Tampilkan postingan dengan label Perpustakaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perpustakaan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 September 2020

Perpustakaan: Jalan Menuju Surga (Refleksi Hari Kunjung Perpustakaan)

Oleh: Dr. Ahmad Syawqi, S.Ag, S.IPI, M.Pd.I 
(Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin)

Seperti yang ketahui bersama bahwa pemerintah Indonesia melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI telah menetapkan tanggal 14 September melalui surat Kepala Perpustakaan Nasional RI nomor 020/A1/VIII/1995 pada tanggal 11 Agustus 1995, sebagai Hari Kunjungan Perpustakaan (HKP), dimana  ide  tersebut lahir dari pemikiran Mastini Hardjoprakoso yang merupakan Kepala Perpusnas pertama yaitu tahun 1980-1998. 

Sejarah HKP pencanangannya dimulai sejak 14 September 1995 di Banjarmasin dimasa pemerintahan Presiden Soeharto yang tujuannya adalah untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia yang tergolong masih rendah. Hinggi kini selama 25 tahun sudah, HKP terus dperingati dan digalakkan.

 Perpustakaan seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Perpustakaan RI Nomor 43 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 mendefinisikan perpustakaan sebagai institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.  Dari definisi tersebut bahwa di era informasi  saat ini perpustakaan mengalami transformasi seiring dengan kemajuan teknologi informasi, dimana perpustakaan tidak hanya sebagai sebuah tempat  menyimpan dan meminjam buku saja.

Transformasi Perpustakaan
Menurut Joko Santoso, Kepala Biro Hukum dan Perencanaan Perpusnas RI, arah transformasi perpustakaan lebih bergeser kepada basis inklusi sosial yang mencakup 3 hal yaitu perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan yang menjadikan perpustakaan sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat yang mampu melahirkan berbagai inovasi dan kreatifitas masyarakat; perpustakaan sebagai pusat kegiatan perberdayaan masyarakat yang berkomitmen pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat; perpustakaan sebagai pusat kebudayaan melalui pelestarian dan pemajuan khazanah budaya bangsa secara berkelanjutan untuk kemajuan masyarakat.

Aspek transformasi perpustakaan mencakup 3 hal yaitu Koleksi, Ruang dan Layanan. Karakter dari KOLEKSI yang ditransformasi adalah koleksi perpustakaan yang BERMAKNA untuk membantu pemustaka dalam memahami diri dan dunia; REFLEKTIF-Gue Banget, pemustaka dapat melihat dirinya sendiri pada koleksi perpustakaan secara positif dan akurat; RELEVAN, koleksi perpustakaan berhubungan dengan pengalaman hidup dan signifikansi kecakapan hidup; MENVALIDASI, koleksi perpustakaan menegaskan nilai-nilai keberagamaan, kebenaran, kejujuran, keadilan, kegigihan); MEMBERDAYAKAN, memungkinkan pemustaka untuk berbuat perubahan positif dalam kehidupan diri dan komunitas mereka; INKLUSIF, koleksi perpustakaan mencerminkan spektrum keragaman seluas mungkin dalam hal konten, kepengarangan dan akses; MEMUDAHKAN, multimodal dan multiple media; dan MENUMBUHKAN, koleksi perpustakaan menumbuhkan kesadaran sosial, kesadaran politik dan kesadaran kultural.

Karakter dari RUANG yang ditransformasi adalah MENEGASKAN, ruang perpustakaan merayakan keragaman dan sikap positif ilmu pengetahuan; RESPONSIF, ruang perpustakaan adaftif dalam menghadapi perubahan demografi, kebutuhan dan minat pemustaka; MENGUNDANG, ruang perpustakaan mengundang beragam orang, keluarga dan anggota komunitas ke dalam ruang perpustakaan dan berkomunikasi; MENGHARGAI, ruang perpustakaan mengadaftasi sikap saling menghargai budaya masyarakat dengan memasukkan item-item budaya lokal; FLEKSIBEL, ruang perpustakaan dapat digunakan dalam berbagai tujuan oleh berbagai jenis pengguna individu, kelompok kecil, termasuk kelas-kelas pembelajaran; PERLUASAN; ruang perpustakaan serupa dalam dimensi fisik dan virtual; dan NYAMAN, ruang perpustakaan mengundang pemustaka untuk berlama-lama di perpustakaan. 

Karakter dari LAYANAN yang ditransformasi adalah TRANSFER PENGETAHUAN, perpustakaan berusaha membangun akses pengetahuan ke pedesaan, termasuk mengubah perpustakaan menjadi penyedia layanan internet; LIFESKILL, perpustakaan berusaha mengembangkan kecakapan dan keterampilan kerja; KESEJAHTERAAN, perpustakaan mampu memastikan kesehatan dan kesejahteraan komunitas. Dalam waktu dekat, pustakawan harus menjadi mitra utama kesehatan masyarakat dalam mengembangkan upaya penelusuran kontak pandemi; PUSAT INFORMASI KRISIS, perpustakaan harus menyediakan layanan tanggap krisis/darurat dalam situasi bencana alam atau sosial; INKLUSIF, perpustakaan mampu menguatkan empati pemustaka yang beragam kondisi. Ramah difable dan menolong kaum marjinal dan sektor informal; PERLUASAN LAYANAN, perpustakaan menyediakan layanan yang tak terbatas pada fisikal, tetapi juga virtual; dan PARTISIPASI, adanya perpustakaan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berkegiatan dan berbagi pengalaman praktis di perpustakaan untuk memperluas transformasi pengetahuan.

Taman Surga Pengetahuan
Jika kita melihat kegiatan perpustakaan di era pandemi saat ini, banyak sekali mengadakan berbagai webinar gratis secara online, seperti seminar, workshop, bimtek, bedah buku yang menjadi surga ilmu pengetahuan bagi siapa saja yang ingin mengikutinya. Ketika kita bisa hadir berkunjung dan mengikuti webinar tersebut, maka berarti kita telah berada dalam sebuah majelis ilmu yang diibaratkan dalam Islam sebagai Taman Surga di dunia yang akan terus memberikan tambahan ilmu pengetahuan bagi setiap mereka yang haus dengan berbagai ilmu dan melalui perpustakaanlah sebagai salah satu pintu sumbernya ilmu pengetahuan.
Suatu ketika, Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu (RA) mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW) bersabda: “Jika kalian melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” (HR. Tirmidzi)

Dari hadits tersebut, yang dimaksud dengan taman surga adalah majelis ilmu/webinar yang mempelajari berbagai ilmu dengan dihadiri banyak orang dalam berbagai forum kegiatan. Bila umatnya melihat forum-forum seperti itu, maka segeralah singgah hadir bergabung, karena sejatinya itu bagian dari taman surga. Ternyata undangan spesial dari Nabi kita adalah menghadiri majelis ilmu. 
Siapa saja yang memenuhi undangan ini juga akan mendapatkan hadiah istimewa langsung dari Allah, apa saja? Tidak tanggung-tanggung, Allah SWT berikan langsung empat hal bagi tamu taman-taman surga ini yaitu Allah turunkan ketenangan dalam hati, Allah berikan rahmat bagi mereka, para malaikat Allah kumpulkan ditengah majelis itu, Allah sebutkan orang yang menjadi tamu taman surga itu dihadapan para malaikat-Nya.

Ibnul Qayyim RA berkata, “Barangsiapa ingin menempuh taman-taman surga di dunia, hendaklah dia menempati majelis-majelis zikir, karena ia adalah taman- taman surga.” Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR.Muslim). 

Islam begitu tinggi menjunjung seorang penuntut ilmu (ahli ilmu). Janji Allah bagi orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar'i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga karena ia telah mendapat ilmu tentang bagaimana cara menuju surga. 

Betapa indahnya keutamaan para penuntut ilmu, yang hadir dalam majelis ilmu atau berkunjung ke perpustakaan mencari ilmu sampai-sampai mereka dibicarakan oleh Allah SWT dan para malaikat. Mereka pun dicari-cari malaikat, sehingga saat di majelis ilmu, malaikat membentangkan sayap-sayapnya sebagai tanda perhormatan bagi para penuntut ilmu.

Minggu, 31 Mei 2020

PANCASILA PERPUSTAKAAN (Refleksi Hari Lahir Pancasila)

Oleh : Dr. AHMAD SYAWQI, S.Ag, S.IPI, M.Pd.I
(Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin)

Senin, 1 Juni 2020 bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Lahir Pancasila (HLP) yang ke 75  (1 Juni 1945 - 1 Juni 2020). Untuk memperingatinya, maka sejak tahun 2017 Pemerintah Indonesia telah menetapkan HLP sebagai hari libur nasional berdasarkan Keppres  Nomor 24 Tahun 2016.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, peringatan HPL tahun 2020 ini bertemakan “Pancasila Dalam Tindakan Melalui Gotong Royong Menuju Indonesia Maju” dengan kondisi kita berada di tengah masa pandemi Covid-19, sehingga aktivitas atau kegiatan alternatif untuk memperingati dan memeriahkan HPL dapat dilaksanakan melalui media elektronik, video conference atau dalam jaringan (online) secara kreatif dan menjaga dan membangkitkan kecintaan terhadap aktualisasi nilai-nilai Pancasila pada masa darurat Covid-19. Sehubungan dengan tidak adanya upacara penaikan bendera pada saat peringatan HPL, maka pengibaran bendera dilakukan pada pukul 06.00 sampai dengan 18.00 waktu setempat.

Peringatan HPL menjadi moment penting bagi bangsa Indonesia, karena adanya Pancasila merupakan landasan ideologi yang dijadikan dasar pijakan yang mampu memberi kekuatan atas berdirinya negara  kesatuan Indonesia dan sumber kaidah hukum yang mengatur bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni rakyat, pemerintah dan wilayah.

Pancasila  pada hakikatnya adalah suatu hasil perenungan atau pemikiran bangsa Indonesia. Istilah Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Presiden RI Ir.Soekarno, dimana pada tanggal 1 Juni 1945 beliau di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengusulkan dasar negara yang terdiri dari lima asas, oleh beliau kelima asas tersebut diberi nama Pancasila yakni: Kebangsaan, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan Pancasila yang disampaikan oleh Ir.Soekarno pada waktu itu pun berbeda dengan susunan Pancasila yang kita kenal sekarang. Inilah awal terbentuknya dasar negara Pancasila, yang kemudian pada tanggal tersebut dikenang sebagai hari lahir Pancasila. Tetapi masih ada proses selanjutnya yakni menjadi Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945 dan juga penetapan Undang-undang Dasar yang juga finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945.

