Tampilkan postingan dengan label Yogi Hartono. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yogi Hartono. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Februari 2019

FANTASI DAN HEGEMONI MAKNA PERPUSTAKAAN


 





Artikel ini sedikit posmo, jadi harap memaklumi jika penulis mengupas sudut sempit kegalauan generasi Hyun Bin dan para army BTS ketika memaknai perpustakaan. Jangan pulak mengutuk, jika terkesan artikel ini menggeneralisir dengan serampangan, karena terkadang kita harus memulai mengupas dari sudut sempit subyektifitas.

 

Siapa tak kenal Jacques Lacan ? Pemikir posmo anak didik Sigmund Freud ! Lacan selalu memandang objek sebagai objek hasrat dan juga objek penyebab hasrat. Objek penyebab hasrat adalah apa yang dicari subjek hasrat saat menghasrati suatu objek hasrat. Objek hasrat adalah botol. Sebuah pemaknaan botol sebagai wadah air minum merupakan objek penyebab hasrat. Objek penyebab hasrat bukanlah objek dalam-dirinya-sendiri, melainkan objek untuk diri kita. Kehadiran objek inilah yang justru menjadikan botol sebagai objek hasrat hilang.

 

Contoh yang sangat menggelikan adalah botol minuman bersoda dalam Film The Gods Must Be Crazy. Botol yang kita mengerti sebagai wadah air minum pada kenyatannya bisa digunakan sebagai alat pemukul, alat musik tiup ataupun sebagai cetakan. Hingga pada akhirnya N!xau sebagai pemeran utama berkelana mencari ujung dunia untuk mengembalikan botol tersebut kepada Dewa.

 

Dalam konsep Lacanian, kesalah-mengertian (meconnaissance) berbeda dengan ketidaktahuan (ignorance). Di balik kesalah-mengertiannya, subjek tau pengetahuan macam apa yang disalah-mengerti.

 

Sebagai masyarakat modern, kita tentu saja melihat fenomena itu sebagai hal yang menggelikan. Namun pada saat itulah kita menyadari kehilangan familiaritas objek akibat makna kita sendiri dan menjadikan objek tersebut tak familiar bagi diri kita. Semuanya terjadi tiba-tiba seakan-akan objek mengguncang dan meninggalkanmu dengan mendisorientasi makna kebingungan dan ketidakpastian. Itulah yang dinamakan Keganjilan (Uncanny).

 

Sejatinya memang tidak ada pemaknaan tunggal dari sebuah objek. Objek-dalam-dirinya-sendiri memang selalu dimaknai oleh orang yang mengetahui objek. Pengetahuan yang dimengerti tentang objek ironisnya merupakan sebuah kesalah-mengertian. Kesalah-mengertian dari objek ini memang akan selalu terjadi setiap kita mengenali apapun termasuk diri kita sendiri. Dalam konsep Lacanian, kesalah-mengertian (meconnaissance) berbeda dengan ketidaktahuan (ignorance). Di balik kesalah-mengertiannya, subjek tau pengetahuan macam apa yang disalah-mengerti.

 

Begitulah Perpustakaan sebagai sebuah objek Lacanian tidak hanya dipandang sebagai sebuah uang atau tempat itu sendiri (das-ding-an-sich). Perpustakaan (kemudian) secara (awam) dimaknai sebagai tempat atau locus yang mengelola buku (pustaka). Ya sesederhana itu, karena masyarakat umumnya mencerna dengan hal yang sederhana, yang tertancap di bathok kepala mereka. Perpustakaan mendapatkan maknanya juga melalui statistik sebagai tempat belajar atau orang yang menelusur informasi. Mengelola dan meminjam telusurkan buku. Pengertian apapun terhadap pustakawan diluar definisinya hanya membuat dia semakin disalah-mengerti.

 

Sejarah, data dan statistik justru menyandera subjek untuk mengaburkan pandangannya tentang pustakawan. Subjek tersandera dan terfiksasi terhadap suatu objek dalam fungsi istimewa. Data analisis justru membuat masyarakat kebanyakan terjebak pada fantasi kita tentang peran pustakawan. Fantasi meyakinkan masyarakat, bahwa pustakawan akan bisa mengelola buku dengan mudah.

 

Ini menarik, ketika kemudian perpustakaan mulai digugat eksistensinya. Atau ada yang nyinyir kenapa harus ada perpustakaan ? Atau yang lebih moderat, ketika kemudian perpustakaan dicangkok bidang lain untuk peran yang berbeda, itu justru hanya akan menambah momen keganjilan semakin terlihat. Benarkah ? Apa jadinya jika perpustakaan koleksinya gitar dan alat alat pertukangan. Apa mungkin sebuah perusahaan akan mencangkok “dasar pengelolaan administrastif” terinspirasi sebuah perpustakaan ? Atau ada yang menakut nakutin, perpustakaan ntar jadi Librarysaurus loh ! Yakin perpustakaan bisa berkelindan, menggeliat dengan seksi keluar dari khittah nya ?

 

“Ngomongin Perpustakaan itu ya ngomongin seekor harimau sang raja hutan ! Bukan seekor macan kumbang, jaguar atau cheetah, karena mereka adalah kaum Muggle, (Muggle merujuk kaum campuran kaun penyihir dan manusia pada film Harry Potter, ras yang tidak murni)”, kata Ambar temanku pustakawan BSN.

 

Pada saat itulah sebuah fantasi bermain. Sejarah, data dan statistik justru menyandera subjek untuk mengaburkan pandangan masyarakat tentang makna sebuah perpustakan. Subjek tersandera dan terfiksasi terhadap suatu objek dalam fungsi istimewa. Data analisis justru membuat kita terjebak pada fantasi kita tentang perpustakaan. Fantasi meyakinkan kita bahwa perpustakaan ya fungsinya seperti itu, titik bukan koma. Fantasi yang membuat topeng untuk pustakawan agar dimengerti.

