Tampilkan postingan dengan label Purwoko ibn Sangadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purwoko ibn Sangadi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Februari 2019

Meneladani Pak AR, untuk kepustakawanan kita

Siapa Pak AR? warga Muhammadiyah pasti tahu. Nama lengkapnya Abdur Rozaq Fachrudin, Ketua PP Muhammadiyah dengan periode yang paling lama, 22 tahun. “Pak AR adalah ulama yang tawaduk,” demikian simpul Pak Syafii Maarif.

Seperti ditulis pada buku Pak AR Sang Penyejuk karya Saefudin Simon, Pak AR sekolah di SR kemudian melanjutkan di Mualimin meski hanya bertahan 2 tahun. Beliau kemudian balik ke kampungnya, karena tak ada biaya. Dengan semangat ngajinya yang tinggi, beliau belajar dengan Kyai di kampung, termasuk pada ayahnya: KH. Fachrudin.

Pak AR tidak kuliah. Konon, kabarnya pernah mendaftar kuliah, namun ditolak oleh kampusnya. “Kami ingin Pak AR ngajar, bukan menjadi mahasiswa,” demikian tanggap kampus. Hobinya membaca, di mana saja. Menjadi Mubaligh Muhammadiyah cita-citanya, dan wong ndesolah sasarannya.

Beliau tak punya rumah, bahkan sampai meninggal. Rumah di Cik Di Tiro merupakan pinjaman Muhammadiyah. Di depan rumah berjejer rapi botol bensin eceran. Rumah yang ditempati juga disekat jadi kamar kos. Motornya Yamaha butut tahun 70-an, itupun - kata Pak Syafii Maarif -pemberian Prawiro Yuwono, orang yang kasihan pada Pak AR. Motor itu menemani ke sana ke mari untuk berdakwah. Kadang juga berboncengan dengan Bu Qom, istrinya. Karena keduanya berbadan gemuk, kadang Bu Qom hampir duduk di lampu belakang.

***

Pak AR pintar berkomunikasi, berdiplomasi. Dengan warga pengajiannya sudah pasti. Namun, Beliau juga lihai berkomunikasi dengan orang tinggi level presiden. Presiden Soeharto merupakan kawan baiknya. Ketika berbicara, keduanya menggunakan Jawa Kromo Inggil. Pak Harto begitu mempercayai Pak AR, karena tak pernah minta apapun, kecuali untuk Muhammadiyah dan ummat Islam. Konon, Pak Harto tidak marah ketika diajak “istirahat” oleh Pak AR. Tentu saja karena keduanya sudah akrab, ditambah lagi dengan lumantar bahasa jawa kromo inggil, menjadikan keduanya lebih saling menghormati.

Bantuan untuk Muhammadiyah, atau lembaga lain yang melewati Pak AR selalu utuh. Meski menjadi talang berbagai bantuan, Pak AR tidak teles. Pak AR merupakan talang yang selalu garing, mengantarkan air sampai ke tujuan tanpa kurang.

***

Pak AR mampu menghadirkan agama dengan bahasa yang ringan, enak, sejuk, dan membahagiakan. “Ceramahnya disukai bukan hanya oleh ummat Islam, namun juga umat agama lain,” kata Pak Amidhan. “Agama Islam itu sejuk jika dihadirkan Pak AR,” demikian kutip Simon dari kawannya, Pak AR mampu menyaring, memilih dan memilah informasi, kemudian disampaikan pada orang yang tepat, pada waktu yang tepat. Bukan hanya menyampaikan, namun juga melakukan, memberi contoh.


“Pak AR adalah ulama yang tawaduk,” kata Prof. Syafii Maarif. Tidak perlu menyampaikan bahwa dia bisa ini atau itu. Bahkan, konon, kabarnya Pak AR menolak ketika akan dibuatkan buku dalam rangka 70 tahun usianya. “Loh, aku ini bukan siapa-siapa. Ndak pantas dibuatkan buku 70 tahun Pak AR,” katanya. Ketika ceramahnya di RRI akan dibukukan, Pak AR bertanya, “apakah lawakan Basiyo sudah dibukukan?”. Ternyata tidak. Pak AR pun tidak mau ceramahnya dibukukan.


