Tampilkan postingan dengan label Maniso Mustar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maniso Mustar. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Mei 2019

GADGET DAN PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIA

Oleh: Maniso Mustar
Perpustakaan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada
ariemaniso1205@ugm.ac.id 

Opini ini dimuat oleh SKH Kedaulatan Rakyat, Kamis 2 Mei 2019 Halaman 11, yang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.

Mari sejenak kita amati hiruk pikuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sedang mewabah bak virus influensa di masyarakat. Virus ini begitu gawat,  dapat menyebabkan infeksi dan siap menyebar dengan mudah melalui udara yang kasat mata.

Perkembangan TIK dalam masyarakat tidak jauh berbeda dengan kondisi tersebut. Di mana hampir semua orang terdampak atas perkembangan TIK dengan mengikuti tren kekinian yang dikemas dalam benda berbentuk telepon pintar atau gadget. Gadget yang diidentikkan dengan perkembangan teknologi terkini benar-benar diburu, seolah menjadi bagian hidup dari masyarakat. Tak terkecuali anak-anak yang masih dalam ranah dunia pendidikan.

Benarkah gadget yang merupakan produk revolusi industri 4.0 harus diikuti oleh masyarakat? Tentu! Masyarakat tidak boleh lengah dan harus mengikuti perkembangan TIK bila tak mau ketinggalan informasi yang cepat  dalam segala aspek kehidupan. Revolusi ini menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang mengutamakan profesionalisme, kecepatan, ketepatan, keakuratan, entertainment dan smart device untuk menunjang pekerjaan, termasuk pendidikan. Perubahan ini merupakan kebutuhan manusia modern, di mana hampir semua aspek kehidupan ditunjang dengan perkembangan teknologi digital yang canggih.


Rujukan Utama

Tidak dipungkiri, ketenaran gawai sangat mendunia dengan segala kecanggihannya. Gawai seolah menjadi rujukan utama dalam pelaksanaan pendidikan. Mengapa gadget dibutuhkan dalam proses ini? Adalah fitur dan progam yang aplikatif dengan pendidikan menjadi rujukan utama atas penggunaan TIK untuk mendukung berbagai aktifitas pendidikan berbasis profesionalisme, kecepatan, ketepatan bahkan smart device.

Proses pendidikan yang terbantu diantaranya adalah segi teknis menjadi praktis, aturan pendidikan, keilmuan yang terbuka, akses mudah berupa search engine, serta ruang pendidikan yang tak tersekat ruang dan waktu. Semua ini merupakan dampak posistif gadget dalam dunia pendidikan termasuk di Indonesia. Keuntungan dan kemudahan lainpun dapat diberikan secara mudah oleh gawai yang saat ini digencarkan oleh pemerintah untuk membantu proses pendidikan. Gadget dan pendidikan adalah suatu relevansi revolusi industri 4.0 untuk mewujudkan kecaggihan pendidikan dan Indonesia yang cerdas di mata dunia. Membuka wacana baru kekuatan Indonesia bidang pendidikan adalah negara yang cerdas, pintar dan berwibawa yang bersinergi mengikuti perkembangan TIK yang menjadi trending topic dunia.

Melihat berbagai manfaat dan kegunaan gadget dalam berbagai aktifitas memang sangat menyenangkan. Efektifitas program pendidikan adalah wujud nyata keberhasilan pemerintah. Profesionalisme tenaga pendidik pun merupakan kebutuhan pokok dalam proses pendidikan. Kecepatan dan ketepatan sumber referensi adalah bukti otentik betapa terbukanya informasi dalam akses sumber bibliografi pendidikan. Dan semua itu dapat dilakukan dengan mudah dengan dukungan gadget dan perangkat lainnya.

Berbicara mengenai keterbukaan informasi yang terdapat dalam layanan gadget, penulis sangat bersyukur dan bangga dengan pemerintah yang telah mendukung proses pendidikan di Indonesia dengan mengikuti perkembangan teknologi dan revolusi industry 4.0. Pelaksanaan pendidikan terselenggara dengan begitu baik dan representatif yang hampir selaras dengan program pendidikan di dunia.

