Tampilkan postingan dengan label Akmal Faradise. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akmal Faradise. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Februari 2023

Perlukah Kita Melanjutkan Studi ke Jenjang S2?

Oleh: 

Akmal Faradise

Lulusan MIP UGM

Dear adick-adick Ilmu Perpustakaan yang cute … 

Tulisan ini aku buat khusus untuk kalian sebagai bahan pertimbangan pilihan karir ke depannya. Meski secara tertulis konteks tulisan ini adalah dalam jurusan Ilmu Perpustakaan, namun prinsip pemilihannya dapat digunakan oleh mahasiswa hampir semua jurusan.

Disclaimer. Tulisan ini berdasarkan pengalamanku pribadi, berbagai referensi yang pernah kubaca dan sharing dengan beberapa kolega. Tulisan ini tidak memberikan jawaban pasti tapi mencoba menemani teman-teman menemukan jawaban kalian sendiri.

Oke, ada setidaknya 3 hal yang kalian perlu pertimbangankan untuk melanjutkan S2.

Pertama, tujuan.

Kedua, pilihan karir.

Ketiga, ekonomi dan variabel X.

Sedikit cerita, tujuanku melanjutkan S2 karena memang “suka suasana belajar”. Jadi, aku suka aja gitu saat dengerin lecturing, diskusi, presentasi, dan mengerjakan tugas. Artinya memang kegiatan mahasiswa itu menyenangkan aku lakukan berulang. Well, mungkin tidak semua orang sepertiku.

Ketika S1, pilihan karir yang tergambar di benakku adalah dosen. Memutuskan untuk S2 sebenarnya sudah tepat. Namun seiring waktu, persepsi terhadap karir dosen mulai berubah. Banyak hal yang cukup menggangu pikiranku seperti realita dan ekosistem pelaksanaan Tri Dharma di lapangan, serta besarnya beban moril saat menjadi dosen (bagian ini merupakan personal world view). Sampai hari ini, dosen bukan prioritas profesi yang ingin kucapai, tapi hanya opsional saja. Mubah gitu hukumnya.

Salah satu konsekuensi yang kuhadapi waktu itu adalah beratnya beban ekonomi saat S2. Studi pasca sarjanaku kutembuh di UGM, dengan UKT sebesar 9 juta per semester. Dua kali lebih tinggi dari besaran UKT di uin suka. Aku masuk semester ganjil, dan ini merupakan bagian ‘kesialan’ selama proses studi. Saat itu aku belum bisa apply LPDP, BU tidak buka selama lebih dari satu tahun, dan beasiswa kampus hanya dibuka untuk maba semester ganjil. Bagus sekali. Aku harus membayar biaya kuliah secara mandiri. Berat rasanya, mengingat aku cuma orang golongan ekonomi menengah ke samping.

Dengan gambaran ceritaku, kuharap kalian bisa mempertimbangkan tiga faktor tadi.

1.      Tujuan

Apa sebenarnya tujuan kalian untuk melanjutkan S2? Untuk kepentingan karir? Untuk kepuasan pribadi? Untuk menunda bertemu realitas? Untuk menghindari menikah? Bahaha. Silakan temukan itu dalam diri kalian sendiri, sebuah alasan yang memang datang dari hati dan memang ingin kalian lakukan. Sebab tujuan itu akan disertai dengan beberapa konsekuensi setelahnya. 

2.      Pilihan Karir

Kalau kalian mau jadi dosen, go on studi S2. Tidak perlu buang waktu lagi. Soalnya kalau kamu mau jadi dosen, kamu ‘hanya’ perlu ijazah minimal S2 dan kompetensi secara umum sebagai dosen. Kompetensi tersebut sudah kamu pelajari di perkuliahan. Kerja dosen dan mahasiswa di kelas, mirip bukan? Kalian tidak harus selalu punya pengalaman kerja atau portfolio, meski memang ini somehow bisa menjadi poin unggulan dalam CV dan saat interview kerja. Yah walau kalian tetap saja punya tantangan tersendiri saat tes seleksi masuk kerja sih.

Tapi kalau prioritas karir kalian bukan dosen, mending kerja aja dulu.

Ini realita yang kulihat saat ada di kelas selama S2. Teman-temanku beberapa adalah bapack2 yang sudah punya anak, atau mba-mba yang sudah berstatus pustakawan dengan tugas belajar. Kekuranganku di kelas adalah aku tidak bisa merelasikan teori yang kupelajari dengan kondisi perpustakaan di lapangan. Itu wajar mengingat aku belum pernah bekerja formal sebagai pustakawan, lulus S1 langsung menempuh S2.

Berbeda dengan teman-temanku yang memang sudah/sedang mengalami bekerja. Mereka mampu merelasikan pengalaman lapangan mereka dengan teori yang disampaikan dosen di kelas. Sisi baik dari polaku adalah aku tidak kesulitan untuk menyerap teori yang ada. Selain memang tidak ada jeda dalam belajar (S1 ke S2 langsung), juga karena waktu jeda sebelum kuliah kusiapkan untuk mempelajari materi yang akan kupelajari di kelas. Justru, ada beberapa teman kelasku yang sudah bekerja seringkali kesulitan memahami teori di kelas. Ini juga wajar mengingat mereka punya jeda belajar. Tidak semua orang yang bekerja akan membaca ulang materi kuliah mereka, bukan?

“Kak kalau misalkan aku pernah magang jadi pustakawan gimana?”

Jawaban retorisnya adalah mungkin kamu tidak akan mengalami kesulitan yang sama denganku. Mungkin yaa. Sebab kita tahu durasi, tugas dan tanggung jawab yang kita terima selama magang tidak sama dengan posisi full time. Pengalaman magang menurutku akan membantu, tapi aku tidak tahu akan sesignifikan apa. Lagipula di generasi sekarang, dengan kebijakan Kampus Merdeka lalala, peluang magang itu sangat luas dan bervariasi.

Tapi aku secara personal tetap menyarankan kalian untuk S2 dulu.

Why? Ya realita pekerjaan kita. Pertama, lowongan Pustakawan di Indonesia itu lebih banyak terbuka untuk lulusan S1. Kualifikasi yang dibutuhkan perpustakaan tersebut ya kompetensi level S1 paling tinggi. Nah ketika perpustakaan membutuhkan pegawai dengan kualifikasi S2 atau kalian butuh upgrade diri, itu bisa dibilang waktu yang tepat untuk lanjut studi. Kalian tidak cuma memiliki bekal lapangan, tapi akan lebih mudah secara ekonomi. Perpustakaan kalian bisa mengutus kalian dalam tugas belajar, tentunya mereka bisa saja memberikan beasiswa dalam bentuk tugas belajar. Atau kalian bisa apply mandiri beasiswa di luar institusi kalian. Peluang kalian akan lebih tinggi karena tujuan S2 kalian (bisa saja) didukung kebutuhan institusi, alasan S2 kalian lebih spesifik, dan kalian sudah punya refere yang relatif kuat (atasan, misalnya). Kinerja kalian yang bagus selama bekerja bisa membantu untuk memenangkan beasiswa. Misal beasiswa yang menilai dari kontribusi kamu terhadap perusahaan/instusi seperti beasiswa dari Swedish Institute.

S2 diperlukan untuk naik level manajerial. S2 juga memiliki daya saing bagus dalam bidang tertentu karena lulusan master memiliki kualifikasi professional yang spesifik. (Kalau dalam lingkup industry, rasanya jarang yang S3 ya. Paling mentok biasanya S2. Studi doctoral sepertinya lebih make sense untuk mereka yang bekerja di ranah akademik).

Ini kalau di Indonesia ya. Di LN biasanya kualifikasi minimal untuk job title ‘Librarian’ itu lulusan master.