***

Membaca kisah Pak AR, saya jadi ingat dengan kepustakawanan kita. Mampukan, atau adakah tokoh kepustakawanan ala Pak AR?

Pustakawan yang belajar dari membaca, mempraktikkan, memberi contoh. Lihai berdiplomasi, namun tetap tawaduk, menyejukkan, jauh dari hingar bingar harta dunia, namun tetap berperan dalam mendidik.

Pak AR yang da’i, sama dengan pustakawan. Bahkan Pak AR itu pustakawan. Ah, terlalu jauh saya membandingkan. Tapi, mohon maaf bagi yang kurang berkenan. Pustakawan itu seperti da’i. Tidak harus sekolah formal, cukuplah keinginan kuat, mau membaca, belajar sepanjang hidup.

Da’i itu pustakawan.

Kamis, 07 Februari 2019

Satire dari Sang Profesor

"Hebatnya pustakawan, ia bisa jadi dosen. Tetapi dosen yang dari akademis, ia tidak bisa jadi pustakawan." 

Kalimat di atas terlontar dari seorang profesor pada pustakawan. Kalimat yang secara umum mengandung energi berlipat, sanjungan yang mampu menggolakkan darah siapapun yang mendengarkan kemudian bersemangat; dengan satu syarat: dia pustakawan.

Namun, apakah hanya demikian adanya, apakah kalimat itu bertafsir tunggal?

Tafsir, akan bergantung pada dua hal: siapa yang mengatakan, dan siapa yang menafsirkan lengkap dengan kondisi di sekelilingnya. Yang mengatakan akan dipengaruhi lingkungannya, penafsir juga demikian. Eloknya sebuah bahasa, dia bisa punya sejuta makna.

Bagi orang yang mendengarnya langsung, tentunya sangat  beruntung. Dia ada pada atmosfir sama dengan sang profesor, mesti tetap sangat mungkin bisa berbeda frekuensi.

Kalimat pembuka tulisan ini,  penulis kutip dari sebuah grup wa. Penulis fokus pada kalimatnya, bukan siapa yang mengabarkan adanya kalimat itu. Penulis tidak berada atau mendengar langsung, maka penulis berusaha membuka kemungkinan tafsir yang bisa muncul.

Tafsir pertama, sebagaimana kalimat itu apa adanya. Tidak dikurangi, tidak ditambahi. Kalimat yang mampu melambungkan imaji pustakawan, karena begitu disanjung. Apalagi sanjungan dari seorang profesor.

Namun, tentunya ada tafsir lain. 

***

Kalimat itu merupakan satire, agar siapapun yang mendengarnya  mau berfikir, dan membuka ruang-ruang tafsir baru. Entah satire sengaja, atau tidak disengaja. 

Kalimat pertama “hebatnya pustakawan, ia bisa jadi dosen”. Ini benar. Faktanya banyak pustakawan bisa (berubah) (men)jadi dosen. Seolah profesor itu ingin menyodorkan kenyataan, bahwa pustakawan begitu berhasrat menjadi dosen. Ini terjadi. Pustakawan tidak "kuat" dengan profesinya kemudian meninggalkannya, berpindah jadi dosen. Tidak mungkin pustakawan memiliki status formal ganda juga sebagai dosen. Tidak mungkin. Salah satu harus ditinggalkan.

“Tetapi dosen yang dari akademis, ia tidak bisa jadi pustakawan”.  demikian kalimat berikutnya dari sang profesor. Sebenarnya dia ingin menekankan, bahwa tidak ada dosen yang meninggalkan status dosennya untuk jadi pustakawan. Dengan kalimat keduanya, dia justru melindungi muruah profesinya sebagai seorang dosen, yang tidak bisa diombang-ambingkan oleh profesi lain, sebagaimana pustakawan pada kalimat pertama. 

