Banyak alasan seorang pustakawan tetap
bertahan di tempat kerjanya sejak 10 bahkan 20 tahun lamanya. Antara lain
mungkin karena mentok.
1. Mentok usia.
Yah… udah tua, mau ngelamar ke mana lagi?
Yang buka lowongan juga pastinya nyari yang masih muda lah! Kalau yang fresh
graduate kan minta gajinya gak selangit, beda sama yang sudah pengalaman.
2. Mentok ilmu.
Meski tahu sih, kalau yang namanya belajar
itu seumur hidup, pustakawan yang selalu dikelilingi buku belum tentu sempat
membaca. Perkembangan apa sih yang ada di dunia profesi perpustakaan? Nggak
tahu juga mau cari ke mana. Beruntunglah yang ikutan grup WAG profesi, bisa
update meski hanya sebagai silent reader.
3. Mentok pengalaman.
Ah, sudah bagus ini, setiap tahun saat
tanda tangan kontrak juga dipuji kok kalau perpustakaannya sekarang terlihat
bagus sejak dia yang pimpin. Buat apa nyari-nyari tempat lain, yang mungkin
disuruh set up perpustakaan dari awal, diminta ini-itu biar kekinian. Bisanya
segini doang udah cakep banget. Sesuai gaji lah!
4. Mentok jaringan.
Teman se-angkatan sudah kerja semua, pasti
sudah settle dengan gaji yang memadai. Mau nanya apa ada lowongan, ya kali jadi
junior temen sendiri, malu lah! (padahal asap dapur gak kenal malu kalau gak
ngebul).
5. Mentok karena sayang.
Nah, yang ini juara deh. Pengabdian,
loyalitas, mencintai profesi dan tempat kerja, menganggapnya sebagai rumah
kedua, betah di kantor bahkan suka pulang malam kerja lembur tanpa bayaran
overtime. Ini pustakawan langka, mesti dipertahankan.
Sayangnya, terlepas dari alasan-alasan
mentok di atas, banyak atasan yang tidak menghargai pustakawannya. Menganggap
sebagai penjaga buku, disuruh bikin kegiatan padahal nggak pernah ditengokin
sekali pun, disuruh buat laporan per minggu tapi kalau diajak rapat tetiba paling
sibuk se dunia, pas ada komplain dari pemakai langsung kena bombardir tanpa
ampun.
Ini curhat ya?
Bukan, hanya sharing, kalau dunia
perpustakaan itu tidak seindah tempat tidur bertabur bunga mawar. He-he.
Tipisnya batas antara suka dan duka jadikan sebagai penyemangat dalam bekerja dan berkarya."
Oleh: *Murniaty, S.Sos.
Ketika membuka laman Pustakawan Blogger, saya langsung merasa tergelitik untuk berkontribusi menyumbang pengalaman, pemikiran, curhatanku selama menjalani profesi pustakawan di blog yang penuh dengan tulisan kreatif para pustakawan muda di era digital natives ini. Meskipun saya termasuk kategori pustakawan digital immigrant (yang berusaha keras menjadi digital natives.. weisss!!), tapi kenekad-an akhirnya mengantarkanku menulis di sini. Jujur, awalnya gak PeDe banget, tapi saya ingin mengukir sejarah baru dalam hidupku... menjadi “Pustakawan Blogger” (serasa keren euy!!). Kupilih tema “Suka Duka Aktivitas Berkepustakawanan”. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk sharing pengalaman dengan pembaca....
Menjadi seorang PUSTAKAWAN? Jelas sedikit sekali orang yang melirik dan tertarik pada profesi ini karena dianggap tidak populer, tidak keren, dan terdengar sangat asing. Sangat berbeda jauh dengan profesi lain seperti dokter, dosen, peneliti, akuntan, arsitek, ataupun pengacara yang terdengar lebih populer dan familiar. Tetapi itu dulu, sekarang profesi pustakawan terus berkembang dan mulai dilirik oleh banyak orang karena memiliki masa depan yang sangat menggiurkan.