3.      Ekonomi dan variabel X

Ini salah satu faktor yang pasti dihadapi oleh mereka yang belajar. Menuntut ilmu itu biayanya mahal karena nilai ilmu itu sendiri mahal. Bagi kalian yang tidak punya hambatan dengan ekonomi, silakan lanjut S2. Tapi tentu pertimbangkan tujuan dan pilihan karir. Bagi kalian yang terkendala dengan ekonomi, aku menyarankan untuk kerja dulu –ngumpulin duit dan pengalaman seperti yang kuceritakan di bagian sebelumnya.

“Varibel X itu apa kak?”

Apapun yang memengaruhi keputusanmu untuk lanjut S2. Mengingat tiap orang bisa berbeda kondisi, tentu aku tidak tulis jelas, beda dengan faktor ekonomi yang hampir pasti semua orang alami.

Misal ya, kamu punya riwayat kesehatan yang kurang mendukung untuk S2. Atau kamu harus segera pulang kampung karena dibutuhkan institusi di sana. Atau kamu harus menemani orang tua jadi tidak bisa merantau lebih lama. Masih banyak hal-hal senada yang seringkali harus dipertimbangkan apakah kita akan S2 atau tidak. Silakan ditemukan sendiri mengingat kondisi tiap orang pasti berbeda. Kalau kalian tidak punya variabel itu atau bisa mengatasinya, silakan lanjut S2.

Tips Menyiapkan Diri Sebelum S2

Nah bagi kalian yang sudah memahami kondisi personal dan punya tujuan S2  yang jelas, selanjutnya aku bagikan tips yang semoga berguna untuk menyiapkan diri sebelum S2.

Sejauh ini, aku baru bisa kasih dua saran.

1.      Pelajari Bahasa Inggris

No excuse. Ini syarat mutlak hahaha. Baik kamu kamu kuliah S2 DN atau LN, harus bisa Bahasa Inggris. Apalagi mau ambil beasiswa, IELTS atau TOEFL itu harus soalnya syarat administratif. Kecuali memang ada Negara tertentu yang tidak menyaratkan harus ada sertifikasi Bahasa Inggris tapi gantinya kamu harus bisa bahasa utama Negara tersebut. Misalnya harus bisa bahasa Turki untuk apply beasiswa Turkiye Burslari atau harus ambil kelas bahasa misal nilai TOPIK (Toefl Korea Selatan) belum mencukupi kalau mau apply Global Korea Scholarship.

Biasakan dirimu berbahasa Inggris. Buat semua indramu terbiasa dengan Bahasa Inggris. Azek. Lakukan dari hal terkecil sekalipun. Contoh.

  • -          Ubah bahasa pengaturan di hp dan laptop dengan bahasa Inggris
  • -          Dengerin lagu bahasa Inggris
  • -          Baca berita bahasa Inggris
  • -          Nonton konten video review atau film berbahasa Inggris
  • -          Menirukan dialog di film berbahasa Inggris
  • -          Berlatihan ngomong sendirian dalam bahasa Inggris
  • -          Menemukan teman yang bisa diajak berbahasa Inggris, baik langsung atau online
  • -          Menulis tweet atau caption berbahasa Inggris
  • -          Main Duolingo atau game edukasi yang membantu belajar bahasa Inggris
  • -          Ikut kelas bahasa (daring maupun luring)
  • -          Ngomong jaksel
  • -          Dan lalala

Pokoknya buat 24 jam kamu ada Inggris-Inggrisnya selama proses menyiapkan S2. Bisa berbahasa Inggris dengan baik akan membantumu dalam KBM selama S2. Karena materi yang diberikan seringkali dengan bahasa Inggris, referensi yang kamu baca berbahasa Inggris, bahkan tugas dan diskusi yang kamu lakukan menggunakan bahasa Inggris.

Catatan Penting. Bisa berbahasa Inggris secara teoretis dan praktik belum menjamin nilai ielts dan toefl kamu bagus. Jadi pelajari dengan baik bahasa Inggris dasar (grammar) dan bahasa Inggris untuk sertfikasi bahasa. Kamu juga bisa belajar academic writing yang memang spesifik dipakai dalam perkuliahan.

2.      Biasakan Membaca dan Menulis Artikel Jurnal

Sempat aku singgung sebelumnya mengenai tugas dan KBM S2. Rata-rata tugas anak pasca itu menulis jurnal. Baik untuk tugas mingguan, tengah dan akhir semester. Baik untuk disetor ke dosen saja atau tuntutan publikasi. Everyday article journal related gitu sih. Jadi alangkah baiknya kalau kamu sudah terbiasa selama bekerja, misalnya.

Saat menjadi pustakawan, kamu bisa membiasakan membaca jurnal. Pilih topik yang memang kamu suka dan ingin perdalam. Pilih yang bahasa Inggris ya, biar sekalian latihan membaca, he. Nah sekalian kamu juga menulis artikel jurnal. Tulisan seorang praktisi itu punya nilai yang besar dalam komunitas akademik. Dengan menulis, kamu juga sudah membiasakan dan mensimulasikan diri untuk menjadi anak pasca. Poin plus lainnya adalah tulisanmu bisa membantumu untuk mencapai credit score tertentu, dan jadi portfolio publikasi. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Well aku cuma bisa bilang ‘good luck gais!’. Pilihan dan eksekusinya bergantung pada kalian.

Eh iya, aku terbuka kok kalau mau diskusi tentang kuliah S2, dan menulis. Mau kolaborasi menulis pun ayok!

Memilih Tujuan S2

Proses memilih kampus tujuan S2 bisa dibilang merupakan versi kompleks dari memilih jurusan saat S1. Sebab kita harus mempertimbangkan kesesuaian dengan research interest kita. Kalau aku pribadi biasanya memilih tujuan dengan pertimbangan kurikulum, institusi dan lokasi.

Dulu aku mempertimbangkan tiga kampus untuk studi pasca: UI, UGM dan UIN SUKA. Pilihanku waktu itu jatuh pada UGM karena kurikulum yang mereka ajarkan menarik minatku dan secara relatif berbeda dengan apa yang kupelajari selama S1.  Aku tidak begitu berminat tinggal di Depok jadi tidak begitu tertarik masuk UI. Aku ingin merasakan belajar dengan dosen yang berbeda, makanya aku tidak memilih UIN SUKA karena sebagian dosennya adalah dosen S1ku xixixi.

Ada beberapa pertimbangan yang mungkin bisa kamu pikirkan. Coba kamu tanyakan ini pada dirimu sendiri untuk memilih S2 yang tepat buatmu.

-          Lokasi. Apakah kamu punya keinginan atau restriction tertentu? Semisal tidak ingin di Yogyakarta lagi karena sudah melewati masa S1 di sana. Atau ingin meresakan kuliah di Negara empat musim seperti Eropa.

-          Kekhasan prodi. Apakah jurusan yang ingin kamu tuju itu sesuai dengan reseach interestmu? Kamu perlu tahu spesifikasi kamu dan jurusanmu sih. Misal kalau NTU itu LISnya lebih ke teknologi, UIN SUKA mengarah pada Islamic studies. Atau kampus-kampus di Australia lebih dominan ke pendidikan dan manajemen. Atau kampus-kampus di amerika yang lebih banyak condong pada Information Sciences.

-          Institusi. Apakah kamu punya preferensi kampus tertentu? Misal lebih pengen kuliah di kampusa agama atau kampus LN yang tidak punya catatan restriksi terhadap muslim. Ini berelasi dengan poin pertama. Juga apakah kampus dan jurusan yang kamu tuju masuk dalam daftar beasiswa yang kamu ambil.

