Tampilkan postingan dengan label Sirajuddin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sirajuddin. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Mei 2019

Masihkah kita Rahmatan Lil Alamin??



oleh:
Sirajuddin, S. PD. I., S. IPI., M. PD. 
(Pustakawan Iain Parepare)


Bulan Ramadhan sebagai penghulu dari segala bulan Sayyidussyuhur yang seyogyanya menjadi bulan terbaik untuk mengevaluasi dan mengintrospeksi diri sehingga kita termasuk orang-yang kembali fitrah setelah menjalani serangkaian ritual ibadah Ramadhan dan.....  "Rahmatan lil alamin" menjadi prasa populer yang sering muncul dari mulut para penceramah dan selalu jadi wacana.

Rahmatan Lil Almin secara umum difahami sebagai ajakan kepada kebajikan dan kebaikan da Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai subyek Rahmatan lil alamin (pembawa rahmat bagi seluruh manusia) sehingga dalam hal ini Allah mendelegasikan kepada sang manusia terpilih Rsulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perintah: “Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus ke muka bumi ini kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya: 107).

Inkonsistensi dan tidak istiqamahnya  (dibahasakan tidak ikhlas) manusia dalam melakoni tugas sebagai pengikut yang meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai manifestasi (perwujudan) dari penghambaan kepada sang pencipta  menjadi penyebab kerusakan di muka bumi.

Melalui opini ini penulis lebih jauh menyorot tentang eksistensi manusia dan intervensi manusia terhadap lingkungan sekaligus menggugat keislaman kitaR

Rusaknya Bumi dan Lingkungan

The World Risk Report yang dirilis German Alliance for Development Works (Alliance), United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) dan The Nature Conservancy (TNC) pada 2012 pun menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya risiko bencana di suatu kawasan.

Kerusakan bumi dan alam disebabkan oleh pristiwa alam (seperti tsunami dan angin puting beliung ) dan ulah manusia,  peristiwa Disteriorasi atau penurunan mutu lingkungan yang ditandai dengan berkurangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem. Kerusakan lingkungan hidup ini memberikan dampak langsung bagi kehidupan manusia.

Jika kita evaluasi lebih jauh kita akan menemukan bahwa kerusakan bumi ini karena intervensi (campur tangan) dan aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.

Allah sudah mewanti wanti dalam sebuah firmannya: Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Rum/30:41)

Eksistensi dan kontribusi manusia dalam menjaga dan merawat lingkungan adalah sebuah keniscayaan dengan kesiapan sumber daya manusia (human resourch) hingga Rasulullah menitipkan pesan bahwa"Jauhilah tiga perilaku terlaknat; buang kotoran di sumber air, di pinggir jalan, dan di bawah naungan pohon." (HR Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).M

Meretas Kesadaran

Ajakan hidup aman lahir secara primordial Dan menjadi tuntutan bathin yang seharusnya disupport oleh kebiasaan peduli terhadap lingkungan, sehingga tidak perlu lagi ada tulisan ..... "Dilarang membuang sampah, peliharalah kebersihan lingkungan, dan masih banyak lagi" yang terlihat di sekitar kita.

Dibutuhkan Konsistensi dan komitmen manusia dalam memelihara alam itu agar tetap seimbang (al mizan) dan terhindar dari bencana alam.  Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS ar-Rahman [55]: 7-9).
Dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud Rasulullah juga menyampaikan "jangan mengotori dan merusak tempat umum atau alam yang dibutuhkan banyak orang, seperti air, udara, dan tanah"

Yang menggelitik baru-baru ini ada berita viral bule membersihkan selokan dari got yang tersumbat dan tidak ada yang membantunya padahal dalm keterangan bule cantik tersebut tidak ada masyarakat yg membantunya padahal tidak jauh dari got ada tempat untuk buang sampah...... Tentu ada gugatan bathin dimana agama yg kita anut (Islam) banyak mengajarkan bahwa kebersihan adalah sebahagian dari iman.  Sampai berita ini diturunkan postingan ini sudah mendapatkan lebih dari 19.700 likes dan 324 komentar.

