Tampilkan postingan dengan label Pustakawan Sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pustakawan Sekolah. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Oktober 2022

Kenapa Perpustakaan Sekolah Didominasi Buku Pelajaran?!?

 


18 Oktober sebenarnya adalah salah satu hari penting yang berhubungan dengan perpustakaan. Sayangnya, gaungnya kurang terdengar dibandingkan dengan perayaan Hari Kunjung Perpustakaan yang jatuh pada tanggal 14 September. Sedangkan 18 Oktober sebenarnya merupakan Hari Perpustakaan Sekolah Internasional. 

Minggu, 07 Juli 2019

10 'S' Sifat Pustakawan Jaman Now


Mumpung peringatan Hari Pustakawan Nasional yang jatuh pada tanggal 7 Juli, rasanya relevan sekali jika membahas tentang pustakawan. Sebenarnya di Indonesia, lumayan banyak pustakawan yang pintar, tapi sayangnya kurang terekspos. Kalau istilah Bu Labibah (UIN Sunan Kalijaga, Jogja) banyak pustakawan yang bekerja dengan giat, tapi bersifat tawadhu alias tak terlihat, hahaha... :D

Kamis, 28 Maret 2019

14 Tipe Pemustaka yang Datang ke Perpustakaan Sekolah


Bekerja di perpustakaan sekolah kurang lebih delapan tahun, lambat laun bisa mengenali berbagai jenis pemustaka yang datang ke perpustakaan sekolah. Siapa sajakah itu?!?
1.     Tipe Rajin
Tipe ini biasanya datang sebelum perpustakaan buka, dan pulangnya musti diusir ‘halus’ saat perpustakaan tutup. Yang kayak gini biasanya karena lagi ngerjain tugas atau mencari referensi.

2.    Tipe Mendadak Rajin
Bedanya dengan tipe poin pertama adalah jika tipe rajin adalah yang memang benar-benar rajin ke perpustakaan, sedangkan tipe mendadak rajin ini biasanya datang ke perpustakaan di kala musim tugas yang sudah mepet deadline, musim ujian maupun remedi. Tipe jenis ini yang paling menyusahkan perpustakaan, mendadak tumpah di perpustakaan demi nilai pelajaran.


3.    Tipe Kutu Buku
Bisa dipastikan tipe ini adalah pemustaka yang hampir tiap hari pinjam buku ke perpustakaan atau pun membaca langsung di perpustakaan.

4.    Tipe Pamrih
Pamrih di sini maksudnya kalo bantuin pustakawannya pasti ada maunya. Salah satunya agar bisa mendapatkan reward pengunjung terbaik atau karena biar nggak dimarahin ama pustakawannya kalo abis ngilangin buku, hahaha... x))

5.    Tipe Ikhlas
Kebalikannya dengan tipe pamrih, tipe ini membantu pustakawan tanpa mengharapkan apa-apa. Membantu tanpa disuruh, inisiatif sendiri. Hal yang bisa dilakukan adalah membantu labeling, menyampul buku maupun menempel barcode. Bahkan juga membantu dalam hal pelayanan; peminjaman maupun pengembalian buku.

6.    Tipe Penggembira
Pemustaka tipe ini biasanya membuat perpustakaan menjadi ramai. Mulai dari tingkah laku sampai celotehannya. Anggap-anggap aja ada pelawak srimulat yang tampil gratis x))
7.    Tipe Modus
Modus bisa ke sesama pemustaka alias tebar pesona atau juga modus ke pustakawan agar terpilih sebagai pemustaka terbaik
8.    Tipe Absen Aja
Ada, ada banget yang kayak gini. Masuk perpus hanya mau absen doank, biar namanya tiap hari terdata di list buku pengunjung perpustakaan.
9.    Tipe Vandalism
Ini tipe pemustaka yang sebenarnya kreatif jika tidak bisa dikatakan jahil. Vandalism bisa ditemui di lembaran-lembaran buku, maupun di sudut-sudut perpustakaan. Daripada menimbulkan coretan yang tidak jelas, perpustakaan memberikan kesempatan bagi tangan-tangan kreatif itu untuk memeperindah perpustakaan, salah satunya bisa membuat doodle, lukisan maupun book quotes yang menjadi pajangan perpustakaan.