Pro Tips. Usahkan kamu punya mentor yak dalam pemilihan kampus dan jurusan S2-mu. Mereka akan membuka hal-hal yang tidak kamu lihat sebelumnya saat kamu berpikir sendiri J

Realita Cari Kerja S2

Ini cerita personalku, jadi tiap orang bisa berbeda.

Lowongan untuk dosen tidak buka setiap waktu. Jadi timelinenya belum tentu sesuai dengan kondisi kita. Tidak jarang kita harus menunggu. Belum dengan segala syarat administrasi yang harus dipenuhi. Meski mendaftar kerja gratis, syarat yang harus kita penuhi kan butuh biaya. Ambilah untuk cek kesehatan ini dan itu. Nah, ketika kita bisa apply, ada serangkaian tes yang harus dijalani dan belum tentu lolos.

Lowongan untuk pustakawan jauh lebih banyak dan lebih sering dibanding dosen. Tapi tidak semua perpustakaan menerima kualifikasi S2. Sedikit sekali malah. Sebab memang rata-rata kualifikasi yang dibutuhkan paling tinggi S1. Ya gimana ya, kualifikasi dengan kan sejalan dengan gaji. Kamu S2 dan apply posisi S1 itu overqualified dan sangat mungkin institusi tidak bisa afford your expected salary. Ditolak karena overqualified itu lebih nyesek dari pada ditolak karena underqualified.

Menikmati Hidup dengan Menjadi S1

Dulu ketika saya masih sekolah, lulusan S1 itu banyak banget. Jadi terpikirkan untuk kuliah S2, biar punya nilai tambah (apa nilai tambahnya juga ngga tahu). Tapi ketika saya hendak masuk S2, ya lulusan S2 sudah banyak juga. Sekarang sudah lulus S2, teman-teman saya banyak yang berkarir dari dosen dan lulusan S3 juga sudah banyak. Haha

Banyak dalam pandangan persepsional ya, karena informasi yang saya lihat di sekeliling saja. Saya tidak merujuk statistik tertentu.

Nah realita seperti ini wajar bila membawa kita pada bias tertentu. Seolah kalau lulusan S1 sudah memblubak maka saya harus S2 agar punya sisi pembeda. Seolah kalau teman-teman saya banyak yang S2, maka saya harus s2 juga. Well, rasanya hal seperti ini cuma kesalahan berpikir. Kita melakukan sesuatu bukan karena ingin tapi karena orang-orang melakukannya.

Bagi saya, bukan tentang setinggi apa level pendidikanmu dan apa profesimu tapi kamu tahu tujuan kamu dan bertindak sesuai kebutuhanmu. Kalau memang kamu belum harus S2, ya ndak masalah kamu menikmati hidup sebagai S1. Jika menjadi pustakawan menyenangkan bagimu, kamu tidak harus tertekan karena temanmu memilih profesi yang berbeda dan seolah lebih bonafide. Perasaan seperti itu seringkali muncul karena kita tidak memahami diri kita sendiri.

Lulus S1 lalu kerja selama tiga tahun. Menikah di usia 25 tahun. Itu hidup template yang dialami banyak orang. Hidup seperti bagaimana yang tetangga kita harap dan bicarakan. Lalu kemudian punya anak. Which is kalau menghitung jarak biologis orang tua ke anak, itu pas aja sih. Abis itu menikmati hidup dengan pasangan dan keturunan. Tidak memikirkan harus S2. Mungkin ada yang mengatakan hidup seperti ini membosankan dan tidak menantang. Tapi saya rasa hidup seperti itu tidak salah juga. Intinya adalah jalani hidup yang memang ingin kamu jalani. Tidak seorang pun berhak menghakimi pilihan hidupmu.

Atau kamu memilih untuk jadi pekerja bidang digital, bukan pustakawan. Kamu melakukan banyak eksplorasi. Belajar skill baru setiap hari. Pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Belum mau menikah tapi menikmati kesendirian dan travelling ke banyak tempat. Mungkin ada yang bilang hidup seperti itu terlalu bebas dan egois. Tapi itu hidupmu sendiri. Asal tidak memberikan masalah pada orang lain, yaaa why not?

Jadi, untuk menutup tulisan yang dimulai dengan pertanyaan “Perlukah melanjutkan studi s2”, saya mengajukan pertanyaan pula “Apakah S2 berpengaruh penting pada hidupmu?”

Selamat menemukan jawaban kalian!

Jumat, 24 September 2021

Apakah Karya Digitalmu Aman dari Plagiarisme? Peran Perpustakaan Melindungi HKI dengan NFT

Oleh: Akmal Faradise

Mahasiswa Manajemen Informasi dan Perpustakaan UGM

NFT - photo by A M Hasan Nasim from Pixabay


Hari ini setiap orang dapat dengan mudah berkarya, apalagi berkarya dalam bentuk digital. Banyak tool yang tersedia untuk memudahkan hal itu, didukung gadget canggih yang mulai ramah kantong. Format karya digital semakin beragam, bahkan bisa disertifikasi sebagai barang unik (NFT) pada platform digital. Rasanya menyenangkan bukan ketika karya kita diapresiasi banyak orang atau dipamerkan di ruang publik seperti media sosial atau perpustakaan? Tapi rasanya juga menyebalkan ketika karya kita tersandung plagiarisme, atau diplagiasi tanpa hati. 

    Berkarya merupakan hak semua orang. Ada yang melakukan hanya sebagai sebuah kesenangan, ada yang menjadikannya sebuah jalan mencari nafkah. Seseorang bisa saja memiliki tujuan tertentu dalam berkarya, bisa saja juga tidak. 

    Suatu karya yang memiliki dampak besar biasanya tidak lahir dalam waktu yang singkat. Ada energi, ide dan perasaan pembuatnya. Ada yang ingin disampaikan pembuatnya kepada orang-orang. Terkadang, butuh waktu, dan biaya yang tidak sedikit untuk membuat karya sebaik itu.

    Sayangnya, seringkali suatu karya dibajak oleh orang lain. Pembajakan secara sederhana merupakan tindakan tanpa izin yang menyangkut karya orang lain lalu kemudian mengakui sebagai karya sendiri, atau melakukan ‘peniruan’ tanpa memberikan kredit. Bahkan dalam kasus tertentu, pembajakan dilakukan dengan motif ekonomi karena memang dapat menjadi jalan pintas untuk meraup keuntungan. Pembajakan timbul dari motif personal untuk mengeksploitasi, bertemu dengan celah dan kesempatan untuk memperlancar prosesnya. Pembajakan sudah ada sejak lama dan terus berlangsung hingga hari ini.

    Pesatnya internet dan media sosial dapat memberikan celah untuk memudahkan pembajakan. Mudah sekali hari ini untuk mengambil karya orang, atau meniru secara dominan tanpa memberikan kredit. Misalnya, ada sebuah karya yang kita lihat di media sosial berupa ilustrasi sampul buku. Selanjutnya kita membuat ilustrasi serupa dengan melakukan beberapa perubahan kecil pada warna dan font. Kemudian sampul buku itu kita jual, dan laku. Sadarkah kita bahwa kita telah membajak karya orang lain? Kalau itu terjadi pada karya kita, rasanya sakit bukan?

    Cerita seperti di atas sering kita temukan di internet atau dengar dari seorang kawan. Rasanya sudah menjadi sisi gelap yang umum orang tahu. Kabar baiknya, internet dan media sosial tidak cuma memudahkan pembajakan tapi sekaligus dapat memudahkan pelacakannya. Suatu karya yang terunggah di internet bisa dilacak siapa dahulu yang mempublikasikan. Ini memberikan kesempatan bagi kreator untuk memberikan karyanya perlindungan.