Oleh para anggota BPUPKI kemudian disepakati bahwa yang disampaikan oleh Ir.Soekarno-lah yang menjawab pertanyaan sidang tentang apa dasarnya Indonesia merdeka. Setelah itu dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI terdiri dari 9 orang dan dalam perjalanannya sempat merumuskan Piagam Jakarta. Tetapi kemudian isi dari Piagam Jakarta ditolak oleh perwakilan warga dari Indonesia timur. Sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Pancasila yang kita kenal sekarang ini seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara RI 1945, yang berbunyi: Satu: Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tiga: Persatuan Indonesia. Empat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Lima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pancasila Perpustakaan 

Kalau dalam sejarah lahirnya Pancasila di Indonesia, kita mengenal tokohnya  Dr. Ir. Soekarno, sebagai Bapak Proklamator kemerdekaan RI. Dalam dunia perpustakaan, kita mengenal tokoh Dr. Shiyali Ramamrita Ranganathan sebagi Bapak Perpustakaan India. Selain menjadi pustakawan, ia juga seorang ahli matematika. Dia dikenal sebagai penemu klasifikasi colon yang banyak digunakan di Perpustakaan di India. Dia juga pencetus teori Five Laws of Library Science (Lima Hukum Dasar Perpustakaan) sebagai Pancasilanya Perpustakaan. Saking dihormatinya Ranganathan ini, di India tanggal ulang tahunnya dijadikan Hari Perpustakaan Nasional.

Pemikiran-pemikiran yang ia tuangkan  masih terus digunakan di dalam kajian-kajian ilmu perpustakaan di seluruh dunia yang banyak memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dunia perpustakaan. Ranganathan banyak menghabiskan waktunya untuk menekuni bidang perpustakaan baik menjadi pustakawan, menjadi profesor dan penulis bidang ilmu perpustakaan yang disumbangkannya kepada dunia dan masih dirujuk hingga kini.

Salah satu karya pemikiran Ranganathan Pada tahun 1930-an yang populer hingga saat ini masih dirujuk dan dijadikan landasan dalam pengembangan perpustakaan adalah pemikirannya yang ia tuangkan dalam  Five Laws of Library Science (Lima Hukum Dasar Perpustakaan) sebagai Pancasila Perpustakaan.

Kelima hukum dasar perpustakaan tersebut adalah pertama, Books are for use (buku untuk dimanfaatkan). Hukum pertama ini menyatakan bahwa perpustakaan harus memiliki bahan pustaka dan bahan pustaka tersebut haruslah mudah untuk digunakan oleh pemustaka hingga akhirnya bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemustaka, karena prinsip dasar hukum yang pertama ini adalah bahwa buku itu ada untuk digunakan dan dimanfaatkan. Buku yang tersedia harus mewakili kebutuhan setiap pembaca, tanpa ada kemubadziran manfaat informasi yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, ketersedian buku yang dikoleksi hendaknya beragam dan memberikan dampak positif bagi pembacanya.

Kedua, Every reader his/her book (setiap pembaca terdapat bukunya). Hukum kedua ini mengacu pada kebutuhan pemustaka, dimana setiap perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan buku sesuai kebutuhan pemustaka. Bagi pengambil kebijakan (kepala perpustakaan dan pimpinan terkait), hal ini merupakan tugas utama dalam pengembangan koleksi dan meningkatkan kualitas informasinya.

Ketiga, Every book its reader (Buku setiap pembacanya). Jika hukum kedua memandang dari sudut penggunanya  maka hukum ketiga ini menekankan pada jenis koleksi bukunya. Buku yang ada di perpustakaan sebaiknya mempunyai nilai guna bagi seseorang atau beberapa orang yang mengunjungi perpustakaan. dengan begitu setiap buku yang ada di perpustakaan dimanfaatkan dengan baik, tidak hanya menjadi penghuni rak dengan setia tanpa pernah tersentuh.

Keempat, Save the time of the reader (Hematkan waktu pembaca). Hukum keempat ini membahas mengenai pentingnya pelayanan prima di perpustakaan demi memuaskan pemustaka dalam memenuhi kebutuhan informasinya dengan cepat dan mudah. Kinerja yang cepat dan cekatan dari pustakawan akan menambah tingkat kepuasan pemustaka. Karenanya pustakawan tidak hanya dituntut untuk memiliki wawasan referensi ilmu pengetahuan yang luas, namun juga kemampuan teknis lain seperti mengkatalog, memberi referensi silang, referensi akses dan sirkulasi. dengan demikian pelayanan di perpustakaan akan lebih efisien.

Kelima, The library is a growing organism (Perpustakaan adalah organisme yang berkembang). Perpustakaan adalah lembaga yang sedang, dan akan terus, berkembang mengikuti perkembangan zaman, bukan hanya dari segi koleksi atau gedung, namun juga dari struktur, staf, layanan, fasilitas, dll. Perubahan-perubahan yang kompleks tersebut harus diantisipasi dan diimbangi dengan manajemen yang baik, perpustakaan melalui peran pustakawan harus mampu menghadapi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan itu sendiri. Khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perpustakaan harus mampu bersaing dengan lembaga-lembaga informasi yang lain. Ketersediaan sarana prasarana dan infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi hendaknya ditambah dan dilengkapi guna meningkatkat akses informasinya.

Dengan momentum hari lahirnya Pancasila ini, mari kita jadikan sebagai upaya untuk terus mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkadung didalamnya, dan juga terus menggali berbagai makna yang terkadung dalam ajaran pancasila perpustakaan. Selamat Hari Lahir Pancasila. Sehat selalu dan sukses selalu untuk kita semua, aamiiin.

Selasa, 18 Februari 2020

Perpustakaan Mengikuti Zaman atau Pencitraan?

Bekerja di tempat yang nyaman
Bekerja di tempat yang nyaman/Ilustrasi - Sumber Pixabay
Acapkali terlontar ide-ide menarik yang patut didiskusikan kala saya memantau salah satu WhatsApp Grup (WAG) yang ada di gawai. Pustakawan Blogger, WAG yang menjadi tempat para pustakawan sering riuh. Berbagai tulisan menarik saya dapatkan dari sana. 

Salah satunya ketika ada kawan yang melontarkan pernyataan menarik dan pastinya memancing respon dari kawan yang lainnya. 

“Apakah boleh melakukan pencitraan perpustakaan? Boleh. Tentu boleh” 


Lantas ditambahi jika penyediaan sofa yang empuk dan kafe adalah pencitraan perpustakaan. Tentu makin sedap, karena sekarang banyak perpustakaan yang mulai menyediakan tempat duduk nyaman serta ditambah kafe. 

Sejauh ini, saya menyukai sebuah perpustakaan yang menyediakan sofa empuk sekaligus kafe. Bagi saya, menulis artikel di tempat yang nyaman tentu mempunyai nilai plus dibanding tempat yang kurang nyaman. 

Hal ini pula yang membuat saya akhir-akhir ini malah lebih memilih kedai kopi sebagai tempat kedua ketika mengerjakan deadline artikel dari klien. Entah mengapa, sejak mengenal kedai kopi yang nyaman, saya menjadi lebih bersemangat menulis. Buktinya, setiap sepuluh hari sekali, saya mengulas kedai kopi yang ada di Jogja dan sekitarnya di blog pribadi. 

Inovasi Perpustakaan Mengikuti Zaman 

Sebelum era milenial, saya mengenal perpustakaan sebagai tempat yang menyediakan koleksi tercetak. Baik buku cerita maupun buku-buku mata pelajaran. Tidak muluk-muluk, sewaktu SD, perpustakaan saya berada di kelas 5. Itupun tanpa ada label dan yang lainnya. 

Pun dengan SMP, tidak ada yang perubahan signifikan. Hingga saya SMA, sedikit ada perbedaan. Tiap buku terdapat labelnya. Ketika saya meminjam harus menulis nama dan menyerahkan Kartu Pelajar untuk dicatat. 

Bagaimana dengan tempatnya? Tentu hanya ruangan sebesar kelas yang dilengkapi meja panjang beserta kursi. Tidak ada yang istimewa. Satu-satunya yang istimewa pada masa tersebut adalah, perpustakaan tempat bolos sekolah teraman. Ini pengalaman saya. 

Saat ini semua mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran tidak hanya tatap muka di kelas. Sudah ada e-learning. Pekerjaan tidak hanya kantoran, makin banyak kawan sejawat yang menjadi pekerja lepas tanpa harus ke kantor. 

Perpustakaan pun sama. Lambat laun berbenah. Mulai dari koleksinya yang tidak hanya tercetak, sistem otomasi perpustakaan menggerus kartu katalog manual, pelayanan peminjaman mandiri dan yang lainnya. 

Selain itu, perpustakaan juga mengikuti perkembangan zaman terkait gedungnya. Gedung-gedung menjadi bagus, rak buku tertata rapi dan menyenangkan, saking bagusnya terkadang hanya digunakan spot foto para influencer untuk keperluan feed Instagramnya. 

Tatkala gedung sudah bagus, fasilitas mumpuni, tentu untuk merias dibutuhkan interior yang menarik. Termasuk tempat duduk yang nyaman. Salah satu tujuannya tentu agar pemustaka menjadi betah berlama-lama di perpustakaan. 

Internet cepat, tersedia banyak stop kontak, kursi empuk dan meja termasuk kebutuhan sekarang di setiap perpustakaan. Atau malah tempat khusus semacam co-working space. Di salah satu perpustakaan fakultas di UGM kemarin mengenalkan co-working space baru. 

Menurut saya pribadi, adanya sofa yang nyaman atau tersedia kafe dan yang lainnya adalah bagian dari perkembangan zaman. Perpustakaan mengikuti keinginan pemustaka. Jika ada kawan yang mengatakan fasilitas tersebut adalah pencitraan, tentu menarik ditunggu pendapatnya. 

Atau memang sebuah pencitraan? Mencitrakan bahwa perpustakaan saat ini tempatnya lebih nyaman, fasilitasnya lebih baik, dan sudut ruangannya instagramable. Sehingga orang datang tidak hanya meminjam buku tapi mencari tempat untuk diskusi atau sekadar santai duduk di sofa yang empuk. Entahlah.

Kamis, 06 Februari 2020

Menyoal Kebanggaan Katalog Daring (Online) Perpustakaan

Kalau saya perhatikan, tidak sedikit para pustakawan yang merasa bangga apabila telah memiliki katalog daring (online) perpustakaannya yang bisa diakses oleh pemustaka melalui internet. Tentu ini tidak salah, karena mereka menganggap bahwa bisa memberikan informasi koleksinya secara daring itu merupakan bagian dari penerapan teknologi informasi dan komunikasi yang terus mengalami perkembangan hingga sekarang ini.