10. Tipe Numpang Ngadem
Kebanyakan tipe ini adalah pemustaka yang merupakan anak kos. Pulang sekolah lebih memilih ngadem di perpustakaan daripada pulang ke kosan. Banyak juga yang sehabis olahraga, karena kepanasan habis berjemur di lapangan, ngadem di perpus menjadi pilihan. Nah, yang tipe begini yang bikin aroma perpustakaan terkontaminasi x))


11.  Tipe Numpang Wifi
Seiring berkembangnya zaman, perpustakaan musti dilengkapi dengan hal-hal yang berbau teknologi. Salah satunya adalah sarana pengadaan wi-fi yang sangat membantu pemustaka dalam pencarian referensi dalam mengerjakan tugas. Apalagi anak kos, wifi gratisan di perpustakaan tentu lebih hemat daripada mencari wifi gratisan di kafe yang minimal harus membeli makanan atau minuman paling murah sekalipun.
12. Tipe Rekreasi di Perpustakaan
Sekarang ini, sebagian sekolah di Indonesia sudah menerapkan kurikulum 2013 yang artinya berangkat pagi pulang sore. Hal ini tak jarang menimbulkan kebosanan para siswa yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar di kelas. Salah satu hal yang bisa dilakukan di perpustakaan adalah menyediakan berbagai macam permainan yang mampu merefresh otak mereka setelah seharian belajar. Ada permainan uno stacko, catur, scrablle, dan masih banyak lagi.

13. Tipe Tukang Tidur
Masih menyambung dari tipe sebelumnya, para siswa sering kelelahan dalam belajar, maka ada beberapa siswa yang ke perpustakaan untuk istirahat sejenak. Favorit mereka adalah nyempil di sela-sela rak buku. Biasanya jarang saya bangunin, soalnya nanti bakal bangun sendiri, hahaha.. x))

14. Tipe Tukang Tjurhat
Tipe yang terakhir ini lumayan banyak. Kalau diperhatikan, yang datang ke perpustakaan sekolah malah lebih banyak yang tjurhat dibandingkan yang pinjem buku. Tjurhatannya pun beragam, mulai dari masalah pelajaran, keluarga dan yang paling banyak apalagi kalau bukan masalah cinta, hahaha… Entahlah, padahal sebenarnya sudah ada guru BK yang tugasnya menampung keluh kesah mereka, tapi malah lebih sering tjurhat ke pustakawan.. x))
Ada yang bisa menambahkan, tipe pemustaka apalagi yang bisa ditemukan di perpustakaan sekolah?!? :D

Ditulis oleh
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri 2 Metro, Lampung