    Logikanya seperti ini. Misalkan kita membuat suatu ilustrasi. Apakah karya tersebut kira-kira sudah pernah dibuat dan dipublikasikan orang? Kita perlu melakukan pengecekan sebab bisa saja kita terinspirasi karya seseorang, pernah melihatnya di suatu tempat, dan secara tidak langsung tersimpan dalam bawah sadar dan menjadi inspirasi. Kita bisa mengunggah ilustrasi kita pada mesin pencari untuk melihat apakah kemudian muncul ilustrasi serupa, misalnya. Cara ini mirip sekali saat kita menggunakan plagiarism checker untuk melihat apakah tulisan kita punya kemiripan dengan karya orang lain. Internet dan media sosial yang bersifat ‘terkoneksi satu sama lain’ memungkinkan hal ini terjadi. 

    Atas dasar yang sama, prinsip ini juga terjadi pada blockchain. Blockchain pada dasarnya merupakan ledger terdistribusi yang mencatat setiap transaksi. Setiap orang yang terhubung pada blockchain dapat melihat transaksi yang terjadi –blockchain memiliki asas transparansi. Bila diterapkan pada konteks hak cipta, maka kreator bisa mengetahui kapan pertama kali karyanya dipublikasi. Tidak hanya itu, dengan sifat pencatatan permanen pada blockchain, nama kreator akan secara permanen tercatat dan tidak terpalsukan. 

    Beberapa waktu yang lalu, Non-fungible tokens (NFT) muncul sebagai isu yang ramai dibicarakan dalam ekosistem blockchain. Meski isunya lebih berat pada trading, lelang dan apresiasi nilai suatu karya seni digital, namun sebenarnya NFT memiliki kekuatan pada perlindungan hak cipta. NFT secara sederhana adalah token yang merepresentasikan kepemilikan atas suatu barang unik. NFT merupakan praktik asset tokenization yang bekerja di ekosistem blockchain. Dengan menjadikan suatu karya digital sebagai NFT, pada dasarnya kita memberikan perlindungan berupa sertifikat digital atas karya tersebut.

    Pertanyaannya kemudian, apakah NFT menjamin kreator dan karyanya aman dari tindakan pembajakan? Sayangnya ada berita miris mengenai ini. Banyak cerita yang bisa dibaca tentang pembajakan karya yang berlindung dibalik NFT. Teman-teman bisa membaca salah satu ulasannya di Whiteboard Journal. Rekapnya begini: karya seorang seniman bernama Kendra Ahimsa dijiplak oleh Twisted Vacancy. Kemudiain Twisted Vacancy mengunggah karya tersebut di blockchain sebagai sebuah NFT. Akhirnya, blockchain dan orang-orang akan lebih dulu melihat karya tersebut sebagai karya Twisted Vacancy bukan Kendra Ahimsa. 

    NFT memang ide yang menarik untuk mengamankan hak cipta suatu karya. Namun ada celah besar, screening. Sistem atau marketplace atau crypto project belum bisa mengantisipasi kepalsuan. Dalam arti siapapun yang meunggah suatu karya seni digital, maka sistem akan membaca dialah pembuatnya. Atau lebih tepatnya, hari ini belum belum disediakan opsi untuk memvalidasi hal tersebut. Sebab bagaimanapun, blockchain membawa ciri khasnya yang lain: anonimitas. Pada masa mendatang, masalah ini tentu bisa diselesaikan dengan pengembangan protokol dan mekanisme yang lebih ketat pada pembajakan. Atau yang bisa dilakukan hari ini: ada pihak tertentu menjadi penanggung jawab dalam mencegah pembajakan. Kehadiran pihak tersebut penting, utamanya bagi kreator pemula yang belum terliterasi mengenai hak cipta ataupun blockchain.  

    Pengetahuan setiap kreator berbeda mengenai pembajakan. Tidak semua punya cukup resource untuk mengadvokasi hal tersebut. Pengalaman dan relasi tentu berperan penting. Kreator yang sudah profesional tentu akan lebih siap menghadapi pembajakan, di luar apakah usahanya berhasil atau tidak. Namun bagaimana dengan kreator pemula? Bagaimana dengan seniman baru? Atau lebih spesifiknya, bagaimana dengan mahasiswa jurusan seni?

    Beberapa universitas di Indonesia membolehkan mahasiswanya membuat tugas akhir selain skripsi. Misalnya, mahasiswa jurusan kesenian dapat membuat karya seni digital menjadi tugas akhir yang menjadi syarat kelulusan. Membuat karya seni sebagai sebuah tugas akhir juga menjadi latihan yang bagus sebelum akhirnya berprofesi sebagai seniman di masa mendatang. Lalu, kemana tugas akhir tersebut bermuara? Perpustakaan.

    Perpustakaan menjadi tempat tugas akhir mahasiswa di kampus. Sebagai gerbang pengetahuan, perpustakaan juga berperan untuk melestarikan pengetahuan. Begitupun dengan karya seni. Tak ubahnya konsep Galleries, Libraries, Archives and Museums (GLAM) yang satu, karya seni dapat disimpan di perpustakaan juga dapat digunakan sebagai media belajar dan rujukan. Karya seni digital yang disimpan oleh perpustakaan dapat menjadi kekayaan pengetahuan. Hari ini, perpustakaan tidak harus menyimpan sendiri karya tersebut namun bisa menggunakan platform. Dalam konteks karya seni digital, perpustakaan bisa menyimpan karya seni digital mahasiswa pada blockchain sebagai NFT. Jadi alurnya bisa begini: 1) mahasiswa membuat karya seni digital, 2) mahasiswa menyerahkan karya seninya ke perpustakaan untuk keperluan tugas akhir,  3) perpustakaan mengubah dan menyimpan karya seni mahasiswa sebagai NFT.

    Perpustakaan akan mendapat keuntungan secara finansial juga dari setiap transaksi yang terjadi atas NFT yang terjual. Nantinya, royalti dari setiap NFT yang terjual dapat dibagi keuntungannya dengan mahasiswa sebagai kreator aslinya. Sebuah kondisi win-win solution. Tentu perpustakaan perlu mendapat bagian karena pada dasarnya proses minting memerlukan biaya (dengan cryptocurrency) yang sering kali tidak sedikit. Tentu perpustakaan harus selektif memilih blockchain dan NFT marketplace yang tidak cuma populer, aman dan  memudahkan tetapi juga biaya layanannya tidak terlalu besar. 

    Apakah perpustakaan bisa melakukan hal tersebut? Bukankah institusi ini ‘hanya menjaga buku’? Tenang, perpustakaan adalah organisasi/institusi yang terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Beberapa perpustakaan sudah mengintegrasikan AI dan IoT dalam layanan perpustakaan. Beberapa perpustakaan juga mengadopsi data science untuk meningkatkan kualitas layanan. Ke depan, bukan tidak mungkin perpustakaan merambah area blockchain.
 
    Perpustakaan juga dapat bertanggung jawab hak kekayaan intelektual mahasiswa dan plagiarisme. Tepatnya dalam hal ini, perpustakaan berperan sebagai gerbang untuk mencegah pembajakan atas karya digital mahasiswa sekaligus memeriksa karya mahasiswa bukan sebuah hasil tindak plagiarisme. Apakah karya seni yang diunggah mahasiswa memang orisinil karyanya? Perpustakaan menjadi pihak yang memastikan hal tersebut. Praktik ini mirip dengan unggah skripsi pada repository perpustakaan yang perlu memperhatikan tingkat plagiasi dan keasliannya. Lalu dengan mengunggah pada blockchain sebagai NFT, perpustakaan turut melindungi hak kekayaan intelektual mahasiswa. 

