Tampilkan postingan dengan label Rattahpinnusa H Handisa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rattahpinnusa H Handisa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 November 2024

Melestarikan Alam: Dari Literasi ke Aksi untuk Keberlanjutan

 


Membuka kembali file lama dan menemukan laporan pelaksanaan lomba pidato dalam rangka mendorong literasi lingkungan hidup bagi para pelajar tingkat SMA maka tidak ada salahnya untuk menuliskan  kembali peristiwa mada lalu sebagai upaya menciptakan memori kolektif terhadap peristiwa tersebut dimasa mendatang. Mengawali tulisan ini bahwa  Panggung Terbuka Arboretum Ir. Lukito Darmadi di Manggala Wanabhakti Jakarta menjadi saksi bagi para talenta muda yang berbicara penuh semangat tentang keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan pada Kamis, 12 September 2024. Lomba Pidato Standarisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang diikuti oleh pelajar dari berbagai SMA se-Jabodetabek, mengangkat tema “Standar Lingkungan Hidup dan Kehutanan = Solusi Sederhana Dampak Luar Biasa.” Tema ini menggugah kesadaran bahwa tindakan-tindakan kecil dalam kehidupan sehari-hari dapat membawa dampak besar untuk masa depan planet bumi.

Sebagai bagian dari upaya untuk memperkenalkan Standarisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kepada generasi muda, lomba ini juga memiliki tiga urgensi penting. Pertama, memperkenalkan tugas dan fungsi standar LHK sebagai alat pengendalian lingkungan yang dapat mengurangi risiko kerusakan lingkungan akibat kegiatan usaha yang tidak terkendali. Kedua, mendorong pemikiran kreatif dan ide-ide baru dari talenta muda untuk menciptakan solusi atas isu-isu lingkungan yang semakin kompleks. Ketiga, untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman generasi muda tentang tantangan lingkungan yang ada, baik di tingkat nasional maupun global, serta bagaimana solusi berkelanjutan dapat diwujudkan melalui tindakan sederhana namun efektif.

Membuka Wawasan melalui Literasi Lingkungan

Lomba ini juga menjadi sarana untuk membangun literasi lingkungan di kalangan pelajar, yang akan menjadi agen perubahan bagi lingkungan hidup di masa depan. Literasi lingkungan, yang mencakup pengetahuan tentang pentingnya menjaga alam serta kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sangat penting dalam menghadapi tantangan lingkungan global. Pendidikan lingkungan tidak hanya terfokus pada pengetahuan teknis, tetapi juga pada pengembangan sikap dan kebiasaan yang dapat mendukung kelestarian bumi.

Di dalam konteks ini, lomba pidato menjadi wadah yang ideal untuk menyampaikan pesan-pesan kesadaran lingkungan dengan cara yang lebih mudah diterima oleh masyarakat luas, terutama generasi muda. Melalui pidato-pidato yang penuh semangat, peserta lomba mampu menggugah audiens untuk bertindak, bukan hanya berbicara tentang masalah yang ada, tetapi juga mencari solusi-solusi sederhana yang dapat membawa dampak luar biasa.

Standarisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sebagai Solusi

Salah satu aspek penting yang diperkenalkan dalam lomba ini adalah tentang Standarisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yang berfungsi sebagai sebuah alat pengendalian dan penegakan hukum bagi kelestarian lingkungan. Standarisasi LHK mencakup berbagai kebijakan, aturan, dan prosedur yang memastikan bahwa setiap kegiatan usaha atau pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Standarisasi ini memiliki peran penting dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, air, udara, dan sampah, sehingga dapat mencegah kerusakan yang lebih besar di masa depan.

Namun, seperti yang ditekankan dalam lomba pidato, penerapan standar LHK bukan hanya tentang kebijakan formal atau prosedur administratif, melainkan juga melibatkan peran serta masyarakat, khususnya generasi muda. Penerapan standar ini membutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang cara-cara sederhana yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mendukung upaya pelestarian alam, seperti pengurangan penggunaan plastik, pemilahan sampah, dan penggunaan energi yang lebih efisien.

Menumbuhkan Kreativitas dan Ide-ide Inovatif

Tema lomba yang mengusung “Solusi Sederhana Dampak Luar Biasa” membuka ruang bagi peserta untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam merancang solusi-solusi berbasis sederhana yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa peserta mengangkat isu-isu lingkungan yang sangat relevan dengan situasi saat ini, seperti krisis iklim, pengelolaan sampah plastik, dan deforestasi. Dalam pidato-pidato mereka, para peserta menunjukkan bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang dilakukan secara kolektif.

Contoh dari pidato yang menginspirasi adalah pidato yang disampaikan oleh Rifqi Nizar Ramadhan, juara pertama lomba ini. Rifqi mengangkat tema tentang pengelolaan sampah yang buruk, yang semakin memperburuk krisis iklim. Ia mengusulkan untuk memulai dengan tindakan sederhana, seperti membuang sampah pada tempatnya dan mengurangi penggunaan energi listrik. Namun, yang lebih menarik lagi, ia juga menyarankan agar generasi muda memanfaatkan platform digital untuk menyuarakan isu-isu lingkungan dan bergabung dalam gerakan-gerakan pelestarian alam, seperti Pandawara, untuk menciptakan perubahan yang lebih besar. Pandawara adalah contoh konkret bagaimana kolaborasi antar individu bisa menghasilkan dampak positif yang luas.