Credit: Pixabay
Ketika profesi pustakawan belum populer seperti sekarang ini, sejak tahun 1994 saya sudah menjadi Pustakawan di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kota Medan, tetapi baru menduduki Jabatan Fungsional Pustakawan pada tahun 2003. Hingga saat ini (2019) JFP saya adalah Pustakawan Madya.
Selama menjadi Pustakawan saya sudah bertugas di beberapa Bidang Kerja Perpustakaan, antara lain: 1. Pengadaan Koleksi; 2. Keanggotaan; 3. Layanan Referensi; 4. Layanan Rujukan dan Bantuan Pengguna; 5. Manajemen Koleksi; 6. Menjabat sebagai Kepala Bidang Manajemen Koleksi dan Perpustakaan Cabang; 7. Menjabat sebagai Kepala Bidang Dukungan Teknologi Informasi (jabatan terakhir saat ini). Rotasi tugas di berbagai bidang ini sangat saya syukuri karena hal tersebut memperkaya pengetahuan, pengalaman dan keterampilanku dalam bekerja.
Suka duka menjalani sebuah profesi, sudah pasti ada. Apalagi bagi saya yang sudah 25 tahun menggeluti profesi ini. Dari perpustakaan masih jaman konvensional, terautomasi, mulai booming penggunaan internet di perpustakaan, sampai pada jaman digital/milenial seperti sekarang ini, alhamdulillah semuanya dapat saya lewati dan jalani dengan baik. Kuncinya adalah belajar, belajar, dan terus belajar. Beruntung sekali saya sebagai pustakawan senior dapat mengikuti beberapa fase perkembangan perpustakaan sesuai dengan perkembangan jaman yang berbeda.
Dalam menjalani profesi pustakawan, banyak hal yang saya alami. Suka, duka, sedih, gembira, semua berbaur menjadi sebuah cerita hidup yang bermakna. Bagiku, suka dan duka itu adalah sebuah prestasi dalam hidupku. Menjadi pustakawan adalah sebuah komitmen hidup yang harus kujalani. Saya harus konsisten dengan pilihan karirku.
Beberapa hal yang membuat saya suka menjadi Pustakawan:
Berkesempatan menjadi Dosen Luar Biasa di Departemen Studi Perpustakaan dan Informasi Fakultas Ilmu Budaya USU dari tahun 1994-2012. Jadi, selama 18 tahun saya menjalani peran ganda sebagai Pustakawan sekaligus menjadi Dosen. Bukan waktu yang singkat khan Guys.... Nyatanya kedua profesi ini dapat kujalani dengan sangat harmonis, karena keduanya ibarat simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain. Bangga sekali rasanya bisa mengajarkan banyak hal tentang praktek perpustakaan dan kepustakawanan kepada mahasiswa berdasarkan pengalaman nyata dalam bekerja. Hal tersebut yang membedakanku dengan dosen lain yang bukan pustakawan. Ilmu yang diajarkan benar-benar yang sudah dipraktekkan dalam dunia kerja pustakawan. Plus dan minusnya sudah dianalisis, diuji dan dirasakan. Alhamdulillah, 18 tahun berperan sebagai Dosen, banyak ilmu yang sudah kubagikan kepada Mahasiswa. Jika ilmu itu mereka aplikasikan dalam dunia kerjanya, itulah amal jariahku nantinya. Satu kebanggaan ketika bertemu dengan mahasiswaku yang sudah berhasil menjadi pustakawan sukses, tetapi mereka tetap mengingat diriku sebagai Dosennya;
Up-date ilmu terus karena nilai lebih berprofesi sebagai pustakawan adalah setiap hari bisa membaca buku dengan gratis dan memanfaatkan internet dengan gratis di perpustakaan;
Memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mengikuti terus perkembangan Teknologi Informasi, khususnya TI di bidang perpustakaan dan mengaplikasikannya di pekerjaan. Hal ini mengkondisikan pustakawan menjadi sangat melek dengan teknologi baru dan tidak GapTek (Gagap Teknologi);
Memiliki banyak teman sejawat/kolega dari seluruh Indonesia melalui komunitas pustakawan, organisasi pustakawan, dan kegiatan/event perpustakaan dan kepustakawanan;
Dikenal oleh banyak orang melalui aktivitas kepustakawanan. Kuncinya adalah menjadi pustakawan yang ramah, humble, aktif, kreatif, dan inovatif;
Berpeluang mengukir prestasi di tingkat lokal dan nasional. Alhamdulillah beberapa prestasi terbaik sudah saya raih melalui ajang lomba kepustakawanan, baik di Tingkat Lokal USU, Tingkat Nasional dari Perpusnas RI, Tingkat Nasional dari KemenristekDikti, Tingkat CONSAL (walaupun cuma seleksi jadi Finalis mewakili Indonesia...), dll. Kejuaraan apa saja itu ? Gak usah disebut ya Guys, nanti kesannya menyombongkan diri;
Percaya diri menjadi penulis dan berani mem-publish karya dalam media cetak atau elektronik. Walaupun karya tulisku masih belum sehebat tulisan para pustakawan senior dan junior yang sudah banyak menulis buku, tetapi saya sudah cukup bangga bisa menulis dan sharing informasi melalui tulisan-tulisan ringanku yang dipublish di website repository.usu.ac.id, di beberapa buku antologi Kelas Menulis Pustakawan (KMP) dan juga diterbitkan di beberapa jurnal perpustakaan dan kepustakawanan di Indonesia;
Mendapat tambahan penghasilan dari aktivitas menjadi narasumber atau moderator di berbagai kegiatan Seminar, Diklat, Bimtek, dan sebagainya ataupun honor sebagai penulis.
Selain suka, duka pustakawan sudah pasti ada. Duka ini tentunya menjadi motivator untuk terus maju dan meningkatkan kompetensi agar lebih bersemangat lagi dalam bekerja dan berkarya. Duka yang kualami selama menjalani profesi pustakawan:
Tuntutan pekerjaan yang harus sejalan dengan perkembangan teknologi informasi kadang membuat terengah-engah karena sejatinya saya termasuk pustakawan di era digital immigrant (alhamdulillah masih dapat mengikuti);
Harus belajar tiada henti karena sejatinya pustakawan harus lebih pintar untuk dapat menjawab berbagai pertanyaan pemustaka serta mampu memenuhi kebutuhan informasi pemustaka di era milenial yang semakin canggih;
Pustakawan sulit mendapatkan bea-siswa dari pemerintah untuk dapat meningkatkan pendidikannya, sementara pemustaka yang dilayani di Perpustakaan Perguruan Tinggi memiliki tingkat pendidikan yang tinggi;
Regulasi tentang profesi pustakawan tidak mengikuti perkembangan jaman dan hal ini sangat merugikan pustakawan;
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap masa depan profesi pustakawan;
Peraturan Kemenristekdikti terkait profesi pustakawan sangat merugikan masa depan pustakawan di Perguruan Tinggi Negeri.
So, Guys..... Profesi pustakawan adalah profesi yang sangat mulia. Jika Anda sudah memilih profesi ini sebagai karir dalam hidupmu, maka jalani dengan ikhlas. Tipisnya batas antara suka dan duka jadikan sebagai penyemangat dalam bekerja dan berkarya.