Jumat, 22 Maret 2019

Sabtu, 16 Maret 2019

Naruto di Perpustakaan Sekolah


Berhubung tema serangan udara ke 2 yang diadakan oleh Pustakawan Blogger salah satunya adalah tentang perpustakaan dan inklusi sosial, rasanya sayang jika melewatkan tema ini. kebetulan saya punya beberapa pengalaman tentang murid-murid inklusi.
Mungkin jika perpustakaan daerah, yang dimaksud dengan inklusi sosial adalah semacam penyetaraan kesempatan untuk semua masyarakat. Nah, agak mirip dengan konsep di sekolah. Kebetulan sekolah kami, salah satu sekolah yang berbasis inklusi, yang artinya sekolah menerima semua tipe siswa untuk belajar di sekolah. Untuk lebih lengkapnya tentang sekolah inklusi, bisa klik LINK ini.
Berikut ini adalah salah satu cerita bersama seorang murid yang istimewa dan memberikan kenangan pada perpustakaan sekolah. Nama-nama yang dijabarkan di sini sudah disamarkan semua.
Setiap ajaran baru, ada saja murid-murid ‘istimewa’. Salah satunya adalah Redo. Dia mengalami semacam trauma karena suatu keadaan saat masih SMP. Masuk SMA sebenarnya jiwanya belum stabil. Kalau ditanya suka nggak nyambung. Dan tatapannya sering kosong.
Waktu itu ajaran baru tahun 2014, yang artinya murid baru yang masuk tahun itu adalah murid-murid ‘percobaan’ Kurikulum 2013. Ganti kurikulum, artinya ganti buku pelajaran. Dan bisa dipastikan bakal lembur bagi pustawakan sekolah menjelang ajaran semester baru datang. Karena itu adalah tahun keempat bekerja di sekolah, artinya sudah mulai banyak murid yang bisa dipercaya untuk membantu pengolahan buku-buku di perpustakaan, jadi seminggu pertama saat ajaran baru yang biasanya belum aktif belajar karena banyaknya murid yang menjadi panitia saat MOS tiba, saya manfaatkan untuk mengajak murid-murid unyu untuk membantu pengolahan buku baru sampai sore, apalagi waktu itu belum punya teman di ruangan yang artinya semua masih dikerjakan sendiri layaknya tukang sate. Dan murid-murid unyu biasanya bahagia kalo diajak kerja gotong royong ama pustakawannya ini. Apalagi kalo di foto kemudian di posting di media, ada semacam kebanggaan sendiri bagi mereka.
Di saat jam gotong royong itu pas lewat jam sekolah yang artinya menjelang sore, apalagi kala itu bulan Ramadhan yang artinya daripada gabut nggak jelas ya mending bantuin pustkawannya ini ngolah buku. Tiba-tiba ada seorang remaja laki-laki berkaus merah dan mengenakan celana pendek krem, dengan permen lolipop di tangan, menyerocos nggak jelas dan masuk ke perpustakaan sekolah. Dia langsung duduk di pojokan perpustakaan, dan masih bergumam nggak jelas karena sambil mengemut lolipop yang ada di tangannya.
Lalu ada seorang murid cewek, Novi yang kebetulan memang panitia MOS kala itu, langsung berbisik pada saya jika anak itu yang diperbincangkan selama MOS. Siapa dia? Redo namanya. Harusnya dia sudah lulus SMA, tapi karena terkena goncangan hebat saat lulus SMP, dia sempat berhenti sekolah selama tiga tahun. Jadi di saat teman-temannya sudah lulus SMA tahun itu, dia baru masuk SMA.
Sejujurnya, saya kala itu takut banget ama Redo. Apalagi selain omongannya yang ngalur-ngidul, juga tatapan matanya yang kosong banget. Ditambah lagi Novi pun bilang jika selama MOS, Redo kerap kali mengamuk tanpa sebab. Mungkin saat kumat dan obatnya abis.
Saya yang bingung dan murid-murid yang lagi bantuin pengolahan buku juga pada takut, sementara Redo tidak bisa ‘diusir’ dari perpustakaan, saya berinisiatif meminta tolong bapak guru di ruang Puskom, yang ruangannya tepat di sebelah ruang perpustakaan sekolah. Bapak pertama yang saya panggil, namanya Sabar, tapi nada suaranya tak sesabar namanya. Walaupun beliau sebenarnya tidak marah, tapi nada suaranya sehari-hari memang tinggi jadi terkesan seperti marah, tentu bikin takut si Redo.
Lalu, kali kedua saya panggil lagi bapak guru yang masih ada di sekolah sore itu. Pak Ari namanya, beliau ini kebapakan banget. Begitu melihat Redo, dia hanya bertanya, apakah Redo sudah makan, dan karena hari sudah sangat sore Pak Ari mengajak Redo untuk pulang. Dan ajaibnya dia nurut dengan semua perkataan Pak Ari. Ketika Redo pulang, tanpa sengaja menjatuhkan kertas dengan tulisan tangan yang bertuliskan tentang perasaan pada seorang perempuan. Ya, semacam puisi gitu. Dan saya baru tahu setelah diceritakan seorang murid jika Redo jadi ‘korslet’ begitu karena dulu saat SMP pernah ditolak perempuan yang disukainya.