 

Alih-alih fantasi kemudian membuat masyarakat senang atau tidak; terhadap makna “perpustakaan”. Justru fantasi tersebut akan membuat awam makin galau terhadapnya. Topeng yang selama ini disematkan terhadap makna perpustakaan ternyata sepenuhnya tidak muat. Menampakkan sebuah wajah yang lain yang sama sekali asing dari topeng yang dibuat.

 Toh...perpustakaan di era kekinian perlu topeng juga, karena ada "kue nikmat" berkulit literasi. Apalagi jika tujuannya untuk menyerap anggaran !

Yuk berfantasi !

 

Jumat, 01 Februari 2019

Ketika Pustakawan Jatuh Cinta






Kata orang, cinta susah untuk didefinisikan. Kata kata tak akan sanggup mengartikulasikan apa itu cinta. Karena cinta haruslah dirasakan, gak bisa dipikirkan! Hapsari adalah pustakawan PNS yang alumni Jip Unpad, sementara Paijo Mangkuprawanlimo  adalah pengusaha cilok yang sukses. Mereka  sudah menjalin hubungan serius selama 5 tahun dan siap menikah. Namun hari itu ada momen krusial perjalanan cinta mereka ketika Mas Paijo keceplosan berkata ke Hapsari.

Hari sudah larut malam ketika Hapsari tidak bisa tidur memikirkan pernyataan Mas Paijo. Hatinya berkecamuk membuncah. Dia gulana menahan kata yang dipendamnya. Hapsari memang tidak menjawab pertanyaan Mas Paijo tadi siang. Saat itu dia lebih banyak terisak bisu.  Satu sisi, Hapsari sangat mencintai Paijo kekasih hatinya yang mengisi rindunya selama 5 tahun terakhir. Tapi pertanyaan Mas Paijo sungguh menohok hatinya. Ataukan dia yang sedang baper ? Begini kata Paijo:


"Kenapa betah menjadi Pustakawan? Bukankah diluar sana banyak profesi lain yang menjanjikan? Kamu kan bisa jadi sekretaris atau dosen, sayangku !!" bisik Mas Paijo.
Hapsari tau persis. Ada nalar yang tak  tersampaikan, dan logika yang tergadaikan bagi sebagaian orang ketika memilih profesi ini. Satu sisi jelas profesi ini tidaklah segempita dan semeriah profesi lain dalam memberikan timbalan materi. Tapi semua menjadi kebahagiaan ketika kita bisa berbagi, bermanfaat bagi orang lain. Pustakawan bukanlah malaikat yang diturunkan dari surga, mereka juga manusia biasa yang punya dosa yang lapar dan dahaga, juga butuh materi untuk mengasapi dapurnya. 

Kenapa pustakawan banyak yang tak bisa pindah ke lain hati ? Apakah pustakawan cenderung masokis? Saya rasa itu pertanyaan wajar meski terlihat bodoh. Kenapa ada orang yang rela bersusah payah mendaki sebuah gunung, kalau kemudian harus turun lagi ? Kenapa pulak banyak orang yang tergila gila nonton 22 orang mengerubuti sebuah bola sambil teriak teriak goooll. 

Ya hidup adalah pilihan. Sama seperti si Neo yang harus memilih apakah akan tetap menjadi robot ataukah manusia dalam film Matrix. Atau si Seth yang kudu menjatuhkan pilihan apakah akan tetap menjadi malaikat dengan segala keabadiannya, ataukah menjadi manusia dengan segala kelemahannya.

Hapsari tak pernah salah mencintai profesi ini. Tapi dia butuh dukungan dari Mas Paijo untuk mendukungnya.


"Tak ada cinta dalam kata-kata yang dijajakan orang yang tak berupaya. Tak ada cinta dalam kabar duka yang dibuat untuk menjadikannya dewasa. Tak ada apa-apa, selain ingin menjadi sufi atau budha. Tragedi dihadirkan Shakespeare bukan untuk diratapi dan ditangisi. Justru ia menginginkan katarsis dalam dengung ketidakpastian rasa. 
Hapsari jadi inget kata Kahlil Gibran diatas. Cinta memang harus diperjuangkan. Cinta kepada kekasih sekaligus profesi. Waktu menunjukkan pukul 12 malam ketika bantal Hapsari basah karena airmata. Dia tak kunjung lelap. 

----------------------------------

Keesokan harinya Hapsari memberanikan diri bersua dengan Mas Paijo di sebuah cafe. Mereka sudah janjian memadu rindu. Rintik hujan yang turun adalah barokah tambahan energi.. Jemarinya bergetar, ketika ia berbisik ke Mas Paijo:


Aku memang mencintaimu. Makanya tak mesti selalu kuikuti hukum semesta. Akan kuciptakan surga dari lempengan justifikasi logika absurd dunia dan isinya. Biarlah, toh kita punya masa depan sendiri. Dan kuusir, kutikam serta kubunuh kau, mimpi mimpi yang tak membuatku belajar terbang di dalam taman kepustakawanan yang telah kusediakan. Sebuah garden dengan rumah pohon dan tembok sebagai artefak. Prasasti yang akan menjadi risalah bahwa perjalananku menjadi pustakawan adalah bukan sebuah kesalahan yang tak akan kusesali bagaimanapun wujudnya “
Mas Paijo diam membeku. Pikirannya melayang entah kemana. Mencintai Hapsari tidak bisa parsial, harus mengintegrasikan Hapsari dan profesinya sebagai pustakawan. Titik. Paijo sebenarnya lulusan D3 perpustakaan UGM. Tapi dia trauma bekerja sebagai pustakawan sekolah, penghasilannya tidak lebih besar ketimbang usaha cilok. 


Mencintai Hapsari, ah itu pasti ! Pustakawan ??? Selalu ada yang dikorbankan. Aku harus berani membunuh ketidakpastian rasa dengan mencintai keduanya " pikirnya. 
Setengah jam mereka berhadapan membisu, akhirnya Mas Paijo mencium kening Hapsari. 