Allysa Nataneila, juara kedua, mengangkat permasalahan sampah plastik yang semakin menumpuk di bumi. Menurutnya, pengurangan penggunaan plastik dapat dimulai dengan kebiasaan kecil, seperti membawa tas belanja sendiri, menggunakan sedotan yang dapat digunakan kembali, dan memilih produk dengan kemasan ramah lingkungan. Allysa juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung program-program seperti reboisasi dan penggunaan kendaraan listrik untuk mengurangi jejak karbon.

Dalam pidato yang penuh optimisme, Sachi Charissa Irmawan, juara ketiga, dalam pidatonya mengajak semua pihak untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan beralih ke barang-barang yang dapat dipakai ulang seperti tas belanja dan sedotan plastik yang bisa digunakan kembali. Menurutnya, perubahan kebiasaan ini mungkin terdengar kecil, tetapi jika dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, dampaknya akan sangat besar bagi mengurangi pencemaran lingkungan.

Dampak Luar Biasa dari Tindakan Sederhana

Lomba ini mengingatkan kita bahwa meskipun masalah lingkungan yang dihadapi terasa besar dan kompleks, solusi untuk menghadapinya tidak harus selalu rumit atau mahal. Tindakan sederhana yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengurangi penggunaan plastik, menghemat energi, dan menanam pohon, jika dilakukan secara bersama-sama, dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi kelestarian bumi.

Peserta-peserta lomba pidato ini telah menunjukkan bahwa generasi muda memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam menghadapi krisis lingkungan yang semakin mendesak. Melalui pidato-pidato mereka, mereka tidak hanya menyuarakan kekhawatiran tentang kerusakan lingkungan, tetapi juga memberikan harapan dengan mengajukan solusi yang dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Kesadaran dan Aksi Bersama untuk Lingkungan

Salah satu hal yang sangat ditekankan dalam lomba ini adalah pentingnya kesadaran kolektif dalam menghadapi tantangan lingkungan. Para peserta pidato ini mengajak kita untuk menyadari bahwa keberlanjutan bumi bukanlah tanggung jawab individu semata, melainkan tanggung jawab bersama. Setiap tindakan, sekecil apapun, akan memberikan dampak terhadap masa depan bumi, dan oleh karena itu, kita harus bersama-sama berkomitmen untuk melakukan perubahan.

Selain itu, lomba ini juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga kelestarian alam. Melalui kesadaran yang dimulai dari tingkat individu, kita bisa membangun sebuah gerakan besar yang berfokus pada tindakan nyata dan keberlanjutan.

Pemenang yang Menginspirasi

Para juri yang menilai lomba pidato ini terdiri dari Drs. Bugi Kabul Sumirat, M.Phil, seorang praktisi public speaking dan storyteller, Edy Suryanto, S.Sos., M.Ilkom, dosen Ilmu Komunikasi, serta Raisa Wulan Kamila, S.Sos., C.P.S., seorang praktisi public speaking, yang memberikan penilaian berdasarkan artikulasi, intonasi, ekspresi, kesesuaian tema pidato, dan gaya pidato.

Rifqi Nizar Ramadhan dari SMA Rimba Madya Bogor berhasil meraih juara pertama dengan nilai tertinggi 85,86, diikuti oleh Allysa Nataneila dari SMAN 5 Bekasi dengan nilai 85,56 dan Sachi Charissa Irmawan dari SMAK Penabur Gading Serpong dengan nilai 85,26. Pemenang-pemenang ini tidak hanya menunjukkan kemampuan berbicara yang luar biasa, tetapi juga membuktikan bahwa mereka memiliki ide-ide kreatif yang dapat memberikan dampak nyata bagi lingkungan.

Menutup tulisan ini, lomba pidato standarisasi lingkungan hidup dan kehutanan ini merupakan sebuah langkah penting dalam membangun literasi lingkungan di kalangan generasi muda. Melalui lomba ini, para peserta telah berhasil menunjukkan bahwa tindakan sederhana, jika dilakukan bersama-sama, dapat memberikan dampak luar biasa bagi keberlanjutan bumi. Kini, saatnya bagi kita semua untuk mengambil langkah-langkah kecil namun signifikan untuk merawat bumi yang kita cintai.

Jumat, 20 Agustus 2021

Berbagi Cerita Praktik Partisipasi Masyarakat dalam rangka Akreditasi Perpustakaan

 


Eksistensi Perpustakaan tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan informasi masyarakat penggunanya. Perpustakaan hadir karena dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi melalui penyediaan, pengelolaan dan pelayanan beragam jenis informasi. Selama perpustakaan mampu memenuhi kebutuhan informasi masyarakat penggunanya maka selama itu pula kehadiran perpustakaan dinantikan oleh masyarakat.