Tidak Dicederai

Mengingat begitu aplikatif dan mudahnya penggunaan gadget di masyarakat, termasuk anak-anak, penulis berharap program bagus di atas tidak dicederai dengan adanya kebebasan penggunaan gadget pada anak yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif karena tanpa batasan usia.

Kakhawatiran tersebut meliputi kebebasan bermain game, pengaksesan berita dan konten yang tidak pada tempatnya dan perilaku lain yang dapat mencederai moral anak dalam proses pendidikan. Keterbukaan informasi memang sangat mendukung proses belajar mengajar, namun apabila tidak diimbangi kebijakan dapat menjadi gejala awal rusaknya mental anak bangsa.

Untuk itu, mari kita kawal pendidikan di Indonesia yang mengikuti revolusi industry 4.0 namun juga kita ciptakan anak didik yang aman dari pengaruh gadget dan perkembangan teknologi. Gunakan perkembangan TIK untuk hal yang efektif dan tepat guna bagi masyarakat di Indonesia. Dirgahayu pendidikan Indonesia.

Selasa, 29 Januari 2019

Pustakawan Itu, Kayak Tempe

Oleh: Maniso Mustar
Perpustakaan Fakultas Kedokteran UGM
ariemaniso1205@ugm.ac.id

What? Pustakawan kayak tempe? Ouppsss,...... jangan emosi. Lagi-lagi ini hanya selorohan saya yang kebanyakan membaca sosmed mengenai mahalnya tempe. Sampai-sampai katanya tembus diharga Rp. 80 juta. Tempe lho,.... Ahhh....., itu kan trending topik di media sosial yang jauh dari implementasi tempe beneran.

Tempe itu, jangan disepelekan. Dia memiliki manfaat yang super banyak. Katanya sih makanan rakyat, tapi nggak juga sih. Fakta membuktikan tempe dikonsumsi oleh rakyat jelata sampai dengan Presiden sekalipun. Itu semua terjadi karena penampilan tempe yang biasa saja, tapi manfaatnya yang luar biasa. Begitu juga pustakawan yang syarat manfaat dalam keilmuan untuk membangun masyarakat.

Mari kita bahas bersama. Di tempat saya, tempe itu ada 3 macam, yaitu tempe mondhol, tempe mateng dan tempe semangit. Termasuk tempe macam apakah kita, mari kita simak:

1. Pustakawan fresh graduate itu bagaikan “tempe mondhol” 

Pustakawan yang baru lulus itu ibarat tempe yang belum jadi. Apakah enak? Enak banget, tergantung bagaimana memasaknya. Tempe mondhol akan menjadi sangat favorit bila dimasak mendoan (tempe tepung). Semua tergantung koki yang akan mengolahnya sesuai dengan cita rasa dan karsa. Bila sang koki memasaknya dengan penuh cinta pasti akan menghasilkan suguhan tempe yang luar biasa. Rasanya nikmat, pulen dan sangat nagih di mulut. Pustakawan baru pun demikian. Dia masih belum matang. Baru memiliki teori dan masih minim ilmu praktiknya. Tapi jangan salah, bila instansi dia mau membumbui dengan pengembangan ilmu tambahan, maka dia kan menjadi pustakawan muda yang tangguh luar biasa.

2. Pustakawan bagaikan “tempe mateng”

Bukan bermaksud merendahkan profresi pustakawan, yang kemudian saya ibaratkan seperti tempe.  Ini hanya sebuah perumpamaan karena tempe saya pandang memiliki manfaat dan kegunaan yang hampir tak terbatas. Tempe memiliki manfaat antara lain: sumber protein yang lebih kaya dibanding daging, sumber kalsium setara dengan susu sapi, satu-satunya sumber vitamin B12 dari nabati dan bahkan dapat berfungsi sebagai anti oksidan dalam tubuh manusia. Begitu luar biasa manfaatnya bukan? Dari segi kegunaan, tempe yang sudah mateng itu dapat dijadikan banyak sekali olahan. Dari tempe garit, tempe gimbal, oseng tempe, kripik, bacem, nuget dan masih banyak lagi yang kesemua itu enak sekali untuk dilahap. Begitu juga pustakawan kita. Pustakawan memiliki banyak sekali manfaat untuk masyarakat. Dan bahkan memiliki kegunaan yang merata bagi masyarakat di Indonesia. Dari rakyat jelata sampai Presiden pun membutuhkannya.