Sabtu, 04 Mei 2019

REKONSTRUKSI HARDIKNAS DALAM BUDAYA LITERASI

Spirit perjuangan Ki Hajar Dewantara seharusnya meradikal dalam diri setiap insan Pembelajar sebagai manifestasi dari tujuan Hardiknas"

Oleh: Sirajuddin*

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei setiap tahunnya selalu dirayakan secara nasional oleh masyarakat Indonesia. Ini menjadi tonggak sejarah kelahiran seorang tokoh dan Pelopor pendidikan Ki Hajar Dewantara pendiri sekolah Taman Siswa dengan nama "Nasional Onderwijh Institute Taman Siswa" yang saat ini berpusat di balai Pawiyatan (Majelis Luhur) di jalan Ki hajar Dewantara Jojakarta.

Momentum Hardiknas seyogyanya menjadi bahan evaluasi bagi pendidikan di tanah air yang masih sarat dengan banyak masalah mulai dari persoalan Pemerataan pendidikan, kekerasan terhadap guru, tuntutan guru honorer, kurikulum pembelajaran, kualitas guru dan masih bnyak lagi, namun melalui opini singkat ini penulis ingin memberikan tinjauan dari sisi kualiatas budaya Literasi masyarakat Indonesia.

Istilah dan konteks literasi

Secara etimology literasi berasal dari bahasa latin Literatus yang berarti orang yang belajar yang diistilahkan dalam bahasa indonesia literasi yang merupakan kata serapan bahasa inggris Literacy,  UNESCO (The United Nations Education,  Scientific and Cultural Organizations) mendefinisikan Literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterampilan membaca dan menulis,  terlepas dari konteks yang mana keterampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya.
Fenomena di masyarakat terpelajar Indonesia pada umumnya kelihatan adanya penyambutan yang meriah sebagai bentuk apresiasi bagi kelahiran pahlawan pendidikan Ki Hajar Dewantara sehingga dengan mengggelar Perhelatan dan event-event untuk memeriahkan hari menjelang Hardiknas di lembaga pendidikan seperti pada sekolah, SD,  SMP, SMA dan sederajat selalu dimeriahkan dengan perlombaan yang bernuansa literasi.

Fenomena ini berkelindan dalam hati penulis yang aktif sebagai Pustakawan pada perguruan tinggi sebagai stimulus untuk beropini bahwa antusiasme terhadap spirit literasi tidak seharusnya muncul hanya pada perayaan penyambutan Hardiknas saja tapi seharusnya sudah membudaya,  kegiatan literasi seperti; membaca, berceramah, berdiskusi dan menulis dankebiasaan menghidupkan forum Ilmiah merupakan langkah bijak bagi majunya budaya literasi.

Membudayakan literasi

Literat bukan sebuah fantasy maupun fatamorgana namun sebuah keniscayaan bagi masyarakat indonesia menjadi masyarakat yang litarat seperti Finlandia di tengah masyarakat Indonesia yang berbudaya dan menjunjung tinggi kearifan lokal, tahun 2016 The World Most literate Nations (WMLN) merilis daftar panjang negara-negara dengan peringkat literasi di dunia,  penelitian ini dilakukan oleh Jhon W.  Miller persiden Central Connecticut State University,  New Britain,  hasil penelitian ini menempatkan Finlandia di urutan pertama sebagai negara paling literat dan terpelajar dan Indonesia masih di urutan 61.

Kedangkalan dan ketertinggalan budaya literasi ini menjadi PR. besar bagi pemerintah dan semua pihak yang berkontribusi aktif,  bertanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan,  sehingga tanpa moment perayaan yang Hardiknas-pun kita seharusnya sudah pada kondisi Literate Culture (Budaya Terpelajar),  Moment Hardiknas seyogyanya sudah menjadi moment aktualisasi diri dengan pencapaian tertinggi yang menjadi kebanggaan.

Pencanangan minat baca sebagai isu sentral budaya literasi oleh pemerintah,  lembaga pendidikan dan oleh pegiat literasi yang secara masif mem-buzzer gerakan literasi belum mampu menempatkan indonesia pada posisi yang membanggakan,  tak salah Proggram for Internasional Student (PISA) tahun 2015 menempatkan Indonesia pada posisi 62 dari 70 negara yang di survey tentang minat baca anak sekolah usia 15 tahun sebagai responden (penelitian ini tidak mengikutkan Khazastan dan Malaysia yang tidak memenuhi kualifikasi penelitian.