Pada umumnya, pengembangan koleksi perpustakaan terbentur dengan keterbatasan anggaran. Permasalahan klasik yang masih belum terselesaikan sampa saat ini. Selain itu, kurangnya atensi dari lembaga induk perpustakaan acapkali menyebabkan abai pemenuhan standar kebutuhan pemustaka sehingga kondisi perpustakaan baik dari aspek koleksi, sarana prasarana tidak mengalami perubahan yang berarti dari tahun ke tahun. Dilain sisi, ekspektasi pemustaka cukup tinggi terhadap peningkatan layanan perpustakaan guna mendapatkan pemenuhan informasi. 

Bisa dikatakan bahwa akreditasi perpustakaan merupakan salah satu wujud advokasi terhadap perpustakaan dan pustakawan. Dengan acuan standar nasional perpustakaan (SNP)  maka lembaga induk perpustakaan ‘didorong’ untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan mencakup aspek koleksi, sarana prasarana, layanan, sumbedaya manusia, kelembagaan dan inovasi. Salah upaya advokasi adalah komponen partisipasi masyarakat. Tulisan  bermaksud berbagi pengalaman perpustakaan R.I Ardi Koesoema, KLHK dalam upaya pelibatan partisipasi masyarakat guna mengembangkan koleksi perpustakaan

Mengenal komponen partisipasi masyarakat pada perpustakaan

Komponen partisipasi masyarakat memiliki kode yang berkode 5.2.7 pada lembar instrumen penilaian akreditasi perpustakaan. Indikator partisipasi masyarakat adalah jumlah dana partisipasi masyarakat/sumbangan yang tidak mengikat. Wujud partisipasi masyarakat lebih bersifat kuatifikasi guna memudahkan melakukan penghitungan skor pada proses akreditas perpustakaan. Selanjutnya pada kriteria partisipasi masyarakat diperinci kedalam 5 pilihan jawaban, yakni: A.) 10 juta atau Lebih; B.) 5  juta – 9 juta; C.) 1 juta – 4 juta; D.) Kurang dari 1 juta; E.) Tidak ada

Pada saat pertama kali saat membaca indikator 5.2.7, Hal yang terbayang dibenak kami adalah sumbangan uang tunai dari masyarakat. Hal tersebut tentu memberatkan bagi pengelola perpustakaan/pustakawan dengan berbagai alasan, yakni: 1.) perpustakaan yang bernaung dibawah lembaga pemerintahan tidak bisa serta merta menerima sumbangan uang dari masyarakat karena ada beberapa regulasi yang mengatur; 2.) Pustakawan/pengelola perpustakawan belum terlatih menyusun proposal dana hibah; 3.) Tidak banyak lembaga/individu  yang mau/berkeinginan menjadi donatur bagi perpustakaan. Namun bayangan tersebut perlahan berangsur sirna setelah berdiskusi dengan teman sejawat melalui jejaring pustakawan. Tafsir lain atas dana publik tersebut dapat berupa sumbangan barang/benda yang dapat dikonversikan kedalam nominal rupiah. Alhasil tafsir alternatif tersebut menjadi rujukan bagi kami dalam memenuhi unsur komponen partisipasi publik.

Praktik menggaet partisipasi masyarakat


Perpustakaan kami mencoba menggaet partisipasi publik dengan memprioritaskan program Tanggung Jawab Sosial perusahaan (Coorporate Social Responsibility (CSR)). Setelah menelusuri informasi peluang CSR dari berbagai sumber maka diperoleh bahwa salah satu penerbitan di kota kami (Bogor) tengah menggelar program berbagi buku kepada perpustakaan dan masyarakat yang membutuhkan. Kebetulan juga bahwa genre (topik) bukunya terkait ilmu kehutanan, pertanian dan lingkungan yang sesuai dengan subyek perpustakaan RI Ardi Koesoema yang mengelola sumber informasi terkait ilmu lingkungan hidup dan kehutanan. Kami pun bersurat dan menyampaikan proposal permohonan hibah buku dari penerbit tersebut dan gayung pun bersambut dengan ‘lampu hijau’ tanda persetujuan hibah. Berkaca dari pengalaman tersebut maka penerbit merupakan mitra potensial bagi perpustakaan dalam pengembangan koleksi. Penerbit membutuhkan media promosi terhadap produk-produk terbitannya dan perpustakaan merupakan lembaga pengelola informasi dan beberapa layanan seperti resensi buku, jasa penyebaran informasi terseleksi, paket informasi merupakan sarana penyebarluasan informasi (baca: promosi) bagi penerbit dan produk-produknya. Hubungan mutualisme tersebut dapat berperan menumbuhkan ekosistem masyarakat cinta baca. Sebab, mustahil tercipta masyakat pecinta baca tanpa didukung bahan bacaan yang memadai beserta fasilitas pendukungnya.