3. Pustakawan pensiun bagai “tempe semangit”

Di kampung saya, istilah tempe semangit merupakan persamaan dari kata mendekati busuk. Lho kok pustakawan pensiun dibusuk-buskin? Mohon maaf, sekali lagi ini hanya untuk perumpamaan. Jangan disepelekan juga tempe semangit. Resep nenek moyang yang diajaran turun temurun mengatakan bahwa tempe semangit itu merupakan bumbu penyedap yang super canggih. Selain masakan terasa lebih legit, tempe semangit juga bermanfaat untuk melemaskan syaraf-syaraf kaku bahan masakan sehingga masakan terasa lebih nikmat dan bertekstur lembut. Begitu juga pustakawan yang pensiun. Apakah mereka tidak bermanfaat? Salah. Mereka bisa menjadi bermanfaat dengan tetap mencintai ilmu kepustakawanan. Mereka bisa menjadi konsultan baik dalam instansi pemerintah, swasta maupun kemasyarakatan. Biarpun mereka pensiun tetapi masih tetap bisa berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Mungkin pandangan saya sangat sempit dan terkesan memaksa. Ini hanyalah ungkapan hati saya yang baru belajar dunia kepustakawanan, namun sangat mencintai makanan khas Indonesia yaitu tempe. Tempe yang sangat bermanfaat untuk kesehatan bangsa. Bahkan Prof. Dr. Yati Soenarto PhD, SpAK dari FK UGM pernah mendapatkan Award dokter anak terbaik se Asia karena meneliti manfaat bubur tempe untuk menanggulangi diare.

Besar harapan saya, semoga pustakawan Indonesia dapat meneladani filosofi tempe seperti yang saya gambarkan. Pustakawan yang multitasking, cerdas, dan berdedikasi yang bermanfaat untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Salam literasi.

Biografi Penulis:

Maniso Mustar, lahir di Kebumen, 12 Mei 1980. Pendidikan terakhir pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (2002). Saat ini bekerja sebagai Pustakawan di Perpustakaan Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Selain mengerjakan tugas kepustakawanan saat ini dipercaya untuk menjadi Seksi Hubungan Kerjasama kepada Masyarakat (HUMAS) dalam Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Pengurus Daerah Kabupaten Sleman DIY. Penghargaan terakhir yang diperolehnya adalah sebagai Pustakawan Berprestasi Terbaik II tahun 2018 Universitas Gadjah Mada. Informasi dan kontak pada: ariemaniso1205@ugm.ac.id, Nomor HP: 08122696246. Link: https://ugm.academia.edu/ManisoMustar, https://scholar.google.co.id/citations?user=nvNk8LgWG4gC&hl=id

Minggu, 27 Januari 2019

Pustakawan Ala Singkong

Oleh: Maniso Mustar
Pustakawan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ariemaniso1205@ugm.ac.id


Menggelitik bukan?  Iya, ini sangat menarik. Kenapa pustakawan disebut singkong? Ini adalah sebuah perumpamaan yang saya temukan dalam kehidupan saya sebagai pustakawan. Berawal dari pertemuan singkat saya dengan seorang alumni kampus yang saat ini bergelar dokter spesialis anak di Kota Lampung, saat beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti acara call for pappers dalam Semiloka Nasional Inovasi Perpustakaan (SNIPer) yang diselenggarakan Forum Pustakawan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) kota Lampung. Dalam acara tersebut tersimpul bahwa dalam memasuki perubahan iklim informasi era digital, pustakawan harus membuka mata hati untuk bersinergi dengan perubahan. Perpustakaan dan pustakawan harus dapat menakar ulang seberapa besar perannya dalam retrospeksi dan reposisi di era disrupsi teknologi.

