Tampilkan postingan dengan label paijo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label paijo. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Oktober 2020

Tantangan untuk ISIPII

Musim sudah berganti. Kemarau berangsur hilang. Hujan mulai turun. Banjir juga mulai terjadi. Tak terkecuali di kampung Paijo. Ya. Tapi tidak di perumahan. Yang kena banjir ya sungainya. Hehe. 


Sore itu, selepas hujan lebat pergi, Paijo merenung. Lama dia tidak merenung. Pada masa pandemi ini, sebenarnya dia banyak di rumah. Kerja. Online. Daring istilah bakunya. Namun, justru kerja online dari rumah ini membuatnya kurang produktif dalam merenung untuk kemudian menuliskannya.

Sore itu dia berusaha sekuat pikiran, untuk merenung. Beberapa diskusi, atau tepatnya lontaran diskusinya, mendapat tanggapan. Dan itu membuatnya merenung. Menerka arah dan argumen yang muncul dari rekan-rekannya.

****

Sekelebat dia ingat, masih tentang perpustakaan, pustakawan, dan kepustakawanan. Konon kabarnya, di negara lain yang dianggap maju perpustakaannya, pustakawan itu pendidikannya unik.

Kalau pendidikan tinggi dasarnya tentang perpustakaan, maka jenjang berikutnya pustakawan tidak mengambil lagi studi perpustakaan. Namun mengambil pendidikan lain. Atau sebaliknya. Pendidikan tinggi dasarnya tentang ilmu lain, kemudian pustakawan akan ambil masternya tentang perpustakaan.

Hal itulah yang kemudian (salah satunya) dianggap berkontribusi pada skill dan pengetahuan pustakawan.

Namun, di Indonesia tidak demikian. Banyak pustakawan yang tidak bosan sekolah tentang perpustakaan, atau kini diperluas dengan informasi. Diplomanya perpustakaan, sarjana perpustakaan, masternya juga demikian. Tidak bosan. Ya, seperti Paijo sendiri. Haha. 

"Hanya doktor yang tidak", batinnya. Ya. Jelas. Di Indonesia belum ada program doktor ilmu perpustakaan. Ada, sih. Tapi program nebeng. 

Paijo berfikir. Kudunya tidak demikian. Ya, minimal jika ingin sama seperti negara tetangga, lah. Kan selama ini begitu kebiasaan membandingkannya. Pustakawan tidak boleh sekolah terus di bidang perpustakaan. Ini harus dikampanyekan. Kudu variasi. Biar enak, menantang, dan tidak bosan.

Lalu siapa yang harus mengampanyekannya?

"Tidak ada yang lain. Ya para lulusannya", bathin Paijo. Juga organisasi lulusannya. Organisasi yang mewadahi para sarjana ilmu perpustakaan. "ISIPII," ucap Paijo setengah teriak.

"Untuk pengembangan kepustakawanan Indonesia, kami serukan pada para sarjana IPI untuk merdeka ambil S2 di bidang apapun"

Wani ra?

Tapi apa ISIPII berani? Paijo tidak yakin.

Renungan itu menyisakan tantangan.

Selesai

Selasa, 23 April 2019

Keidealan perpustakaan harus dimulai dari perguruan tinggi yang memiliki jurusan (ilmu) perpustakaan

Malam-malam, Paijo nostalgia bersama Karyo. Mengingat jaman dulu, ketika ketoprak di TV masih menjadi tontonan favorit. Saling menimpali ketika dulu tv masih hitam putih, pakai aki, harus rela ngirit demi tontonan favorit. Tetangga rela ngluruk untuk nonton ketoprak. Apalagi, jika sayembara berhadiah. Sambil udur, adu argumen menjawab pertanyaan sayembara.

Ah, tapi sekarang ketoprak sudah kalah dengan sinetron. Apa mau di kata. Akhirnya, Paijo dan Karyo tetap kembali kepada khittahnya: tentang perpustakaan.