Tips dari saya agar tetap menjalani profesi pustakawan dengan senang hati:
Cintai profesi pustakawan dengan sepenuh hati, dengan demikian Anda akan menyukai pekerjaan ini;
Bergaul dengan komunitas pustakawan di seluruh Indonesia atau lebih luas lagi, sehingga Anda tidak akan merasa sendiri;
Berinteraksi dan berjejaring dengan teman seprofesi melalui media sosial, sehingga Anda dapat mengikuti perkembangan profesi pustakawan;
Aktif, kreatif, dan inovatif agar di kenal oleh banyak orang;
Mengikuti banyak event perpustakaan dan kepustakawanan tingkat lokal, regional, nasional, atau bahkan internasional untuk menambah wawasan pengetahuan dan kolega, serta mengukir prestasi;
Menulis untuk mencerdaskan otak, mengekpresikan diri dan eksistensi diri
Para pembaca yang budiman, inilah sekedar pengalaman dan curhatan kisah kepustakawananku... sekedar ikut berkontribusi menyemarakkan gempuran rudal Pustakawan Blogger. So, Guys... mau menjadi seperti apa kisah kepustakawananmu, hanya dirimu yang dapat mengukirnya dan menuliskannya... So, jadilah pustakawan yang memberi banyak manfaat bagi orang lain.....
Dalam film Guardian of Galaxy (GOG), Peran si Manusia Pohon atau Groot kurang dieksplor. Kemunculannya sekedar dianggap cameo meskipun pada akhirnya doski berperan penting dalam menyelamatkan para Guardian. Groot pun mati setelah upaya heroiknya memeluk bom. Untuk menggantikan perang Groot senior yang mati, Dalam GOG II, Sutradara James Gunn menganggap Baby Groot disajikan dengan gaya yang lebih baik ketimbang film pertama. Pasalnya, ia mengakui bahwa di film pertama dirinya sempat beberapa kali tak menyadari kehadiran Groot selama syuting berjalan. Pasalnya, model Groot di lokasi syuting hanya berdiri, sementara saudara James, Sean Gunn, yang didapuk sebagai model Rocket, cukup aktif di depan kamera.
“Orang yang memainkan Groot bertindak sebagai stand in pada film sebelumnya jadi kami selalu lupa kalau dia ada di sana. Dia tidak banyak bicara, jadi kami melakukan semua adegan ini dan ketika kami membuat adegan di film ketika mereka beralih ke Groot, dan Groot seperti, ‘Mengapa kau melupakanku?’ Itulah yang kami rasakan saat kami sedang syuting film pertama,” sambung James Gunn.
“Tapi sekarang semuanya menyadari Groot dengan baik sehingga kami memiliki kesadaran yang jauh lebih besar, saya dan pemeran, Baby Groot ada di sana setiap saat. Dan dia menjadi salah satu anggota dalam adegannya… Saya pikir dia adalah karakter yang ditulis lebih baik daripada Groot pertama dalam beberapa hal. Bukan berarti dulunya ia ditulis dengan sangat buruk, tapi menurut saya dia hanya karakter yang lebih lengkap,” katanya.
Kalimat “I am Groot” yang kembali diucapkan oleh Baby Groot, membuat James Gunn terpikirkan untuk menciptakan nada suara berbeda di setiap makna yang disampaikan. Gunn lalu menciptakan naskah versi Groot untuk dirinya dan Vin Diesel, yang di dalamnya dituliskan makna dari setiap kalimat “I am Groot” dalam bahasa Inggris.
The Groot di Invinity War digambarkan sebagai karakter manusia pohon teenager, atau remaja yang sedang akil balik. Hobby beratnya adalah main gatget, terlihat seperti kecannduan game. Marvel merepresentasikan The Groot remaja sebagai wakil generasi now, yang addict terhadap gadget dan internet. Ibaratnya, penugasan kedalam situasi yg mahaberatpun cuek dilaluinya dengan bermain game dan gadget.
Sedikit sejarah, kenapa The Groot akhirnya terlibat dalam perang koalisi Avenger vs Thanos? The Groot sebenarnya muncul dalam Cluster Guardians of Galaxy, pimpinan Peter Quill. Di film Guardians of Galaxy I, peran the Groot sangat sugnifikan meski akhirnya mati. Di akhir film, The Groot melindungi Avenger dengan memeluk bom yg berakibat fatal. Tubuhnya hancur berkeping.