Note: tulisan ini dikembangkan dari kisah nyata seorang pustakawan.
Yogi Hartono

Selasa, 29 Januari 2019

Pustakawan Data



Saya sekedar berbagi di area sisilain kondisi pustakawan yang terbunuh oleh jaman. Tak bijak jika saya menggeneralisasikan terhempasnya pustakawan ini. Fenomena yang hanya terjadi di sebagian perpustakaan, khususnya yang berada di naungan sebuah perusahaan. Saya sudah diundang sebagai dosen tamu di Jip Universitas Yarsi, Vokasi UI, Jip UIN Jakarta dan terakhir di Jip Unpad Bandung, tentang transformasi perpustakaan dan pustakawan ini. Artinya, jika para akademi bicara transformasi hanya berdasarkan referensi dari luar negeri, saya sharing langsung dari praktik day to day di lapangan.

Senjakala itu datang....

Sebagai seorang mahasiswa ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia, suatu saat Polan berharap bisa mendapatkan pekerjaan di industri media. Untuk itu dia magang selama enam bulan di sebuah surat kabar besar dan sangat terkenal. Perusahaan media dengan sebuah departemen arsip nya yang besar dan megah. Puluhan pustakawan bergabung untuk mengelola database Kliping Pers. Mereka menambahkan metadata dengan menggunakan thesaurus yang sangat canggih dan sistem kata kunci, dan melakukan penelitian untuk jurnalis dan pelanggan eksternal mereka sendiri.

Polan pun berpikir bahwa saat itu, dia telah melakukan Job describsion kepustakawanan yang menakjubkan. Bayangkan, melakukan sebuah pekerjaan yang hebat dan heroik “mengatur informasi dunia”. Luarbiasa.
Setelah lulus kuliah, Polan mulai mendapatkan realita yang tidak seperti bayangannya. Perjalanan karir sebagai pustakawanpun menjadi terjal dan berliku; the long and winding road; mirip lagunya The Beatles. Lowongan kerja di perpustakaan media menjadi hampa, seiring mulai beralihnya media informasi dan equipmennya dari teknologi analog; berubah ke teknologi digital. Sebuah keniscayaan yang mengenaskan mengingat tidak ada pekerjaan baru dalam arsip pers pada saat itu. Beberapa koran khawatir penurunan pendapatan dan mulai mengurangi pekerjaan pustakawan media.
Tapi toh Polan tidak bisa menyumpah-serapahi sang waktu. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Demikian juga ketika teknologi digital mulai masuk menggantikan equipment analog, serta mengubah peran kerjanya. The show must go on. Membendung kemajuan teknologi dan ngotot untuk tidak berubah, merupakan pekerjaan yang sia sia. Ibarat menjaring matahari dengan telapak tangan.
Saat itu adalah masa transisi orang menggunakan media cetak yang beralih ke media elektronik dan digital. Senjakala era cetak ikut mempengarui dipangkasnya profesi pustakawan media. Berbanding-lurus karena eksistensi pustakawan swasta tergantung pada industri yang memayunginya. Pustakawanpun mulai di assesmen, siapa yang tidak qualified dan kompeten harus siap angkat koper. Siapa yang lambat dalam berubah, siap ketinggalan kereta. Semua harus meng upgrade skill dan keahliannya akan tersingkir.
Digitisasi bukan sekedar mengurangi pekerjaan manual; memakai equipmen analog dengan banyak sdm. Teknologi analog dianggap sebuah pemborosan; fitur yang pada teknologi digital bisa multiple dari hulu ke hilir, pada teknologi manual harus terpisah kurang terintegrasi. Dan frasa pemborosan adalah monster bagi investasi dan efisiensi perusahaan. Pada sistem digital; pekerjaan bisa ditingkatkan secara kualitas dengan cepat dan lebih akurat. Dan para bos menduga; -hal ini; aktifitas manual ini akan mengakibatkan bahwa tidak ada nilai tambah bagi para pustakawannya. 
Isyu barupun muncul seiring tema efisiensi perusahaan. Tak terkecuali perpustakaan dan pustakawanpun pun diaudit apakah unit yang boros atau masih bisa ditingkatkan valuenya. Dan pada titik tertentu; kuantitas pustakawan media pun terkena imbasnya. Mengibaratkan pustakawan layaknya pasien yang akan disuntik euthanasia, dimatikan jika tidak berubah peran.
Beberapa perusahaan pers merilis informasi:
 “Kami tidak akan mempekerjakan Pustakawan dalam waktu dekat”
Departemen arsip pers terus menyusut dari tahun ke tahun. Pustakawan yang bekerja dalam lingkungan arsip pers – dan yang dulu merupakan pemangku kepentingan utama, – telah kehilangan pengaruhnya.
Kita kebanyakan berbicara dengan manajemen, marketing, editor dan IT. Pustakawannya mana? Kebanyakan pustakawan tidak terlihat, dan hampir dipecat karena pemotongan anggaran”, itulah kondisi pustakawan media cetak saat itu.
Senjakala “Pustakawan” begitu menghantui dimasa transisi ini. Pustakawan (media) mati muda dan siap digantikan si jabang bayi para pengelola aset digital (Digital Asset Manajer). Jabang bayi hasil dari reinkarnasi pustakawan.