Setelah seharian berkutat dengan acara tersebut, saya langsung menuju hotel tempat saya menginap yang kebetulan di depannya terdapat sebuah kedai kopi ala Lampung yang sangat menggoda untuk disinggahi. Selapas magrib telepon saya berdering dan ternyata seorang alumni dari tempat saya bekerja menghubungi saya untuk sekedar bersua. Saya janjikan untuk bertemu di kedai kopi yang berada tepat di depan kamar hotel tempat saya menginap yang memang sudah dari awal sangat menggelitik batin saya untuk berkunjung. Benar saja, dia mengajak bertemu di tempat tersebut dan membawa rasa bahagia dalam hati saya.

Pustakawan Singkong?

Dalam pertemuan tersebut diawali dengan munculnya seorang pelayan yang membawakan buku menu yang tebal dan tercetak sangat menarik. Dalam waktu yang singkat sahabat saya langsung memesan secangkir kopi dan sepiring singkong. Sayapun terheran-heran. Bagaimana bisa, seorang dokter spesialis anak kok hanya memesan sepiring singkong? Kenapa tidak makanan lain yang menyehatkan? Semua memang tergantung selera.

Obrolan dimulai. Saya langsung berseloroh, kok pesannya singkong, tidak makanan lain yang menyehatkan? Ini favorit saya, jawabnya. Sayapun bercerita mengenai profesi saya sebagai pustakawan dan menghubungkan dengan suasana setempat, yaitu singkong. Dok, hidup saya (pustakawan) yang hanya bermodalkan kuliah dan setiap hari melakukan rutinitas itu seperti singkong lho. Saya dituntut untuk bekerja di perpustakaan dengan keilmuan yang cetek  untuk melayani pemustaka dengan segala aturan baku. Pekerjaan hanya duduk, menunggu buku, menunggu ruangan yang sunyi senyap tanpa suara, meskipun terdapat banyak pengunjung. Leher saya seolah terasa kaku karena harus mengikuti aturan tersebut. Itulah diri saya (pustakawan) dengan keilmuan yang pas-pasan, yang tidak up to date. Inilah saya, pustakawan singkong.

Ilmu kepustakawanan yang sangat dasar dan belum mengikuti perkembangan zaman tidak akan menghasilkan pelayanan yang sempurna. Apalagi hanya bermodal ilmu yang didapatkan waktu kuliah. Ingat!!!! Ilmu perpustakaan terus berkembang dan berubah seiring dengan adanya perubahan iklim teknologi informasi. Maka, apabila pustakawan tidak mau merubah diri dan mengikuti perkembangan zaman, sudah otomatis pustakawan akan terdampak disrupsi teknologi. Pustakawan ibarat singkong rebus. Bagus dalam penampilan namun terasa hambar dan mencekik tenggorokan apabila dikonsumsi.

Pengembangan Identitas Pustakawan Layaknya Singkong Keju?

Dalam menyajikan makanan, seorang koki harus pandai dalam mengkombinasikan menu supaya terasa lebih nikmat untuk penggemarnya. Olahan singkongpun seperti itu, akan lebih menarik apabila dikombinasi dengan keju sebagai topping. Singkong akan terasa lebih sedap, gurih, nikmat dan menagih. Singkong inilah yang akan bernilai komersial tinggi. Tak hanya disajikan di rumah, tetapi bisa menembus pasaran papan atas seperti kafe dan restoran. Begitu juga pustakawan. Dalam perubahan iklim informasi era digital, bisa  dilihat secara gamblang tipe pustakawan itu. Singkong atau singkong keju?