“Hebatnya pustakawan, dia sangat ingin  berubah jadi dosen. Tetapi, tidak ada dosen yang mau berubah jadi pustakawan”, demikian kalimat asal asli dari satire tersebut.

***

Saudara sekalian. Kita juga bisa mengoreksi pernyataan sang profesor. Jika maksud kalimat di atas adalah si pemegang status formal pustakawan bisa menjalankan peran dosen, maka kalimat yang tepat adalah: Hebatnya pustakawan, ia bisa jadi “dosen”. Dosen dalam tanda petik. Ini sangat mungkin, karena toh sang profesor itu mengatakan, bukan menuliskan. Sehingga kita tidak tahu, kata dosen itu menggunakan tanda petik atau tidak.  Jika kata dosen memang dalam tanda petik, maka ini mengharuskan adil pada kalimat kedua. Jika dosen dalam tanda petik, maka pustakawan pada kalimat kedua juga harus tanda petik.

Kalimat kedua akan bernilai benar jika: dosen yang dari akademis, juga bisa jadi “pustakawan”. Dosen juga bisa menjalan peran seorang pustakawan dengan status formal tetap dosen. 

Nah, terserah pembaca: mau menelan kalimat dosen tersebut mentah-mentah, mengangapnya sebuah satire, atau mengoreksinya.


Apakah tafsir pertama pasti positif, sedangkan kedua dan ketiga bernilai negatif? belum tentu. Justru tafsir pertama yang berbentuk sanjungan itu yang sangat mungkin menjerumuskan pustakawan.


Sambisari, pagi hari
Jumadilakir-1952 Be



[[ selesai ]]

Pustakawan: penting profesinya, atau apa yang dikerjakannya?

Pustakawan, terutama di Indonesia, meyakini bahwa mereka orang penting. Tentunya juga di tempat lain. 
Sejarah pustakawan, dan tentunya perpustakaan, memang berliku. Pustaka pernah begitu rupa dipuja, ditempatkan sangat sakral dan tak sembarang boleh menyentuh, apalagi menyetubuhinya. Sederet dengan itu, pustakawan sebagai pengelolanya pun mendapatkan posisi pentingnya. Meski kata pustakawan belum dikenal, apalagi diformalkan dalam undang-undang, dengan larikan tunjangan. 
Atau belum ada pendidikan formal bagi si pustakawan. Namun, pustakawan pada masanya begitu mendapatkan kehormatannya.
Kini..
Pustakawan mungkin sedang ada pada sindrom keakuannya. Penting, katanya. "Tak ada pustakawan, hancurlah negeri ini," bisa jadi demikian lanjutannya.

***

Ketika diajukan tanya, “apa pekerjaan pustakawan?”, berbagai deret jawaban akan dilontarkan. Dia nabi literasi, katanya. Yang membebaskan kesesatan informasi gelap, ke jalan informasi yang terang benderang. Sederet peran penting lainnya diajukan, untuk menopang tesis bahwa pustakawan itu penting.
Literasi informasi, gabungan dua kata yang saat ini sangat bertuah. Pustakawan pun tak mau ketinggalan, meneguk tuah saktinya untuk meneguhkan: dirinya penting. Namun, apakah benar-benar itu literasi informasi merupakan pekerjaan pustakawan?
Kenyataannya dia bukan domain tunggal pustakawan!
Tidakkah dipertimbangkan?, mengganti tanya “apa pekerjaan pustakawan?” dengan dengan, “pustakawan bisa bekerja apa?”. 

Atau, "pekerjaan penting apa yang bisa dilakukan pustakawan?".


[[ selesai ]]


Senin, 28 Januari 2019

Pustakawan: makhluk dongkrak-an dan malapraktik pendidikan pustakawan

Paijo, anggota pustakawan blogger itu sedang mumet. Konsep pustakawan blogger berubah. Tadinya bebas posting di blognya masing-masing. Apapun bisa ditulis namun tetap tanggungjawab. Sak geleme dhewe, lalu sebarkan.