Menyoal Kebanggaan Katalog Daring (Online) Perpustakaan

Jangan lupa, alih-alih merasa bangga itu, tapi tentu menurut hemat saya informasi koleksi yang biasanya berupa metadata itu ada tingkatannya. Sebab, tidak sedikit metadata katalog daring perpustakaan daring yang ada itu juga kosong. Memang, pemustaka (user) tak peduli apabila ada salah satu metadata di katalog daring itu kosong misalnya sebut saja nomor klaisifikasinya. Bagi pemustaka yang terpenting biasanya  tahu koleksi yang sedang diaksesnya itu tentang apa sih? Isinya apa saja sih? dan lain sebagainya.

Metadata Katalog Daring Perpustakaan

Menyoal metadata katalog perpustakaan daring itu, apa yang kira-kira paling terberat untuk mengisinya? Misalnya mulai dari judul, nomor panggil, pengarang, penerbit, tahun terbit, kota terbit, ISBN, deskripsi fisik, tipe media, subyek, edisi, abstrak , dan lain sebagainya.

Iya memang, sekarang dengan adanya fitur copy cataloging, semua metadata itu bisa diisi secara otomatis sehingga lebih cepat. Tapi, menurut hemat saya, ada satu hal yang tidak bisa main ambil atau copy dari semuanya. Apa itu? Yakni ringkasan/catatan/resensi dan apalah sejenisnya semacam komentar terkait isi dari koleksi tersebut. Kenapa demikian? Karena minimal pustakawan harus membaca konten koleksinya itu. Tidak serta merta, sekonyong-konyong asal copy paste dari web lain. Disinilah ujian seorang pustakawan yang sesungguhnya. Bukan sekedar teknis, menginput metadata koleksi. Namun, lebih dari itu.

Membuat catatan koleksi tersebut secara mendalam akan sangat bermanfaat dan inilah seharusnya bentuk kebanggaan tertinggi seorang pustakawan. Selain pemustaka lebh puas, tentunya bisa memancing diskusi dari para pemustaka atau bahkan pustakawan lain. Bisa jadi, tanggapan antar pustakawan satu dengan yang lain itu akan berbeda karena menyangkut mindset, pengetahuan, pengalaman si pustakawan tersebut.

Ini menarik bukan kalau seandainya pustakawan bisa membuat semacam komentar dari setiap koleksi yang diinput di katalognya. Tentu ini memerlukan waktu lama. Belum lagi bagaimana seandainya koleksi tersebut koleksi bersifat teknis katakanlah misalnya koleksi teknik fisika, kimia, biologi, dan sebagainya. Ini tentu akan susah. Oleh karena itu, pustakawan yang berkerja di perpustakaan umum atau sekolah sepertinya bisa melakukan itu karena bukunya yang masih bisa dipahami.

Pengalaman saya sendiri dengan koleksi khusus ketenaganukliran, sering kali untuk yang bersifat teknis, angkat kaki alias mundur. Kecuali koleksi-koleksi yang bersifat umum atau sosial yang masih bisa saya pahami.

Oh, iya satu lagi, hingga sekarang saya juga bukanlah pustakawan yang benar-benar teruji karena untuk metadata koleksi saja khususnya pada review koleksi masih sering kali mengambil dari website lain. Benar-benar saya masih bukanlah pustakawan sesungguhnya. Makanya sampai sekarang saya belum merasa bangga alias puas dengan metadata katalog daring di perpustakaan yang saya kelola. Bagaimana dengan teman-teman?

Salam,
Pustakawan Blogger

Kamis, 09 Mei 2019

Perpustakaan : Lembaga Post-Minimalisme


Budaya minimalis semakin digandrungi oleh individu-individu saat ini, budaya tersebut mengagungkan bentuk kelapangan sehingga membawa kebahagiaan. Minimalis merupakan upaya untuk menjelaskan tentang konsep sederhana dengan melihat dari segi ruang maupun segi kejiwaan, sehingga dapat memberikan efek psikologis yang menenangkan dan membahagiakan bagi para penganutnya.

Seperti yang selalu digaungkan oleh para tokoh-tokoh minimalisme Minimalism has helped us to Eliminate our discontent, Reclaim our time, Live in the moment, Pursue our passions, Discover our missions, Experience real freedom, Create more, consume less, Focus on our health, , Grow as individuals, Contribute beyond ourselves, Rid ourselves of excess stuff, Discover purpose in our lives

Salah satu aplikasi dari budaya minimalis ini adalah decluttering atau budaya beres-beres. Beberapa pembaca pernah mendengar atau bahkan sudah membaca konsep beres-beres ala Marie Kondo, minimalist lifestyle ala Fumio Sasaki, Ryan Nicodemus, Joshua Fields Millburn. Nama-nama tersebut adalah tokoh-tokoh yang menggaungkan budaya minimalis, sederhana dan simple. Salah satu yang terkena dampak pengaplikasian konsep beres-beres atau minimalist lifestyle adalah, koleksi buku-buku dan majalah-majalah yang disimpan oleh para pemiliknya. Istilah termudah dari menjelaskan tentang decluttering adalah aktifitas untuk menata ulang dan mengurangi timbunan barang yang kita miliki. Decluttering lebih memfokuskan pada apa saja yang perlu disimpan, dan bagaimana menata ulang benda yang disimpan itu.

Koleksi buku dan majalah merupakan yang paling top menjadi kendala bagi para minimalis dalam proses menjalankan decluttering. Karena biasanya buku-buku dan majalah tersebut menyimpan banyak kenangan bagi pemiliknya, dalam otak pemilik terkadang bermunculan suara-suara sumbang seperti “Sebagai orang yang sangat gemar membaca buku, ada budget khusus untuk membeli “makanan pikiran” ini. Pola beli-baca-simpan terus berulang, rak buku pun beranak pinak, cepat sekali terisi dengan deretan penghuni yang memikat hati. Hingga sebagian besar semakin jarang tersentuh ulang, untuk dibaca lagi.”

Source : www.evazahra.com

Berbeda dengan lembaga yang kita bilang perpustakaan, lembaga satu ini selalu setiap tahunnya mengumpulkan buku-buku untuk menambahkan koleksi nya menjadi semakin mutakhir dan komplit. Malahan salah satu perpustakaan lembaga pemerintah yang melakukan weeding decultering menjadi olok-olokan dari banyak orang (entah itu orang yang menggunakannya atau hanya numpang lewat). Padahal dengan budaya minimalis itu mungkin perpustakaan tidak menjadi lembaga yang berkesan kuno tetapi lembaga yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman, begitupun pustakawan yang ada didalamnya mungkin dapat menjadi lebih bahagia dan lebih tenang. Sehingga kosongkanlah perpustakaan anda buatlah lebih lapang dan nyaman dipandang mata.

You don’t have to be a people pleaser, you don’t do good to look good, you don’t do mainstream to look normal, you don’t have to follow what others do, you don’t have to mimicking them. All you need is let go things in your life so you can be in a better life.

Senin, 11 Maret 2019

Kisah Transformasi Pustakawan Sekolah Menjadi Pustakawan Sekolah Tinggi

Mari kita menjadi kuat dan hebat dengan bekerjasama."

Oleh: Rahayu, S.Pd., S.l.Pust.*

Pustakawan sekolah tidak sama dengan pustakawan sekolah tinggi. Pustakawan sekolah ada di lingkungan sekolah menengah sedangkan pustakawan sekolah tinggi ada di lingkungan pendidikan tinggi.

Saya dulu diterima bekerja di perpustakaan sekolah karena dicari dan dibutuhkan untuk mengelola perpustakaan.  Saat itu kepala perpustakaan adalah seorang guru yang mengajar dan juga seorang PNS di sebuah Rumah Sakit.

Perpustakaan Sekolah
Credit: Pixabay
Kewenangan pengelolaan perpustakaan diserahkan sepenuhnya kepada saya bersamaan dengan penyerahan kunci ruang perpustakaan.

Tugas yang menantang untuk mengelola perpustakaan yang "mati suri" karena hanya membuka layanan jika ada siswa yang ingin meminjam buku. Sehingga bisa dikatakan jam layanan sangat terbatas.

Pekerjaan dimulai dari membuat peraturan, administrasi, menata koleksi dan menata ruangan. Setelah itu pekerjaan berlanjut ke pengembangan koleksi. Dengan ada koleksi baru mulai ada kunjungan dan terasa suasana perpustakaan sekolah yang "hidup".

Pustakawan dilibatkan dalam pengembangan sekolah dengan mengikuti persiapan dan proses akreditasi. Dengan nilai akreditasi yang baik maka kami dipercaya untuk konversi dari institusi sekolah menjadi akademi dan terus berlanjut hingga menjadi institusi sekolah tinggi.

Banyak tahapan yang harus dilalui untuk perubahan bentuk institusi. Dari awalnya perpustakaan yang dikelola secara manual, kemudian otomasi perpustakaan dan perpustakaan digital (dalam proses perencanaan).

Kami harus selalu bersyukur atas semua pencapaian ini dan tidak boleh merasa puas. Karena masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk pengembangan perpustakaan terutama layanan perpustakaan.

Untuk mencapai tujuan lembaga perpustakaan, pustakawan harus bekerjasama dengan semua pihak. Mulai dari pimpinan, dosen, staf dan mahasiswa serta pihak lainnya. Mari kita menjadi kuat dan hebat dengan bekerjasama.