Meletakkan makna dan semangat Hardiknas dalam kultur dan kearifan lokal masyarakat Indonesia adalah sebuah upaya menciptakan lingkungan yang cinta membaca dengan menfasilitasi pembelajar dengan bahan bacaan yang mudah diakses,  memberikan ruang bagi pembelajar untuk lebih kreatif,  mengekspresikan kemampuan kognitif,  mengapresiasi setiap capaian prestasi pembelajar dengan memberikan reward  dan lebih penting bagaimana pemerintah, pengajar dan para pegiat literasi menjadi tahu ada dalam meningkatkan budaya literasi.

Spirit perjuangan Ki Hajar Dewantara seharusnya meradikal dalam diri setiap insan Pembelajar sebagai manifestasi dari tujuan Hardiknas.

*Penulis Pustakawan IAIN Parepare

Sabtu, 27 April 2019

"BEDAH BUKU" SEBAGAI PEMANTIK ANIMO MENULIS

Buku adalah The Window of the World "jendela dunia"  tersirat makna jika kita ingin melihat dunia maka banyak membaca buku.  Buku dalam catatan sejarah semuanya berawal dari zaman Mesir Kuno tahun 2400 SM.  dimana pada waktu itu orang-orang menuliskan simbol-simbol pada lembaran-lembaran daun Papyrus yang disusun menjadi sebuah buku pertama.

Masyarakat Timur Tengah menulis pada kulit domba yang disebut Perkamen dari lembaran Perkamen yang disusun dan dijilid menjadi sebuah buku. Yang unik bangsa Cina menggunakan potongan kayu dan bambu sehingga bentuk tulisan mereka berurut ke bawah.  Di zaman industri sekarang ini kertas dihasilkan dari kompresi serat yang berasal dari Pulp sebagai prototype dari kertas yang dikemas menjadi buku saat ini  yang memiliki arti besar dalam sebuah peradaban dunia.

Di zaman ini buku didesain dan dikemas sesuai dengan kebutuhan baca masyarakat khususnya pada lembaga pendidikan,  buku menawarkan beribu desain dan subyek yang mampu menggugah minat baca masyarakat,  ketika kita melihat sebuah buku yang pertama kita akan tertuju pada desain cover kemudian muncul keinginan untuk menyelami konten dari buku tersebut John Cremer dalam Pitra (2007:46) mengatakan "You sell a book by its cover" rata2 orang tertarik membeli buku karena sampul buku itu.

Dari sisi penulis buku merupakan citra diri (Self Image) dan menjadi konsekuensi bagi penulis untuk menguasai anatomi buku (batang tubuh) sebuah buku sebagai ilmu dasar dan cikal bakal lahirnya buku yang berterima bagi pembaca. Sistematis dan apiknya sebuah buku ditentukan oleh pengetahuan penulis dan editor tentang anatomi buku itu sendiri.


Spirit bedah buku bagi civitas akademik

Bedah buku atau book review, resensi buku,  ulasan buku adalah kegiatan mengevaluasi,  menilai, mengkritik, dan memberikan perbandingan padasebuah buku dalam sebuah event bedah buku. Bagi Civitas Akademik  ini adalah salah satu manifestasi dari tugas utama dosen dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi,  dosen dituntut untuk giat menyebarkan sumber informasi melalui hasil penelitian dan hasil karya buku.

Unesco mendefinisikan; a book is a non-priodical printed publication of at least 49 pages, exclusive of the cover pages, published in the country and made avaluable to the public.  (buku adalah publikasi tercetak tidak berkala dengan ketebalan 49 halaman, memiliki sampul yang khas dipublikasikan di negara dan disediakan untuk masyarakat.

Ada empat bagian dalam event bedah buku yaitu; kelompok pembaca,  mereka yang menjadi audiens atau orang-orang yang hadir pada event bedah buku sudah memiliki dan membaca buku yang akan dibedah; Penulis,  adalah orang yang memberikan roh pada rangkaian teori dalam sebuah buku melalui penelitian dan melalui hasil pikir para ahli yang dijadikan referensi dari buku yang dibedah; Pembanding,  pada bedah buku sering dihadirkan orang yang punya disiplin ilmu berkaitan dengan buku yang akan dibedah walaupun ini tidak menjadi keharusan pada acara bedah buku, namun pembanding sering menjadi energizing  bagi kegiatan bedah buku.