DAM, Dari Pengelola Koleksi ke Pengelolaan Aset Digital



Maks munculah spesies baru bernama DAM Atau Digital Asset Manager yang merupakan transformasi dari profesi pustakawan. Perubahan besar di arena pengguna yang cenderung beralih dari analog ke rezim medsos dan digital, membuat manajemen  merubah strategi, dari fokus pengelolaan asset terintegrasi.
Pengelolaan asset beda dengan pengelolaan koleksi. Pada pengelolaan asset, profesional mengelola material berharga yang mempunyai value added yang bisa dikapitalisasi korporat. Berbeda dengan pegelolaan koleksi pada perpustakaan konvesional, Digital Asset Manager  masuk ke jantung proses bisnis dan terlibat langsung meggerakkan opersional bigdata day to day perusahaan. Sebuah paradoksal, eksistensi perpustakaan di perusahaan yang tadinya terpinggirkan, sekarang justru naik kelas menjadi koki penyaji orkestra pengelolaan aset digital perusahaan yang sangat penting. Perubahan ini menjadikan peran si “pustakawan” menjadi diperhitungkan kembali sebagai manager data dan asset perusahaan. Sayangnya istilah pustakawan kemudian berubah sebagai Digital Aset Manager. Untuk lebih memahami DAM/MAM terlampir adalah link DAM/MAM yang saya tulis: transformasi perpustakaan 
Dalam banyak kasus, banyak profesional informasi yang meniru membuat rancangan search engine dan penyimpanan big data ala “google”. Mereka merancang sebuah sistem DAM (Digital Asset Management) untuk mengelola asset bisnis mereka. Tagline google menawarkan ketersediaan berjuta informasi. DAM bukan sekedar itu, dia menawarkan informasi yang dibutuhkan dan sesuai untuk user. DAM berusaha membantu memenuhi kehausan informasi aset pemakai melalui mekanisme fitur pencarian data yang cepat; tepat dan akurat. Metadata yang kompleks yang diadopsi DAM akan menghasilkan pencarian data yang cepat dan sesuai.
Tapi permasalahnya, layanan tersebut tidak bisa langsung diakses seperti halnya proses pencarian informasi di gogle. Semua orang ingin pelayanan langsung tanpa sekat termasuk di perusahaan. Mereka menafikkan fungsi ”pustakawannya” sebagai gate atau jembatan. Saat itulah mulai diperkuat fungsi “pustakawan”, bukan sekedar “penyimpan dan penjaga koleksi” atau juga sebagai analis; assesment data informasi asset sebelum megarsipkannya. Sebuah peran baru dengan baju Digital Asset Manager.
Di era digital profesi pustakawan kembali menjulang. Profesi Digital Asset Manager sejajar dengan posisi spesialis lain di bidang teknologi informasi. Betapa pentingnya DAM untuk perusahaan; Seth Godin pakar teknologi Informasi bersabda:
“Untuk Pustakawan dan Digital Asset Manager; era digital, inilah kesempatan seumur hidup,”
Alat digital baru – mesin telusur, lansiran otomatis, kategorisasi otomatis, visualisasi – dapat dipelajari dan kemudian digunakan oleh arsiparis dan pustakawan untuk memperbaiki layanan mereka dengan lebih baik. Para pustakawan dan pekerja informasi tidak lagi diam dibelakan rak buku. Mereka harus proaktif menguasai teknologi informasi. Mereka harus bisa membuat halaman topik, mengirimkan berkas digital, memiliki dan menggunakan intranet dan wikis sebagai alat komunikasi. Pustkawan harus akrab dengan istilah baru digital (tag geo, sharing sosial, pengelolaan hak, pengarsipan video). Pustakawan juga harus punya value tambahan di bidang IT; mampu melacak dan memvisualisasikan metrik. Mampu mengoptimalkan search engine dan metadata untuk self-service.
Di era kekinian; "pustakawan" dan  profesional informasi akan mulai  mendapatkan penghargaan yang pantas. Pustakawan media menemukan eksistensinya kembali yang sempat meredup. Senjakala pustakawan media yang pada awalnya menciptakan kondisi suntik mati  atau euthanasia pustakawannya, akhirnya berakhir. Sang pustakawan tidak disuntik mati, tapi dirubah perannya sebagai pengelola pengelola asset . Mereka adalah pengelola asset atau Digital Asset Manager.
Ada saran menarik dari seorang konsultan Teknologi Informasi, dari US,Seth Diamon:
"Buat mereka mengerti apa yang Anda lakukan dan mengapa itu penting. Buat ketergantungan mereka pada kalian” kata Diamond berapi api.

Dibawah adalah contoh aktifitas penelusuran Informasi oleh Journalis melalui media central. Di Media Central yang terdiri dari 300 an PC ini para journalis melakukan riset dan penelusuran data pada server DAM atau MAM (Media Asset Manager) secara online.
cscnnindonesia800a
Tabik
yogi hartono - digital asset manager, cnn 

Minggu, 27 Januari 2019

Empat Spesies Pustakawan Indonesia

Tulisan ini sekedar intermezo, bukan olok olok atau sindiran kepada siapapun, karena hanya fiktif bukan yang sebenarnya, sekedar imajinasi liar yang tak perlu dimasukkan ke hati para pustakawan di Indonesia.
Ceritanya begini mas broh....Kita semua punya ekspektasi tentang gambaran yang konsisten dari suatu profesi.  Dari sisi kita sendiri (pustakawan), kita juga diam-diam mengharapkan yang sama terjadi pada profesi ini. Yang namanya pustakawan ya seperti itu, harus begitu dan begini… bla bla bla…. Entah itu memang diniatkan atau sebagai jawaban dari ekspektasi tadi.
Nah permasalahannya, terkadang alam bawah sadarlah yang mengendalikan kesadaran kita. Kejadiannya seperti ketika kita sedang tiduran di kamar yang gelap, tiba tiba ada yang membuka pintu sekejap; buka - tutup dan pada berkas cahaya yang masuk selintas -gelap - terang - gelap terang. Nah kesadaran kitapun jadi terkoyak. 
" Loh kok gue liat monyet yang lagi menulis " 
atau 
" Waduh itu kuntilanak kok bisa nyanyi yak "
Ada saatnya kita  teraliniansi dengan kesadaran kita. Dus demikian juga terhadap persepsi profesi Pustakawan ini.
" Makhluk apa sih Pustakawan itu ? "
Saya bukanlah agen Edward Snowden yang membocorkan dokumen rahasia CIA. Saya cuma pekerja Informasi biasa, penggemar berat Jeremy Lin, pebasket Houston Rocket yang awalnya biasa biasa saja karirnya tapi kemudian membuat fenomena Linsanity. Saya hanya ingin refreshing, mengajak berfantasi merekonstruksi 4 kategori mainstream spesies pustakawan di negeri ini. Karena sifatnya Fantasi, mohon jangan menanggapi dengan serius karena ini cuma fiktif tidak nyata. No heart feeling ya.