Di Film Guardians Galaxy II, karakter Groot dihidupkan kembali sebagai baby groot, anak dari bapak Groot yang diselamatkan oleh si Raccon. Disini Baby Groot muncul dengan karakter unik dan menghibur, lucu menggemaskan. Paradoks, di saat hero yang lain punya kekuatan super, Baby Groot hadir sebagai anak kecil imut yg cuma bisa joget tanpa kekuatan apapun. Disinilah kejelian Marvel. Banyak analis yang mencurigai, penampilan sosok Baby Groot sebagai bargaining bagi anak anak untuk semakin dekat dengan film ini…kampret.
Dan rumus tetap film ini adalah para penjaga galaksi harus berkontribusi nyata dalam setiap perannya. Baby Groot sebenarnya perannya besar, diakhir cerita berhasil menyelamatkan para Guardian, bukan dengan kekuatannya, tapi dengan ukurannya yang kecil dan imut. Dia dapat tugas menaruh bom, untuk menghancurkan musuh. Baby Groot remaja akhirnya dimuncul di Avenger Invinity War. Keterlibatannya adalah sebuah keniscayaan mengingat Nebula dan Zamora yg merupakan Guardian, adalah putri putri angkat Thanos. Ketika para Guardians berkoalisi dengan Avenger, peran Groot remaja sedikit tertutupi oleh kehebatan hero yang lain. Groot remaja juga punya capaian fantastis ketika dia menyelamatkan Thor di saat kritis mencari senjata untuk melawan Thanos. Groot yang culun mengorbankan lengan rantingnya sebagai gagang kampak meteor Thor yg kelak dipakai untuk menembus perut Thannos. Artinya peran Groot remaja yang sebenarnya penting, serasa disenyapkan dan ditiadakan.
Kenapa Karakter Pustakawan Mirip The Groot?
Bisa jadi saya akan dibully para pustakawan karena menggeneralisasi secara serampangan hal ini. Alur logikanya dimulai dari sini. Kerja pustakawan adalah kerja teamwork. Pustakawan bukanlah seniman atau salesman yang kinerjanya makjleb: bisa terlihat langsung dari hasil karya output kreasinya. Pustakawan lebih berperan sebagai pensupport, pendukung kinerja institusi penaungnya. Atau kalau di sektor swasta, pustakawan berperan dalam menunjang institusi bisnis korporat induknya.
Nah lo, tunggu dulu, bukankah peran pustakawan khususnya di era digital ini dibekali dengan proses meng-create produk, tidak sepasif mindset kepustakawanan jaman jadul ? Betul Mas Broh.
Pustakawan sekarang harus mampu menciptakan inisiatif kreasi yang mumpuni. Pustakawan harus punya capaian individu yang hebat. Misal, bisa mengoprek software SLIM menjadi FAT, dari kurus menjagi gemuk (valuenya he he joke). Atau bisa mengedit data broll video menjadi paket paket berita. Atau mampu menginput metadata sekerdipan mata. Banyak yang punya kemampuan tersebut. Tapi tetap secara kelembagaan, kemampuan tersebut pada akhirnya hanya merupan faktor penunjang institusi penaungnya. Karena toh produk produk kepustakawanan lebih kepada penguatan proses bisnis korporate nya. Pustakawan dan Perpustakawan hanya subsystem workflow dari rangkaian proses yang mengalir ke output. Dalam konteks tersebut; pustakawan hadir sebagai kekuatan teamwork, system unit yang sangat vital dalam rangkaian worklow bisnis proses. Matinya pustakawan, akan menyebabkan kemacetan, atau lumpuhnya bisnis proses.
