Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Maret 2019

Calon Pustakawan yang Gagal Berkembang Sebab Cinta Tanpa Logika


Sumber gambar : https://youtu.be/plDMIAPF6GU

Baca judulnya aja kok panjang kayak sinetron Ind*siar ya? :D
Tidak, ini hanya cerita singkat.
Tulisan ini mungkin receh sekali, tak berbobot seperti tulisan kawan-kawan lain. Tapi kukira tak ada salahnya tetap kubagi. Setidaknya, mungkin bermanfaat untuk adek-adek mahasiswa/i ilmu perpustakaan, agar tak gagal berkembang di kemudian hari, sepertiku.
Aku ini dulunya gampang kagum sama laki-laki. Kagum aja sih, bukan sampai tahap gampang jatuh cinta. Seneng aja, kalo melihat laki-laki yang pintar, bijak, ganteng apalagi.
Suatu ketika aku terjebak dengan perasaanku sendiri. Aku suka memandang seseorang –sebut saja B, dari jauh. Kebetulan dia teman sejurusan, kadang-kadang kami ada mata kuliah yang sekelas. Waktu dia nggak ada, ya ada perasaan nyari-nyari.
Tapi ya gitu, entah apa nama perasaan itu. Aku hanya suka memperhatikan dari jauh. Ketika dekat, justru aku yang tak nyaman, semacam ada perasaan malu-malu kucing.  
Di jurusan kami ada organisasi/himpunan mahasiswa. Seharusnya, aku ikut dan aktif di organisasi tersebut, donk. Nyatanya apa? Karena ada si B di situ, aku tak mau ikut. Seharusnya semangat kan, ya? Nah ini tidak. Otak gue di mana, coba? :’)
Efeknya sekarang ini. Karena kurang pengalaman, skill-ku ya gini-gini aja. Bahkan ‘hanya’ untuk mengelola perpustakaan SD, harus mengobrak-abrik buku-buku kuliah lagi. Harus mempelajari SLIMs dari awal lagi. IPK waktu lulus lumayan tinggi, saat itu. Tapi rasa-rasanya tidak ada gunanya tanpa pengalaman organisasi yang memadai.
Gara-gara si B?
Andai waktu bisa diulang, seharusnya aku bisa mengendalikan perasaanku.


Jumat, 01 Februari 2019

Ketika Pustakawan Jatuh Cinta






Kata orang, cinta susah untuk didefinisikan. Kata kata tak akan sanggup mengartikulasikan apa itu cinta. Karena cinta haruslah dirasakan, gak bisa dipikirkan! Hapsari adalah pustakawan PNS yang alumni Jip Unpad, sementara Paijo Mangkuprawanlimo  adalah pengusaha cilok yang sukses. Mereka  sudah menjalin hubungan serius selama 5 tahun dan siap menikah. Namun hari itu ada momen krusial perjalanan cinta mereka ketika Mas Paijo keceplosan berkata ke Hapsari.

Hari sudah larut malam ketika Hapsari tidak bisa tidur memikirkan pernyataan Mas Paijo. Hatinya berkecamuk membuncah. Dia gulana menahan kata yang dipendamnya. Hapsari memang tidak menjawab pertanyaan Mas Paijo tadi siang. Saat itu dia lebih banyak terisak bisu.  Satu sisi, Hapsari sangat mencintai Paijo kekasih hatinya yang mengisi rindunya selama 5 tahun terakhir. Tapi pertanyaan Mas Paijo sungguh menohok hatinya. Ataukan dia yang sedang baper ? Begini kata Paijo:


"Kenapa betah menjadi Pustakawan? Bukankah diluar sana banyak profesi lain yang menjanjikan? Kamu kan bisa jadi sekretaris atau dosen, sayangku !!" bisik Mas Paijo.
Hapsari tau persis. Ada nalar yang tak  tersampaikan, dan logika yang tergadaikan bagi sebagaian orang ketika memilih profesi ini. Satu sisi jelas profesi ini tidaklah segempita dan semeriah profesi lain dalam memberikan timbalan materi. Tapi semua menjadi kebahagiaan ketika kita bisa berbagi, bermanfaat bagi orang lain. Pustakawan bukanlah malaikat yang diturunkan dari surga, mereka juga manusia biasa yang punya dosa yang lapar dan dahaga, juga butuh materi untuk mengasapi dapurnya. 