Idealnya event bedah buku dihadiri oleh pembaca buku yang memiliki buku itu,  event bedah buku memberi keuntungan bagi penulis dan penerbit karena event ini memberi efek larisnya buku yg dibedah dan menjadi alasan dan pertimbangan  bagi endorsment atau penerbit untuk menerbitkan edisi revisi,  bagi peserta (audiens) sering dalam event ini memperoleh doorprize sebagai bentuk apresiasi dari penulis dan penerbit.


Bedah buku bagi Perpustakaan

Pengelola Perpustakaan pada sebuah lembaga/unit pendidikan tinggi sering menjadi event organizer bedah buku dan mempunyai peran secara masif dalam mensukseskan minat baca,  minat membeli buku,  minat mengunjungi perpustakaan hal ini termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Bab I Pasal 4: Perpustakaan bertujuan memberikan layanan bagi pemustaka,  meningkatkan kegemaran membaca serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan bangsa.

Kegiatan bedah buku di kampus mampu memberikan sinergi antara dosen dan  pengelola perpustakaan (pustakawan). Jika Perpustakaan diasosiasikan sebagai jantung perguruan tinggi, mahasiswa adalah darah yang dihantar oleh pembuluh darah dalam hal ini dosen menuju ke jantung (Perpustakaan),  mobilisasi darah melalui pembuluh darah membuat jantung tetap berdenyut.

Kamis, 25 April 2019

KARTINI DAN WACANA LITERASI

Isu pendidikan dan gerakan literasi harus di topang oleh peranan perempuan baik sebagai pendidik pertama di rumah maupun sebagai guru di sekolah"

Oleh: Sirajuddin*

Sebagai subjek literasi demokrasi peranan perempuan di zaman ini memiliki akses di ruang-ruang publik,  KPU mencatat 94. 975 perempuan mengisi ruang tarung politik pileg (Pemilihan Umum Legislatif) dan menjadi salah satu bukti bahwa perempuan memiliki bargaining power dan bargaining position sebagai pengusung kebebasan setiap individu untuk bertindak dan memilih.

Radeng Ajeng Kartini atau Raden Ayu Kartini sebagai biang inspirasi,  pahlawan Nasional dan pelopor kebangkitan kaum perempuan menjadi cermin kemajuan perempuan di tengah hegemoni budaya yang mendiskriminasi dan memarginalkan kaum perempuan yanghanya sebagai "konco winking" (teman di dapur saat makan) atau "swarga nunut, neraka katut" (ke surga ikut,  ke nerkapun turut) dan Kartini hadir mengusung peranan dan suara perempuan dalam kesetaraan gender.


Spirit literasi

Perempuan dan gerakan literasi bukan menjadi sesuatu yang Vis a vis yang harus dihadap hadapkan tapi menjadi sebuah konsekuensi logis ketika kita ingin melihat kemajuan bangsa yang tidak luput dari peranan perempuan.

Spirit literasi digambarkan dalam kisah perjuangan Kartini ditemukan dalam kumpulan Surat-surat yang dkirimkan kepada teman- temanya di negeri Belanda dan di bukukan dgn judul "Door duistermis tox licht" (Habis gelap terbitlah terang) ini adalah gambaran semangat dari sosok pahlawan perempuan yang Ingin melepas kaumnya dari diskriminasi yang panjang pada zamannya.

Isu pendidikan dan gerakan literasi harus di topang oleh peranan perempuan baik sebagai pendidik pertama di rumah maupun sebagai guru di sekolah, sebagai orang tua murid/siswa para ibu seyogyanya melakukan sinergi dengan guru dan pihak sekolah untuk menumbuhkan semangat belajar dengan menciptakan miniatur sekolah,  miniatur pembelajaran di rumah bagi pembelajar dan sebagai alat kontrol lembaga pendidikan bagi anak didik di luar jam sekolah.

