Tampilkan postingan dengan label Nasirullah Sitam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasirullah Sitam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Februari 2020

Perpustakaan Mengikuti Zaman atau Pencitraan?

Bekerja di tempat yang nyaman
Bekerja di tempat yang nyaman/Ilustrasi - Sumber Pixabay
Acapkali terlontar ide-ide menarik yang patut didiskusikan kala saya memantau salah satu WhatsApp Grup (WAG) yang ada di gawai. Pustakawan Blogger, WAG yang menjadi tempat para pustakawan sering riuh. Berbagai tulisan menarik saya dapatkan dari sana. 

Salah satunya ketika ada kawan yang melontarkan pernyataan menarik dan pastinya memancing respon dari kawan yang lainnya. 

“Apakah boleh melakukan pencitraan perpustakaan? Boleh. Tentu boleh” 


Lantas ditambahi jika penyediaan sofa yang empuk dan kafe adalah pencitraan perpustakaan. Tentu makin sedap, karena sekarang banyak perpustakaan yang mulai menyediakan tempat duduk nyaman serta ditambah kafe. 

Sejauh ini, saya menyukai sebuah perpustakaan yang menyediakan sofa empuk sekaligus kafe. Bagi saya, menulis artikel di tempat yang nyaman tentu mempunyai nilai plus dibanding tempat yang kurang nyaman. 

Hal ini pula yang membuat saya akhir-akhir ini malah lebih memilih kedai kopi sebagai tempat kedua ketika mengerjakan deadline artikel dari klien. Entah mengapa, sejak mengenal kedai kopi yang nyaman, saya menjadi lebih bersemangat menulis. Buktinya, setiap sepuluh hari sekali, saya mengulas kedai kopi yang ada di Jogja dan sekitarnya di blog pribadi. 

Inovasi Perpustakaan Mengikuti Zaman 

Sebelum era milenial, saya mengenal perpustakaan sebagai tempat yang menyediakan koleksi tercetak. Baik buku cerita maupun buku-buku mata pelajaran. Tidak muluk-muluk, sewaktu SD, perpustakaan saya berada di kelas 5. Itupun tanpa ada label dan yang lainnya. 

Pun dengan SMP, tidak ada yang perubahan signifikan. Hingga saya SMA, sedikit ada perbedaan. Tiap buku terdapat labelnya. Ketika saya meminjam harus menulis nama dan menyerahkan Kartu Pelajar untuk dicatat. 

Bagaimana dengan tempatnya? Tentu hanya ruangan sebesar kelas yang dilengkapi meja panjang beserta kursi. Tidak ada yang istimewa. Satu-satunya yang istimewa pada masa tersebut adalah, perpustakaan tempat bolos sekolah teraman. Ini pengalaman saya. 

Saat ini semua mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran tidak hanya tatap muka di kelas. Sudah ada e-learning. Pekerjaan tidak hanya kantoran, makin banyak kawan sejawat yang menjadi pekerja lepas tanpa harus ke kantor. 

Perpustakaan pun sama. Lambat laun berbenah. Mulai dari koleksinya yang tidak hanya tercetak, sistem otomasi perpustakaan menggerus kartu katalog manual, pelayanan peminjaman mandiri dan yang lainnya. 

Selain itu, perpustakaan juga mengikuti perkembangan zaman terkait gedungnya. Gedung-gedung menjadi bagus, rak buku tertata rapi dan menyenangkan, saking bagusnya terkadang hanya digunakan spot foto para influencer untuk keperluan feed Instagramnya. 

Tatkala gedung sudah bagus, fasilitas mumpuni, tentu untuk merias dibutuhkan interior yang menarik. Termasuk tempat duduk yang nyaman. Salah satu tujuannya tentu agar pemustaka menjadi betah berlama-lama di perpustakaan. 

Internet cepat, tersedia banyak stop kontak, kursi empuk dan meja termasuk kebutuhan sekarang di setiap perpustakaan. Atau malah tempat khusus semacam co-working space. Di salah satu perpustakaan fakultas di UGM kemarin mengenalkan co-working space baru. 

Menurut saya pribadi, adanya sofa yang nyaman atau tersedia kafe dan yang lainnya adalah bagian dari perkembangan zaman. Perpustakaan mengikuti keinginan pemustaka. Jika ada kawan yang mengatakan fasilitas tersebut adalah pencitraan, tentu menarik ditunggu pendapatnya. 