Sekarang, ada konsep baru. Anyar. Dibuatlah satu blog, kemudian diundang siapa yang minat ngisi. Semua bisa nulis di blog yang sama. Keroyokan. Tiap bulan, atau mungkin tiap minggu akan ada tantangan tema. 

****

Tema pertama sudah ditentukan: “pustakawan: makhluk apa itu?”. Tema ini berbentuk pertanyaan. Berarti tulisannya nanti paling tidak berusaha menjawab pertanyaan tema itu. Itulah yang membuat Paijo mikir.

“Sejatinya, makhluk seperti apakah pustakawan itu?,” gumamnya.

Teman-temannya sudah nulis. Paijo tak kunjung dapat ide. Mbundet

Setelah renungan panjang, perlu diuyak-uyak alias dikejar-kejar, akhirnya dia ingat, dulu pernah nulis di blognya dengan judul “pustakawan itu bukan siapa-siapa”. Bukan siapa-siapa, Paijo memang yakin begitu. Pustakawan itu manusia biasa. Dia bukan manusia super yang bisa ini itu.

Sebenarnya judul tulisan itu nyontek. Dia akui itu, dan dia tulis dibagian paling bawah tulisannya. Tulisan itu, fikirnya, sebenarnya bisa menjawab pertanyaan “pustakawan makhluk apa itu?”. Tapi tidaklah elok, kalau dia posting ulang di blog keroyokan itu. 

Akhirnya, setelah njungkel njempalik mikir, dia memutuskan. Dia  lanjutkan saja judul tulisan lamanya: “pustakawan bukan siapa-siapa”, dengan pendekatan pertanyaan  lanjutan “bukan siapa-siapa itu karena apa?”.

Paijo ingin menelisik, sebab musabab pustakawan itu bukan siapa-siapa?

Namun, menelisik “sebab” dengan waktu yang terbatas tidaklah mungkin. Kecuali lewat perenungan, kontemplasi agar turun wahyu, kemudian: cling, ketemu sebabnya. Tapi Paijo juga sadar. Dia manusia biasa yang berlumur dosa. Kesalahan dan dosanya sangat mungkin menjadi penghambat turunnya ilham. Ada tabir pemisah ilham dan wahyu yang sulit ditembus. 

***

Di grup pustakawan blogger yang Paijo ikuti, pernah terlontar pertanyaan atas dasar sebuah pengalaman. Kang Yogi, seorang manajer aset digital terkemuka di Indonesia, kaget tak terkira. Ketika itu dia sedang memilah dan memilih para pelamar. Salah satu yang dilihat, tentunya selain foto pelamar yang bening-bening, juga IPK. Dia kaget saat melihat IPK adik angkatannya yang menjulang tinggi setinggi tugu monas. Tugu yang kabarnya juga disebut MONumen Akal Sehat. Padahal, dulu di jamannya, IPK mau setinggai tiang bendera saja susahnya minta ampun. Sulit. 

Ada beberapa prediksi dari Kang Yogi, apa sebab IPK bisa menjulang tinggi: si mahasiswa makanannya bergizi, daya hafalnya luar biasa, kemudian yang terakhir nilai menjulang tinggi itu karena dongkrakan.

Dongkrak?

Dongkrak, menurut kamus suci Bahasa Indonesia, berarti alat untuk mengumpil atau menaikkan. Hasil dongkrak-an, berarti hasil dinaikkan, hasil umpilan, angkatan, yang sebelumnya di bawah menjadi naik ke atas. Mumbul.  

Komentar muncul, masih dalam grup itu, yang mengatakan bahwa dongkrakan itu diperlukan agar akreditasi kampus tetap oke, dan tentunya tuntutan pasar. Mungkin ada belas kasihan dari dosen pada alumni kalau IPK kecil, dan tidak lolos masuk syarat mendaftar ASN. Efek berikutnya  akan dahsyat. Si sekolah perpustakaan akan dijauhi calon mahasiswa. Bahaya. Jelas para dosen tidak mau ini terjadi.