    Sebagai penutup, ide ini hanya salah satu cara menghadapi pembajakan. NFT menjadi pilihan yang baik untuk mengamankan karya digital di satu sisi, namun di sisi lain juga terdapat celah pembajakan terjadi. Selama marketplace NFT masih belum memiliki cara untuk mendeteksi plagiarisme, maka peran perpustakaan menjadi penting. Pembajakan pada dasarnya akan terus ada saat masih banyak orang memiliki motif untuk mengambil untung sendiri. Namun, selama pembajakan masih ada, selama itu juga kita akan terus melawan.

P.S. Tulisan ini diikutsertakan lomba menulis artikel Indodax tapi tidak lolos sebagai pemenang. 

Selasa, 23 Maret 2021

Jika Clubhouse Tersedia untuk Publik Luas, Haruskah Perpustakaan/Pustakawan ikut meramaikan? Sebuah Pengantar

Oleh: Akmal Faradise

Mahasiswa Manajemen Informasi dan Perpustaakan UGM

Pengantar

Saya harus bilang bahwa tulisan ini dipicu oleh salah satu artikel di Bloomberg, yang mengatakan bahwa Clubhouse adalah ‘bintang baru’ di jagat media sosial. Mungkin artikel tersebut termasuk sebuah cara soft selling. Namun di luar hal tersebut, artikel dimaksud saya kira berhasil memantik rasa ingin tahu atas Clubhouse dan bagaimana potensi perkembangannya ke depan. Saya kemudian berdiskusi dengan seorang kawan pegiat voice-over (@miela_baisuni) mengenai platform ini dan semakin mantap untuk bergabung. Bagi saya, meski perubahan dalam lanskap bisnis media sosial itu niscaya, mengamati tiap media sosial berubah, berkembang, dan timbul-tenggelam adalah hal menarik. 

Tulisan ini merupakan ulasan sekilas tentang aplikasi sebagai gambaran bagi teman-teman yang belum bisa mencicipi Clubhouse dan bacaan pengantar serta pemantik diskusi di lingkungan LIS mengenai Clubhouse ke depannya. Pengalaman pribadi saya mungkin mirip dengan beberapa ulasan yang beredar di media sosial atau situs, sebab bisa jadi memang begitulah UI yang ada dan UX yang ditawarkan. Sisanya berupa opini dan preferensi. 

Saya pertama kali bergabung pada 20 Pebruari 2021, dinominasikan oleh teman saya @imammfi. Walau demikian, perlu sekitar seminggu bagi saya ‘bergerilya’ mencari orang yang bisa mengundang saya ke platform

Apa sih Clubhouse itu?

Clubhouse merupakan aplikasi media sosial berbasis audio besutan Alpha Exploration. Aplikasi ini dibuat oleh Rohan Seth dan Paul Davison. Pengguna dapat berinteraksi lewat suara dalam ‘room’. Room merupakan ruang interakasi (seperti WAG keluarga) yang membolehkan pengguna berkirim pesan suara. Jika room hanya berisi dua orang, rasanya akan seperti teleponan. Namun jika memuat lebih banyak orang, rasanya seperti mendengarkan seminar tapi lewat hp dan bisa disambi rebahan. Batas peserta sebuah room sependek yang bisa saya tahu adalah 8 ribu orang, wow. Dalam room berkapasitas besar tersebut, orang bisa saling mengobrol dan berdiskusi. Terdapat fitur yang dapat memosisikan pengguna sebagai moderator –mengatur diskusi dengan memperbolehkan atau menunda pengguna lain (peserta) untuk berbicara. Ada tombol ‘mengangkat tangan’ yang memperbolehkan kita ikut nimbrung dalam diskusi. Persis seperti di kelas gitu. 

Pertama kali instal saya agak terganggu karena permission yang diminta cukup banyak (email, no hp, akun medsos, audio, kontak) walau ini bisa dipahami agar aplikasi berfungsi dengan baik. UInya relatif bersih, tidak terlalu ramai dengan pemilihan font yang menurut saya lucu. Ada lima tab yang tersedia.

Pertama adalah tab home. Room yang sedang berlangsung ditampilkan di sini. Biasanya muncul karena orang yang kita follow tengah join di room tersebut. Jika ingin bergabung, tinggal klik saja maka otomatis masuk. Rasanya sih seperti mendengarkan pertunjukan langsung, realtime. Di bagian home tersedia tab search. Ini memungkinkan untuk mencari pengguna atau club (semacam grup) berdasar kata kunci tertentu. Kamu juga bisa mencari berdasar topik/interest. Ada beberapa nama pengguna yang biasanya menjadi rekomendasi untuk diikuti. 

Kedua adalah tab invitasi. Secara default kita mendapat dua jatah mengundang orang. Di tab ini akan muncul daftar nama dari kontak kita yang mungkin mau kita undang. Terdapat keterangan kontak tersebut memiliki beberapa teman di Clubhouse. Jadi kita perlu sedikit melakukan kurasi dalam mengundang siapa yang kira-kira tertarik dengan platform atau kiranya bisa aktif di platform. Jatah invitasi ini bisa bertambah sih, saya dapat beberapa (sekarang ada 6). Oh ya, karena ini berbasis kontak yang kita simpan, dapat dipastikan pengguna adalah orang nyata karena berdasar orang yang kita kenal. Jadi, ngga butuh ‘centang biru’ sih haha.

Ketiga, tab kegiatan. Kamu bisa melihat event room yang akan datang beberapa waktu ke depan dan bisa membuat jadual event kamu sendiri. Keempat tab notifikasi dan kelima tab profile. Di bagian profile kamu bisa menulis bio yang relatif panjang, macam resume CV gitu ahaha dan diperlihatkan siapa yang menominasikan/mengundang kamu ke Clubhouse. Kalau bahasa mas Ainun Najib sih, ‘ikut Clubhouse itu ada sanadnya’.

Tampilan Clubhouse
 
Tulisan ini selesai setelah sekitar satu bulan saya menggunakan Clubhouse. Menurut saya kadang aplikasi masih agak lemot, sesekali. Namun kualitas suara tergolong sangat bagus. Oh ya berbicara mengenai suara, aplikasi ini audio only jadi kemampuan public speaking, storytelling dll sangat penting dimiliki. Males kan dengerin orang yang ngomongnya belibet atau cara bertuturnya berantakan. Mana ngga bisa dipause atau skip kaya podcast wkwk. Ya mau ngga mau emang pilihannya left dari room. Masalah muncul jika itu room bersama; kamu suka denger pembicara A tapi tidak B. 

Sementara, aplikasi ini tidak punya iklan. Tapi belum tahu nanti misal dikembangkan dan memiliki banyak fitur baru, biasanya ada saja celah untuk mengombinasikan fitur dengan iklan. Ya wajar, media sosial kan juga bisnis. Cuma, saya hanya berharap bagaimanapun pengembangannya ke depan, semoga pendirinya tidak kehilangan visi dasarnya. Jadi meski Clubhouse nanti jadi besar, tetap menarik seperti awal muncul –platform diskusi berkualitas.

Penting diketahui, meski kalian sangat suka obrolan di suatu room, kalian belum bisa menikmatinya kembali artinya ketika percakapan selesai, tidak ada jejaknya. Clubhouse belum menyediakan fitur rekam percakapan, atau semacam transkripsi dari percakapan. Mau tidak mau kita bisa mengakalinya dengan live tweet (menulis poin obrolan per moment) atau membuat resume/notulensinya via microblog Instagram, misalnya. 

Kekurangan dan Kelebihan. Enak enggak si?

Bagian ini akan kita bagi menjadi dua penilaian, dari sisi aplikasi dan pengalaman pribadi. Seperti UI x UX.