****

Paijo mendekati Karyo. Raut mukanya serius, kemudian membuka pembicaraan. "Dan seutama-utamanya contoh perpustakaan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi yang memiliki jurusan (ilmu) perpustakaan. Karena keidealan perpustakaan harus dimulai dari perguruan tinggi yang memiliki jurusan (ilmu) perpustakaan. Dia punya segalanya, maka harus memberi contoh. Dan wajib bagus." Kalimat itu meluncur dari bibir Paijo.

Paijo masih melanjutkan, "termasuk dalam hal kepala perpustakaan. Lihatlah dahulu perguruan tinggi yang memiliki jurusan (ilmu) perpustakaan. Bagaimana mereka menempatkan pustakawan dalam jabatan kepala perpustakaan?".

Karyo kaget. Apa sebab Paijo sampai membuat pernyataan yang sebegitu keras. Paijo masih melanjutkan, "jika ada dosen ilmu perpustakaan masih mau saja menjadi kepala perpustakaan, itu sudah menjadi bukti buruk dan gagalnya dia menjadi pendidik pustakawan. Dia gagal mengkader pustakawan di institusinya sendiri".

Karyo bertanya, "dosen ilmu perpustakaan kan punya pendidikan ilmu perpustakaan, Jo. Jadi ya wajar, dong".

"Tidak, kang. Jelas itu menunjukkan bahwa di situ ada masalah. Selain menunjukkan gagalnya para pendidik pustakawan dalam mengkader, mereka juga gagal dalam meyakinkan pimpinan universitas. Jika para dosen itu mengambil job kepala perpustakaan, maka itu sudah merupakan bentuk terkecil dari pelecehan pustakawan yang dalam bangku kuliah selalu mereka ceramahi tentang harga diri dan idealisme. Pelecehan pustakawan paling parah adalah yang dilakukan dan dimulai oleh pendidik pustakawan itu sendiri," Paijo menjawab tegas. Sambil tangannya meraih gagang cangkir berisi kopi pahit tanpa gula. Bibirnya langsung menyeruput. Tampak matanya merem melek, menyelami nikmatnya kopi.

*** 

"Apakah jika demikian, harga mati tidak boleh dosen (ilmu) perpustakaan mengambil posisi sebagai kepala perpustakaan, Jo?

"Boleh, Kang. Boleh saja. Toh tidak ada larangan. Tapi, dengan dia mengambil posisi itu, maka ada berbagai kesimpulan di belakangnya: gagalnya kaderisasi, dan gagalnya meyakinkan pimpinan."

Karyo tampak manggut-manggut. Dia paham, Paijo ingin menunjukkan hal yang selama ini luput dari perhatiannya. Duduknya dosen (ilmu) perpustakaan sebagai kepala perpustakaan perguruan tinggi, bagi Paijo memiliki tafsir yang yang harus diperhatikan benar-benar. 

"Harusnya para dosen (ilmu) perpustakaan yang jadi kepala perpustakaan itu malu. Malu pada perpustakaan "biasa", yang pustakawannya bisa mandiri", sambut Paijo tanpa memberi waktu Karyo berkomentar.

"Tapi, kang. Bagiku tak berpengaruh. Karena sesungguhnya ruh pustakawan itu adalah merdeka. Dan merdeka yang hakiki adalah merdeka secara spiritual. Nah, merdeka secara spiritual itu kuncinya adalah mengalahkan rasa tertindas, rasa tertekan, rasa terkalahkan,".

"Bagiku siapa saja kepala perpustakaannya, tidak mengurangi derajat kepustakawananku,"  Paijo mengakhiri. Tangannya meraih ungkrung goreng yang tersaji di piring putih bermotif kembang. Sesaat kemudian, dia kunyah ungkrung goreng itu, sambil sesekali menyeruput kopi.

"Gerrrr," mulutnya melafalkan kegembiraan dan kenikmatan.

---

Tulisan ini juga diposting di http://www.purwo.co/2019/04/keidealan-perpustakaan-harus-dimulai.html

Senin, 28 Januari 2019

Pustakawan: makhluk dongkrak-an dan malapraktik pendidikan pustakawan

Paijo, anggota pustakawan blogger itu sedang mumet. Konsep pustakawan blogger berubah. Tadinya bebas posting di blognya masing-masing. Apapun bisa ditulis namun tetap tanggungjawab. Sak geleme dhewe, lalu sebarkan.