Berlanjut pada tahapan konversi buku hibah kedalam nominal rupiah. Setelah melengkapi berkas administrasi hibah buku, seperti Berita Acara Serah Terima hibah buku dan sesi foto bersama sebagai bukti pendukung maka buku hibah CSR tersebut kami olah dan konversikan nilainya kedalam nominal rupiah. Hal tersebut bertujuan mengetahui kapitalisasi buku hasil CSR. Proses tersebut mengacu pada Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia nomor 1 tahun 2017 tentang Tentang Pedoman Penaksiran Harga Bahan Perpustakaan. Adapun file lengkapnya dapat diakses melalui tautan berikut: https://jdih.perpusnas.go.id/file_peraturan/Perka_1_2017_Pedoman_Penaksiran_BP.pdf. Garis besarnya, terdapat 9 (sembilan) aspek penaksiran  Bahan Perpustakaan meliputi: tahun terbit, jumlah halaman, jenis kertas, bahan kulit muka (cover), finishing kulit muka (cover), penjilidan karya cetak, Ilustrasi, indeks, glossary, Kondisi dan jenis. Adapun penjelasan detail tolak ukur tersebut diatur pada bab III halaman 16 s.d 21. Sedangkan hasil konversi/penaksiran bahan perpustakaan disajikan dalam bentuk tabel seperti gambar berikut:

 

Catatan akhir 

Perpustakaan berasal dari masyarat dan keberadaannya untuk melayani masyarakat. Diperlukan dukungan masyarakat agar eksistensi perpustakaan dapat terjaga. Perwujudan partisipasi masyarakat kepada perpustakaan tidak mutlak berbentuk uang namun dapat berupa barang atau benda yang bernilai ekonomi seperti: bahan pustaka. Selain itu, penerbit merupakan mitra strategis bagi perpustakaan untuk saling bahu membahu mengembangkan minat baca masyarakat. Penerbit pun dapat berkontribusi kepada perpustakaan dalam bentuk hibah buku sebagai wujud kepedualian sosial perusahaan. Diperluhan komunikasi dan koordinasi yang harmonis antara perpustakaan, penerbit dan masyarakat.Selain itu, Perpustakaan Nasional RI telah mengeluarkan acuan dalam penaksiran bahan perpustakaan melalui Perka PNRI nomor 1 tahun 2017. Aturan teresebut mempermudah pustakawan/pengelola perpustakaan dalam menkonversi bahan pustaka dalam nominal rupiah. Dukungan segenap pihak akan mempermudah perpustakaan memenuhi standar pengelolaan perpustakaan (SNP) yang bermuara pada peningkatan kapasitas kelembagaan, personel dan layanan guna kepuasan pengguna. Semoga tulisan ringan ini bermanfaat. Salam (RAH)

 

 

Selasa, 13 Juli 2021

Sertifikasi Profesi dan Upaya Proteksi Profesi Pustakawan dari Serbuan Pekerja Asing

 


 

Tanpa disadari bahwa kehidupan kita erat bersinggungan dengan kompetisi. Mari kita buka ingatan kita sejenak tentang bagaimana sejak dalam kandungan sejatinya kompetisi telah dimulai. Janin merupakan hasil kompetisi antar sel-sel jantan dalam membuahi sebuah sel betina. Selanjutnya memasuki dunia pendidikan, kita berkompetisi dengan sesama teman sekolah untuk meraih predikat terbaik. Persaingan dunia kerja tidak kalah sengitnya. Ribuan kandidat bersaing ketat dengan pelamar lain untuk menempati suatu posisi pekerjaan. Bahkan bagi kita yang saat ini berprofesi sebagai pustakawan, patutlah bersyukur sebab kita merupakan pemenang yang mampu menyisihkan kandidat lain yang hendak mengisi posisi tersebut. Singkatnya, kehidupan manusia tidak lepas dengan persaingan.

Berlakunya kebijakan Asean Free Trade Area (AFTA) berdampak positif sekaligus negatif. Sisi positifnya, mobilitas barang, jasa dan manusia tidak lagi terbentur sekat-sekat geografis maupun administratif sehingga konsumen memiliki banyak pilihan dan produsen berpotensi meraup keuntungan berlipat. Sisi buruknya, persaingan bebas tersebut semakin mengencangkan tensi persaingan. Sumberdaya manusia yang tidak mampu bersaing akan tersisih. Jika tidak bermental pemenang maka bukan tidak mungkin kekalahan bersaing tersebut akan mendorong munculnya isu SARA. Selanjutnya pada aspek jasa, pemberlakuan pasar bebas akan membuka keran bagi tenaga kerja asing menawarkan kompetensi dan profesionalisme dengan mengisi profesi pada suatu negara. Keberadaan tenaga kerja asing (TKA) bahkan memicu resistensi dari penduduk lokal yang terancam mata pencariannya. Lalu bagaimana dengan pustakawan di Indonesia pasca pemberlakuan kebijakaan pasar bebas. Walaupun belum ada studi yang membahas secara khusus topik tersebut, namun diprediksi pelan tapi pasti keberadaan profesi pustakawan (khususnya pustakawan yang bekerja di lembaga privat) akan terancam. Tulisan ringan ini hendak membahas tentang strategi proteksi bagi pustakawan dari serbuan tenaga kerja asing melalui sertifikasi profesi.