Tasya Kamila mantan penyanyi cilik lulusan Magister dari Columbia University baru saja bergabung menjadi Quipper Super Teacher menyampaikan "Saya percaya generasi yang berkualitas lahir dari perempuan-perempuan yang cerdas" karena tugas menentaskan isu pendidikn bukan tugas pemerintah dan guru di sekolah semata tapi yang lebih penting bagaimana seorang ibu ikut berperang mengedukasi langsung sebagai pendidik pertama di rumah.

Emansipasi Demokrasi

Kesetaraan gender menjadi isu yang mengemuka pada Platform pembangunan Negara Indonesia,  selama ini secara sosial wanita terpinggirkan oleh budaya Patriarkis yang menempatkan laki- laki sebagai pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan.

Emansipasi menurut Wikipedia adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.

Hak politik perempuan dipergunakan sebagai asas persamaan derajat khususnya dalam rana pengambilan keputusan berkesempatan ikut serta dalam kontestasi politik Dengan hak politik tanpa diskriminasi sesuai dengan UU no. 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah "dari rakkyat,  oleh rakyat dan untuk rakyat"

Perempuan dalam demokrasi menjadi salah satu penentu arah keadilan dan keberadaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karna perempuan tidak lagi hanya berada di "dapur" sebagai Konco Winking namun berperan bersama menegakkan tatanan kehidupan berdemokrasi.

Kesempatan berpolitik dan kesetaraan gender juga termaktub dalam Landasan Aksi Beijing (Beijing Platform for Action) dengan 12 cabang kritis,  pada point 7. a. Mengambil langkah-langkah untuk menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan. ; b. Meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi  dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan.

*Penulis adalah Pustakawan IAIN Parepare

Rabu, 03 April 2019

Literat Di Tengah Hegemoni Budaya Ngobrol

Dengan membiasakan banyak membaca  kita akan menemukan hal-hal baru, mengasah kognisi dan keterampilan berbicara dengan diksi yang tepat"

Oleh: Sirajuddin*

Sesekali membuka gawai di tengah obrolan lepas mingle dengan dalam sebuah obrolan adalah konsekuensi dari kultur dan kearifan lokal masyarakat Indonesia  yang suka ngobrol (chatting culture),  di tengah obrolan sesekali saya melirik bahan bacaan di tangan,  metode ini saya namakan "membaca ngemil"  tapi bukan membaca sambil ngemil atau makan,  gaya membaca yang saya anggap non-mainstream (read anywhere), meskipun demikian tentunya pustakawan adalah makhluk yang tugasnya bukan membaca melulu tapi upaya untuk "menyebar virus membaca" yaaaa...... Pustakawan masih bisa diajak main game, chatting dan berkompromi dengan zaman.

Credit: openclipart

Saya sering terlibat beberapa obrolan-obrolan yang mengemuka seperti kejadian pambantaian di Selandia baru yang di lakoni oleh seorang remaja 28 tahun terkait supremasi kulit putih (White Supremacy) dengan obsesi puluhan halaman manifesto "The Great Replacement"  sebagai justifikasi tindakan brutal dengan menghujamkan peluru ke jamaah jum'at di dua masjid di kota Christchurc Selandia baru.

Ada juga peristiwa pembunuhan oleh seorang dosen senior bergelar doktor dari kota Makassar Sul-sel yang tega menghabisi nyawa teman sekantor yang akrab karena riwayat teman sekampung dan tetangga kompleks yang kini hancur dan berkhir di balik jeruji besi sebagai konsekuensi dari pembiaran mengikuti hawa nafsu dan ambisi dengan apology membela harga diri. Tidak ketinggalan tema politik yang selalu nimbrung kalau bukan opening tentunya sebagai closing topic (bukan ngobrol tanpa ada cerita politik di dalamnya) bahkan sampai ngotot,  dan masih banyak lagi.

Kekerasan yang banyak terjadi bisa muncul ketika kita gagal memenej pikiran yang menurut dr. Ibrahim Elfiky dalam "Terapi Berpikir Positif"  bahwa kita memiliki 60000 pikiran 85 % dari jumlah pikiran itu atau sekitar 45000 adalah negatif thinking. Bentuk ketidak sadaraan terhadap munculnya pikiran negatif ketika menghadapi suatu persoalan (Distorsi Kognitif) sehingga dikatakan bahwa musuh terbesar dari Positif Thinking adalah negatif thinking. (Burns, 1998)

Pikiran terbangun dari habituasi yang membentuk culture dalam diri seseorang dan berfikir adalah wujud eksistensi manusia yang "hanief" cenderung pada kebaikan dan kebenaran, tanpa berfikir kita hanya bagian dari wujud tubuh bukan manusia, berfikir di butuhkan metodologi yang memungkinkan manusia melihat realitas dari dimensi materi dan immateri. 