Hari itu sebelum pulang, Pak Ari bilang jika ada anak seperti itu jangan digurui, apalagi dihakimi. Anggap saja seperti anak normal lainnya, jangan dianggap sebagai anak yang sakit. Saya langsung mengingat kata-kata Pak Ari itu.
Selang beberapa minggu sekolah yang artinya kegiatan belajar mengajar sudah aktif sedia kala, dan buku-buku pelajaran sudah siap untuk dipinjam murid-murid. Tentu hampir setiap murid datang ke perpustakaan sekolah karena masing-masing siswa sudah mendapat jatah masing-masing buku per pelajaran. Tak terkecuali dengan kelas Redo, dan dia juga ikut antri bersama teman-temannya untuk meminjam buku. Saat giliran Redo meminjam buku, saya ingat nasehat Pak Ari untuk menganggapnya seperti murid lainnya.
Ternyata tidak ada kegaduhan apa pun seperti yang dikhawatirkan. Saya ambilkan buku pelajaran sesuai kelasnya, dan menuntun dia untuk menuliskan namanya di slip pengembalian buku yang ada di setiap buku pelajaran yang dipinjam. Dia juga patuh saat mengisi buku pengunjung perpustakaan.
Dan itu bukan kunjungan terakhirnya. Di saat kondisinya yang masih ‘sakit’, ketika pelajaran di dalam kelas tidak ia minati, biasanya ia akan ke lapangan basket dan ikut pelajaran olahraga meski itu bukan jam kelasnya. Dan jika lapangan basket sedang mengadakan olahraga lainnya seperti voli atau futsal, dia tidak berminat ikutan. Dan apa yang dilakukannya?!? Dia akan ke perpustakaan sekolah.
Jadi, setelah meminjam buku pelajaran, pernah dia datang ke perpustakaan dan ‘ubek-ubek’ rak fiksi. Dia menemukan komik Naruto. Semenjak itulah dia rajin datang. Perpustakaan sekolah memang memiliki koleksi komik Naruto, namun tidak lengkap serinya. Itupun biasanya didapat dari murid yang menyumbangkan komiknya saat lulus sekolah. Saking semangatnya Redo membaca komik Naruto, hampir tiap hari datang ke perpustakaan sekolah dan selalu bertanya kepada saya apakah udah ada komik Naruto yang baru. Dan saya hanya bisa menjawab sambil menenangkan dia bahwa perlu bersabar untuk mendapatkan komik Naruto terbaru. Dia biasanya mengangguk patuh.
Epiknya, saya baru sadar ternyata beberapa komik Naruto yang biasanya setelah dipinjam Redo, akan ada coretan manis hasil goresan tangannya. Dan kalimatnya selalu sama: Naruto = Redo, Sakura = nama cewek yang disukainya itu. Rasanya senyum-senyum geli kalo inget kejadian itu. Ya, siapa sangka jatuh cinta yang menurut kita biasa saja, bisa menjadi hal luar biasa bagi orang lain. Begitu juga bagi Redo ini.
Sebenarnya di tahun itu, tidak hanya sekolah kami yang menerima murid istimewa seperti ini. Jika di sekolah kami memiliki Redo dan berbakat menulis puisi-puisi romantis yang ditulisnya sendiri, sekolah lain juga memiliki murid dengan kasus serupa; sama-sama patah hati, sama-sama ditolak. Jika Redo selama di sekolah kami tidak pernah mengamuk sampai fatal, paling mentok hanya selalu keliling sekolah, energinya seperti tidak pernah habis.
Sekolah lain ada murid seperti ini tapi lebih ekspresif. Jika kumat, segala hal yang didekatnya bisa ditendang, tak terkecuali mobil guru yang parkir di sekolah pernah jadi sasarannya, dan nyawanya tidak tertolong saat mencoba bunuh diri dengan cara meminum obat serangga karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya. Ya, si anak ini patah hati karena ditolak sang cewek dengan alasan miskin dan tidak punya motor besar (kala itu sedang tren). 
Seiring berjalannya waktu, Redo bisa sembuh total. Iya total. Dan saat kelas XII, dia bisa masuk kelas unggulan. Selalu langsung sholat saat mendengar adzan berkumandang. Pernah saya bertanya apakah dia mengingat kejadian yang lalu saat dia ‘berubah menjadi yang lain’, dengan malu dia menjawab masih ingat. Saya juga pernah bertanya pada guru BK, hal mendasar apa yang bisa membuat orang lain berubah seperti Redo ini. Menurut Ibu Rosa, guru BK yang memang ahli psikologi, remaja seperti Redo ini akan sembuh selain faktor keluarga juga faktor lingkungan yaitu teman-temannya di sekolah. Memang semua itu butuh proses. Masih ingat kata-kata bapak kepala sekolah yang menjabat saat itu bahwa sukses adalah hak semua anak. Sekarang Redo sudah lulus sekolah dan sudah melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.