Karakter pustakawan mirip dengan The Groot di Guardian Galaxy atau Avenger diatas. Ternyata sesuatu yang penting, tidak hanya ditentukan oleh faktor teknis an-sich nya tok. The Groot punya pencapaian individu mumpuni. Sebagai manusia pohon, dia sebenarnya mampu menjangkau musuh dengan akar dan cabang kuatnya, sehingga sering hadir di titik krusial sebagai pahlawan. Tipikal Hollywood bingit, Groot pun disimbolkan sebagai hope. Betapa tidak, dia hadir dalam teamwork, namun sayang perannya tertenggelamkan oleh pahlawan lainnya.
Apa kekurangan nya The Groot yang mirip Pustakawan? Dia kurang mampu mengkomunikasikan kemampuan dan kinerja kepada management dan masyarakat. Lonely hero, atau pahlawan yang kesepian. Kemampuannya yang menjulang tidak diiringi dengan presentasi ide yang bernas. Sepanjang filem Avenger Invinity War yang berduarasi 3 jam, dia cuma berucap 2 kata:
” I am Groot “
Kekurangan The Groot lain yang mirip dengan pustakawan adalah kurangnya percaya diri. Pustakawan sepertinya jago kandang, terlihat hebat ketika berada di dalam tempurungnya tapi melempem ketika berinteraksi dengan profesi lain. The Groot juga sama, terlihat pemalu dan minder dengan kemampuannya. Kurang percaya diri seolah kena kutukan bahwa profesi ini sulit sekali berubah.
Dan sialnya, terkadang, persepsi bisa mengalahkan realita. Menjadi manajer perpustakaan yang handal, kita harus mampu mempresentasikan Perpustakaan kita kepada manajemen dengan baik dan sempurna. Kita harus mampu meyakinkan stakeholder dan manajemen dengan bahasa yang bernas dan mudah dipahami, tentang pentingnya peran kita. Sehebat dan brilyan nya capaian personal kita sebagai pustakawan kalau kita tak mampu mengkomunikasikannya dengan apik dan efektif toh menjadi percuma. Orang orang tidak akan berubah mindsetnya hanya bermodal berteriak :
” Saya Pustakawan “ ke jajaran direksi atau atasan kit
Seperti satu satunya kalimat yang hanya diucapkan Groot:
” I am Grooot “
Saran Buat Sekolah Perpustakaan Agar Pustakawan Tak Seperti Groot !
Pada tengah Januari 2018 yang lalu saya diundang ikut rapat kurikulum Jurusan Vokasi Manajemen Dokumen dan Informasi UI oleh ketua jurusan Ibu Diah Safitri. Dalam rapat beliau meminta saran dari saya sebagai praktisi kira kira ada masukan yang harus dibenahi.
Saya tidak akan cerita detilnya. Tapi saya mengungkapkan jika diranah praktis bidang pusdokindo, perkembangannya sangatlah cepat dan dinamis. Revolusioner bukan evolusioner seperti di dunia akademis. Yang dulunya kita mengelola koleksi Buku, sekarang kita dipercaya untuk mengelola data dan asset data. Bukan sekedar bigdata tapi smartdata. Untuk itu perlu networking antara sekolah perpustakaann dengan asosiasi profesi spesialis. Saya sudah bekerja di Industri penyiaran selama 15 tahun, tapi sudah 3 platform berubah mengikuti perkembangan teknologi. Dari awalnya banyak berhubungan dengan peralatan mekanis elektronis (VTR dan Tape Library), berkembang ke Hybrid Elekronis Mekanis dan akhirnya Fully Digital Platform. Untuk melihat perubahan ini saya menulis beberapa artikel:
Yang kedua, organisasi berubah, ekosistem pusdokinfopun berubah. Yang menang kompetisi bukan yang pinter atau rajin membaca buku seperti jaman dulu, tapi mereka yang cepat beradaptasi dengan perubahan itu sendiri. Sekolah perpustakaann harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
Selama ini ada anggapan bahwa sekolah perpustakaan terlalu berkonsentrasi sebagai pemasok Pustakawan PNS. Beberapa sekolah perpustakaan mau fokus menyediakan sdm pustakawan di PNS, dibuktikan dengan ketakutan menanggalnya terminologi kepustakawanan agar lulusannya diterima sebagai PNS. Padahal asal tahu saja, data menunjukkan hanya 2% lulusan yang terserap jadi pegawai negeri, lainnya mau dikemain? Kita harus realistis dan faktanya ada tidak setiap tahun ada rekruitmen PNS. Sementara berbanding terbalik di era digital permintaan pasar kerja di sektor swasta melimpah ruah. Ada gap dan kesenjangan yang harus dipangkas.