Atau memang sebuah pencitraan? Mencitrakan bahwa perpustakaan saat ini tempatnya lebih nyaman, fasilitasnya lebih baik, dan sudut ruangannya instagramable. Sehingga orang datang tidak hanya meminjam buku tapi mencari tempat untuk diskusi atau sekadar santai duduk di sofa yang empuk. Entahlah.

Kamis, 14 Maret 2019

Potensi Lain dari Pustakawan

Saya buka tipe orang yang suka debat kusir. Melihat pekerjaan seorang pustakawan dari satu sudut saja. Misalkan, tidak sedikit orang menganggap pustakawan itu bergelut dengan dunia buku. Mulai dari merencanakan koleksi yang ingin dibeli, hingga akhirnya koleksi tersebut berada di rak dan bisa dipinjam pemustaka.

Dulu, pandangan seperti itu melekat pada diri saya. Sebuah pertanyaan mendasar sering terlontar pada diri sendiri.

Rak buku di lantai empat Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
Rak buku di lantai empat Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga/Dok. pribad

“Apa mungkin hanya itu (bergelut dengan buku) yang saya kerjakan di masa mendatang?”


Pertanyaan-pertanyaan yang mirip juga sering terpikirkan. Hingga masa kuliah berlangsung, benar adanya, duniaku hanya bergelut dengan buku. Datang ke sekolah-sekolah memberi materi motivasi Minat Baca. Hingga bergabung dengan kawan mengolah perpustakaan SD.

Apa yang saya kerjakan? Menyampul buku, memasukkan data ke Slims, dan menata koleksi di rak perpustakaan. Sampai di sana, aku merasa bangga. Memang ini nanti yang aku kerjakan di waktu mendatang.

Di tambah, menjelang lulus kuliah, saya mencari pengalaman bekerja di perpustakaan kampus sebagai pekerja paruh waktu. Tugas saya kembali menata kembali buku-buku selepas dari proses pengembalian. Bagi pustakawan, istilahnya adalah “Shelving”.

Tugas saya bersama tim memastikan koleksi tersebut tepat di rak yang seharusnya, dan mudah ditemu-kembali pemustaka yang ingin meminjamnya. Satu tahun saya menikmati proses tersebut. Hingga saya sadar, memang ini bagian dari tugas pustakawan.

Lambat laun, saya mulai sadar bahwa pekerjaan yang saya emban bukan sekadar koleksi tercetak. Bukan hanya tumpukan buku. Namun lebih. Di dunia kerja yang sebenarnya, sering pekerjaan lebih luas cakupannya. Mau tidak mau, kita harus mengikuti arusnya.

Tahun pertama saya bekerja, perpustakaannya hanya dipenuhi koleksi seperti jurnal, buku-buku referensi, dan tesis. Ini artinya tidak seperti yang saya bayangkan. Tak ada proses sirkulasi, hanya baca di tempat. Cukup sederhana.

Percayalah, yang menurut kita sederhana itu pasti ada kejutan-kejutan. Di tahun yang sama, saya mendapatkan tugas tambahan sebagai Administrator Jurnal. Sebagai orang awam dan belum pernah mendapatkan materi tentang jurnal di kampus. Saya belajar sendiri melalui artikel-artikel yang ada tentang Open Journal System (OJS).

Di sini, saya mulai paham bagaimana proses mengumpulkan artikel, menyeleksi, mengedit, mengkomunikasikan dengan editor, reviewer, penulis, hingga mengunggah di OJS. Rasanya pekerjaan ini membutuhkan tenaga lebih dibanding sebagai Pustawakan (di tempat kerjaku).

Tahun-tahun berikutnya, OJS sedikit lancar. Hingga terbitlah jurnal yang bisa diakses oleh pembaca khalayak umum. Saya menikmati pekerjaan ini sembari tetap menjalani staf perpustakaan di instansiku. Oya, di tempat kerja, staf perpustakaan hanya saya sendiri.

Kejutan demi kejutan kembali datang. Terlebih ketika instansi ingin membuat website resmi. Kembali, saya didapuk mengurusi website karena di tempatku bekerja stafnya hanya ada empat orang. (1 staf akademik. 1 pembantu staf akademik, 1 keuangan, dan satunya adalah saya).