Ditulis oleh
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri 2 Metro, Lampung


Jumat, 15 Maret 2019

Pustakawan Sekolah? Cuma Jaga Buku Aja?!?



Seringkali jika bertemu dengan orang yang baru dikenal, dan baru tahu jika kita adalah pustakawan, pasti kalimat yang terlontar pertama adalah sebagai penjaga buku. Lha, dikiranya satpam buku ya, hahaha... x)

Tugas sebagai pustakawan secara umum meliputi layanan referensi, layanan perpustakaan dan pengolahan. Serta pengembangan perpustakaan dan pengembangan profesi. Kita nggak perlu jauh-jauh membahas tugas tersebut satu per satu secara teoritis. Saya akan mengulas tugas pustakawan berdasarkan realita yang memang dikerjakan sehari-hari.

Layanan Referensi
Jangan bayangkan layanan referensi di perpustakaan sekolah sama dengan layanan referensi di perpustakaan perguruan tinggi maupun di perpustakaan daerah. Layanan referensi di perpustakaan sekolah, lebih sederhana dan fleksibel. Seringkali siswa menanyakan materi tugas sekolah. Misal, saat mata pelajaran Agama Islam bagi kelas XII, setiap siswa harus mencari tokoh agama yang berbeda untuk dipersentasikan. Tugas mata pelajaran Kewirausahaan dan Prakarya kelas XII, setiap kelompok harus membuat minuman berbahan dasar tumbuhan yang anti mainstream. Ada yang memilih temanya minuman berbahan dasar dari papaya. Kalau pelajaran Kewirausaahn dan Prakarya ini, pustakawannya paling bahagia, soalnya seringkali jadi ‘kelinci percobaan’ bagi makanan/ minuman yang mereka buat, hahaha... #AjiMumpung

Sama seperti perpustakaan sekolah negeri pada umumnya, perpustakaan sekolah tempat saya bekerja sebenarnya juga nggak begitu banyak jumlah buku yang bisa menjadi sumber rujukan. Tapi meskipun begitu, ada juga beberapa siswa yang sudah lulus sekolah dan kini menjadi mahasiswa sering main ke perpustakaan sekolah untuk minta dicarikan referensi. Yang terbaru kemarin adalah siswa yang sedang berstatus mahasiswa tingkat akhir di suatu kampus, minta dicarikan referensi untuk skripsinya yang membahas tentang toleransi beragama di Indonesia. Pas banget perpustakaan sekolah baru dapet kiriman buku dengan tema tersebut dari penerbit.



Saya seringkali bertanya kepada mereka kenapa tidak mencari di perpustakaan kampus atau perpustakaan daerah, rata-rata jawaban mereka didominasi dengan pernyataan jika perpustakaan lain terlalu banyak aturan, pustakawannya galak dan juga nggak bisa leluasa mencari. Ya, sejak tahun kedua bekerja di sekolah, saya menghapuskan sistem denda. Ini salah satu aturan yang menurut saya memberatkan pemustaka. Bukannya mendisiplinkan mereka, yang ada malah jadi takut ke perpustakaan. Pustakawan galak, nah ini yang jadi problem berat. Banyak perpustakaan bagus, megah maupun mewah tapi sepi pengunjung, biasanya justru karena pustakawannya nggak friendly alias galak. Apakah saya galak? Kelihatannya saya sering cengar-cengir dan jarang banget baperan kalau bersama murid. Tapi sesungguhnya saya akan uber meski ke ujung dunia jika seorang siswa belum mengembalikan buku, hahaha... Buku aja nggak bisa dijaga, apalagi hati anak orang?!? x)) #MalahTjurhat Jadi seorang pustakawan, tetap bisa bersikap tegas tanpa harus menampilkan raut muka yang galak dan jutek.

Oya, selain nanya tentang tugas, siswa juga banyak yang nanya tentang hal-hal di luar tugas pelajaran. Seperti jurusan-jurusan kuliah (entah kenapa mereka lebih sering bertanya ke saya, padahal kan sudah ada guru BK), dan seringkali juga tjurhat-tjurhat nggak jelas ala anak sekolah; mulai dari masalah pertemanan sampai masalah percintaan remaja, hahaha... Meskipun ini nggak masuk juknis pustakawan, sampai sekarang senang-senang aja menjalaninya, siapa tahu nanti bisa jadi kumpulan cerita yang bisa dibukukan :D

Layanan Sirkulasi
Meliputi peminjaman maupun pengembalian buku. Dulu, waktu awal bekerja di perpustakaan sekolah, saya masih menerapkan perpanjangan semua buku setiap seminggu sekali. Saya keteteran banget, apalagi awal-awal bekerja kan waktunya paling banyak terkuras untuk pengolahan. Tahun ketiga, untuk buku pelajaran paket, saya ganti sistem peminjamannya menjadi satu satu semester dan satu tahun. Dan untuk buku fiksi atau buku popular lainnya, dibuat rentang waktu dua minggu. Sebenarnya buku-buku referensi kan tidak boleh dibawa pulang alias baca di tempat, tapi ada juga siswa yang ingin meminjam kamus (karena di rumah tidak punya) untuk mengerjakan tugas atau siswa ingin membaca buku ensiklopedia di rumah (karena waktu istirahat di sekolah terbatas), saya izinkan dengan syarat kalau tidak mengembalikan tepat waktu dan selagi bukunya belum dikembalikan, tidak bisa meminjam buku yang lain. Resiko rusak, bahkan hilang pasti ada. Tapi prinsip saya: lebih baik buku rusak karena dibaca daripada disimpan terlalu lama toh akhirnya rusak juga dimakan rayap x))


Layanan Pengolahan
Bulan kedua bekerja di perpustakaan sekolah, saya mulai menyicil untuk membarcode buku-buku yang ada. Apalagi waktu itu kan sudah ada program SLIMS, semuanya sudah tersedia di program itu. Mulai dari katalog online, labelling dan barcode. Meskipun begitu, sampai sekarang masih ada saja yang bilang saya kerajinan banget semua buku pelajaran pake di barcode juga. Memang sih, rata-rata sekolah lain hanya di inventaris ke buku induk dan di cap saja. Tapi apa salahnya di barcode dengan sistem SLIMS. Capek di awal, sebenarnya memudahkan pekerjaan selanjutnya. Jika semua buku sudah dibarcode, sebenarnya memudahkan semua urusan administrasi perpustakaan. Seperti sudah terklasifikasi mana buku pelajaran, mana buku fiksi, mana buku ensiklopedia dan sebagainya. Data peminjam juga langsung terdeteksi, tinggal di print. Bahkan buku apa saja yang pernah dipinjam juga terdata secara apik.