Sekarang, ada konsep baru. Anyar. Dibuatlah satu blog, kemudian diundang siapa yang minat ngisi. Semua bisa nulis di blog yang sama. Keroyokan. Tiap bulan, atau mungkin tiap minggu akan ada tantangan tema. 

****

Tema pertama sudah ditentukan: “pustakawan: makhluk apa itu?”. Tema ini berbentuk pertanyaan. Berarti tulisannya nanti paling tidak berusaha menjawab pertanyaan tema itu. Itulah yang membuat Paijo mikir.

“Sejatinya, makhluk seperti apakah pustakawan itu?,” gumamnya.

Teman-temannya sudah nulis. Paijo tak kunjung dapat ide. Mbundet

Setelah renungan panjang, perlu diuyak-uyak alias dikejar-kejar, akhirnya dia ingat, dulu pernah nulis di blognya dengan judul “pustakawan itu bukan siapa-siapa”. Bukan siapa-siapa, Paijo memang yakin begitu. Pustakawan itu manusia biasa. Dia bukan manusia super yang bisa ini itu.

Sebenarnya judul tulisan itu nyontek. Dia akui itu, dan dia tulis dibagian paling bawah tulisannya. Tulisan itu, fikirnya, sebenarnya bisa menjawab pertanyaan “pustakawan makhluk apa itu?”. Tapi tidaklah elok, kalau dia posting ulang di blog keroyokan itu. 

Akhirnya, setelah njungkel njempalik mikir, dia memutuskan. Dia  lanjutkan saja judul tulisan lamanya: “pustakawan bukan siapa-siapa”, dengan pendekatan pertanyaan  lanjutan “bukan siapa-siapa itu karena apa?”.

Paijo ingin menelisik, sebab musabab pustakawan itu bukan siapa-siapa?

Namun, menelisik “sebab” dengan waktu yang terbatas tidaklah mungkin. Kecuali lewat perenungan, kontemplasi agar turun wahyu, kemudian: cling, ketemu sebabnya. Tapi Paijo juga sadar. Dia manusia biasa yang berlumur dosa. Kesalahan dan dosanya sangat mungkin menjadi penghambat turunnya ilham. Ada tabir pemisah ilham dan wahyu yang sulit ditembus. 

***

Di grup pustakawan blogger yang Paijo ikuti, pernah terlontar pertanyaan atas dasar sebuah pengalaman. Kang Yogi, seorang manajer aset digital terkemuka di Indonesia, kaget tak terkira. Ketika itu dia sedang memilah dan memilih para pelamar. Salah satu yang dilihat, tentunya selain foto pelamar yang bening-bening, juga IPK. Dia kaget saat melihat IPK adik angkatannya yang menjulang tinggi setinggi tugu monas. Tugu yang kabarnya juga disebut MONumen Akal Sehat. Padahal, dulu di jamannya, IPK mau setinggai tiang bendera saja susahnya minta ampun. Sulit. 

Ada beberapa prediksi dari Kang Yogi, apa sebab IPK bisa menjulang tinggi: si mahasiswa makanannya bergizi, daya hafalnya luar biasa, kemudian yang terakhir nilai menjulang tinggi itu karena dongkrakan.

Dongkrak?

Dongkrak, menurut kamus suci Bahasa Indonesia, berarti alat untuk mengumpil atau menaikkan. Hasil dongkrak-an, berarti hasil dinaikkan, hasil umpilan, angkatan, yang sebelumnya di bawah menjadi naik ke atas. Mumbul.  

Komentar muncul, masih dalam grup itu, yang mengatakan bahwa dongkrakan itu diperlukan agar akreditasi kampus tetap oke, dan tentunya tuntutan pasar. Mungkin ada belas kasihan dari dosen pada alumni kalau IPK kecil, dan tidak lolos masuk syarat mendaftar ASN. Efek berikutnya  akan dahsyat. Si sekolah perpustakaan akan dijauhi calon mahasiswa. Bahaya. Jelas para dosen tidak mau ini terjadi.