Di website instansi tugas saya tentunya menulis segala berita yang berkaitan dengan aktivitas instansi. Misalkan ada kuliah tamu, fiedtrip, kursus, kunjungan tamu, dan yang lainnya. Sedikit demi sedikit saya kembali menggeluti dunia tulis-menulis yang sempat terbengkalai.

Sedikit ada modal bisa menulis di blog, saya mempraktikkannya di pekerjaan sekarang. Secara tidak langsung, tugas saya di instansi menjadi tiga. Staf perpustakaan, admin jurnal, dan content writer di website instansi. Uniknya, di instansi ada prodi dan pusat kajian. Saya kembali didapuk menjadi penulis tunggal di dua website tersebut secara bersamaan.

Untungnya, saya di khalayak umum lebih dikenal sebagai blogger, lebih spesifiknya travel blogger. Sehingga tugas tambahan membuat berita di portal instansi bagi saya menyenangkan. Pekerjaan itu sampai sekarang masih saya tekuni.

Bergelut dengan berita di portal membutuhkan dukungan yang lainnya. Harus ada foto dokumentasi yang bercerita, hingga mengabadikan tiap momen melalui visual. Pihak instansi merasa saya mumpuni diberi tanggung jawab yang lebih. Pada akhirnya tahun 2018, tugas saya kembali bertambah. Benar-benar mengasyikkan!

Disokong dari instansi sebuah kamera mirrolens yang cukup mumpuni (meski saya sendiri punya peralatan sendiri), dan handycam. Sembari menyerahkan dua barang ini, atasan memberi saya tugas tambahan sebagai fotografer instansi. Tugasnya memotret dan merekam setiap aktivitas jika ada agenda.

Sudah kepalang basah, saya harus belajar memotret lebih baik dan tentunya membuat cuplikan video lebih baik pula. Tentu saya harus mendalami ilmu pemotretan dan membuat video klip. Awalnya memang terasa berat, lama-lama saya menikmati proses ini.

Mau tahu tugas saya sekarang di instansi? Staf Perpustakaan, Admin Jurnal, Content Writer, Fotografer, plus Videografer. Ditambah semua admin media sosial. Saya kerjakan sendirian layaknya pendekar.

Ditilik dari awal hingga sekarang, saya percaya tiap orang mempunyai potensi yang beragam. Pustakawan-pustakawan di berbagai tempat mempunyai banyak cerita yang menarik dibagikan. Dari sini, saya tahu bahwa pustakawan tak hanya bergulat dengan buku, namun bisa berkembang mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman.

Mulai dari sekarang, coba kita pahami potensi apa yang ada dalam diri kita untuk bisa disalurkan sebagai pustakawan. Jika kita tekuni dan jalani prosesnya, tentu kita bisa menjadi lebih baik, dan harapannya, pundi-pundi tabungan pun mengalir dari banyak arah. 

Nasirullah Sitam
Blog: https://www.nasirullahsitam.com/

Travel Blogger & Staf Perpustakaan

Selasa, 29 Januari 2019

Lebih Nyaman Membaca Buku Tercetak atau Ebook?

“Tetaplah menulis walau hanya beberapa kata. Kadang satu kata itu bisa menjadi satu alenia, dan satu alenia bisa menjadi pemacu semangat untuk menulis menjadi satu halaman. Hingga akhirnya menghasilkan satu tulisan utuh”
Suatu ketika saya berbincang dengan teman yang pekerjaannya menjual buku. Di meja yang sama juga ada teman penulis buku sekaligus editor. Saya seperti berada di tengah-tengah orang hebat dengan segala pengalamnku yang minim. Tak banyak saya bicara, lebih sering mengingat tiap mencatat obrolan dalam ingatan.

Lebih Nyaman Membaca Buku Tercetak atau Ebook?
Credit: Pixabay
Setiap obrolan tak selamanya sekadar basa-basi, topik ngalor-ngidul tanpa ada kejelasan. Kali ini topik yang dibicarakan menurutku berat. Mereka berjibaku dengan pendapat masing-masing terkait minat baca masyarakat Indonesia yang rendah (katanya).