1.HANAKO THE RING 

film-rings_20170207_161529
Hanako Goblin (Hanako adalah tokoh di film The Rings), Mungkin penganalogian yang kelewat lebay binti alay, tapi dalam filem, Karakter Hanako adalah sosok yang misterius dan introvert yang senang dengan keremang remangan. Memiliki sense of catalog yang tinggi, hingga betah bekerja siang malam bikin katalog manual kartu.
Jarang bertemu langsung dengan pengguna, introvert dan tertutup, lebih suka bekerja di pojok ruangan remang remang. Sangat menyukai pekerjaan yang detil dan repetitif berulang ulang. Bagi ketegori pustakawan ini, rutinitas adalah bentuk kreatifitas yang harus dijalani. Jarang pernah tersenyum, tidak suka berdandan hingga bagi sebagian orang terkesan “sangar” rambut terurai mirip vokalis grup band Nirvana, Kurt Cobain..
.....ditambah lagi predikat judes-man dan judes-wati. Kalau sedang beraksi didepan pengguna yang lagi ramai hanya satu kata yang keluar dari mulutnya:
” Sssssss..tttttt ” 
sambil mata melotot bibir ditekuk gaya Hanako yang keluar dari layar TV dalam film The Rings, dia tak segan2 melempar kapur pada mahasiswa yang berisik atau pacaran di perpustakaan. Pustakawan ini sangat sensitif dan resisten terhadap perubahan, rela ditelan jaman karena menurutnya tak ada lagi yang perlu dirubah, justru perubahan itu sendiri yang harus dirubah menjadi statis…..Nah pustakawan Hanako ini aktif berorganisasi dalam IPHI, Ikatan PustakawanHanako Indonesia.
2. UPIN DAN IPIN.
images (1)
Upin dan Ipin merupakan karakter yang merepresentasikan keingintahuan dan keantusiasan terhadap hal hal baru. Upin dan Ipin merupakan metafora anak anak muda pustakawan yang kehilangan induknya. Pustakawan Upin dan Ipin adalah para pustakawan muda yang sedang bingung kalau tidak linglung, galau karena belum menemukan jatidirinya: 
“who i am?”
Para pustakawan yang nanggung dalam bergaul, meski harus diakui pustakawan kategori ini sebenernya berpotensi, semangat,loyal, jujur, polos dan apa adanya. Pustakawan Upin Ipin semangat juangnya meledak ledak bak mercon tjap gajah, meski emosinya masih belum stabil dan terkadang sangat idealis. Emosinya kerap meledak jika diledek tempat kerja si Upin Ipin dianggap sebagai tempat pembuangan karyawan, dan si Upin bisa mengajak para koleganya Bolang, Unyil, Usrok, bahkan Maria Mercedez dan Dewi Persik dll untuk berdemo ramai ramai menegakkan kebenaran (menurutnya).

3. CUCAKROWO

dark_knight_joker_1dftxzcjq
Membayangkan The Cucakrowo adalah karakter opurtunis yang jago berbisnis. Karakter pustakawan seperti ini mungkin merepresentasikan judul lagu rada “mbeling”: CUCAKROWO yang sempat dingetrenkan oleh Didik Kempot…Gaya cucakrowo klop banget dengan toekang perpustakaan senior yang “user oriented”. Malah saking user orientid nya, maksudnya gemar mencari “user” untuk dijadikan target..man….proyek ini, gasak ini itu, sikat ini, hajar itu.
Filem yang tepat menggambarkan sosok ini adalah the Joker. Karakter The Joker sangat doyan mengikuti seminar terutama yang SPPJ nya lumayan dan hobby menginap dihotel dengan minta kuitansi kosong sambil jalan jalan.
Doski memiliki “sense of belonging “ yang tinggi..terutama kalau melihat proyek kepustakawanan yang rada “klimis”. Dengan kacamata agak diturunkan ke hidung, sementara mata mengerjap melirik keatas sang cucakrowo sering bernyayi setiap selesai berkepustakawanan:  

Kucoba coba melempar manggis. 
- Manggis kulempar mangga kudapat. 
- Kucoba coba melamar gadis. 
- Gadis kulamar janda kudapat. 
- Manuke manuke cucak rowo.
- Pustakawan kuwi dowo buntute.
- Buntute sing akeh wulune.
- Yen digoyang ser-ser aduh enake☆☆☆

5. SUPARMAN ALIAS SUPERMAN

super
Karakter Superman dalam imajinasi pustakawan mewakili generasi Hero SUPERLIB…. Muda, Ganteng mirip tiang listrik, smart, keren…lincah dengan daya tanggap yang fleksibel terhadap perkembangan jaman. Superman hadir melewati dua generasi, generasi x dan y, terbang meluruh ke generasi flux, generasi digital. Ide idenya menjulang diantara gedung tinggi cita citanya merayap diantara sepuluh jari (pinter mencet keyboard katanya ). Dia menguasai beragam software kepustakawanan; dari yang namanya SLIM, Odetic, ISIS, Avids jago juga bermain game PUBG, Pokemon Go, dll.
Visinya melangit membelah 7 samudra serta menembus tembok China. The Superbib jadi harapan seluruh negeri dengan kekuatan supernya untuk memperbaiki citra pustakawan yang terpuruk…..kehadiranya dirindu seluruh planet of the ape, sosoknya bisa memberikan warna dunia kangouw persilatan kepustakawanan yang penuh intrik meski terkadang sangat membosankan karena isinya keluhan melulu……..
Ya sebuah paradoks, kehadiran superlib juga dicaci bahkan dibanting . Walau sempat patah arang, karena tsunami kepustakawanan yang menghanyutkannya, namun kepustakawanan sejati membangunkannya kembali. Superlib merupakan sosok pustakawan Indonesia…yang tidak kederman..!! Tak pernah mengeluh terhadap benefit yang diterimanya karena ia tahu kesejahteraan akan datang sendiri jika superlib profesional terhadap kerjanya.
Superman, Hanako, Upin Ipin dan The Cucakrowo adalah fiktif bukan manusia, keempatnya adalah bagian dari Fantasi Kepustakaan Indonesia, tidak nyata, …………
Tapi persamaannya mungkin tokoh tokoh tersebut layaknya The Real Kepustakawanan Indonesia yang perlu dimanusiakan……
Tabik