Namun, apakah prediksi ini benar?

“Harus diinvestigasi,” Paijo mengepalkan tangan.

***

Nah, sore ini, Paijo buka facebook. Biasa, buka akun satu dan lainnya, buka wall kemudian baca status banyak orang. Tanpa sengaja dia nemu status seorang dosen. Tentunya dosen ilmu perpustakaan, bukan dosen ilmu lainnya. Dia tak berani membahas yang lain. Status itu masih ada hubungannya dengan dongkrak mendongkrak. Begitu lugunya si dosen membuka rahasia dapurnya pada status sebuah facebook. 

Entah keluguan itu muncul karena memang lugu, atau, ya mungkin sedang menikmati posisinya sebagai dosen, yang memiliki "kuasa" atas mahasiswanya. Atau bisa juga karena saking mumetnya menjalankan perannya sebagai dosen (ilmu) perpustakaan.

“nilai-nilai itu sudah hasil dongkrak sana dan sini”, demikian katanya. 

“Ini jelas bukan status lugu,” gumam Paijo mengoreksi anggapan awalnya. Karena dia yakin, dosen itu sebagai ilmuwan yang boleh salah, tapi tidak boleh bohong dan harus jujur. “Lebih tepatnya ini status jujur!.”, koreksi Paijo dalam hati. Status itu sudah melewati tes kevalidan, kajian ilmiah, review, dan akhirnya keluar. Kabarnya ada juga yang nilainya D atau E.

Paijo mikir, kalau D dan E itu juga sudah hasil dongkrakan, lalu aslinya berapa? 

Sebenarnya Paijo masih heran, kenapa selevel dosen membuat status seperti itu? 

Ah, entahlah. 

Status itu merupakan bukti kejujuran, yang didukung oleh keluguan dan apa adanya. Status itu, yang berwujud kumpulan huruf, menjadi kata, menjadi kalimat, kemudian melahirkan tafsir, adalah tanda.  Ini bahasa semiotik. Tanda itu dikirim/terkirim oleh si dosen kepada publik, tentang apa yang terjadi dalam dapurnya.  Jika itu disengaja, maka memang ada pesan yang sengaja dikirim oleh si dosen. Jika itu tidak sengaja alias alamiah, atau tanpa sadar, maka memang demikianlah adanya.


Status itu cukuplah membuktikan, atau bukti awal prediksi Kang Yogi. Selain itu, juga cukup sebagai bukti awal, kenapa pustakawan itu “bukan siapa-siapa”. Atau, juga bukti awal, silang sengkarut kepustakawanan di Indonesia.

Paijo berkesimpulan. Diperlukan lebih banyak dosen (ilmu) perpustakaan, yang berani membuka dapurnya di muka umum. Agar dunia kepustakawan lebih terang benderang duduk masalahnya.

****

Sendirian, Paijo masih melanjutkan lamunannya. Masih tentang dongkrak mendongkrak. 

Paijo mikir. “Jangan-jangan nilaiku dulu juga dongkrakan, katrolan”. Oh tidak…

Seorang kawannya yang bekerja di bidang penjaminan mutu pendidikan pernah berkata. Waktu itu di sebuah kafe samping rumahnya mereka ngobrol. Intinya: malapraktiknya pendidik itu efeknya sangat panjang, lama. Bahkan efek itu bisa menimbulkan efek ikutan lainnya. Bahaya, dan berpengaruh pada perjalanan bangsa dan negara.

Apakah proses pendongkrakan ini, merupakan malapraktik dalam pendidikan pustakawan?

Jika iya, maka jelas sudah. Silang sekarut kepustakawanan Indonesia memang bermula dari pendidikan pustakawannya. Bermula dari, ah... sudahlah.

Entahlah.
---------------

[[ titik - selesai ]]


Sambisari, 
Selasa Wage pagi hari, 22 Jumadilawal, 
Wuku Pahang, 1952 tahun be.