“Sampai sekarang saya bingung. Bagaimana cara menghitung prosentasi minat baca kita rendah? Padahal hampir tiap orang sudah mempunyai gawai, mereka membaca tak harus menggunakan koleksi tercetak,” Ujar editor.

Dia menceritakan kebiasaannya. Setiap hari minimal 15 menit membaca artikel dari Amazon Kindle (aplikasi langganannya). Segala buku berbagai genre dibaca untuk menambah wawasan. Editor itu mengatakan ingin menjadikan aktivitasnya menggunakan gawai bermanfaat. Tidak hanya memantau lini masa media sosial yang penuh hiruk-pikuk.

Teman yang penjual buku juga bercerita jika tiap ada koleksi buku baru yang dipajang, pasti banyak pengikutnya di Instagram berkomentar serta meminta segera ada Pre Order buku tersebut.

“Jangan-jangan masih banyak yang latah sering membeli buku, menumpuknya di meja kamar tanpa menjamah sedikitpun hingga usang?”

Sontak saya merasa tersindir. Bagaimana tidak, di meja kamar masih ada 15 judul buku yang sudah terbeli tapi belum sempat menjamahnya. Saya baru sempat membaca judul dan pengarangnya. Isinya? Masih rapi dalam bungkus plastik transparan yang mulai dipenuhi debu.

“Menurut kalian lebih asyik baca buku tercetak atau ebook?” Pertanyaan macam apa ini? Saya sendiri tak mengira bakal terlontar pertanyaan tersebut.

Kedua orang di samping saya tertawa. Dari sini saya bisa melihat bagaimana tertawanya penjual buku dan editor saat mendapatkan pertanyaan “lucu” dari saya.

“Zaman jangan dilawan, tapi diajak berkawan,” Ujar editor buku.

Lagi-lagi dia bercerita tujuan menulis adalah mencatat sejarah. Apapun medianya. Dulu, nenek moyang kita menulis di batu, kulit, daun lontar, hingga kertas ditemukan. Semua dilakukan untuk mencatat sejarah.

Sekarang? Kita dimudahkan berbagai media. Ada yang menulis di media tercetak seperti majalah, buku, dan yang lainnya. Ada pula yang mencatat sejarahnya pada blog, wattpad, dan sejenisnya. Semua sama.

Urusan nyaman mana, tergantung kita. Pada akhirnya kita pasti terbiasa membaca buku digital (ebook). Dulu, gawai sekadar untuk menelpon dan mengirim kabar melalui pesan singkat. Sekarang, semua yang kita lakukan lebih banyak menggunakan gawai, termasuk membaca.

Ya, benar adanya. Kita menjadi nyaman karena terbiasa. Dulu, membaca buku harus buku tercetak, karena memang adanya hanya koleksi tercetak. Sekarang kita masa peralihan. Sementara hanya membaca berita pada portal daring melalui gawai, tidak salah jika ke depannya membaca novel ribuan lembar pun melalui gawai.

Sebagian orang saya yakin masih nyaman membaca buku tercetak (termasuk saya). Tapi apa mungkin selamanya seperti itu? Saya sendiri tidak yakin. Zaman mulai berubah, mau tidak mau kita juga harus merangkulnya dengan cara mengikuti perkembangan zaman.

Ada waktunya kita dituntut membaca tulisan panjang (novel/karya ilmiah) melalui gawai. Kita membiasakan, dan kita menikmatinya. Sementara generasi yang akan datang lambat laun asing dengan koleksi tercetak. Sama halnya seperti kita yang aneh rasanya membaca manuskrip pada batu, kulit, dan daun lontar.

Tentu ini menjadi tantangan bersama. Terlebih bagi para pecinta aroma buku baru kala pertama dibuka setelah dibeli. Tidak jarang mereka menghirup bau buku tersebut sebelum membacanya. Selain itu, di masa mendatang kita hanya bisa tertawa kala mengingat membaca buku tercetak sebagai sarana untuk dapat tidur nyenyak layaknya Librocubicularist; yakni orang yang membaca buku sembari tidur di atas kasur.

Nasirullah Sitam
Email: roellah@gmail.com
Blog: https://www.nasirullahsitam.com/ 
Travel Blogger & Staf Perpustakaan