*Pustakawan STIKes Budi Luhur Cimahi

Karena Suka Duka pun Hilang

Jadikan duka sebagai penyemangat untuk terus belajar menjadi ibu bagi peradaban manusia"
Oleh: Rahayu, S.Pd., S.l.Pust.*

Pustakawan, bukan profesi yang saya cita-citakan. Pustakawan, profesi yang saya sukai karena ada kegiatan membaca buku. Pengalaman hidup tidak menjadikan saya profesi yang dicita-citakan, tetapi menghantarkan saya pada profesi yang saya sukai.
Baca juga: Cinta Buku dan Perpustakaan
Pustakawan, profesi yang sangat mulia seperti seorang ibu. Ibu yang menjaga, merawat dan selalu menyediakan hal yang terbaik bagi umat manusia untuk bisa mengembangkan peradabannya (baca: Pustakawan Bagaikan Seorang Ibu)
Pustakawan bagaikan seorang ibu

Bagi saya pustakawan berarti belajar untuk:
  • Menyediakan ilmu pengetahuan yang bermanfaat;
  • Membantu menyelesaikan masalah dengan ilmu;
  • Bertemu dengan banyak orang setiap hari;
  • Mempelajari hal baru setiap saat;
  • Memberi kebahagiaan dengan menjadi pendengar yang baik;
  • Berbahagia dengan keberhasilan orang lain;
  • Berkomunikasi dengan berbagai kalangan;
  • Bersabar dan terus bekerja keras;
  • Membuat perencanaan dan program yang lebih efektif;
  • Menimbang koleksi yang tepat dan bermanfaat;
  • Memberi kenyamanan pemustaka untuk membaca;
  • Menerima saran dan kritik menjadi motivasi diri;
  • Mengubah tantangan menjadi peluang;
  • Banyak hal positif lainnya.
Duka pustakawan tentunya ada. Perbandingan suka dan duka, lebih banyak suka daripada duka. Jadikan duka sebagai penyemangat untuk terus belajar menjadi ibu bagi peradaban manusia. Karena lebih banyak suka maka duka pun hilang.

*Pustakawan STIKes Budi Luhur Cimahi

Minggu, 10 Maret 2019

Perpustakaan dan Pindahan


Menyimak aktivitas pustakawan saat pindah lokasi perpustakaan di sebuah grup wasap di mana Bulan sang pustakawan bergabung di dalamnya, sangat  seru dan dramatis. Bulan jadi teringat ke beberapa tahun silam. Saat itu tahun 2009. Bulan baru bergabung di lembaga ini dengan status CPNS dengan formasi calon pustakawan.  Pertama kali dikenalkan dengan ruangan perpustakaan di kantor, ada sedikit kegundahan. Kegundahan ini menimbulkan bayangan pekerjaan pustakawan yang rasanya berat, gak menarik, dijauhi orang, dan gak dilirik.

Pertama Bulan mendapatkan kondisi dimana banyak koleksi buku yang menumpuk di depan toilet kantor tepatnya di sudut ruangan yang agak suram penerangannya. Tumpukan buku yang tak beraturan dan sangat berantakan. Tumpukan buku yang sangat kusam dan berdebu. Dan tumpukan buku yang tingginya hampir mencapai langit-langit ruangan kantornya. Di sisi lain, Bulan juga mendapati ada banyak kardus-kardus berisi buku, tapi sepertinya buku cetakan lembaga yang belum didistribuskan atau memang sengaja di gudangkan di situ. Juga beberapa buku baru hasil pengadaan. Buku tersebut  menumpuk di salah satu sudut rak yang sebenarnya sudah ada di jajaran koleksi dengan judul yang sama. Lebih mengenaskan adalah hanya segelintir  pegawai –kalaupun boleh dibilang tak satu pun-yang memanfaatkan buku-buku tersebut di perpustakaan.

Kondisi ini berlangsung cukup lama, sekitar 2 tahunan lebih. Bulan sang pustakawana hanya mengisi hari-harinya dengan melakukan klasifikasi dan klasifikasi. Pekerjaan yang menjemukkan dan membosankan. Tapi itu masih lebih baik, karena yang dipegang adalah buku baru. Setidaknya Bulan jadi sedikit membaca dan sedikit tau tentang buku tersebut, hihihi.  Tapi yang menyedihkan adalah ketika harus berhadapan dengan tumpukan buku kusam ini.  Bulan bingung, harus diapakan buku-buku ini. Walhasil munculah ide kegiatan stok opnam. Alih-alih mendata dan mengecek koleksi, yang terjadi adalah kegiatan penyiangan. Parahnya kegiatan penyiangan ini tidak diiringi dengan pemeriksaan yang detil disertai catatan atau berita acara tentang koleksi yang dikeluarkan atau dimusnahkan dari jajaran koleksi.  Hasilnya, Bulan sang Pustakawan jatuh sakit karena berhadapan dengan koleksi kusam, debu dan susunan yang  amburadul  yang harus disiangi. Butuh waktu sepekan untuk Bulan istirahat dan libur dari aktifitas  tersebut.

Lumayan, setelah kegiatan penyiangan, perpustakaan nampak lebih terang. Tapi bukan berarti perpustakaan menjadi lebih baik. Kenyataannya perpustakaan belum move on dari kondisi sepi, tak terjamah, terpencil lokasinya, bahkan kesan sedikit angker ada di sana. Hiii. Parahnya, kondisi ini membuat kinerja perpus down, turun seturun-turunnya. Reorganisasi membuat perpustakaan turun derajat. Yang tadinya di eselon 3 kini menjadi eselon 4. Inilah prestasi yang ditorehkan sesaat sebelum perpustakaan harus kembali ke rumah asalnya yang sudah direnovasi, tepatnya di pusat kota.

Bulan jadi bertanya-tanya, apa ya yang menyebabkan kondisinya begini. Apa ada kaitannya dengan perpindahan perpus ke gedung sementara di pinggiran kota karena gedung lamanya sedang direnovasi. Atau karena perpindahan itu, apalagi dengan koleksi yang ribuah, tidak mudah menatanya dengan cepat dan cukup melelahkan sehingga hilanglah gairah pegawai untuk berinovasi. Atau lokasi perpusnya menjadi tidak strategis, maka hilanglah gairah pengunjung untuk mendatanginya.  Hmm, Bulan belum bisa menebaknya. Bulan masih buta.

Sampailah pada tahun 2011, dimana perpustakaan pindah kembali ke gedung awal, karena renovasi telah selesai. Lagi-lagi terbayang acara pindahan perpus yang bikin mumet, repot, melelahkan, dan meluluhlantakkan  gairah bekerja. Tapi ada secercah harapan. Perpustaakaan di tempatkan di lantai 2 full dengan luas lebih dari seribu meter. Pimpinan saat itu menyemangati Bulan, “Jangan khawatir mba. Perpus kita walaupun turun derajat, tetapi anggarannya meningkat. Karena perpus kita ada di lantai 2 full, kita akan menjadi perpustakaan kementerian, kita melayani pegawai yang ada di 20 lantai, dan kita satu-satunya perpustakaan yang ada di kantor ini”.

Harapan ini terus menggairahkan Bulan. Sayangnya Bulan hanya bekerja sendiri, padahal pegawai di perpustakaan ada 12 orang. Saat buku-buku harus dirapikan kembali pada jajarannya, saat buku-buku tua dan kusam harus kembali  tersentuh, saat rak-rak buku dan meja kursi butuh sentuhan estetika, saat itu pulalah para pegawai lainnya lari dari kondisi itu. Pembenahan sangat berjalan lambat, aktifitas layanan menjadi agak tersendat, kerja cepat tak bisa diharapkan dari mereka. Maka jadilah Bulan sang single fighter librarian.

Semakin kecewa ketika melihat perpustakaan tidak cepat berbenah, maka terjadilah “kudeta” beberapa ruangan perpustakaan yang belum maksimal digarap untuk menjadi tempat unit lain bekerja. Padahal ruang-ruang tersebut  disiapkan menjadi modal untuk pengembangan perpustakaan dan layanannya 10 tahun ke depan. Apa hendak dikata. Bulan harus tetap optimis. Selalu ada cara untuk tetap maju dan berkarya.

Kini sedikit demi sedikit, perpustakaan mulai menemukan bentuknya. Manajemen perpustakaan mulai digarap dengan baik. Keberadaannya mulai dirasakan para pegawai bahkan juga pengunjung dari luar. Manfaatnya mulai terasa. Walaupun pergerakannya masih sangat lamban tetapi perubahan ke arah yang lebih baik makin terlihat. Selalu ada hasil diatas kerja keras yang ditanam, walau tidak sesempurna yang diidamkan, begitu pikir Bulan. Apakah ini ada kaitannya dengan lokasi perpustakaan yang strategis? Ataukah karena perpustakaan mulai seatle karena gak pindah-pindah lagi? Wallahu a’lam. (Hariyah A.)

Kamis, 07 Maret 2019

Menjual Perpustakaan

Kalau perpustakaan dijual, apakah ada yang berminat membeli? Perpustakaan adalah lembaga non-profit, tidak mencari keuntungan materi terang seorang pustakawan. Perpustakaan musti meninggikan value informasi yang dikelolanya, terang pustakawan lainnya. Informasi-informasi yang ada di perpustakaan bisa dikemas ulang menjadi sumber pendapatan lain pustakawan, pustakawan lain menerangkan. Sementara di kesempatan lain seorang pimpinan instansi induk tempat perpustakaan bernaung berujar "mengolah perpustakaan gampang, buku-buku itu benda mati". Makjleb, dyaaarrr, bak petir menyambar.

Perpustakaan musti menjadi wahana bagi masyarakat dalam upaya mensejahterakan kehidupannya. Pustakawan harus punya pedoman diri, bertransformasi, harus memahami IT, harus memiliki beragam kompetensi, mendigitalisasi koleksi, beradaptasi. Rentetan perjalanan panjang kepustakawanan Indonesia tidak akan berhenti disini. Regulasi, pemanfaatan IT, diskusi para ahli, peran organisasi profesi, negosiasi-negosiasi, lobi-lobi, seminar, workshop, diklat disana-sini mengiringi tahun berganti. Kampanye gemar membaca ke berbagai pelosok negeri. Seruan literasi. Gembar-gembor penanggulangan hoaks dengan cek validasi informasi. Tak ketinggalan ajakan menulis para praktisi pengelola informasi.

Optimis!!! Seru pendidik sekolah pustakawan di penjuru negeri. Pustakawan profesi bergengsi, walau tak begaji tinggi. Sementara kondisi perpustakaan mulai distandarisasi. Perpustakaan diakreditasi. Kerja pustakawan disertifikasi. Disusunlah SKKNI. Pustakawan dilombakan mencari yang terbaik dari yang yang berprestasi. Semua yang terbaik dicurahkan untuk masa depan negeri.

Pustakawan mulai belajar keramahan teller bank dalam melayani. Interior perpustakaan didesain ala kafe masa kini. Perpustakaan mengadopsi bioskop dengan jargon teater mini. Koleksi digital dilayankan berbantukan teknologi informasi teringegrasi. Koleksi buku dijajar penuh gaya seni untuk promosi. Intinya perpustakaan ingin dimanfaatkan serta dikunjungi. Pustakawan menginginkan pemustakanya literat di era keterbukaan infomasi. Ingin bangsanya mandiri, sementara dunia industri terus berevolusi.