Pustakawan harus bisa menjawab tantangan dalam perubahan agar tidak ditinggalkan oleh pemustaka. Apakah tantangan pustakawan di zaman now? Tak  dipungkiri perubahan iklim informasi era digital melanda semua kalangan dan adaptasi oleh masyarakat. Perubahan ini merupakan kebutuhan manusia modern, di mana hampir semua aspek kehidupan ditunjang dengan perkembangan teknologi digital yang canggih yang mengutamakan profesionalisme, kecepatan, ketepatan, entertiainment dan smart device. Semua menganulir perubahan ini sangat penting dan diikuti untuk menunjang kebutuhan mereka, terutama dalam dunia kerja. Perkembangan ICT seperti teknologi 4G LTE, perkembangan komunikasi super canggih dalam berbagai fitur, perkembangan operating system dan Big Data juga sangat berperan dalam perubahan dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Semua menjadi mudah, praktis, cepat, tepat dan porfesional.

Transformasi dan Disrupsi

Transformasi ini juga disambut berbagai industri, pemerintahan, lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Semua berusaha untuk menyesuaikan zaman supaya selaras dengan perubahan iklim informasi era digital yang menantang. Contoh, transformasi teknologi digital oleh industri besar sektor manufaktur, akan tetapi masih tidak sejalan dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja dan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terpangkas secara perlahan karena kurangnya kompetensi mereka akbibat disrupsi digital ( Kompas, Sabtu 24 November 2018 halaman 1 ).

Contoh lain adalah disrupsi teknologi pada perusahaan pengelola jalan tol. Lihatlah kisah mereka. Jalan favorit para pengendara yang ingin melintas dengan cepat dan tepat waktu, dulu dijaga oleh pegawai di setiap pintu sehingga membutuhkan SDM yang banyak untuk memperlancar arus kendaraan sistem cepat tanpa macet. Ribuan tenaga dibutuhkan dalam operasional setiap harinya. Tapi keadaan sekarang bagaimana? Mereka terdampak disrupsi teknologi tanpa ampun. Mereka yang berjumlah ribuan, tiba-tiba harus diberhentikan dan digantikan dengan mesin pembaca barcode. Benda kecil yang praktis untuk menjalakan oprasional sesuai harapan manajemen. Lalu mereka dikemanakan? Apakah mereka masih bekerja atau di PHK? Sungguh malang nasib mereka.

Apakah nasib pustakawan akan berujung sama seperti mereka? Bisa jadi iya. Apabila pustakawan masih pasif, tidak mau memperbaharui ilmu, maka lambat laun mereka akan tersingkir layaknya pekerja jalan tol. Betapa tragis dan memilukan apabila hal tersebut benar terjadi. Pustakawan dapat belajar dari hal tersebut. Bahwa kebutuhan manusia saat ini tertuju pada perubahan yang sangat besar. Dan di sinilah peran profesional pustakawan harus ditunjukkan.

Pustakawan harus up to date, menerima, memaknai dan menjalankan perubahan dengan sikap dan tindakan nyata melalui karya-karya dan inovasi bidang kepustakawaan. Pustakawan harus menyesuaikan perkembangan dan meningkatkan profesionalitas bidang teknologi, manajemen, relationship, membangun daya saing dengan menyajikan konten digital yang beragam. Pustakawan harus menjadi partner informasi generasi milenial melalui pelaksanaan tupoksi yang dijalankan secara optimal. Merekalah pustakawan singkong keju, pustakawan peka zaman yang sangat menggoda untuk dikunjungi oleh pemustaka. Salam literasi.


Biografi Penulis:

Maniso Mustar, lahir di Kebumen, 12 Mei 1980. Pendidikan terakhir memperoleh gelar Ahli Madya pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (2002). Saat ini bekerja sebagai Pustakawan di Perpustakaan Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Selain mengerjakan tugas kepustakawanan saat ini dipercaya untuk menjadi Seksi Hubungan Kerjasama kepada Masyarakat (HUMAS) dalam Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Pengurus Daerah Kabupaten Sleman DIY. Penghargaan terakhir yang diperolehnya adalah sebagai Pustakawan Berprestasi Terbaik II tahun 2018 Universitas Gadjah Mada. Informasi dan kontak pada: ariemaniso1205@ugm.ac.id, Nomor HP: 08122696246. Link: https://ugm.academia.edu/ManisoMustar , https://scholar.google.co.id/citations?user=nvNk8LgWG4gC&hl=id