Shelving Buku
Ini salah satu pekerjaan pustakawan yang tak terlihat tapi justru paling berat alias barbelan buku. Pagi udah dirapihin, siang udah mulai tebar; di meja-meja dan juga buku-buku yang nyempil dipaksakan masuk deretan buku lain di rak. 



Untuk pengembalian buku, sebenarnya sudah ada tempatnya tersendiri, disamping meja pelayanan. Nanti biasanya kami kembalikan sesuai dengan nomer klasifikasinya. Nah, yang suka ‘kecolongan’ berantakan itu ya kalo ada yang ngerjain tugas di sela-sela rak buku (entah kenapa banyak siswa yang demen nyempil di rak-rak buku; ngerjain tugas bisa sambil gegoleran di lantai, ada juga yang sambil dengerin musik). 

Perpustakaan kayak kapal pecah? Sudah pasti. Tapi biarlah mereka mengerjakan tugas dengan gaya apa pun di perpustakaan, karena mereka biasanya sudah lelah belajar di kelas dengan duduk rapi. Palingan saya hanya mencak-mencak kalo ada yang gelar karpet di sela-sela rak buku tapi nggak diberesin ama sampah makanan cemilan/minuman yang nggak mereka buang, hahaha... Ya gitu deh, mereka paling takut kalo pustakawannya ini udah mencak-mencak soal kebersihan... tapi kok ya nggak kapok juga ke perpustakaan x))

Cleaning Services
Mungkin bagi perpustakaan sekolah swasta, sudah ada petugas khusus untuk kebersihan perpustakaan. Tapi bagi perpustakaan sekolah negeri, bisa dipastikan hampir 90% pustakawannya juga merangkap juga jadi tukang bersih-bersih; mulai dari nyapu, ngepel, elap-elap meja jendela dan perabotan lainnya, bahkan sampai bersihin langit-langit yang sawangan. Pustakawan gimana mau ayu, kalo pagi-pagi udah berjibaku dengan debu-debu seperti ini, hahaha... x))

Tidak hanya urusan bersih-bersih yang harus diemban, pustakawan sekolah negeri juga dituntut serba bisa. Mulai dari harus bisa memperbaiki printer yang eror, pasang-pasang pajangan yang menempel di tembok alias paku-memaku, masang lampu kalo ada yang putus, bahkan sampai urusan bongkar pasang korden yang abis dicuci. Pustakawan sekolah udah kayak tukang sate, semua dikerjakan sendiri x))

Pengembangan Perpustakaan
Salah satu cara mengembangkan perpustakaan melalu koleksi tanpa biaya adalah memperbanyak koneksi dan juga butuh kreativitas dan inovasi seorang pustakawan. Ada banyak hal-hal inovasi yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah bekerjasama dengan penulis atau penerbit. Perpustakaan sekolah kami, sudah beberapa kali mendapat tawaran kerjasama dengan pihak penerbit untuk mengadakan diskusi buku secara gratis. Begitu juga dengan banyak sekali penulis yang mengirimkan buntelan buku. Caranya, rajin-rajinlah pustakawannya mengulas sebuah buku. Lagipula, menulis resensi buku juga menjadi salah satu tugas pustakawan yang masuk dalam juknis loh. Sambil menyelam minum air, sambil nulis ulasan buku juga kecipratan buku gratis. Lumayan banget, kan ;)

Pengembangan Profesi
Sejujurnya, sampai sekarang ini saya tidak mengikuti organisasi berlabel perpustakaan apa pun. Bahkan IPI di Lampung saja ada dualisme kepengurusan, yang membuat bingung pustakawan rakyat jelata macam kami, hahaha... begitu juga dengan grup-grup di wa, saya tidak terlalu banyak mengikuti grup-grup perpustakaan/pustakawan. Selain orangnya yang itu lagi itu lagi, yang dibahas sebenarnya juga itu lagi itu lagi tanpa solusi. Bukannya menambah wawasan, yang ada malah bikin pening, hahaha... x))