Dijelaskan dalam Neurosains bahwa otak yang sehat bukan hanya normal tetapi juga berfungsinya neuron yang memungkinkan otak bekerja dengan baik, sehingga baiknya fungsi neuron akan mencerminkan baiknya karakter sebuah bangsa,  Maksudin (2015)

Mengobrol dan berargumen adalah respon dan hasil kerja otak setelah adanya stimulus,  fenomena mengobrol ini terlihat pada budaya orang Indonesia (Indonesian Culture) yang tidak terbiasa menghabiskan waktu dengan membaca. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat 90% usia di atas 10 tahun tidak suka membaca dan hanya menghabiskan waktu nonton tv dan bermain gaget pun kemalasan membaca masih menjadi momok bagi kemajuan literasi masyarkat Indonesia.

Minat setiap orang berkembang secara kompleks sejalan dengan kedewasaan seseorang, hal ini membantu dirinya untuk memilih dan bertindak. (Hurlock, 1996) seyogyanya minat baca berkembang seiring kedewasaan seseorang.

Namun yang menjadi titik kordinat dari narasi ini adalah obrolan dan diskusi itu kadang tidak didasari epistomologi dan ontologi pembahasan masalah dan bermuara pada diskusi yang mandek dan berimplikasi pada  argumen yang tidak koheren terhadap suatu masalah dan hanya sibuk dengan argumen sendiri tanpa memperhatikan topik dan lawan diskusi.

Dengan membiasakan banyak membaca  kita akan menemukan hal-hal baru, mengasah kognisi dan keterampilan berbicara dengan diksi yang tepat kita juga banyak memperoleh kosa kata dan gaya bahasa baru memperoleh wawasan,  pendalaman ilmu serta pemahaman karakter yang mampu meningkatkan rasa empati, simpati, harga diri (self esteem) dan maruah diri semuanya berkelindan mewarnai karakter orang yang banyak membaca.

Yap (1978) misalnya, melaporkan bahwa kemampuan membaca seseorang sangat ditentukan oleh faktor kualitas membacanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca adalah 65% ditentukan oleh banyaknya waktu yang digunakan untuk membaca, 25% oleh faktor IQ, dan 10% oleh faktor-faktor lain berupa lingkungan sosial,  emosional, lingkungan fisik dan sejenisnya.

*Penulis adalah Pustakawan IAIN Parepare

Kamis, 14 Maret 2019

Pustakawan dan Gerakan Literasi

Namun yang menjadi hal yang urgen adalah ketauladanan dan habituasi harus lahir dari setiap individu maupun komunal,  mulai dari reading interest berkembang jadi reading habits dan akhirnya bisa menjadi reading culture"

Oleh: Sirajuddin*

Mengawali tulisan ini saya ingin sedikit curhat (curi perhatian) tentang profesi pustakawan,  yang sering kontradiktif ketika mendengar pustakawan (pengelola perpustskaan) di mindset kebanyakan orang  bahwa profesi ini tidak lain hanya sebagai penjaga buku di jajaran rak yang berada dalam satu ruang dengan koridor yang senyap dikelilingi sekumpulan buku usang,  rusak saling menempel karena lama tidak beranjak dari rak atau koyak oleh serangan makhluk bertubuh lunak tak bersayap yang disebut kutu buku (book lice atau book worm) yang namanya sering juga disematkan sebagai bentuk khiasan bagi orang yang keranjingan membaca.

Pustakawan dan Gerakan Literasi
Credit: Pixabay
Gerakan literasi tidak pernah lepas dari peranan perpustakaan sebagai Agen of change,  Agen of knowledge,  Agen of culture yang didalamnya ada tangan tangan piawai mengelola, mengklassifikasi, merawat dan menyebar luaskan sumber informasi,  yang tidak lain adalah sosok pustakawan.