Merespon kesepakatan antar negara tentang pemberlakuan pasar bebas, tentu pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Pemerintah sebagai regulator tentu berkepentingan untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Salah satu langkah untuk membentengi warga negaranya dari serbuan tenaga kerja asing adalah melalui peningatkatan kompetensi dan profesionalitas SDM. Perlu diketahui bersama bahwa kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang dimiliki oleh seseorang dalam bidang tertentu yang diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Wujud konkret keperpihakan pemerintah terhadap hak warganya melalui pengesahan sejumlah aturan perundangan dan pembentukan badan pelaksananya dalam hal ini adalah Badan Standarisasi Nasional Profesi (BNSP).

Pada sebuah kesempatan dalam pelatihan Calon Asesor akhir Maret 2021, Kepala BNSP menyampaikan informasi perkembangan sertifikasi profesi di Indonesia. Disampaikan bahwa sertifikasi profesi bertujuan memastikan kompetensi profesional  dan kredibilitas proses bisnis telah dilaksanakan sesuai standarisasi yang telah ditentukan. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) merupakan Lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi profesi yang telah memenuhi syarat dan telah memperoleh lisensi dari BNSP. Menurut data BNSP saat ini, jumlah LSP yang  memiliki fungsi melakukan pembinaan, pengembangan dan pengawasan langsung terhadap pemegang sertikasi diseluruh Indonesia  sebanyak 1.794 buah. Terdapat  Tempat Uji Kompetensi (TUK) sebanyak  21.160 buah, skema sertifikasi kompetensi sebanyak 12,583 skema, asesor sebanyak 44.457 orang. Mengerucut ke profesi Pustakawan. Kepala LSP Pustakawan yang pada kesempatan yang sama turut menyampaikan perkembangan sertifikasi profesi pustakaan sejak tahun 2013. Terhitung sebanyak 1.622 orang pustakawan yang telah tersertifikasi dan berpredikat kompeten yang telah diases oleh LSP Pustakawan. Sejauh ini bisa dikatakan pemerintah telah hadir dalam merespon pasar bebas melalui instrumen peraturan Standar Kerangka Kerja Nasional dan kehadiran Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) sebagai kepanjangan tangan BNSP.

Sertifikasi sebagai Upaya Proteksi Profesi Pustakawan di Indonesia

Diklaim bahwa pemegang sertifikat profesi berhak menggunakan kualifikasi dan kompetensi yang dimilikinya berdasarkan hasil uji kompetensi untuk menaikkan posisi tawarnya dan/atau promosi pekerjaan. Hal tersebut tentu sepadan dengan pengorbanan dalam memperoleh hasil maksimal dalam mendapatkan pengakuan profesional. Namun terbetik sebuah pertanyaan : apakah tenaga asing yang hendak bekerja di Indonesia juga diwajibkan mengikuti dan lulus sertifikasi profesi pustakawan?. Pertanyaan tersebut bersandar pada sebuah realita bahwa Indonesia saat ini merupakan salah satu negara incaran pekerja migran asing.  Media online nasional menyajikan sebuah data bahwa tercatat 98.902 orang tenaga kerja asing (TKA) berasal dari Asia, Amerika dan Eropa yang masuk ke Indonesia pada tahun 2020 (Waseso, R: 2020). Selanjutnya, Diperkerjakannya TKA tersebut akan membuat perebutan lowongan pekerjaan semakin sengit, terlebih profesi pustakawan turut terancam karena profesi tersebut merupakan salah satu dari 143 pekerjaan dibidang pendidikan yang dapat diisi oleh TKA (CNBC Indonesia: 2019). Selain itu, faktor yang akan membuat pustakawan lokal akan bertekuk lutut dengan pustakawan TKA adalah kemampuan softskill meliputi: kemampuan berbahasa asing serta komunikasi antar budaya (--2014) dalam konteks persaingan pasar bebas. Merujuk hal tersebut, maka sertifikasi profesi pustakawan menjadi harapan bagi pustakawan lokal sebagai filter menahan laju infiltrasi pustakawan TKA yang akan masuk indonesia.

            Sejauh ini, penulis belum menemukan klausul tentang wajib tidaknya bagi TKA yang akan bekerja disektor perpustakaan untuk mengikuti dan lulus sertifikasi profesi pustakawan. Jika sudah terdapat aturan tersebut maka hal tersebut telah menunjukkan keberpihakan regulator untuk melindungi pustakawan Indonesia dari serbuan TKA sekaligus mendorong pustakawan Indonesia untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya melalui uji kompetensi sertifikasi pustakawan. Sebaliknya jika belum ada klausul kewajiban TKA mengikuti sertifikasi profesi maka perlu diperjuangkan agar terdapat prasyarat yang mewajibkan memiliki sertifikasi profesi.