Saya baru mengikuti Pemilihan Pustakawan Berprestasi tahun ketiga bekerja di perpustakaan sekolah. Itupun tidak masuk lima besar saat di provinsi. Sebenarnya setelah mengetahui ‘situasi’ di pemilihan, saya sudah bertekad tidak akan ikut lagi apalagi kalo jurinya sama. Barulah tahun 2015, alias tahun kelima bekerja, saya ikut lagi karena tahu jurinya sudah ganti, hahaha... dan malah nggak menyangka langsung juara 1. Mungkin memang belum rezeki, meski sudah juara 1, masih belum lolos buat ikut ke nasional karena terkendala persyaratan masa kerja (kalau nggak salah waktu itu minimal 7 tahun). 

Tahun berikutnya, 2016, saya pikir nggak bisa ikut lagi Pemilihan Pustakawan Berprestasi karena sudah pernah juara 1 provinsi, tapi ternyata saya boleh ikut lagi (karena seperti dikatakan sebelumnya, belum ikut ke nasional). Jujur, saya sudah nggak fokus dengan pemilihan ini. Selain karena adanya renovasinya ruangan perpustakaan yang sungguh menguras tenaga, saya juga malah ikut Pemilihan Tenaga Kependidikan Berprestasi profesi Tenaga Perpustakaan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Metro. Hasilnya? 2016 malah menggondol tiga piala sekaligus: Juara 3 Pemilihan Pustakawan Berprestasi tk Provinsi yang diadakan Badan Perpustakaan & Arsip Daerah  Provinsi Lampung, juara 1 Pemilihan Tenaga Kependidikan Berprestasi profesi Tenaga Perpustakaan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Metro (dan melaju ke nasional sebagai finalis perwakilan dari Lampung), dan Juara 3 Lomba Perpustakaan SMA/ sederajat tk Provinsi yang diadakan oleh Badan Perpustakaan & Arsip Daerah Provinsi Lampung. Maruk banget ya, hahaha... 

Nggak berhenti di situ, tahun 2017 masih ikut lagi. Dan kali ini Juara 1 Pemilihan Pustakawan Berprestasi tk Provinsi yang diadakan Badan Perpustakaan & Arsip Daerah  Provinsi Lampung. Sebenarnya ikut pemilihan ini nggak ada target apa-apa, saya sudah sangat senang karena kali ini bisa melaju ke nasional. Kalo ke nasional, ya nggak usah ditanya, isinya pustakawan-pustakawan hebat semua. Saya hanyalah butiran-butiran debu diantara mereka. Saya sudah senang dengan membuktikan bahwa pustakawan sekolah juga bisa bersanding dengan pustakawan-pustakawan lainnya yang lebih besar baik dari sisi perpustakaannya, jabatan maupun masa kerjanya. Apalagi di tahun itu hanya dua perwakilan pustakawan sekolah yang bisa tembus ikut ke nasional pemilihan yang diadakan PERPUSNAS ini. Selain saya, perwakilan dari NTT juga merupakan pustakawan sekolah. 

2018 saya pikir sudah tidak akan ikut apa-apalagi, ternyata masih diberi kesempatan dan alhamdulillah masih bisa membawa nama baik bagi perpustakaan sekolah dengan menjadi Juara 2 Lomba Perpustakaan SMA/ sederajat tk tk Provinsi yang diadakan oleh Dinas Perpustakaan & Arsip Daerah Provinsi Lampung. Oya sampai lupa, pas tahun 2014 juga Juara 2 Lomba Perpustakaan SMA/ sederajat tk tk Provinsi yang diadakan oleh Badan Perpustakaan & Arsip Daerah Provinsi Lampung. 

Apakah tahun-tahun berikutnya masih terobsesi dengan Lomba Perpustakaan SMA/ sederajat tk tk Provinsi? Sepertinya tidak, karena saya sudah mengukur kemampuan perpustakaan sekolah memang mustahil bisa mencapai juara 1 jika ikut lagi. Ada banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah perpustakaan sekolah yang belum merupakan gedung, masih berupa ruangan kelas. SDM yang belum sesuai, kami hanya berdua. Juga faktor koleksi yang masih didominasi buku paket pelajaran. Perlu diketahui, buku paket pelajaran, jika lomba perpustakaan tidak dianggap koleksi, karena sebenarnya buku paket itu diluar tanggungan perpustakaan sekolah. Padahal realitanya, bunyi juknis di BOS, pengadaan buku memang harus buku paket pelajaran. (Nanti akan saya bahas di postingan khusus)

Perpustakaan sekolah bisa berkembang dan diakui di luar, tidak membutuhkan biaya yang besar. Hanya butuh konsekuensi pustakawannya untuk kreatif dan berinovasi. Itu saja kuncinya. Dukungan dari pihak sekolah juga sebenarnya poin ke sekian, justru jika perpustakaan sekolah mulai diakui di luar, pihak sekolah juga akan mengakui keberadaan perpustakaan sekolah kita.