Menjual perpustakaan, jasa layanan beragam informasi dan referensi. Layanan termudah, tercepat, dan terbaik dengan beragam inovasi. Adalah keniscayaan di zaman ledakan infomasi yang kian tak terbendung ini. Adalah tugas bersama dengan beragam peran yang saling mengisi dan melengkapi.

Tetap saja musti selalu diingatkan kembali bahwa masih banyak jeloban sekolah perpustakaan yang keilmuannya belum terimplementasi. Para alumni banyak yang belum terserap kerja pada perpustakaan (sebagai industri). Masih banyak pekerja perpustakaan yang gaji bulanannya belum mencukupi. Masih banyak tenaga-tenaga perpustakaan belum terwadahi dalam organisasi profesi. Masih banyak pustakawan yang tak mendapat kesempatan meningkatkan kompetensi diri dalam kekangan instansi.



Para pekerja perpustakaan ialah ia yang menjual perpustakaan. Mereka sedang berproses menyelami strategi-strategi para sales. Memerhatikan cara penjual menjual dagangannya. Memasarkan produk dalam internet. Untuk kepuasan sang raja calon pembeli, pemustaka. Karena pemustaka adalah raja di perpustakaan.

Rabu, 20 Februari 2019

Pustakawan Bagaikan Seorang Ibu

Sangatlah penting kehadiran dan peran pustakawan dalam menjaga kelangsungan perpustakaan."
Oleh: Rahayu, S.Pd., S.l.Pust.*

Semua orang memiliki ibu. Setiap orang sayang dan dekat dengan ibunya. Tanpa ibu ia tidak akan lahir ke dunia, besar dan tumbuh menjadi manusia sejati.

Ibu adalah sosok yang mulia karena mengemban tugas melahirkan, merawat, dan memelihara generasi baru manusia. Tugas yang diembannya sangat berat tetapi mulia. Ibu dengan sepenuh hati menjalaninya. Kehadiran ibu sangat penting bagi manusia. Tanpa ibu tidak akan ada kehidupan manusia.

Ibu
Credit: Openclipart

Demikian pula halnya dengan perpustakaan. Ia tidak akan ada tanpa ada yang memelihara, merawat dan mengembangkannya. Itulah peran pustakawan yang sepenuh hati mengemban tugas mulia ilmu pengetahuan.

Cobalah lihat di perpustakaan. Bisa dipastikan ada peran pustakawan yang memelihara, merawat dan mengembangkan bahan pustaka. Tiada henti pustakawan mempromosikan koleksinya supaya dikenal masyarakat dan lingkungannya.

Ada perpustakaan yang kurang beruntung. Tidak ada pustakawan yang merawat, memelihara, mengembangkan apalagi mempromosikan koleksi. Ibarat hidup segan mati tak mau. Demikian peribahasa menggambarkan situasi itu.

Maka sangatlah penting kehadiran dan peran pustakawan dalam menjaga kelangsungan perpustakaan. Hal ini sangatlah penting untuk kehidupan manusia yang terus berkembang ilmu pengetahuan dan peradabannya.

*Penulis adalah Pustakawan STIKes Budi Luhur Cimahi

Karl Lagerfeld dan Perpustakaannya

Tak kalah nyentrik juga perpustakaannya. Disusun horizontal, tidak vertikal sebagaimana kebanyakan perpustakaan pada umumnya"

Oleh: Khusnul Khatimah*

Terdengar berita mengejutkan dari industri mode dunia. Karl Lagerfeld mangkat. Usianya 85 tahun. Semasa hidupnya, perancang adibusana dari rumah mode Chanel itu dianggap berhasil membawa industri model kelas atas ke level yang berbeda. Selain itu, Lagerfeld juga pernah merancang busana untuk toko fesyen kelas menengah. Ia percaya siapa pun dapat berpakaian bagus dengan uang sedikit.

Karl Lagerfeld
Karl Lagerfeld
Lagerfeld dikenal sebagai pribadi yang nyentrik. Lihat saja cara dia berpakaian: rambut panjang putih yang dikuncir kuda, kemeja kerah tinggi, dan tak lupa kacamata hitam. Konon gaya berkemeja itu ditirunya dari ayah baptisnya.

Perpustakaan Karl Lagerfeld
Perpustakaan Karl Lagerfeld
Tak kalah nyentrik juga perpustakaannya. Yang terletak di rumahnya di salah satu jalan ternama di Paris. Perpustakaan itu berisi 300.000 buku! Disusun horizontal, tidak vertikal sebagaimana kebanyakan perpustakaan pada umumnya. Dengan begitu, Lagerfeld dapat membaca judul pada punggung buku tanpa memiringkan kepalanya. Selain itu juga untuk menghemat tempat. Bagaimana kalau ingin membaca buku di tumpukan paling bawah? Tidak perlu repot-repot dipikirkan. Toh, Lagerfeld nampaknya puas dengan susunan seperti itu.

Buku-Buku Karl Lagerfeld
Buku-Buku Karl Lagerfeld di Susun Secara Horizontal
Lagerfeld suka buku puisi. Seperti karangan Emily Dickinson. Yang ditulis dalam bahasa aslinya. Lagerfeld tidak suka membaca puisi terjemahan. Ia sendiri fasih berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia.

Lagerfeld bukan satu-satunya pesohor dunia yang gemar mengoleksi buku. Sebut saja George Lukas (27.000+), Michael Jackson (10.000+), Harry Houdini (5.000+), Oprah (1.500+) hingga Marilyn Monroe (400+). Di Indonesia, kita kenal sosok seperti B.J. Habibie dan Fadli Zon. Koleksi saya sendiri tak pernah saya hitung jumlahnya. Yang jelas jauh dari koleksinya Monroe, apalagi Lagerfeld. Dan sebagiannya juga belum dibaca (ahem!).

*Penulis adalah pustakawan dan pembelajar di Kelompok Studi Kedokumentasian Indonesia (http://www.kappasigmakappa.id/)

Sumber gambar: Piotr Stoklosa

Senin, 18 Februari 2019

Cinta Buku dan Perpustakaan

Perjalanan hidup ini tidak mengarahkan saya untuk mencapai apa yang saya cita-citakan tetapi menghantarkan saya kepada apa yang saya suka dan cinta sejak kecil yaitu buku dan perpustakaan"
Oleh: Rahayu, S.Pd., S.l.Pust.*

Sejak kecil seperti pada umumnya anak-anak lain saya juga mempunyai cita-cita. Cita-cita saya ingin menjadi seorang guru. Hal itu mungkin karena setiap hari bertemu bapak dan ibu guru yang menurut saya mereka adalah orang pintar dan mengetahui banyak hal.

Tidak pernah terbayangkan kelak akan menjadi seorang pustakawan karena belum pernah sekalipun bertemu dengan sosok pustakawan. Perpustakaan SD kami hanya ada guru yang merangkap menjadi guru kelas.

Sang Guru
Credit: Openclipart
Jam istirahat sekolah adalah saat yang sangat ditunggu karena itu adalah waktu berkunjung ke perpustakaan. Saya meminjam beberapa buku untuk dibawa pulang ke rumah. Buku-buku  menjadi bahan bacaan dan hiburan, karena saat itu tidak banyak hiburan seperti jaman sekarang.

Buku perpustakaan menjadi teman dan sahabat di waktu luang yang sangat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Kebiasaan mengisi waktu luang dengan membaca buku terus berlangsung hingga saat ini.

Cita-cita sejak kecil untuk menjadi seorang guru akan segera tercapai dengan diterimanya saya kuliah di sebuah institut keguruan di kota Bandung. Semester demi semester saya tempuh hingga akhirnya lulus. "Saya akan segera menjadi seorang guru" pikir saya waktu itu.

Nasib baik belum saja berpihak kepada saya untuk menjadi seorang guru. Hingga suatu waktu ada kesempatan untuk mengikuti DIKLAT Tenaga Teknis Perpustakaan di Perpustakaan Daerah Jawa Barat selama 6 bulan.

Bertahun-tahun masih saja belum ada kesempatan lulus tes menjadi guru. Akhirnya saya mendapat tawaran menjadi pustakawan di perpustakaan sekolah.

Ternyata hal yang tidak terduga saya merasa nyaman bekerja menjadi pustakawan karena bisa mencerdaskan siswa-siswa melalui bahan bacaan. Saya senang jika ada siswa yang berkunjung, membaca dan apalagi meminjam buku.

Di sela-sela waktu bertugas,  saya menyempatkan untuk membaca buku dan hal itu yang saya suka sejak kecil.

Menurut saya, pustakawan adalah profesi yang mulia karena bisa mencerdaskan semua kalangan masyarakat. Tidak menjadi seorang guru tidak mengapa karena saya bisa menjadi seorang pustakawan yang dekat dengan dunia buku.

Perjalanan hidup ini tidak mengarahkan saya untuk mencapai apa yang saya cita-citakan tetapi menghantarkan saya kepada apa yang saya suka dan cinta sejak kecil yaitu buku dan perpustakaan. Sayapun bersyukur karena mendapat beasiswa melanjutkan kuliah S1 Ilmu Perpustakaan di Universitas Terbuka dari kantor tempat saya bekerja, dan saat ini saya telah menyelesaikannya. Hidup tidak selalu seperti yang diinginkan tetapi hidup seperti apa yang sedang dijalani.

*Penulis adalah Pustakawan STIKes Budi Luhur Cimahi 

Minggu, 17 Februari 2019

Pengalaman Saya Bekerja di Tiga Perpustakaan Agar Dapur Tak Sekedar Ngebul

Kalau ingin lebih, ya harus usaha lebih"
Halo teman-teman semuanya? Semoga sehat selalu dihari libur ini. Tulisan ini iseng saja sembari berburu koleksi digital. Koleksi digital untuk apa? Nantinya teman-teman juga tahu kalau sudah membaca tulisan ini sampai akhir. Ingat! Kalau sampai akhir loh ya.

Sampai sekarang, jika saya ditanya oleh seorang teman dekat misalnya, "kerja dimana?" Maka, akan saya jawab di tiga perpustakaan. Kok bisa? Iya pastinya bisa donk. Berpikir kreatif itu bisa datang manakala kalau sudah berhubungan dengan fulus, he..he..

Bekerja di tiga perpustakaan itu, pastinya ada tujuanya. Selain karena memang senang dengan dunia perpustakaan, faktor fulus seperti yang saya bilang itu juga masuk dalam daftar urutan paling urgent. Paling tidak, solusi dalam ketahanan ekonomi keluarga minimal bisa tercukupi.