Yogi Hartono, ketua forum pengelola perpustakaan & arsip media 
Note: tulisan saya kembangkan dari tulisan saya di https://sisilainpustakawan.wordpress.com/2013/12/31/karakteristik-pustakawan-indonesia-sebuah-imajiner-profil-pustakawan/

Sabtu, 26 Januari 2019

Pustakawan Yang Berbahaya

Anda mungkin bingung dengan pernyataan pustakawan adalah makhluk yang berbahaya. Tapi jika anda membaca artikel ini dengan latar belakang lagunya grup band Superman Is Dead (SID) anda akan menyetujuinya? Coba klik tautan video dibawah sambil membaca artikel ini. Judulnya Jika Kami Bersama. Begini liriknya: 


Jika kami bersama, Nyalakan tanda bahaya.  Jika kami berpesta Hening akan terpecah. AkuDia dan Mereka memang beda. Tak perlu berpura pura memang begini adanya. Dan jika kami bersama nyalakan tanda bahaya. Musik akan menghentak, anda akan tersentak. Dan kami tahu anda bosan dijejali rasa yang sama. Kami adalah kamu, muda beda dan berbahaya 




Agaknya lirik lagu tersebut cocok untuk menginspirasi pemberontakan terhadap stereotip negatif Pustakawan di negeri ini: Lamban dan nguplek, wanita paruhbaya, kacamata, berkutat dengan buku, tertutup gak gaul, suka ngeluh gaji kecil, pasrah dan keterpaksaan. dll
Agar kita tak perlu menunggu turunnya ratu adil atau mbah Tarno yg memimpin pemberontakan terhadap stereotip pustakawan di Indonesia, mari kita hancurkan semua stereotype negatif tentang Pustakawan di Indonesia.


  • PUSTAKAWAN GAJINYA (TIDAK) KECIL
Pustakawan gajinya kecil? itu pernyataan dulu mas bro. Tapi sayangnya pernyataan tersebut selalu direpackage dimasa kini, sehingga kemudian menjadi misleading bagi orang orang awan. Bahkan bagi staf Pengajar jurusan JIIP pun banyak yang masih meremehkan besaran gaji atau penghasilan seorang Pustakawan di era kekinian.


Sebuah stereotip bahwa peran pustakawan adalah para penjaga buku. Di era kekinian profesi kepustakawanan dan informasi banyak diminati oleh perusahaan besar sebagai pengelola data dan manajerial asset. Jadi jangan bayangkan lulusan sekolah perpustakaan hanya mengelola buku sja. Di era digital, mereka juga dipercaya mengelola Asset data digital Perusahaan. 

Apa saja assetnya? 


Ya tergantung perusahaannya, Jika korporatnya merupakan firma hukum, pustakawannya bertugas mengelola dan mengontrol dokumen hukum kepengacaraan dan kerap disebut Law Librarian. Jika perusahaannya bergerak dibidang mining dan oil, maka mereka bertugas mengontrol dokumen yang berhubungan dengan kontrak karya, perizinan tambang, minyak dll. Yang di statsiun televisi, lulusan sekolah perpustakaan banyak terserap sebagai pengelola asset digital nya. Biasanya diistilahkan dengan DAM (Digital Asset Management). Tentu saja itu tidak diperoleh dengan gratis. Butuh penambahan knowledge dan skill dari luar sekolah perpustakaan untuk meningkatkan kompetensi kita.
Ishadi SK, komisaris Trans Corp pernah berbicara di depan Asosiasi Pustakawan Media. Beliau mengemukaan ada 3 hal mendasar ketika profesional mencari karirnya.

Apa saja itu ?:  
1. Apakah Profesi cukup tersebut menantang untuk digeluti ?. 
2. Apakah suasana dan iklim kerja di Perusahaan tersebut kondusif dan memberikan peluang untuk pengembangan karir. 
3. Bagaimana dengan salary, penghasilan dan benefit yang diperolehnya?
Khusus untuk yang terakhir, Ishadi memberikan nasehat tentang penambahan nilai (added value) jika kita ingin menjadi pustakawan yang dihargai mahal. Seraya mengilustrasikan harga sebuah botol merek Aqua di kios kios pinggir jalan cuma 3000 perak; tapi sebuah botol Aqua yang sama jika ditampilkan di kafe2 Hotel Bintang 5, harganya bisa Rp 200 ribeng, bisa naik 70 kali lipat. Itu semua karena value kan? 

Banyak value2 positif yang bisa ditambahkan sebagai pustakawan; misal skill mengedit, skill membuat website, skill menulis buku dll. Jangan heran kalau sekarang banyak Pustakawan yang bergaji 2 digit. So jika ada pernyataan: pustakawan cuma sekedar profesi tempelan dan pelengkap; itu jaman dulu broh. Sekarang banyak perusahaan yang bergantung pada para pengelola asset digital untuk mengelaola harta karun koleksi perusahaannya. 


  • PUSTAKAWAN (BUKAN) HANYA PEREMPUAN PARUH BAYA BERKACAMATA
Para pria tak perlu malu berprofesi sebagai pustakawan. Pustakawan bukan masalah gender meski statistik menarik yang dilakukan di indonesia 1 dari 3 pustakawan adalah laki laki, sisanya perempuan. Di belahan dunia lain, seperti Amerika, kondisinya juga sama. Saking donimannya perempuan yang menjadi pustakawan di US, beberapa pria pustakawan disana mengusulkan istilah “guybrarian” khusus untuk istilah pustakawan laki laki. Mereka memandang  istilah Librarian dianggap terlalu feminin.



