengelola perpustakaan dalam menkonversi bahan pustaka dalam nominal rupiah. Dukungan segenap pihak akan mempermudah perpustakaan memenuhi standar pengelolaan perpustakaan (SNP) yang bermuara pada peningkatan kapasitas kelembagaan, personel dan layanan guna kepuasan pengguna. Semoga tulisan ringan ini bermanfaat. Salam (RAH)

 

 

Selasa, 29 Januari 2019

Pustakawan, Sosok Yang IMUT

(Credit to Pixbay)
Siapa sih tak kenal perpustakaan? Jika dilakukan survei hari ini, sekitar 8 dari 10 orang Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan pasti kompak menjawab 'Ya, kami kenal'. Namun jika survei dilanjutkan dengan pertanyaan : Apakah pustakawan itu? Mahluk apakah pustakawan?  Tipe pilihan jawaban model pilihan ganda tidaklah cocok  bagi para responden untuk memberikan respon. Cocoknya ya tipe jawaban uraian. Jawaban mereka pun pasti beragam. Tak salah bila jawaban mereka merujuk pada sosok avenger, ipin upin, cucak rowo maupun mak lampir.
Tapi, jika kita berani jujur pada hati nurani kita. Saya berani katakan bahwa 'Pustakawan adalah sosok yang IMUT' (Wah siap-siap terima banyak komplain nich :-)). Kata IMUT itu sendiri tidak merujuk pada tampilan fisik lho. Kembali lagi ke statemen diatas, Kenapa  pustakawan sosok yang IMUT? Begini penjelasannya.
I = Intelek. Kita kudu setuju nih kalo pustakawan itu intelek. Tahu tidak, tidak gampang lho mengelompokkan berbagai sumber informasi berdasarkan kesesuaian subjek pengetahuan. Bayangkan, setiap hari pustakawan membaca buku dari berbagai genre, menganalisis isinya lalu mengelompokkan sesuai notasi Dewey Decimal Classification atau Universal Decimal Classification. Selain itu, pustakawan kudu siap melayani pemustaka dari berbagai latar belakang keilmuan. Mulai dari jenjang TK sampai jenjang S3. Kalau pustakawan tidak intelek, mana mungkin pustakawan mampu menyediakan sumber informasi sesuai kebutuhan pemustakanya. Singkat saja, berprofesi sebagai pustakawan merupakan jalan menjadi seorang intelektual yang sedang menempuh berpuluh-puluh sks di lembaga pendidikan sepanjang hayat.
MU= MUltitalenta. Sebagian besar pustakawan itu memiliki beragam talenta. Ada yang hobi merangkai kata, ada juga yang jago sketsa maupun mengoprek-oprek bahasa program. Namun semua talenta tersebut linier dengan profesi pustakawan. Contoh interlokalnya: Mr. George W Bush junior saja kepincut dengan Mrs. Laura Bush, yang dulunya seorang pustakawati yang piawai merangkai kata dan story teller diperpustakaan sekolah dinegerinya paman SAM. Mungkin Mr. Bush terpesona aura keibuan Mrs Laura saat Mrs Laura sedang mendongeng di perpustakaan sekolah. Ada lagi contoh lokalnya, kang Hendro wicaksononya yang gemar ngoprek bahasa program akhirnya beliau bisa mengembangkan aplikasi SLIMS yang mulai go internasional. Masih banyak seh pustakawan/wati yang bertalenta dan berkontribusi dibidang kepustakawanan yang belum sempat terungkap (Tunggu X-files berikutnya).
T terakhir = Tahan banting. Nah, tidak ada profesi lain yang setahan banting kayak pustakawan. Disaat negara kita mo beralih menjadi negara maju, profesi pustakawan masih saja terpinggirkan dari aspek kesejahteraan. Tak sedikit, rekan-rekan pustakawan yang berpenghasilan dibawah Upah Minimun Regional. Padahal mereka berkontribusi nyata baik kepada dunia kepustakawanan maupun dunia pendidikan. Bukankah perpustakaan dan pustakawan berperan penting turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyediaan bahan bacaan berkualitas. Faktanya, pustakawan ibarat sebuah lilin yang menerangi sekitarnya namun tubuhnya turut luruh terbakar api.
Nah, berdasarkan uraian diatas maka tidak berlebihan bukan. Pustakawan merupakan sosok yang Intelek, Multitalenta dan Tahan Banting. Semoga untaian kata ini mampu mendorong kita mengapresiasi profesi yang bernama 'Pustakawan'. Salam (RAH)