Serba Cukup

Di Grup Pustakawan Blogger, persoalan ketahanan ekonomi pustakawan sering dilontarkan oleh Kang Yogi misalnya dengan istilah asal dapur ngebul. Bukan tanpa alasan Kang Yogi menyebutkan istilah tersebut karena memang isu kepustakawanan yang mendera adalah salah satunya karena faktor gaji yang minim khususnya di perpustakaan-perpustakaan sekolah tertentu. Saya tidak pukul rata. Bahkan, Paijo pernah menyinggung tentang itu di blog pribadinya.

Menyoal asal dapur ngebul ini juga mengingatkan perkataan emak saya misalnya, aja sampe pedaringan gelimpang.  Artinya kurang lebih sama dengan asal dapur ngebul. Nah, dari situ juga yang membuat saya bersemangat untuk bekerja di tiga perpustakaan. Selain itu, tentu saja karena saya teringat pesan dari teman babeh yang membeli Vespa saya. Katanya, "baka pegawai pengen ana luwihe, ya kudu duwe usaha sampingan." Artinya kalau seorang pegawai itu ingin ada lebihnya, ya harus punya usaha sampingan.

Lantas, apa maksudnya agar dapur tak sekedar ngebul? Begini, kalau biasanya telinga kita lazim mendengar asal dapur ngebul, maka hemat saya ada kesan hanya menyangkut soal pangan saja. Padahal, saya tentu ingin lebih dari itu. Tapi, bukan berarti saya merasa belum cukup, lalu tidak bersyukur. Bukan! Alhamdulillah, selama ini lebih dari cukup. Ya, namanya juga usaha, kalau ingin lebih, ya harus melakukan usaha lebih juga bukan? Singkatnya begini, agar dapur tak sekedar ngebul itu inginya serba cukup. Misalnya anggap saja ketika ingin ngasih orang tua, uangya cukup. Ingin membeli rumah, uangnya juga cukup, ingin ke tanah suci, uangnya cukup. Ingin membiayai pendidikan anak, uangnya cukup. Ingin membeli kendaraan, uangnya cukup. Ingin jadi donatur pesantren, masjid, atau buku, juga cukup. Pendek kata, serba cukup. Semoga ya Allah. Amin.


Perpustakaan Keempat

Ok, kembali lagi dengan tiga perpustakaan diatas. Lantas, dimana saja sih tiga perpustakaan itu? Perpustakaan pertama, yakni di perpustakaan khusus (lembaga) dibidang nuklir. Agar tak tertukar, saya sebut nama instansinya langsung, yakni BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir). Sengaja saya sebut langsung, soalnya sering ketukar sama BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional). Memang sih, lahirnya BAPETEN itu tidak terpisahkan dari BATAN karena dulu bagian dari salah satu unit kerja yang ada di BATAN. Tapi, sekarang sudah satu level. Sama-sama LPNK. Sementara itu, perpustakaan kedua adalah perpustakaan pribadi di rumah dan perpustakaan ketiga adalah perpustakaan digital di dunia internet.

Perpustakaan pertama, jam kerjanya jelas, sebagai pustakawan, 8 jam sehari dan penghasilannya tetap. Pemustakanya juga jelas, hanya para pegawai lingkungan sendiri walaupun orang luar boleh datang, tapi hanya sekedar membaca. Di perpustakaan ini, saya masih berproses menjadi seorang pustakawan agen ganda yang harus suka dengan dunia radiasi (baca: Mampukah Saya Menjadi Double Agent?)

Perpustakaan kedua, sebagai kepala perpustakaan sekaligus pustakawannya, jam kerjanya tak terbatas. Pemustakanya keluarga sendiri mulai dari istri, anak, keponakan, paman, bibi, pokoknya yang masih ada unsur kerabat. Selain itu juga teman dan tetangga. Tak ada gaji bekerja di perpustakaan pribadi ini. Tapi, kalau dikaitkan untuk mendukung penghasilan, maka perpustakaan ini manfaatnya begitu besar karena sebagai amunisi dalam menulis. Pastinya menulis untuk memperoleh fulus. Sejatinya masalah fulus itu nomor ke berapa. Hal terpenting adalah praktik sebagai pustakawan aktif (baca: Disrupsi, Pustakawan Radikal, dan Donatur Buku ). Walaupun, sebelum ada istilah itu, bekerja di perpustakaan keluarga sudah saya lakukan sejak lama. Bisa dikatakan pengumpulan koleksinya dari mulai menjadi mahasiswa (kisahnya bisa dibaca di ebook Dua Dunia Seirama). Dahulu perpustakaan pribadi itu saya namakan Lovely Mom's Library. Saya ingat betul, buku pertama yang dibeli saat itu adalah Men Are from Mars, Women Are from Venus yang ditulis John Gray. Dalam perpustakaan keluarga juga sama, ada budget pengembangan koleksi, layanan peminjaman, minimal saya promosi orang-orang terdekat dulu.

Men Are from Mars, Women Are from Venus
Koleksi pertama yang saya beli untuk perpustakaan pribadi sejak tahun 2002
Perpustakaan ketiga pemustakanya tak terbatas. Semua pengunjung internet yang memang memerlukan informasi di perpustakaan digital yang saya himpun. Penghasilan juga tak terbatas, dalam arti kadang kecil, kadang juga besar atau bahkan, bisa nihil. Tergantung fluktuasi pengunjung. Jam kerja di perpustakaan digital juga bebas dan tak ada ruang secara fisik. Senjatanya cuma laptop dan koneksi internet. Satu lagi, tidak malas karena harus berburu banyak bahan koleksi di hutan belantara yang kejam. Khusus yang ketiga ini, sengaja saya tidak pernah promosikan ke siapa-siapa. Biarlah mesin pencari yang mengantarkan mereka para pencari informasi sampai ke perpustakaan digital yang saya buat itu. Jadi, kalau ada yang nanya, "emang alamat perpustakaan digitalnya apa?" Maka dengan berat hati, tidak akan saya jawab. he....he... Biarlah perpustakaan digital saya itu tetap misterius yang dikelola pustakawan tanpa nama. Ciye..he..he..

Sebenarnya, ada lagi keinganan saya untuk bekerja di perpustakaan yang keempat sebagai kepuasan batin. Dimana itu? Perpustakaan masjid atau musola. Ya, saya kadang berkhayal sembari jadi marbot sekaligus jadi pustakawan masjid atau musola. Enak kali ya.

Usaha Lebih

Perpustakaan pertama dan kedua saya anggap teman-teman sudah tahu. Sedangkan perpustakaan ketiga, mungkin masih ada yang belum paham dari mana memperoleh penghasilannya? Sementara ini saya dapatkan hanya dari iklan pihak ketiga. Itulah kenapa penghasilanya tak terbatas karena memang bergantung pada jumlah pengunjung.

Ok, segitu dulu celoteh saya hari ini. Namanya juga menulis iseng sembari berburu koleksi untuk perpustakaan digital saya agar dapur tak sekedar ngebul. Nanti kapan-kapan saya lanjutkan. Mungkin, bisa jadi nanti saya sedikit mengulas tentang kewirausahaan apa saja yang cocok untuk pustakawan. Bagaimana dengan teman-teman? Punya cerita? Boleh dong tulis dikolom komentar atau tulis di Blog Pustakawan Blogger ini.

Oh iya, terakhir, satu kesimpulan yang bisa diambil garis besarnya, jo lali, kalau ingin lebih, ya harus usaha lebih. Teman-teman pasti sudah tahu bukan? Pustakawan gitu loh!

Salam,
#pustakawanbloggerindonesia

Rabu, 13 Februari 2019

Perpustakaan Sebagai Lembaga Sensor

Memilih koleksi perpustakaan sekolah dasar, harus melalui banyak pertimbangan, di antaranya kesesuaian level baca, minat dan kepopuleran.

Sebagai pustakawan sekolah dasar, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam pengadaan koleksi. Di antaranya, kesesuaian level baca anak, minat, dan tentunya kepopuleran buku tersebut di antara pembaca seusia mereka. Biasanya sih yang dicari adalah buku yang ada filmnya, seperti Captain America, Captain Underpants, Diary of a Wimpy Kid, dan sejenisnya. Bisa dibayangkan lah yaa buku apa saja yang sering dicari?

Namun, tentu saja koleksi perpustakaan tidak melulu mengikuti kesukaan anak-anak saja. Ada pula koleksi yang harus dibeli meski kurang populer. Seperti misalnya cerita klasik. Mau tidak mau harus dibeli, karena tidak mungkin dong mereka hanya membaca fiksi populer saja? Cerita klasiknya tentu disesuaikan dengan usia dan kemampuan membaca mereka: yang teksnya mudah dan banyak gambarnya.

Selain fiksi, koleksi non fiksi juga harus dibeli. Ini juga buku-buku yang jarang dilirik siswa. Koleksi ini populernya saat mereka riset. Biasanya setelah guru bersabda agar mereka mencari informasi tentang satu topik, barulah buku-buku ini banyak dicari.

Repotnya, jika buku-buku yang sudah dengan hati-hati dipilih ini, ternyata menyebabkan kerusuhan di perpustakaan. Umumnya terjadi jika ada gambar-gambar tidak senonoh di dalamnya. Mulai dari buku cerita bergambar deh. Tidak semua buku cerita bergambar ini aman untuk anak-anak, ternyata. Contohnya buku ini, “Mr. McGee and the Biting Flea.”

Jadi ceritanya Mr. McGee sedang main layangan, tiba-tiba dia merasa ada yang gigit! Maka dia pun berlari sambil membuka bajunya satu persatu.

Tidak hanya baju, dia juga melepaskan celana dan semua sampai jeroannya! Parah kan Mr. McGee? Gak tahu apa kalau itu AURAAATTT..!


Lalu buku klasik “The Jungle Book.” Mowgli setelah besar dan tinggal bersama hewan-hewan sih, sudah lebih beradab ya, dia pakai celana. Mungkin sudah baligh.


Tapi sebelum dia dipelihara sama hewan-hewan, dia ditemukan dalam keadaan bugil. Meski digambar masih balita gitu, tetap saja anak-anak cekikikan melihat paha Mowgli kemana-mana. Duh, aurat lagiii…!

Lalu buku non fiksi harusnya aman dong? Gak juga, ternyata pemirsah!

Ini buku judulnya “Gods, Heroes and Monsters.” Isinya ya tentang mitologi gitu deh, dewa-dewa, hewan dalam mitologi dan sebagainya. Awalnya saya pikir anak-anak kok hebat ih, selalu mengerumuni buku non fiksi, padahal tidak ada info mereka harus riset topik ini.