Bagaimana dengan Indonesia? Paradoks, justru istilah Pustakawan sepertinya terkesan maskulin, kelaki-lakian. Tapi ada joke tentang profesi Pustakawan di indonesia. Pustakawan merujuk pada profesi dengan status lajang atau single. Jika dia sudah menikah, istilahnya berubah menjadi pustakawin he he he


  • TAK SELAMANYA PUSTAKAWAN MENGELOLA BUKU
Harus diakui Perpustakaan identik dengan buku. Namanya juga perpustakaan, yang berasal dari kata pustaka: buku. Tapi jika fungsi perpustakaan hanya mengelola obyek bukunya, bukan konten informasi yang terkandung di dalamnya, apa bedanya perpustakaan dengan gudang buku ??? Seiring dengan perkembangan teknologi, perpustakaan tidak hanya mengelola buku, melainkan juga mengelola asset atau dokumen sebagai media informasi dalam bentuk: artefak file, pita magnetic, seluloid dll. Dan di era industry 4.0 Pustakawan hadir sebagai pengelola platform data asset digital.

Pustakawan kudu gemar membaca. Lumrah bin wajib jika pustakawan mencintai sebuah buku. Tapi bukan berarti kita tak boleh berselingkuh dengan sepia nya pustakawan; menikmati bermain kartu, papan seluncur, video games playsatation, futsal, bermain rubrik, menulis, mendengarkan musik, mengikuti komunitas off road; kelompok diskusi dan banyak lagi! 




Pustakawan suka membaca, tapi sebagian besar umur kita tidak harus dihabiskan dengan membaca buku teks, Pustakawan harus kreatif; menulis, membuat paket informasi; punya kemampuan editing gambar; capat membuat database, mampu memahami logika bahasa pemrogramman; membuat blog, dll


  • PUSTAKAWAN JUGA TERTARIK DENGAN TEKNOLOGI
Kita harus selalu meng update dan meng up grade perkembangan teknologi. Suka belajar tentang teknologi baru, menemukan dan mengoperasikan sumber daya yang paling mutakhir. Pustakawan tertarik dengan pengembangan web, dan coding. Suka melakukan aktifitas , baik secara offline maupun dalam ruang digital. Kita bisa meningkatkan value tentang arsitektur informasi, manajemen informasi, desain informasi, taksonomi, pendidikan, kepemimpinan, atau advokasi kecuali kalo kita benar benar memutuskan untuk menjadi pustakawan yang membeku dilindas deru kehidupan



  • MENJADI PUSTAKAWAN (BUKAN) KARENA TERPAKSA
Jangan merasa terpaksa menjadi pustakawan (saya lupa frasa tsb kalau diklasir dengan DDC nomernya berapa?). Banyak pustakawan yang terpenjara dengan pikiran negatif dirinya sendiri. Misal di sebuah grup facebook kerap terdengar keluhan para pustakawan; ya gimana mau berkreasi kalai gaji pustakawan  kecil?, gak bisa kaya, ya kurang keren, ya gak menantang, ya adem gak asyik, dan lain lain dan lain….Ayo potong lingkaran setan tak berujung tersebut. Kita buktikan melalui aktifitas, bahwa pustakawan itu profesi yang keren loh ! 



Bagaimana kalau pengandainya kita balik, agar menjadi sesuatu yang positif, Untuk itu kita tentukan dulu goalnya, tujuannya, bukan memakai kacamata kuda, misalnya, untuk menjadi pustakawan yang kaya, gimana caranya? Bergeraklah untuk meraih goal tersebut, jangan berkeluh kesah sepanjang usia merenungi nasib. Masih banyak ruang ruang kreatif yang bisa kita warnai dalam kepustakawan ini.


Superman Is Dead, ..but Pustakawan Isn”t Dead



Pustakawan Juga Manusia Yang Bisa Sembelit


Ngomongin pustakawan itu seperti sedang sembelit. Sulit lit lit. Dalam sebuah prakonvensi pustakawan yang diselenggarakan oleh Perpusnas, aku menginap di Hotel Mercury Jakarta. Aku oleh panitia prakonvensi harusnya tidur sekamar dengan Yuan (ISIPII). Note, biar gak misleding, Yuan Oktavian itu laki loh...dan beruntung si Yuan kemudian ngilang, so aku bisa sendiri dikamar menikmati film City Of Angel.

Dalam film City of Angel, Nicolas Cage memerankan malaikat pencabut nyawa yang jatuh cinta ke seorang dokter bernama Seth. Sementara Maggi sang manusia diperankan Meg Ryan. Dan cara bagi malaikat untuk menjadi berubah menjadi manusia adalah dengan  “jatuh” dari tempat yang tinggi. Didorong rasa cintanya kemudian Seth melakukannya. Ternyata hal tersebut berhasil dan membuat Seth menjadi manusia. Ia pun bisa menjalin cinta dengan Maggie. Namun Seth tidak pernah menyangka bahwa menjadi manusia artinya dia harus siap merasakan kehilangan dan patah hati. Menjadi manusia, adalah sebuah pilihan hidup, yang meskipun tidak abadi, tapi harus dijalaninya.

Bagaimana dengan pustakawan? 
Apakah menjadi pustakawan juga pilihan hidup?.


Kegalauan Menjadi Pustakawan 

Dalam prakonvensi yang berlangsung selama 3 hari tersebut, hadir semua dedengkot dunia kangauw pustakawan Indonesia yang membahas SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional bidang Perpustakaan). Sebuah momen yang sangat penting bagi dunia kepustakawanan Indonesia, karena disitulah akan ditentukan seperti apa standar kompetensi bidang perpustakaan?