Aplikasinya punya tampilan cukup bersih namun rasanya agak sedikit lemot. Beberapa kali kadang gagal melakukan perintah tertentu, semacam kalau di browser kita melihat ‘page is unresponsive’. Mungkin ini masalah server. Bisa dibilang Clubhouse sedang berkembang untuk menjadi lebih baik, lebih besar. Jadi masalah seperti ini di masa transisi bisa dibilang wajar.

Pernah Dapat Masalah

Clubhouse belum bisa clear log activity (notifikasi kegiatan seperti siapa yang baru join, ada room apa yang baru dibuat dll). Sebenarnya hampir semua aplikasi media sosial memang demikian dan aktifitas yang lama akan hilang seiring waktu. Padahal Clubhouse bisa mengatur seberapa sering pop up notification muncul. Maka seandainya notifikasi aktifitas juga bisa diatur, rasanya menyenangkan. Ngarep. Jadi bisa dibilang, digital wellbeing Clubhouse lumayan baik dan masih bisa dikembangkan.

Room di Clubhouse hanya ditampilkan judul dan siapa yang sedang berbicara, artinya kita perlu masuk room untuk tahu apa yang sedang dibicarakan. Ini menarik karena tidak langsung terpapar konten. Tidak seperti kita lihat feeds IG langsung terpapar foto/video, tidak seperti kita browsing FYP Tiktok langsung terpapar video rekomendasi, tidak seperti video yuotube yang tetap berjalan tanpa suara padahal belum kita klik dan tidak sepert cuitan/status tertulis di FB dan Twitter yang langsung kita lihat dari home. Sebenarnya ini prefensi, tapi UI yang demikian yang saya rasa relatif berpihak pada pengguna.

Keluhan saya tentang Clubhouse lebih ke hardware perangkat saya. Clubhouse memungkinkan kita mendengarkan percakapan yang sangat lama, tentu berdampak pada jam penggunaan aplikasi yang makin panjang. Nah berhubung hengpong saya iphone jadul, kondisi ini secara nyata menguras baterai dengan cepat. Sad :(

Ada catatan penting yang perlu kita ketahui bersama bahwa Clubhouse belum mendukung monetisasi. Sementara ini, tanpa monetisasi, kreator, organisasi, atau siapapun yang ingin membuat room dan mencapat cuan, maka hal terkait pembayaran akan dilakukan terpisah di luar aplikasi Clubhouse. Kondisi tanpa monetisasi cukup problematis. Satu sisi kreator tidak bisa mendapat imbalan material dari apa yang dia sampaikan, sisi lain pengguna bisa mendapat banyak insight berharga. Jadi setidaknya kita perlu berterima kasih dan bersyukur kepada siapapun yang telah membuat room dengan insight ‘daging semua’, terima kasih untuk informasi berharga yang sudah dibagikan. Tentu juga terima kasih kepada pengembang Clubhouse karena memudahkan orang untuk bisa membuat diskusi lebih mudah terjadi. Cukup janjian secara personal, tidak harus selalu di bawah organisasi tertentu.

Mungkin hal tersebut yang membedakan Clubhouse dengan Zoom. Clubhouse membuat room terjadi lebih mudah dan relatif natural. Bahkan ini menjadi alternatif yang baik untuk menghindari zoom fatigue. Cocok bagi mereka yang ngga mau harus sedikit berdandan demi sesi video conference. Walau kita tahu Zoom memang punya kelebihan pada fitur penyajian yang lebih kompleks dan interaktif, misal dengan adanya share screen.

Pengalaman saya selama menggunkan Clubhouse relatif enak. Rasanya seperti kita mendengarkan podcast, tapi saya bisa langsung memberikan komentar. Dan rasanya lebih nyata karena sama-sama live dengan lawan bicara. Persis seperti menelepon.

Lalu, apa yang kira-kira bisa Clubhouse kembangkan? Hm banyak sih. Kalau saya cenderung ke bagian Temu Kembali Informasi yang lebih baik. Bisa saja room pada Clubhouse dapat direkam jadi saat kita tidak sempat ikut room tertentu, kita bisa mendengarkan siaran tundanya. Sistemnya mungkin seperti IG live, rekaman ada setelah room selesai. Mungkin perlu bekerja sama dengan penyedia cloud drive. Bisa semacam transkirpsi juga. Walaupun hal ini saya rasa bakal masuk sebagai fitur berbayar, tentu untuk menarik pemasukan bagi pengembang. Sisanya yang mungkin terbayang untuk dimonetisasi pengembang adalah statistik pengunjung profile, premium room, donasi dan log peserta room. Btw kamu bisa cek postingan bang Ogut untuk insight lebih banyak.

PS.

Saya ingin menambahkan kegelisahan mengenai perseteruan netizen pengguna Android vs iPhone.

Saya agak kurang sreg ketika iPhone terlalu dilihat sebagai ‘hp mahal’, walau memang Apple ingin membangun image tersebut dan kesan eksklusif. Menurut saya lebih tepat iPhone dibilang hp future-proof. Saya menggunakan iPhone SE keluaran 2016 dan masih enak digunakan sampai sekarang (kecuali battery issue yang emang jadi masalah klasik iPhone). Itupun saya beli sekenan pada 2019. iPhone jadi future-proof karena didukung oleh iOS yang banyak menjangkau seri lama. Android? Sulit. Pixel series aja cuma 3 tahun dukungan. Nah mengenai mahal, hp Android sik larang yo akeh bos!

Selanjutnya mengenai pengembangan Clubhouse. Saya ngga tahu kenapa developer rilis di iOS dulu baru Android. Yah saya rasa ini wajar karena masih sedikit tim dan skalabilitasnya belum besar untuk menuju pengembangan di Android. Ingat, dulu WA dan IG juga awalnya di iOS kok. Jadi sabar, bertahap. Cek ombaknya di iOS dulu, karena pasarnya lebih sedikit. Hai kalian kasta Android, berbanggalah kalian mayoritas di muka bumi ini.

Walau yah beda lagi emang kalau bicara persaingan bisnis antar SNS. Kalau Clubhouse tidak segera meluncurkan versi Android, pasar mereka bisa direbut Twitter yang menyediakan layanan serupa –Space.

Btw kalau kamu mau coba Clubhouse versi mod Android juga ada, cuma risiko tanggung sendiri.

Pengalaman Ikut Room

Saya sudah mengikuti beberapa room di Clubhouse. Ada yang memberikan informasi insightful, ada juga yang isinya tidak jelas. Room dari publik figur tetap bisa membuat orang penasaran meski isinya kadang tidak mengenyangkan. Bahkan terkadang seperti mendengarkan orang ... ghibah. Karena bagaimanapun, seadainya dianalogikan, room di Clubhouse bisa diibaratkan sedang melakukan panggilan (baik personal atau grup), cuma orang di luar percakapan dapat menyimak bahkan berkomentar. Maka bahasannya tentu seperti percakapan kita dengan kawan; bisa sangat menarik dan berbobot, bisa juga cuma gurawan receh atau bahasan mengambang.

Kemudahan membuat room seperti di atas, tentu memudahkan mereka yang sudah ‘punya nama’ untuk mendapat lebih banyak pendengar. Walau sebenarnya kita yang biasa aja ini punya kesempatan juga jadi ‘semacam influecer’ di Clubhouse. Ada caranya.

Perasaan yang timbul saat ikut sebuah room sama persis ketika saya ikut seminar, atau webinar. Meski cuma audio, tapi tetep aja deg-degan kalau mau tanya. Haha. Pernah gitu out of knowhere saya tanya tentang sosial media berbasis blockchain di sebuah room bersama mas Ismail Fahmi dan Prof Joel Picard.