Mereka sangat ingin tahu ya tentang dunia mitologi, pikir saya. Tapi lama kelamaan kok baca buku rame-rame sambil giggling. Curiga dong saya? Sebelum sempat ditanya, seorang anak bilang kalau buku ini ada gambar seksinya. WHAT? Seksi di mana?

Dibuka halaman, dan ternyata... patung, sodara-sodara! Patung gak pake baju sih, tapi tetap saja, itu P A T U N G! Saya sampai speechless.

Ya sudah lah. Akhirnya memang semua buku harus disensor. Lalu apa yang saya lakukan jika terdapat buku penuh ketidaksenonohan seperti ini? Karena saya bukanlah pelukis atau orang yang punya bakat menggambar, saya langsung angkut buku-buku tersebut ke ruang kelas art, dan meminta gurunya menyensor gambar-gambar tersebut. Guru art kan jago, ya kan? Dan ada saja idenya untuk menutupi gambar-gambar itu.



Seperti yang ini, dia menggambarkan celana dengan spidol. Mr. McGee nggak pamer aurat lagi deh!


Kalau yang ini pakai spidol perak. Ada saja caranya bikin celana yang fashionable di hutan. Untung anak-anak gak nanya, ini celana bikinan designer mana.


Nah, kalau yang ini saya nggak tahu deh bagaimana dia akan berkarya. Soalnya saya belum sempat menemui beliau. Penasaran gak hasilnya gimana? Saya juga :D

**

Penulis: pustakawan sekolah dasar di Bintaro, yang sekarang sukanya main di Instagram dengan akun @bookdragonmomma. Website: book-corner.blogspot.com


Senin, 11 Februari 2019

Makhluk Setengah Dewa


Kali ini Bulan mau bilang  Pustakawan itu adalah “Makhluk Setengah Dewa”. Oleh Hariyah

Mengamati begitu banyaknya persoalan, gonjang-ganjing di dunia kepustakawanan, membuat Bulan sang pustakawan mikir juga. Sebenarnya di mana sih sumber permasalahannya. Ada banyak hal ya yang perlu dilihat. Memang gak bisa memandang sepotong-potong. Menurut Bulan dari berbagai ide, pengalaman, kritik, diskursus dan banyak deh, wabil khusus  dari blog pustakawan ini, Bulan mau mulai dari tiga titik ini. Apa itu? Yakni Pustakawan, Perpustakaan, dan Regulasi. Bulan mau pakai bahasa yang ringan-ringan saja.  Bulan gak canggih ama yang berat-berat, hihihi.
            Dari titik Pustakawan, Bulan mau melihat bahwa seseorang bisa disebut pustakawan karena dua hal. Ini pikiran bebas Bulan, terlepas dari teori-teori yang ada lho ya. Pertama, karena dia sekolah perpustakaan dan kedua, karena dia bekerja di perpustakaan. Udah simpel gitu aj. Tapi ternyata gak sesimpel itu. Yuk kita lihat apa kata Bulan. Pertama, dia berlatar pendidikan perpustakaan, dan berkeja di perpustakaan, maka dia pustakawan. Kedua, dia berlatar pendidikan bukan perpustakaan dan bekerja di perpustakaan, maka dia pustakawan. Ketiga dia berlatar belakang bukan pendidikan perpustakaan, tidak bekerja di perpustakaan, tapi punya jiwa pustakawan dengan mendirikan taman baca misalnya, maka bisa jadi dia disebut pustakawan. Keempat, dia punya latar belakang pendidikan perpustakaan, tidak bekerja di perpustakaan, tetapi mengajar ilmu perpustakaan, maka bisa jadi dia disebut pustakawan. Kelima, dia tidak punya latar belakang pendidikan perpustakaan, dia tidak bekerja di perpustakaan, tetapi dia membuat sistem teknologi informasi untuk perpustakaan dan sangat concern di situ, apakah dia pustakawan, bisa jadi ya, dia pustakawan. Nah menurut teman-teman di sini, manakah pustakawan sejati.
            Oke, Bulan lanjut dulu dengan perpustakaan. Apa sih yang disebut perpustakaan.  Terlepas dari pengertian-pengertian yang ada di teori pula, Bulan mau lihat secara umum aja. Pertama, perpustakaan itu  bisa sebuah gedung sendiri, lengkap dengan segala sarana prasarananya. Kedua, perpustakaan itu bisa sebuah ruang dalam suatu gedung, lengkap dengan sarana prasarananya. Ketiga, perpustakaan itu bisa sebuah sudut baca atau pojok baca dalam suatu gedung atau ruangan. Keempat, perpustakaan itu bisa sebuah gedung tapi tidak/kurang lengkap sarana prasarananya. Kelima, Perpustakaan itu bisa sebuah ruang, yang juga tidak/kurang lengkap sarana prasarananya. Keenam, perpustakaan itu bisa juga suatu benda, ruang atau obejk yang bergerak atau digerakkan keliling daerah, yang didalamnya ada koleksi. Nah samakah perlakuan model-model perpustakaan ini dalam mengelolanya.
            Baik Bulan lanjut lagi dengan Regulasi. Yuuk kita sebutkan regulasi apa saja yang berbunyi atau menjadi payung kegiatan kepustakawanan. Pertama, dan tertinggi ada UUD NO.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Kedua, adalah Keppres tentang perpustakaan, sepertinya belum ada ya. Ketiga, adalah Kepmen atau keputusan menteri, adakah tentang perpustakaan. Di beberapa  K/L (Kementerian/Lembaga) ada, tapi mungkin tidak semuanya pula ada, secara perpustakaan yang ada di K/L kedudukannya berbeda-beda. Keempat, adalah Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional, tentu ini ada. Kelima, adalah Keputusan Gubernur atau jajaran di bawahnya tentang perpustakaan, adakah. Wallahu a’lam. Mohon koreksinya ya jika ada yang salah.
            Kembali ke masalah kepustakawanan, maka kondisi beragam yang Bulan sampaikan di atas dan ini debatable, tidak bisa hanya dilihat dari satu aspek saja. Hanya pustakawannya saja, atau hanya perpustakaannya saja, atau hanya regulasinya saja yang dicermati. Mungkin juga ada aspek lain yang Bulan gak sebutkan, misalnya organisasi profesinya yang harusnya bisa melindungi anggotanya. Tapi bagaimanapun keren, canggih dan dahsyat perpustakaan dan regulasinya, tetap saja subjek yang menjalankan itu adalah sang Pustakawan. Tak peduli kecil atau besar masalah yang dihadapi sang Pustakawan, dia harus bisa survive, harus Tegar.
            Teringat jadinya Bulan pada beberapa tulisan di blog ini yang cukup menarik. Pustakawan menjadi subjek yang paling banyak dikritisi. Bulan mencatat beberapa kata kunci diantaranya dari tulisan “10 Pustakawan Strawberry” oleh Nugroho D. Agus. Pustakawan itu adalah orang yang seharusnya bermental growth mindset bukan fixed mindset, bermental cognitive flexibility, bermental deep understanding, bermental driver, pustakawan bermental rajawali. 
Lalu juga pustakawan adalah sosok yang peka terhadap kondisi sekitar. Pustakawan bisa menulis. Pustakawan bisa meneliti. Pustakawan bisa mengajar. Pustakawan harus tahu perkembangan TI (Teknologi Informasi) dan menerapkannya dalam aktivitas kepustakawanannya. Pustakawan harus tahu kebutuhan usernya. Pustakawan harus aktif. Pustakawan harus literate. Pustakawan gak boleh hoaks. Pustakawan gemar membaca. Pustakawan bisa mendongeng. Pustakawan harus up to date. Wow banyak banget deh.
            Bahkan dalam bincang-bincang Bulan dengan sesama pustakawan di tempat lain, pustakawan itu bahkan yang mengelola perpustakaan dari A to Z, yang membuat rencana anggaran, yang membuat kerangka acuan kerja, yang membuat laporan kegiatan, yang membuat SPJ, yang membuat naskah pidato menteri, yang menyiapkan akreditasi, yang mengisi seminar, yang mengubah from 0 to 1, dan banyak lagi. Pustakawan deritamu adalah pahalamu, mungkin begitu ya. Hihihi. Atau mungkin pernah dengar Pustakawan Palugada “Apa Lu Mau Gua Ada”.
            Jadi meminjam istilah dari blog ini juga, “Makhluk apakah Pustakawan itu”. Kalo Iwan Fals punya lagu Manusia Setengah Dewa, maka kali ini Bulan mau bilang  Pustakawan itu adalah “Makhluk Setengah Dewa”. 

Refleksi Perpustakaan dan Pustakawan dalam Mendukung SDG’s

"Sosok pustakawan sebenarnya ialah seorang individu yang harus mampu dan peka terhadap kondisi sekitar. Tidak hanya berbicara dan fokus didalam organisasi informasi, namun keahlian serta keterampilan yang lain juga perlu untuk diasah"

Oleh: Intan Dita Wira, A.Md*

Pembangunan berkelanjutan merupakan visi nasional yang selaras dengan visi internasional. Pada tahun 2015 kita mengenal istilah MDG’s (Millenium Development Goals) sebagai salah satu tujuan dan kesepakatan negara-negara untuk melakukan pembangunan. Kemudian diawal tahun 2016 telah hadir SDG’s (Sustainable Development Goals) atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan berkelanjutan. Indonnsia ialah salah satu negara yang menyepakati penerapan  SGD’s hingga tahun 2030 dengan prinsip tidak seorang pun ditinggalkan (no one left behind). Didalam visi tersebut terdapat 17 tujuan utama yang harusdapat dicapai keseluruhan elemen. Salah satu tujuan yang menjadi sasaran utama adalah  menjamin pendidikan yang inklusif dan setara secara kualitas dan mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua, terdapat pada poin tujuan keempat.  
Refleksi Perpustakaan dan Pustakawan dalam Mendukung SDG’s
Credit: uno.org
Tentunya untuk mendukung pendidikan yang iklusif dan berkualitas, peran perpustakaan sangat dibutuhkan. Salah satunya melalui pengembangan perpustakaan tersebut. IFLA sebagai salah satu organisasi perpustakaan internasional telah memberikan beberapa usulan yang dapat dilakukan secara sinergis oleh beberapa negara lainnya dalam mengembangkan perpustakaan untuk mendukung SDG’s dan yang paling penting menjamin adanya pendidikan yang berkualitas. Selain itu Perpustakaan Nasional juga telah mengeluarkan berbagai program yang disinergiskan dengan visi besar SDG’s, selain itu salah satu upaya penguatan perpustakaan juga harus diimbangi dengan penguatan pustakawan sebagai penggerak utama dalam menjalankan proses pengelolaan serta organisasi informasi. Namun, beberapa fenomena yang terjadi hingga saat ini di dunia perpustakaan dan pustakawan sebagai berikut:


a. Pemerintah Setengah Hati Dalam Pengembangan Dan Penguatan Perpustakaan

Hal ini banyak ditemukan dibeberapa daerah, dengan bentuk perpustakaan yang belum mampu menyediakan kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2017-2018 yang menjadi prioritas pemerintah pusat ialah pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, dll.). Namun, untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur dan pengembangan perpustakaan belum menjadi prioritas utama. Selain itu, peningkatan kapasitas untuk pustakawan juga masih sangat minim. Terutama pustakawan di tingkat sekolah, tentunya ini akan memberikan dampak yang besar terhadap ketercapaian pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Jika dalam hal prioritas saja pengembangan perpustakaan tidak menjadi poin utama, maka mimpi untuk menjamin pendidikan berkualitas akan sulit untuk tercapai.