Namun, apakah prediksi ini benar?

“Harus diinvestigasi,” Paijo mengepalkan tangan.

***

Nah, sore ini, Paijo buka facebook. Biasa, buka akun satu dan lainnya, buka wall kemudian baca status banyak orang. Tanpa sengaja dia nemu status seorang dosen. Tentunya dosen ilmu perpustakaan, bukan dosen ilmu lainnya. Dia tak berani membahas yang lain. Status itu masih ada hubungannya dengan dongkrak mendongkrak. Begitu lugunya si dosen membuka rahasia dapurnya pada status sebuah facebook. 

Entah keluguan itu muncul karena memang lugu, atau, ya mungkin sedang menikmati posisinya sebagai dosen, yang memiliki "kuasa" atas mahasiswanya. Atau bisa juga karena saking mumetnya menjalankan perannya sebagai dosen (ilmu) perpustakaan.

“nilai-nilai itu sudah hasil dongkrak sana dan sini”, demikian katanya. 

“Ini jelas bukan status lugu,” gumam Paijo mengoreksi anggapan awalnya. Karena dia yakin, dosen itu sebagai ilmuwan yang boleh salah, tapi tidak boleh bohong dan harus jujur. “Lebih tepatnya ini status jujur!.”, koreksi Paijo dalam hati. Status itu sudah melewati tes kevalidan, kajian ilmiah, review, dan akhirnya keluar. Kabarnya ada juga yang nilainya D atau E.

Paijo mikir, kalau D dan E itu juga sudah hasil dongkrakan, lalu aslinya berapa? 

Sebenarnya Paijo masih heran, kenapa selevel dosen membuat status seperti itu? 

Ah, entahlah. 

Status itu merupakan bukti kejujuran, yang didukung oleh keluguan dan apa adanya. Status itu, yang berwujud kumpulan huruf, menjadi kata, menjadi kalimat, kemudian melahirkan tafsir, adalah tanda.  Ini bahasa semiotik. Tanda itu dikirim/terkirim oleh si dosen kepada publik, tentang apa yang terjadi dalam dapurnya.  Jika itu disengaja, maka memang ada pesan yang sengaja dikirim oleh si dosen. Jika itu tidak sengaja alias alamiah, atau tanpa sadar, maka memang demikianlah adanya.


Status itu cukuplah membuktikan, atau bukti awal prediksi Kang Yogi. Selain itu, juga cukup sebagai bukti awal, kenapa pustakawan itu “bukan siapa-siapa”. Atau, juga bukti awal, silang sengkarut kepustakawanan di Indonesia.

Paijo berkesimpulan. Diperlukan lebih banyak dosen (ilmu) perpustakaan, yang berani membuka dapurnya di muka umum. Agar dunia kepustakawan lebih terang benderang duduk masalahnya.

****

Sendirian, Paijo masih melanjutkan lamunannya. Masih tentang dongkrak mendongkrak. 

Paijo mikir. “Jangan-jangan nilaiku dulu juga dongkrakan, katrolan”. Oh tidak…

Seorang kawannya yang bekerja di bidang penjaminan mutu pendidikan pernah berkata. Waktu itu di sebuah kafe samping rumahnya mereka ngobrol. Intinya: malapraktiknya pendidik itu efeknya sangat panjang, lama. Bahkan efek itu bisa menimbulkan efek ikutan lainnya. Bahaya, dan berpengaruh pada perjalanan bangsa dan negara.

Apakah proses pendongkrakan ini, merupakan malapraktik dalam pendidikan pustakawan?

Jika iya, maka jelas sudah. Silang sekarut kepustakawanan Indonesia memang bermula dari pendidikan pustakawannya. Bermula dari, ah... sudahlah.

Entahlah.
---------------

[[ titik - selesai ]]


Sambisari, 
Selasa Wage pagi hari, 22 Jumadilawal, 
Wuku Pahang, 1952 tahun be.