Kenapa pustakawan banyak yang tak bisa pindah ke lain hati ? Apakah pustakawan cenderung masokis? Saya rasa itu pertanyaan wajar meski terlihat bodoh. Kenapa ada orang yang rela bersusah payah mendaki sebuah gunung, kalau kemudian harus turun lagi ? Kenapa pulak banyak orang yang tergila gila nonton 22 orang mengerubuti sebuah bola sambil teriak teriak goooll. 

Ya hidup adalah pilihan. Sama seperti si Neo yang harus memilih apakah akan tetap menjadi robot ataukah manusia dalam film Matrix. Atau si Seth yang kudu menjatuhkan pilihan apakah akan tetap menjadi malaikat dengan segala keabadiannya, ataukah menjadi manusia dengan segala kelemahannya.

Hapsari tak pernah salah mencintai profesi ini. Tapi dia butuh dukungan dari Mas Paijo untuk mendukungnya.


"Tak ada cinta dalam kata-kata yang dijajakan orang yang tak berupaya. Tak ada cinta dalam kabar duka yang dibuat untuk menjadikannya dewasa. Tak ada apa-apa, selain ingin menjadi sufi atau budha. Tragedi dihadirkan Shakespeare bukan untuk diratapi dan ditangisi. Justru ia menginginkan katarsis dalam dengung ketidakpastian rasa. 
Hapsari jadi inget kata Kahlil Gibran diatas. Cinta memang harus diperjuangkan. Cinta kepada kekasih sekaligus profesi. Waktu menunjukkan pukul 12 malam ketika bantal Hapsari basah karena airmata. Dia tak kunjung lelap. 

----------------------------------

Keesokan harinya Hapsari memberanikan diri bersua dengan Mas Paijo di sebuah cafe. Mereka sudah janjian memadu rindu. Rintik hujan yang turun adalah barokah tambahan energi.. Jemarinya bergetar, ketika ia berbisik ke Mas Paijo:


Aku memang mencintaimu. Makanya tak mesti selalu kuikuti hukum semesta. Akan kuciptakan surga dari lempengan justifikasi logika absurd dunia dan isinya. Biarlah, toh kita punya masa depan sendiri. Dan kuusir, kutikam serta kubunuh kau, mimpi mimpi yang tak membuatku belajar terbang di dalam taman kepustakawanan yang telah kusediakan. Sebuah garden dengan rumah pohon dan tembok sebagai artefak. Prasasti yang akan menjadi risalah bahwa perjalananku menjadi pustakawan adalah bukan sebuah kesalahan yang tak akan kusesali bagaimanapun wujudnya “
Mas Paijo diam membeku. Pikirannya melayang entah kemana. Mencintai Hapsari tidak bisa parsial, harus mengintegrasikan Hapsari dan profesinya sebagai pustakawan. Titik. Paijo sebenarnya lulusan D3 perpustakaan UGM. Tapi dia trauma bekerja sebagai pustakawan sekolah, penghasilannya tidak lebih besar ketimbang usaha cilok. 


Mencintai Hapsari, ah itu pasti ! Pustakawan ??? Selalu ada yang dikorbankan. Aku harus berani membunuh ketidakpastian rasa dengan mencintai keduanya " pikirnya. 
Setengah jam mereka berhadapan membisu, akhirnya Mas Paijo mencium kening Hapsari. 




Note: tulisan ini dikembangkan dari kisah nyata seorang pustakawan.
Yogi Hartono