Saya juga pernah ikut room mas Ainun menyilakan mas Ismail Fahmi untuk menceritakan pengalaman menggunakan Clubhouse, dan bagaimana Drone Emprit Academic menangkap percakapan tentang Clubhouse. Saya jadi tahu bahwa Clubhouse sempat dijadikan medium pergerakan sosial di Thailand. Bahkan karena room ini saya juga jadi tahu idol kpop ada yang join Clubhouse xixixi.

Insight menarik yang saya dapat dari room tersebut adalah banyak nakes atau tepatnya dokter yang join Clubhouse untuk memerangi misinformasi isu-isu kesehatan. Membuat sebuah room di Clubhouse itu mudah dan siapa saja bisa bicara apa saja. Jadi para nakes-dokter perlu ikut bersuara dalam mengurangi misinformasi. Nah, ini semacam catatan penting. Semakin banyak ahli yang bergabung di Clubhouse, misinformasi atau disinformasi dalam room bisa lebih cepat ditangani karena banyak ahli yang bisa dirujuk langsung, bisa berkomentar langsung tentang suatu tema. Bahkan bagi pemerintah, menurut pak Sandiaga Uno dalam suatu room, Clubhouse bisa menjadi medium transparansi kebijakan pemerintah dan memungkinkan masyarakat memberikan aspirasi langsung. Hail daebak.

“Lalu, kira-kira bagaimana Clubhouse ke depannya?” tanya mas Firdza pada mas Fahmi di suatu room. “Bisa berkembang. Ada orang yang punya intensi ingin menyuarakan kritik. Lagipula, Clubhouse memfasilitasi mereka yang punya preferensi ‘ingin berbicara saja atau mendengarkan’. Clubhouse mengisi ruang kosong sosial media berbasis audio” jawab mas Fahmi, aw kama qala. Walaupun saya pribadi berpikir bahwa anak generasi baru sepertinya lebih tertarik konten/interaksi visual base, dan pada aplikasi video pendek seperti Tiktok.

Room yang Asik

Fun fact.

Tepuk tangan di Clubhouse dilakukan dengan menekan tombol suara berulang kali (mute-unmute, mute-unmute). Pertama kali tahu dari kak Gabriela. Katanya di room internasional begitulah keadaanya. Ngakak lama tidak kelar-kelar.

Tren Bergulir. Bagaimana Kita merespon?

Saya pribadi melihat Clubhouse punya potensi untuk berkembang. Cerita mereka membangun platform relatif mirip raksasa media sosial (atau tepatnya periklanan) hari ini, Facebook –mulai dari lingkaran terdekat, orang terbatas, dapat eksposur kemudian naik dan menyetabilkan pengaruh. Itupun kalau mereka ngga keduluan kalah pengaruh dengan Space-nya Twitter haha. Bagaimanapun, Clubhouse harus segera merilis versi Android. Karena tidak bisa dielakkan pangsa pasar smartphone tetap tetap dipegang pengguna Android. Clubhouse kemarin bisa hype karena menggunakan konsep scarcity seperti pada cryptocurrency; hanya bisa di iOS, hanya bisa join kalau diinvite. Tentu strategi ini tidak bisa terus bertahan atau diulang.

Bagi yang sudah tergabung di Clubhouse, saran saya satu: hati-hati. Hati-hati dalam berbicara. Karena kita tidak tahu apakah ternyata diam-diam ada yang merekam. Hat-hati dalam membicarakan orang/institusi. Karena kita tidak tahu di mana celah kebocoran informasi. Hati-hati dalam membicarakan sesuatu. Sitatlah hal yang perlu disitat, tidak perlu sok ngaku-ngaku insight yang bukan dari kamu. Jadilah bertanggung jawab dengan apapun yang kamu sampaikan.

Well, kalau begitu Clubhouse berbahaya? Ada potensi bahayanya seperti yang diulas mas Ario Pratomo. Tapi ada potensi cuannya juga. Kamu bisa cek konten mas Ogut. Oh ya, ada triknya juga kok buat kamu yang ingin punya eksposure di Clubhouse. Sering-sering ikut dan bikin room, sering-seringlah berinteraksi di sana. Kualitas saat berbicara dapat menarik orang untuk mengikuti kamu. Lengkapnya bisa dibaca di sini.

Haruskah LIS meramaikan?                                         

Baiklah. Akhirnya kita sampai pada penghujung tulisan dan maksud dasar dari tulisan ini dibuat. Sebagaimana terteta pada judul, haruskah?

Sebenarnya pertanyaan tersebut tidak bisa serta-merta dijawab diametral YA atau TIDAK. Tapi saya pribadi akan cenderung untuk mengadvokasi sembari juga menanyakan preferensi.

Apakah kamu termasuk orang yang lebih suka ngobrol atau mendengarkan? Apakah kamu suka mendengerkan podcast? Apakah kemasan konten audio lebih kamu suka dari teks, foto dan video? Kalau jawaban pertanyaan disebut dominan YA, kamu punya kecenderungan untuk menikmati Clubhouse.

Meski sebelumnya Clubhuouse naik gara-gara sentimen dan pemberitaan, saya rasa tidak masalah bila LIS dan pustakawan (jika memungkinkan) untuk join the trend. Bukan karena FOMO tapi lebih pada positioning bahwa pustakawan juga bisa keep up dalam dinamika media sosial.

Per tulisan ini dibuat, pustakawan (baik dari Indonesia atau luar negeri) yang join Clubhouse masih sedikit. Saya sempat mencari dengan kata kunci ‘perpustakaan’, ‘library’, ‘pustakawan’, ‘librarian’. Room berbau literasi dengan kata kunci ‘book’, ‘buku’, belum banyak. Asumsi saya memang tema literasi dan juga teman-teman LIS serta pustakawan belum banyak yang bermain di Clubhouse. Belum seramai topik atau tokoh bidang kesehatan, creative industry, financial, dll. Apakah juga ternyata teman-teman pustakawan dan pegiat literasi banyak yang ... pakai Android? No offense, please. Xixixi

Bagi saya, peluang naiknya citra pustakawan bisa digarap juga di platform ini. Seperti di singgung pada bagian sebelumnya, banyak ahli bidang tertentu yang join di Clubhouse. Harusnya pustakawan juga bisa hadir sebagai orang yang punya citra profesional pada bidang informasi, expertise-nya bisa kelihatan dengan banyak berinterakasi lewat room. Kita bisa menunjukkan dengan bangga "kita pustakawan" di profile dan bisa menunjukkan kualitas penguasaan kita dalam pengelolaan informasi, literatur, buku, penerbitan dll. Kita bisa mendapat ruang untuk menunjukkan kualitas public speaking. Seperti yang saya lakukan; membubuhkan profil sebagai mahasiswa LIS, ikut berinterasi dalam room dan ikut bersuara tentang informasi, buku, penerbitan dll.

Apa yang saya dapat dengan ikut Clubhouse dengan membawa identitas anak LIS? Banyak insight baru, banyak relasi.

Cheers!

Rabu, 06 Februari 2019

Menjadi Pustakawan dan Berjihad ‘Content Creating’

"Pustakawan perlu sekali untuk memahami siapa yang akan menjadi konsumen dari konten yang dibuat. Sementara ini, konsumen paling besar tentu milenial."
Oleh: Akmal Faradise*

Bulan lalu, yang baru lewat beberapa hari, ada informasi di sebuah grup WA. Seorang kolega membagikan tautan invitasi ke sebuah grup bernama ‘Pustakawan-Blogger’. Saya tertarik untuk bergabung. Tapi saya qualified tidak ya?. Pikiran itu menghantui tersebab perkara identitas. Saya blogger sih iya, tapi pustakawan ... hmm sayangnya belum (secara legal-formal). Akhirnya saya memberanikan diri masuk, karena ternyata di grup tersebut banyak kenalan saya. Urusan kena kick karena tidak lolos kualifikasi sih pikir nanti.