Tugas pustakawan didelegasikan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan dan tugasnya diproyeksikan dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI.  Nomor 11 tahun 2015  tentang Juknis jabatan fungsionl menjadi dasar terlaksananya pengelolaan perpustakaan secara professional.

Bangsa yang besar tanpa gerakan litersi hanya akan menjadi bangsa kelas teri perundung, pemaki, tidak punya keluasan hati dan inovasi, ini adalah petikan kata yang selalu disematkan pada bangsa ini,  sebagai insan yang literat pustakawan punya tanggung jawab penuh menjadi teladan baca, menulis secara efektif dan masif dan sebagai konsekuensi logis dalam memajukan gerakan literasi. 

Perpustakaan menjadi barometer ukuran kecerdasan masyarakat di sekitarnya dan bangsa yang cerdas kreatif dan priduktif adalah sebuah keniscayaan.  Gerakan literasi secara sempit diartikan gerakan membaca dan menulis.

Menurut Jeanne R.  Et al (2007); Ada tiga tahapan yang dapat diamati dalam perkembangan literasi seseorang. Perkembangan ini muncul karena motivasi intrinsik yaitu: memilih  membaca dan menulis,  menemukan kesenangan dan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan literasi,  sadar menerapkan pengetahuan untuk lebih dalam memahami dan menulis teks.

Mem-buzzer gerakan literasi di kampus dengan masif dilakukan oleh mahasiswa dan gerakan gerakan literasi di luar kampus dengan gaya membaca non-mainstream dengan menggelar tikar di bawah pohon dan di sudut sudut gedung kuliah atau membuat kedai baca, warkop literasi,  ini menghadirkan  spekulasi  bahwa apa mereka betul betul membaca dan larut dalam sebuah bacaan dengan kondisi dimana mereka berada karena membaca secara mainstream dibutuhkan dan semestinya  secara bawah sadar (sub-conciousness) membawa kita berkunjung ke perpustakaan.

Gedung mewah Perpustakaan dengan fasilitasnya  seyogyanya sukses menjadi pelecut dan penetrasi tingginya minat baca dan gairah menggunakan monograf dan bahan bacaan yang variatif sebagai biang diperolehnya ilmu untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas pribadi bagi pemustaka,  karena pesona gawai yang tidak terelakkan dalam mengisi ruang aktifitas mereka.

Era industri 4. 0 saat ini menuntut akselerasi dalam akses informasi UNESCO (United Nations Educational,  scientific and Cultural Organization) menemukan adanya kemudahan bagi anak-anak dan kaum yang termarjinalkan.

Kemudahan akses ini terutama daya akses internet melalui android, pada kondisi real masyarakat Indonesia  rata-rata 3 kali dari penduduk dunia lainnya terutama dalam hal mengunggah, chatting, like,  subscribe dan 60% memberi komentar di fb dari rata-rata penduduk dunia.

Penelitian UNESCO bekerja sama dengan Nokia dan World leader yang meneliti 7 negara sebagai sampel diantaranya Ethopia, Ghana,  Simbabwe, Nigeria, India, Pakistan dan Kenya, menurutnya Ada 7 miliar penduduk bumi, 6 miliar punya akses ke hp dan android, jika dibandingkan 4, 2 miliar punya akses ke toilet membuktikan tingginya ketergantungan terhadap gawai.  Bahkan ada banyak aplikasi dan media berbasis online yang mempermudah akses bahan bacaan seperti; ipusnas,  50000 free eBooks, Scribd, Epick, Gramedia Digital semua bacaan baik yang berbayar maupun gratis semuanya bisa diakses.

Namun upaya dalam meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah dan para penggerak literasi dan sudah banyak yang dilakukan.

Namun yang menjadi hal yang urgen adalah ketauladanan dan habituasi harus lahir dari setiap individu maupun komunal,  mulai dari reading interest berkembang jadi reading habits dan akhirnya bisa menjadi reading culture. 

Otoritas perpustakaan sebagai lembaga yang dilengkapi fasilitas dan infrastruktur yang mudah di akses oleh sebagian masyarakat indonesia khususnya masyarakat terdidik dan civitas akademik belum bisa menarik minat dan  memenuhi standar kunjungan,  ini salah bukti konkret bahwa bangsa ini masih memunggungi masalah membaca sejak lama.

*Penulis adalah Pustakawan IAIN Parepare