                Selain itu, terbetik pemikiran bahwa sertifikasi profesi pustakawan di Indonesia dapat diakui oleh masyarakat ekonomi di ASEAN sehingga pemegang sertifikasi pustakawan di Indonesia dapat layak/diterima bekerja sebagai pustakawan di ASEAN. Sertifikasi pustakawan Indonesia mendorong Indonesia sebagai negara eksportir pustakawan yang berkualitas, berkompeten dan profesional. Setidaknya masalah surplus lulusan jurusan ilmu perpustakaan (JIP) dapat diatasi melalui eksportir pustakawan ke negara-negara tetangga di ASEAN. Ide tersebut terdengar konyol namun jika merujuk pada pendapat Iswadi Syahrial Nupin (2015) seorang pustakawan Universitas Andalas yang menyatakan bahwa Standar kompetensi Nasional sebagai acuan baku sertifikasi pustakawan telah memenuhi standar regional ASEAN. Bukan mustahil ide tersebut terwujud berkat usaha, lobby dan dukungan dari para pihak terkait.

Simpulan

Persaingan untuk mengisi lowongan pekerjaan khususnya dibidang pendidikan dan perpustakaan semakin ketat dari tahun ketahun. Tuntutan profesionalisme, komptensi dan serbuan tenaga kerja asing merupakan hal yang tidak bisa ditawar bagi pustakawan Indonesia untuk meningkatkan kualitas diri melalui sertifikasi pustakawan. Kelulusan sertifikasi profesi pustakawan memberikan manfaat kepada pustakawan untuk meningkatkan daya daing, posisi tawar dan promosi.

Namun perlu dipikirkan juga tentang kebijakan proteksi bagi profesi pustakawan Indonsia dari serbuan TKA salah satunya adalah mewajibkan TKA mengikuti dan lulus sertfikasi profesi pustakawan. Selanjutnya, upgrading dan lobbying Standar Kerja Nasional perlu dilakukan oleh pihak terkait agar sertifikasi profesi pustakawan juga diakui secara regional di negara ASEAN. Jika hal tersbeut terwujud maka memberikan kesempatan kepada pustakawan Indonesia yang lulus sertifikasi profesi untuk bersaing mengisi posisi pustakawan di negara-negara ASEAN. Hal yang menjadi salah satu solusi peyediaan lapangan kerja bagi lulusan JIP yang surplus dan meningkatkan citra pustakawan Indonesia yang berkualitas, berkompetensi dan profesional (RAH).

Daftar Pustaka

--, 2014, Berita: Pustakawan mesti fasih Berbahasa Asing, diakses tanggal 14 Juli 2021, http://lib.ugm.ac.id/ind/?p=1168

CNBC  Indonesia 2019, Catat! Jabatan-Jabatan Ini Sekarang Bisa Diisi Orang Asing, diakses tanggal 05 September 2019, https://www.cnbcindonesia.com/news/20190905110749-4-97265/catat-jabatan-jabatan-ini-sekarang-bisa-diisi-orang-asing.

Iswadi Syahrial Nupin 2015,Kesiapan Pustakawan Menghadapi Masyarakat Ekonomi Association of Southeast Asian 15 Juli 2021, https:pustaka.unand.ac.id/component/K2/item/63- Kesiapan Pustakawan Menghadapi Masyarakat Ekonomi Association of Southeast Asian Nation-ASEAN-2015

Ratih Waseso, 2020, Jumlah tenaga kerja asing di Indonesia 98.902, TKA China terbesar, diakses tanggal 14 Juli 2021, https://nasional.kontan.co.id/news/jumlah-tenaga-kerja-asing-di-indonesia-98902-tka-china-terbesar-berikut-datanya.

 

 

 

Selasa, 01 September 2020

PERPUSTAKAAN (PUN) PEDULI LINGKUNGAN

 


Kondisi  lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup manusia. Coba bayangkan betapa tersiksanya kita apabila lingkungan sekitar berbau, kotor dan tercemar akibat polusi udara, air dan tanah. Alih-alih menikmati hidup, lingkungan yang kotor dapat memicu berbagai penyakit yang menurunkan kualitas hidup manusia. Apabila kita renungkan, sesungguhnya lingkungan rusak akibat kebiasaan buruk manusia, antara lain: membuang sampah secara sembarangan, menebang pepohonan tanpa upaya menanam kembali dan masih banyak lagi. Celakanya, akibat rendahnya kesadaran manusia terhadap pentingnya kebersihan dan kelestarian lingkungan maka kebiasaan buruk tersebut masih terpelihara sampai saat ini. Bahkan kebiasaan tersebut diprediksi akan terus ada di tahun-tahun mendatang jika tanpa ada upaya merubah kebiasaan tersebut.