Ada semacam ketakutan jika tidak menggunakan redaksional jurusan perpustakaan, alumninya gak bakalan diterima di rekruitmen pustakawan PNS yang kaku tersebut. Mereka terpenjara dengan frasa “perpustakaan” sebagai redaksional nama Jurusan atau program studi. Vokasi UI lumayan moderat berani menggunakan terminologi Dokumentasi & Informasi. Saranku, jurusan harus mengambil pilihan untuk lebih bermitra ke semua stakeholder yang lebih luas termasuk dengan perusahaan perusahaan. Buka mental block, step forward, networking dengan semua stakeholder.
Saran terakhir terkait perubahan mindset kurikulum. Di era distrupsi ini, mbok ya masukin unsur banyak sofskill seperti peresentasi, grafis editing, metadata, komunikasi organisasi, leadership, berpikir kritis, teknik kolaborasi, writing skill, hipnosis dll kedalam core kompetensi kita, karena itu sangat bermanfaat di lapangan. Untuk core juga merubah kurikulum tradisional ke digital.
Pustakawan bisa jadi 'juru kunci' ruang digital | Image: simplilearn.com
Hari ini, berbagai kanal komunikasi massa dibanjiri dengan
informasi politik, utamanya terkait isu dan dinamika seputar pemilihan umum. Obrolan di
media sosial membuat ruang politik digital begitu gempita. Hal ini semakin
membuktikan bahwa alam demokrasi yang pada awalnya kerap berjalan linier dari
para elite menuju khalayak biasa, kini bertransformasi menjadi pola interaktif
yang memungkinkan siapa saja bisa berpartisipasi secara intens di dalamnya
tanpa sekat, tanpa kasta dan tanpa status apapun.
Lalu dimana, bagaimana atau apakah pustakawan dapat terlibat atau
mengambil ‘kavling’ di ruang maya itu?
Pustakawan, anggaplah dia sebagai makhluk yang memiliki misi.
Apapun asalnya, pendidikannya, keberuntungan atau keterpurukannya. Saya tak
ingin beretorika yang biasa diungkapkan Kang Paijo atau lawannya yang menjadi digital asset manager tapi ‘kekeuh’
menyebut diri sebagai pustakawan. Pustakawan digital, katanya. Atau mengangkat
isu ketidakrelevanan IPK dengan skill
para mahasiswa perpustakaan tetapi ‘kekeuh’ pula mencantumkan IPK minimal
sebagai syarat ‘mempersunting’ pekerjaan. Apapun itu, saya yakin profesi ini
memang akan sedang terus berkembang mencari jati dirinya, baik secara keilmuan
maupun pratikalnya.
Kembali pada pustakawan, yang sejatinya terlahir dengan misi.
Kita coba menelisik ke sekitar tahun 285-246 SM, pada masa Perpustakaan
Alexandria, dikenal tokoh-tokoh pustakawan seperti Zenodotus yang bekerja merekonstruksi
puisi-puisi Homer; Callimachus menyusun Pinakes yang disebut-sebut sebagai
katalog perpustakaan pertama di dunia; hingga Aristhopanes, seorang pustakawan
yang juga ahli puisi. Pada intinya, apa yang mereka kerjakan bermuara pada
kepentingan para penggunanya, memudahkan pengguna dalam memahami dan/atau
memanfaatkan sesuatu.