Karena sifatnya menentukan kompetensi kerja para pustakawan, hadir semua stakeholder yg mewakili bidang kepustakawanan. Jujur saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan konten acaranya. Saya tak terlalu minat dengan tema tema besar "menarik gerbong kereta". Satu hal yg mengasyikan ya karena pada momen tersebut, saya banyak bergaul dengan para pustakawan dan akademisi sekolah perpustakaan dari berbagai daerah. Maklum, para pendekarnya sedang kumpul saat itu. Dari situ banyak cerita muncul terkait pengalaman berkepustakawanan.

Dalam obrolan di sela istitirahat prakonvensi, salah seorang temanku berceritra terjebak menjadi pustakawan karena sejak kuliah ketika ia sudah magang di perpustakaan. Itukah putusan eksistensialis sebagai Pustakawan? Apakah ia menyesal kini setelah dirinya terbelunggu dalam rutinitas tetek bengek kerja perpustakaan yang monoton?; Adakah ia menyesal melepaskan kesempatan mereguk cita-citanya serta mimpi mimpi anggun menjadi seorang Jenderal Besar misalnya atau Sekjen PBB mungkin ?.

Ada juga cerita seorang pustakawan yang sudah sepuh dan memutuskan untuk tak berharap lagi mengupas segala kegalauannya. Bahkan menyentuhnya dan meraba dan mengungkit makna eksistensi pustakawanpun enggan.

Kenapa?

“Karena aku telah matang dan tak ada yang tersisa untukku selain menjadi pustakawan. Menjadi Pustakawan adalah takdir Illahi yang tak perlu dipertanyakan”


“ Tidak, tidak, aku tak mau menjadi orang lain dalam deret aritmetika profesi yang bodoh macam itu" : serapahnya.


"Aku bisa saja menjadi guru, insinyur atau dokter sekalipun, tapi takdirku menjadi pustakawan titik, bukan koma" , beuh mantab nian si bapak mirip poltak.

Saat itu juga, aku berdiskusi dengan salah seorang dosen dan praktisi perpustakaan mengenai sesuatu yang ideal, menjadi pustakawan yang paripurna. Dalam perbincangan saat makan malam di Hotel Mercure tempat pertemuan pra konvensi, ia menceritakan padaku mengenai semuanya – pengalamannya menjadi seorang pustakawan yang paripurna, dari beliau sampai uzur usianya menjelang pensiun.

Dia berceritera dengan gagah berani menjadi pustakawan yang paripurna adalah menjadi pustakawan tiga dimensi. Bukan sekedar pustakawan yang disibukkan oleh kegiatan rutinitas kepustakawanan yang menjemukan, tapi juga pustakawan dengan dimensi sosial yang humanis.
Sulit. Sulit? Sulit, seperti sembelit ! Sulit menjadi pustakawan yang diidamkan. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan pandangan masing-masing.

“Aku tak mau terjebak dalam diskusi tentang ini,” ujarnya sambil menyantap ayam bakar yang warnanya begitu mengkilap.

Ya, aku pun tahu kau akan berkata demikian. Kau pun aku sama dalam memandang makna menjadi pustakawan. Kami kemudian mempunyai persamaan pada suatu titik; sama-sama tak ingin cepat bertekuk lutut menjadi pustakawan yang repetitif prosedural dan untuk mengabdi menjadi sahaya. Menjadi Pustakawan yang sering terlihat adalah akumulasi ketertundukan manusia yang kehilangan dimensi kemanusianya. Pustakawan yang hanya terjebak dalam kegiatan repetitif administratif pagi – sore – siang – malam.

Tapi aku tak ingin diadu dengan kata-kata yang tak bermakna. Buktikan dengan tindakanmu barulah semuanya jelas. Baru aku dapat menilaimu apakah memang pantas aku menilanya sebagai Pustakawan yang Paripurna. Sayangnya itu sulit sulit dan mustahil, hingga aku merasa seperti sembelit!

“Kupikir itu wajar saja. Kita adalah orang-orang yang percaya terhadap arti penting pencapaian sebuah mimpi. Mana mau kita dengan cepat menyandarkan diri dengan orang yang tak tepat dan lemah?”

Kubiarkan pikiranku mengelana entah kemana. Rasanya jauh dan begitu menyakitkan. Ada kesadaran yang tiba-tiba merasuk dan mesti kuungkapkan.

“Kita tak bisa mengharapkan menjadi pustakawan yang paripurna. Tak ada kebahagiaan sepenuhnya abadipun. Coba kau bayangkan. Apakah dengan memilih menjalani profesi ini kau siap melepaskan semua mimpi-mimpimu?"

"Iya, jika kau pada akhirnya menemukan kebahagiaan yang sempurna. Jika tidak? Atau kita telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju mimpi-mimpi kita yang sendiri".
Ia mendengarkanku dengan seksama. Begitu serius dan hanyut ke dalam kata-kata yang kuucapkan disela-sela bibirku.

“Iya, selalu ada yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.

Kesadaran mengenai kebahagiaan yang tak mungkin dicapai jelas membayangi. Manusia yang dapat berpikir, sungguh menakjubkan sekaligus menakutkan. Berpikir dan menyelami diri sendiri seolah bermain layaknya Tuhan. Berpikir mengantarkan pada pengetahuan baru yang begitu menakutkan untuk diselami. Ada kebenaran yang tersembunyi dan jarang terkuak dikehidupan sehari-hari, termasuk ketika menjadi pustakawan.

Dan kembali ke Film City of Angel, apakah harga sebuah pilihan hidup, termasuk ketika menjadi seorang pustakawan, apakah sepadan dengan pengorbanannya?

Entahlah, yang pasti pustakawan bukanlah malaikat yang sedang jatuh cinta. Dan seperti paradoks, karena disaat yang sama para pendekar kepustakawan indonesia sedang berkumpul menentukan kompetensi kerjanya, saya belum menemukan definisi yang pas tentang menjadi pustakawan. Yang pasti, setiap mendengar kata pustakawan, seperti layaknya slilit yang menempel di gigi ataukah perasaan sembelit...


by:
yogi hartono - ketua forum pengelola perpustakaan & arsip media 
sisilainpustakawan@wordpress.com