Menjadi Pustakawan dan Berjihad ‘Content Creating’

Beberapa hari di grup dan ratusan chat saya baca, akhirnya sampai pada kesimpulan sederhana ini: ‘Oh ternyata ini grup koordinasi-advokasi pustakawan untuk menulis toh’. Seluruh member grup menyuarakan aspirasinya dalam wadah bersama pustakawan.web.id. Situs tersebut, di langkah awalnya, berisi tulisan mengenai ‘apa itu profesi pustakawan’. Tentunya penulis/kontributor situs tersebut adalah mereka yang sudah berpengalaman di bidang kepustakawanan: bisa sebagai pustakawan, dosen, peneliti atau juga praktisi. Jadi, saya sebagai anak kemarin sore bingung juga mau nulis apa? Jadi pustakawan aja belum. Tentu apa yang saya tulis tidak akan bernas –tidak punya ruh, seperti tulisan mereka yang memang berprofesi sebagai pustakawan, misal. Ah udahlah hajar aja! Tulis sak anane.

First draft always rubbish. Quote dari Austin Kleon tersebut selalu menjadi senjata andalan apabila menemui kebuntuan ketika menulis. Menulis apapun, tema apapun. Termasuk tema mengenai pustakawan kali ini. Lalu hal termudah untuk mendapat pencerahan mengenai tema kali ini adalah putar ingatan lama, flash back.

Selama menjadi mahasiswa S1, definisi mengenai pustakawan dan tugas kerjanya tentu sudah diberikan oleh dosen dan saya pelajari. Pustakawan secara sederhana adalah seorang penjaga buku pengelola perpustakaan, dengan seabrek library housekeeping. Namun dalam pengembangannya (perlu) dikenal juga sebagai information expert atau knowledge manager atau guardian of knowledge dll. Dalam kasus saya, titel tersebut masih sebatas definitif dan sangat normatif.

Sejak sebelum saya kuliah di IImu Perpustakaan, gambaran paling dasar saya mengenai field library and information sciences adalah tentang pengelolaan: baik pengelolaan perpustakaan sebagai institusi atau pengelolaan atas koleksi dan informasi. Pustakawan adalah seorang manager, in libary and over knowledges around his/her environtment.

Informasi mengenai pustakawan sebagai pengelola perpustakaan dapat ditemukan di berbagai literatur. Undang-undang pun sudah mengatur hal tersebut. Namun pustakawan sebagai knowledge manager, bisa memiliki arti yang sangat luas. Bahkan sepertinya akan asik kalau kita diskusikan pengertian dan ranahnya kerjanya. Eh gimana, setuju?

Pengelolaan sebuah pengetahuan dan informasi, semakin lama menjadi semakin penting. Hidup di era tsunami informasi tak pelak membuat diri kita dihantam berbagai informasi setiap hari, meski tidak kita minta. Pemberitahuan masuk kepada gawai dan setumpuk notifikasi di media sosial kita sepertinya sudah membuktikan asumsi barusan. Sialnya, dari beberapa informasi yang masuk atau berseliweran di sekitar kita, tidak sedikit yang tidak valid –hoaks masih selalu menjadi mimpi buruk. Dan saya yakin, pada dasarnya para pustakawan gatal untuk turut melawan hoaks dan terpancing untuk mengedukasi masyarakat agar cerdas mencari informasi di internet. Cuma mungkin, ada yang belum mau bergerak, belum sempat dan belum-belum yang lainnya.

Head of Marketing kitabisa.com, Iqbal Hariadi, sering menyuarakan agar ‘orang baik harus berisik’. Maksudnya, untuk melawan konten negatif di internet (hoaks dan segala macam tetek bengeknya), konten positif juga harus pop up. Semangat untuk spread kindness dan share positive vibes lekat sekali di dunia ‘content creating’. Orang baik banyak, namun kadang tidak bersuara. Orang yang sebal sama hoaks banyak, tapi berapa persen yang bangkit melawan?

Dari itu, saya rasa pustakawan layak sekali mengisi ruang ini, berkontribusi di arus utama. Pustakawan sudah punya skill mumpuni mengenai literasi informasi. Pun juga, kompetensi mengelola informasi-pengetahuan sudah diluar kepala. Tidak perlu diragukan. Selanjutnya yang paling penting adalah mengetahui target konsumen konten dan bagaimana cara mengemasnya.

Pustakawan perlu sekali untuk memahami siapa yang akan menjadi konsumen dari konten yang dibuat. Sementara ini, konsumen paling besar tentu milenial. Apalagi, sudah mendekati 2020 dan akhir-akhir perangkat akses internet kian beragam dan murah. Yap, bonus demografi Indonesia akan dimulai dan kemudahan akses internet perlu dikawal oleh pustakawan. Harus ada figur yang menjadi imam generasi milenial dalam konteks mencari informasi di internet, dan juga hadir dengan konten yang edukatif-menarik tentunya.

Generasi milenial lebih lekat dengan budaya visual, yang secara ‘alami’ menarik rasa ingin tahu mereka. Foto dan video merupakan santapan sehari-hari mereka. Untuk mendekati (menyuguhkan konten kepada) para milenial, pustakawan harus menggunakan strategi yang baik dan medium/platform yang tepat. Pada paragraf berikutnya, ada beberapa penawaran mengenai opsi teknis yang mungkin bisa diaplikasikan pustakawan untuk mengedukasi milenial.

Pustakawan dapat membuat web series tentang asiknya belajar di perpustakaan atau tutorial mencari informasi yang valid di internet. Bisa juga foto mengenai dampak phubbing di kehidupan sehari-hari, tentunya foto tersebut memiliki story telling yang baik. Atau pustakawan menghadirkan 10 situs terbaik untuk belajar robotik, dengan desain menarik seperti majalah minimalis. Membuat podcast yang berbicara mengenai dampak negatif hate speech di ruang publik digital sepertinya juga bisa menjadi bahasan menarik. Youtube, Instagram, dan Spotify bisa menjadi platform yang baik untuk menggencarkan konten positif. Selain memang gratis dan ramai digunakan, tentu sudah sangat dekat dengan milenial. Eh iya satu lagi, tulisan menarik tentang cerita jalan-jalan pustakawan. Boleh tuh dishare di tumblr atau wattpad. Hihi.

Terakhir, hal yang perlu diperhatikan dari semua itu adalah cara bercerita. Pustakawan pasti punya banyak kegelisahan untuk disampaikan, namun harus membuat konten menarik yang bisa dinikmati banyak orang –dengan berbagai medium, di platform yang tepat. Menulis di pustakawan.web.id sebut saja langkah awalnya. Kemudian, penting sekali untuk terus mengembangkan rasa keingintahuan, yang pada akhirnya mengarahkan kita semua untuk belajar menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk semua.

Jadi, sudah se-ngawur apa tulisan saya? Sejauh mana ocehan yang saya buat? Setidaknya meski tulisan ini belum bagus, saya hanya mencoba untuk menjadi ‘orang baik yang bikin konten positif’. Hiya.

* Netizen yang tinggal di Papringan, Yogyakarta. Masih sebagai konsultan perpustakaan di Perpustakaan PP Annuqayah Lubangsa, Sumenep, Jawa Timur. Baru-baru ini diterima sebagai mahasiswa Kajian Budaya dan Media UGM. Akmal adalah pemilik rumah akmalfaradise.blogspot.com dan pengasuh podcast ‘Kuliah Perdana’. Dapat terhubung di Instagram @akmalffaradise.