Lalu kembali ke era sekarang, ruang-ruang digital kita memang
tengah diwarnai dengan informasi politik. Yang perlu dicermati, sesungguhnya
pustakawan sangat bisa mengimitasi laku para politisi di ruang politik digital
itu. Fenomena ruang politik digital ini setidaknya ditandai dengan empat
fenomena. Pertama, tren global
demokrasi partisipatoris. Politik kerelawanan semakin menguat, contohnya dalam
media sosial dimana masyarakat tak lagi sekedar konsumen informasi tetapi juga memproduksi
dan menyebar gagasan serta dukungan. Ini dapat dimanfaatkan oleh pustakawan dengan
melibatkan masyarakat untuk meng-create dan blowing-up isu-isu
kepustakawanan, literasi dan sebagainya dengan daya resonansi yang kuat.
Kedua,
komunikasi politik interaktif. Politikus yang memahami pentingnya interaksi dan
mampu mengadaptasi perubahan pola komunikasi inilah yang akan bertahan. Hal ini
dapat diadopsi oleh pustakawan saat menyebar isu via ruang digital.
Para
pustakawan harus menyadari bahwa gaya komunikasi di ruang digital tak lagi
cocok dengan controlling style yang
menempatkan kuasa begitu kuat pada komunikator. Gaya ini justru akan membuat gap, menjaga citra dan mengontrol umpan
balik dari para komunikan. Pustakawan pun harus menyadari, gaya terstruktur, rapi
dan keterukuran tak pula cocok di ruang digital karena akan membosankan.
Gaya yang relevan dan cocok serta masih mungkin disukai
adalah kesetaraan (equalitarian style)
yang menekankan kesetaraan posisi antara komunikator dan komunikan. Sandiaga
Uno dan Jokowi, misalnya, dengan gaya khasnya mereka bisa masuk di kalangan
milenal meskipun mereka bukan lagi dari golongan itu. Pustakawan dapat
mencontoh style mereka dalam
berinteraksi lewat ruang digital.
Ketiga, saat ini berbagai
konflik sering dimediasi dengan penggunaan informasi berbasis teknologi
komunikasi. Fenomena twit-war dan
petisi online misalnya, dimana satu isu besar diangkat ke depan pintu ruang
digital untuk dicarikan pendukung dan selanjutnya diarahkan sesuai tujuan dan
kepentingan.
Fenomena ini adalah contoh nyata dimana pustakawan juga punya
andil dengan isu-isu sensitif semacam tingkat literasi, razia buku, gaji
pustakawan, anggaran perpustakaan, pengiriman buku gratis, dan lainnya yang dapat dikomunikasikan
di ruang-ruang digital.
Keempat, transformasi
politik memberikan akses ke informasi yang sifatnya personal. Di ruang digital,
kita sangat mungkin langsung berada di pusaran informasi melalui interaksi yang
dibangun. Di ruang digital, seorang walikota, gubernur bahkan presiden sangat
mungkin berinteraksi langsung dengan warganya. Bahkan sering kita jumpa di lini
masa, seorang professor dan pakar beradu argumentasi dengan mereka yang bukan
ahlinya. Nah, pola interaksi seperti ini yang sangat bisa diadopsi oleh
pustakawan ketika ingin terjun di ruang-ruang digital untuk mengangkat berbagai
isu yang menjadi konsentrasi atau perhatiannya.
Sekarang, tinggal bagaimana pustakawan akan mengambil sikap. Hanya
ada dua pilihan; segera berinvestasi dengan mengambil ‘kavling’ terbaik di
ruang politik digital itu; atautetap menunggu modal yang tak kunjung kumpul
sementara muncul pengumuman, ‘senin harga naik’!