Dilain sisi, perpustakaan sebagai salah satu pilar peradapan memiliki tanggung jawab moral untuk mengikis kebiasaan buruk terhadap lingkungan. Menurut cendekiawan, perpustakaan merupakan wahana pendidikan non formal sepanjang hayat sebab perpustakaan menyediaakan beragam sumber informasi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan manusia. Jika ditelisik lebih lanjut, apa benang merah antara perpustakaan dan pelestarian lingkungan? Benang merahnya adalah literasi terhadap isu-isu lingkungan atau meminjam istilah Fritjof Capra (Fisikawan Austria) adalah Ekoliterasi. Sebuah konsep yang dikenalkan pada tahun 1995 yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari dan berkesimbungan. Ekoliterasi menyasar pada perubahan perilaku yang ramah lingkungan dan perubahan pola pikir yang bersandar pada prinsip lestari dan berkesinambungan.


Perpustakaan R.I Ardi Koesoema, sebagai perpustakaan khusus dibidang lingkungan hidup dan kehutanan, mulai mengadopsi konsep ekoliterasi  sejak 2019. Kegiatan ekoliterasi dikemas dalam beberapa event, seperti: penyuluhan kepada peserta Perkemahan Bhakti Saka Wanabakti dan Kalpataru di bumi perkemahan Cibubur tahun 2019, story telling tentang lingkungan yang menyasar pelajar sekolah dasar pada tahun yan sama. Ternyata kegiatan ekoliterasi tersebut mendapat sambutan positif baik dari siswa, guru maupun mitra perpustakaan R.I Ardi Koesoema. Menyadari bahwa merubah perilaku dan kebiasaan perlu dilakukan sejak dini dan berkesinambungan maka Perpustakaan R.I Ardi Koesoema rutin mengagendakan ekoliterasi setiap tahunnya. Namun pelaksanaan ekoliterasi tahun 2020 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Awal tahun 2020, Dunia digemparkan oleh pandemi Covid-19. Jejak-jejak virus covid-19 masih dapat ditemui sampai saat ini. Guna mencegah penyebarluasan virus tersebut, maka pemerintah pun memberlakukan protokol pencegahan virus dibarengi perubahan perilaku sehat dengan menjaga kebersihan diri. Menimbang hal tersebut, Perpustakaan R.I Ardi Koesoema menyelenggarakan ekoliterasi yang dikemas dalam acara bercerita dengan tetap mengacu pada protokol pencegahan Covid-19. Para peserta story telling bertema ‘Lingkungan Sahabat Kita’ diupayakan mematuhi ketentuan seperti: mencuci tangan sebelum memasuki ruangan, menjaga jarak dan memakai masker dan face shield. Peserta yang berasal dari perwakilan kelas 4,5,6 salah satu sekolah dasar di Kabupaten Bogor tersebut dibatasi hanya 20 orang. Sedangkan siswa lainnya menyimak acara tersebut melalui link Zoom dan Youtube yang telah disediakan oleh panitia. Acara bercerita tersebut menampilkan Kak Bugi dan boneka Otan-nya (orang hutan) dengan menekankan pesan-pesan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan cara membuang sampah pada tertib, manfaat pepohonan, cara menyemaikan benih. Selama acara, pendongeng menyelingi materi dengan menyanyi  bersama. Terlihat antusiasme peserta mengikuti dan menyimak kegiatan bercerita tersebut.

Penyuluhan dalam bentuk mendongeng diyakini efektif dalam menyampaikan pesan kepada audiens berusia anak-anak. Mendongeng merupakan kegiatan yang mengkombinasikan aspek hiburan dan aspek informasi. Pesan dikemas secara non formal dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak. Boneka berfungsi sebagai alat bantu visualisasi dalam menyampaikan pesan sehingga pesan cerita dapat meninggalkan kesan mendalam dalam benak anak-anak. Diharapkan kesan kognitif  terkait kelestarian lingkungan tersebut tersebut akan berpengaruh positif terhadap perilaku (afektif)  anak-anak dimasa dewasanya kelak.

Sebagai penutup, Perpustakaan sebagai pilar peradapan berperan penting dalam pelestarian lingkungan melalui penyebar luasan ekoliterasi. Sebuah konsep yang bertujuan membekali masyarakat dengan pengetahuan/seperangkat keterampilan mengakses informasi terkait lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Khususnya untuk anak-anak usia sekolah, ekoliterasi dapat dikemas dalam bentuk mendongeng. Mengkombinasikan pesan verbal dan visual, mendongeng dinilai efektif untuk meninggalkan kesan kognitif yang mendalam sehingga dapat merubah perilaku anak dimasa dewasanya. Ekoliterasi sebagai wujud kepedulian perpustakaan terhadap pelestarian lingkungan. Semoga tulisan ini bermanfaat. (RAH)

Kamis, 26 Maret 2020

Ekoliterasi : Kontribusi Pustakawan Dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup dan Hutan