b. Pandangan Masyarakat: Profesi Pustakawan Dianggap ‘Remeh’

Pandangan masyarakat serta stereotip yang muncul tentang profesi pustakawan masih sangat jauh dari penghargaan. Hampir seluruh masyarakat memberikan penilaian remeh terhadap profesi pustakawan. Hal ini dikarenakan  anggapan secara umum, tugas pustakawan ialah “menjaga dan menata buku”. Pemahaman masyarakat tentang profesi tersebut tidak perlu disalahkan, karena kenyataan terdekat disekitar mereka ialah demikian. Sehingga seharusnya diera yang serba canggih saat ini pola pikir masyarakat perlahan harus mulai diubah tentang paradigma pustakawan, dengan cara memberikan pemahaman atau melakukan kampanye secara massif tentang profesi pustakawan sebagai pendukung pendidikan berkualitas di Indonesia.


c. Perebutan Jabatan Dan Label Pustakawan

Paradigma profesi pustakawan atau jabatan sebagai pustakawan masih banyak terjadi. Seperti di beberapa lembaga pendidikan, antara lain: perguruan tinggi dan sekolah. Dengan demikian polemik internal ini belum selesai dan tuntas secara pemahaman dan fungsionalnya. Jika hal ini terus berlarut, maka tujuan utama hadirnya pustakawan sebagai penyedia informasi untuk seluruh masyarakat dan pendukung pendidikan berkualitas akan sulit untuk tercapai. Sehingga seharusnya para pustakawan harus segera kembali kepada khittah-nya untuk dapat memberikan informasi serta rujukan berkualitas untuk masyarakat. 

d. Minimnya Peningkatan Kapasitas Pustakawan

Sosok pustakawan sebenarnya ialah seorang individu yang harus mampu dan peka terhadap kondisi sekitar. Tidak hanya berbicara dan fokus didalam organisasi informasi, namun keahlian serta keterampilan yang lain juga perlu untuk diasah. Seperti halnya keahlian di dalam bidang IT, public speaking, analisis sosial, dan peningkatan daya kritis. Terkadang kebutuhan untuk meng-upgrade keahlian serta ketrampilan pustakawan tersebut sangat minim mendapatkan dukungan, serta penyediaan sumber daya dari pemegang kebijakan. Sehingga fungsinya masih sebatas pelengkap dalam menunjang akreditasi suatu lembaga. 

Beberapa pemaparan diatas merupakan fenomena global yang biasa terjadi di dunia perpustakaan dan pustakawan Indonesia. Sungguh tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) yang dituangkan didalam 17 tujuan utama menjadi ciita-cita besar bangsa Indonesia. Sehingga peran perpustakaan sebagai penyedia informasi dan pengelolaan informasi harus dilibatkan secara massif, pemerintah sebagai pengambil kebijakan wajib mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, agar cita-cita literasi informasi dan pendidikan yang inklusif serta berkualitas dapat dicapai secara maksimal. 

*Penulis aktif sebagai pegiat Anti Korupsi di Malang Corruption Watch, penulis lepas, book reviewer, dan pustakawan di Komunitas Kalimetro. Selengkapnya dapat kunjungi laman pribadi saya di www.dinamiskeren.blogspot.com

Minggu, 10 Februari 2019

Pustakawan Bisa Apa (Lagi)?

"Kepustakawanan Indonesia bak rumah besar dengan seribu pintu. Hiasilah ia dari sisi mana saja yang engkau bisa. Agar indah nan berwarna."
Judul di atas sebenarnya sudah digunakan oleh Mbak Sunarsih yang merupakan pustakawan di Dinas Perpustakaan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Saya mengenal beliau, selain karena memang se-profesi, kami juga berasal dari daerah yang sama, yaitu Pati. Kendati saya tinggal di Yogyakarta. hehe

Di dalam tulisan tersebut, Mbak Sunarsih sudah mengulas paling tidak lima hal yang dapat dilakukan oleh Mbak Sunarsih yang notabene seorang pustakawan (baca lengkapnya: Pustakawan,Bisa Apa?).

Sejujurnya, judul "Pustakawan, bisa apa?" ini menarik diulas lagi. lebih luas, lebih panjang, dan lebih lebar. Tidak hanya dalam satu tulisan, namun bisa menjadi puluhan tulisan sekalipun. Jika perlu, judul tersebut diulas menjadi sebuah buku dengan judul baru, "100 Kiprah Pustakawan Indonesia dari A-Z" atau "75 Alasan Kenapa Kamu Harus Jadi Pustakawan". Agar apa? ya agar dunia ini tahu siapa makhluk bernama pustakawan itu.

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini, saya "nyemplung" ke dalam dunia penerbitan buku. Dunia yang sebenarnya tidak asing bagi saya karena pernah diajarkan di dalam perkuliahan dengan nama mata kuliah "Penerbitan dan Perbukuan" tat kala mengenyam bangku perkuliahan di Jurusan Ilmu perpustakaan. Di dalam perkuliahan tersebut dibahas tentang ISBN, Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR), HAKI, distribusi buku, dan lainnya. Hanya saja waktu itu tidak begitu paham detailnya karena belum merasa perlu.

Tepatnya di tahun 2015 saya mulai belajar penerbitan buku dan mendirikan sebuah penerbitan buku indie bernama Azyan Mitra Media (www.azyanmitramedia.com). Sebelumnya, Kang Murad Maulana dalam blognya www.muradmaulana.com pernah menyinggung sekilas Azyan Mitra Media dengan judul Kisah Pengalaman Saya Menulis dan Menerbitkan Buku: Dari Mayor Sampai Indie"

Perjalanan saya ke dunia penerbitan ini tidak tiba-tiba. Proses yang cukup panjang ini berawal dari kegalauan dan kegundahan pribadi ketika mencari referensi buku-buku bertema kepustakawanan di toko buku yang teramat susahnya. Tidak semua toko punya koleksi buku bertema kepustakawanan. Kalaupun ada, judulnya tidak lebih dari sepuluh hitungan jari dan judulnya bisa dipastikan itu-itu saja. Seakan sedang mengalami kejumudan. Tragis bukan?

Dari sini pertanyaan itu muncul. Mengapa sedikit sekali buku-buku bertema kepustakawanan di toko buku? Terlebih ini di toko-toko buku di daerah Jogja yang notabene adalah kota pelajar dimana seharusnya akses buku lebih gampang.

Saya menduga bahwa sedikitnya literatur di bidang kepustakawanan dikarenakan dua faktor. Pertama, sedikitnya pustakawan yang mau menulis. Kedua, minimnya minat penerbit untuk menerbitkan buku bertema perpustakaan. Hal ini karena tema perpustakaan tidak menjual atau tidak marketable. Namun, dugaan saya lebih condong pada poin 2, yaitu minimnya penerbit yang minat terhadap tema perpustakaan. Jika dilihat, beberapa nama penerbit yang masih menerbitkan buku tema perpustakaan hanya Graha Ilmu, Ar-Ruzz Media, Sagung Seto, dan beberapa lainnya yang jumlahnya tidak banyak. Bahkan, rasa-rasanya Penerbit kelas wahid, Gramedia, belum lagi menerbitkan buku tentang (ilmu) perpustakaan setelah terbitnya karya Profesor Pertama di bidang ilmu perpustakaan di Indonesia, Prof. Sulistyo-Basuki yang berjudul "Pengantar Ilmu Perpustakaan".

Saya meyakini bahwa saat ini jumlah pustakawan yang menulis sudah banyak.Hanya saja tidak didukung adanya penerbit buku yang mau menerbitkannya karena alasan market (pasar). Maka, sepertinya benar-benar dibutuhkan adanya sebuah wadah penerbitan yang memiliki idealisme di bidang perpustakaan. Tujuannya tidak lain adalah tumbuhnya literatur yang subur di bidang kepustakawanan.
Credit: https://pixabay.com
Semakin banyak literatur di bidang perpustakaan, tentu akan semakin bagus. Masyarakat yang ingin mengenal lebih dekat dengan pustakawan bisa tahu melalui buku yang ia baca. Namun, kalau buku-buku tentang pustakawan dan juga kepustakawanan saja tidak ada atau minim jumlahnya, bagaimana bisa orang (baca: masyarakat) dapat mengenal siapa itu pustakawan.

Masyarakat perlu literatur tentang kepustakawanan yang menggambarkan siapa itu pustakawan dan pernak-pernik pekerjaanya. Maka, jangan salahkan masyarakat jika saat ini masih miss persepsi bahkan tidak kenal siapa pustakawan. Bagaimana tidak? lha wong literaturnya saja minim, boss!

Melalui penerbitan ini, paling tidak kami sudah menerbitkan lebih sepuluh judul buku tentang kepustakawanan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Ke depan, kami masih terus berharap akan semakin banyak lagi literatur yang terbit di bidang kepustakawanan, baik melalui penerbit yang kami dirikan maupun penerbit lainnya. Mari kita sambut dengan suka cita.

Pada akhirnya, siapa lagi yang akan menyuarakan segala apa yang ada di perpustakaan jika tidak pustakawan itu sendiri?

Pustakawan bisa apa? Suarakanlah. Hiasilah kepustakawanan ini dari sisi mana engkau bisa. []




Moh. Mursyid
Wonokromo, Pleret, Bantul
10 Februari, jelang pukul 24.00 wib.