Setiap tahunnya, tanggal 21  Maret ditahbiskan sebagai Hari Hutan Hutan Internasional. Walaupun momen tersebut telah berlalu namun aksi penyelamatan hutan dan lingkungan tak boleh meredup. Pesan reflektif-nya adalah betapa pentingnya fungsi hutan sebagai komponen penyanggga dan penyeimbang kehidupan. Tanpa hutan niscaya kita akan merasakan betapa menderitanya kekurangan oksigen dan air serta bencana alam akan datang silih berganti. Jika alam telah rusak maka betapa tidak nyamannya hidup ini.
Telah digaungkan bahwa pelestarian hutan dan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun segenap lapisan masyarakat turut diharapkan kontribusinya. Bahkan pustakawan pun dituntut peran aktifnya dalam berkontribusi nyata dalam pelestarian hutan dan lingkungan. Beberapa diantara kalangan pustakawan tentu familiar dengan ‘ekoliterasi’ (serapan dari ecology: ilmu tentang bagaimana interaksi antar komponen penyusun kehidupan dan literacy: kemampunan mengidentifikasi, mengelola dan memanfaatkan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya). Konsep tersebut pertama kali dicetuskan oleh Fritjof Capra, seorang fisikawan berkebangsaan Austria, memperkenalkan konsep ekoliterasi pada tahun 1995. Sang penggagas berpikir bahwa kerusakan hutan dan lingkungan ini dominan disebabkan oleh perbuatan manusia yang memanfaatkan sumbedardaya alam secara eksploitatif baik secara individual maupun berkelompok. Bahkan perbuatan sepele seperti membuang sampah secara serampangan pun turut menyebabkan kerusakan lingkungan, iseng-iseng memburu burung pun secara tidak langsung akan merusak regenerasi tanaman hutan secara tidak langsung. Perlu diketahui bahwa burung yang memakan buah-buahan tumbuhan hutan turut membantu penyebaran biji tanaman dan renegerasi tanaman secara alami. Nah, kenapa manusia cenderung merusak lingkungan dan hutan? Beberapa klaim menyebutkan bahwa terbatasnya pengetahuan tentang ekoliterasi akan berdampak pada sikap yang abai terhadap kelestarian lingkungan. Dan keterbatasan pengetahuan disinyalir disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumber informasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan topik lingkungan hidup. Dalam konteks penyebarluasan informsi, pustakawan ibarat mercusuar yang memandu masyarakat disekitarnya agar tidak abai terhadap isu-isu lingkungan hidup.
Perlu disadari bersama bahwa mengubah pola pikir (mindset) yang berorientasi ramah lingkungan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun hal tersebut tidaklah mustahil dilakukan. Teringat akan piramida pengetahuan yang susunan dari bawah ke atas yang secara  berturut-turut terdiri atas aspek: mengenalkan untuk diketahui - membaca untuk memahami – kepahaman membentuk kebijaksanaan.  Dalam konteks tersebut, pustakawan selaku garda terdepan ekoliterasi dapat berkontribusi nyata dalam tataran mengenalkan konsep kelestarian lingkungan dan menyediakan akses serta  panduan kepada sumber-sumber informasi bertopik kelestarian lingkungan.
Menjelang penghujung akhir tahun 2019, Para pustakawan/ti Perpustakaan R.I Ardi Koesoema, sebuah perpustakaan khusus di bidang lingkungan hidup dan kehutanan pada Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berikhtiar mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan pelajar terhadap lingkungan hidup dan kehutanan. Pertimbangan kenapa program ekoliterasi menyasar para pelajar adalah mereka akan menjadi pemegang estafet kepemimpinan sebagai bagian proses regenerasi  10-20 tahun mendatang. Jika para pelajar tersebut memiliki pengetahuan dan pola pikir serta sikap yang pro-kelestarian lingkungan hidup dan hutan maka paham eksploitaisme sumberdaya alam akan teredam setidaknya 10-20 tahun lagi mendatang. Lalu, tim pustakawan PRI Ardi Koesoema merumuskan bahwa format ekoliterasi yang sesuai dengan karakteristik usia pelajar tingkat sekolah dasar adalah bentuk bercerita (story telling). Mengingat bercerita merupkan proses penyampaian pesan yang mengkombinasikan aspek verbal dan non-verbal. Pendongeng dapat mengemas pesan dalam bentuk suara dan gerakan atau ditunjang materi penunjang audio visual lainnya.
Pada event FORDA YOUTH bertema “Serunya Mengajak Anak-Anak Mencintai Lingkungan Melalui Dongeng’, Kak Bugi Sumirat selaku pendongeng melalui tokoh ‘Otan‘ menyampaikan pesan-pesan pentingnya pelestarian lingkungan kepada pada pelajar. Sekelumit ulasan peristiwa tersebut merupakan kontribusi nyata Pustakawan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan hutan. 
Sebagai penutup, menjaga kelestarian alam dan lingkungan bukan monopoli suatu kelompok atau profesi tertentu. Bahkan Pustakawan yang tidak bersinggungan langsung pun dapat berperan nyata dengan mengembangkan ekoliterasi. Program tersebut dirasa efektif dengan menyasar pelajar dengan materi pengenalan konsep pelestarian alam secar berkesinambungan dan sebaiknya program memadukan konsep eduianment sehingga pesan dapat tersampaikan secara efektif dan efisien. Semoga sekelumit cerita ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bahkan menginspirasi pustakawan lainnya dalam mengembangkan program ekoliterasi dalam format program yang bervariasi. Sekian. (RAH)