Promosi Melalui Media Sosial
Promosi perpustakaan melalui media sosial tidak membutuhkan biaya yang besar tapi memberikan dampak yang lumayan besar. Hanya dibutuhkan waktu dan tenaga pustakawannya. Melalui media sosial, perpustakaan tidak hanya dikenal oleh siswa-siswa yang ada di sekolah, tapi juga pihak luar seperti penulis maupun penerbit yang mengajak untuk kerjasama. Sekarang, sudah banyak sekali akun-akun perpustakaan yang mengikuti jejak konsep instagram @perpussmanda. Kunci dari akun perpustakaan adalah menampilkan kegiatan pemustakanya. Karena seringkali salah kaprah (terutama perpustakaan-perpustakaan daerah) justru malah lebih sering menampilkan petugas perpustakaannya yang kunjungan ke sana-sini dan malah jarang terlihat pemustakanya x))

Itu tadi adalah penjabaran tugas-tugas pustakawan sekolah. Masih bilang pustakawan kerjaannya cuma jaga buku aja?!? Jaga hati kamu gimana?!? :D

Ditulis oleh
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri 2 Metro, Lampung

Senin, 11 Maret 2019

Kisah Transformasi Pustakawan Sekolah Menjadi Pustakawan Sekolah Tinggi

Mari kita menjadi kuat dan hebat dengan bekerjasama."

Oleh: Rahayu, S.Pd., S.l.Pust.*

Pustakawan sekolah tidak sama dengan pustakawan sekolah tinggi. Pustakawan sekolah ada di lingkungan sekolah menengah sedangkan pustakawan sekolah tinggi ada di lingkungan pendidikan tinggi.

Saya dulu diterima bekerja di perpustakaan sekolah karena dicari dan dibutuhkan untuk mengelola perpustakaan.  Saat itu kepala perpustakaan adalah seorang guru yang mengajar dan juga seorang PNS di sebuah Rumah Sakit.

Perpustakaan Sekolah
Credit: Pixabay
Kewenangan pengelolaan perpustakaan diserahkan sepenuhnya kepada saya bersamaan dengan penyerahan kunci ruang perpustakaan.

Tugas yang menantang untuk mengelola perpustakaan yang "mati suri" karena hanya membuka layanan jika ada siswa yang ingin meminjam buku. Sehingga bisa dikatakan jam layanan sangat terbatas.

Pekerjaan dimulai dari membuat peraturan, administrasi, menata koleksi dan menata ruangan. Setelah itu pekerjaan berlanjut ke pengembangan koleksi. Dengan ada koleksi baru mulai ada kunjungan dan terasa suasana perpustakaan sekolah yang "hidup".

Pustakawan dilibatkan dalam pengembangan sekolah dengan mengikuti persiapan dan proses akreditasi. Dengan nilai akreditasi yang baik maka kami dipercaya untuk konversi dari institusi sekolah menjadi akademi dan terus berlanjut hingga menjadi institusi sekolah tinggi.

Banyak tahapan yang harus dilalui untuk perubahan bentuk institusi. Dari awalnya perpustakaan yang dikelola secara manual, kemudian otomasi perpustakaan dan perpustakaan digital (dalam proses perencanaan).

Kami harus selalu bersyukur atas semua pencapaian ini dan tidak boleh merasa puas. Karena masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk pengembangan perpustakaan terutama layanan perpustakaan.

Untuk mencapai tujuan lembaga perpustakaan, pustakawan harus bekerjasama dengan semua pihak. Mulai dari pimpinan, dosen, staf dan mahasiswa serta pihak lainnya. Mari kita menjadi kuat dan hebat dengan bekerjasama.

*Pustakawan STIKes Budi Luhur Cimahi

Sabtu, 09 Maret 2019

Pustakawan VS Kepala Perpustakaan Sekolah

Oleh: Veny Fitriyanti
Sebagai pustakawan di perpustakaan umum, kegiatan membina perpustakaan sekolah merupakan salah satu kegiatan rutin yang selalu saya lakukan setiap tahun.
Mengajarkan mereka tentang tata cara mengelola perpustakaan sekolah, mulai dari mengolah buku, sirkulasi buku, merawat buku, program kerja hingga membuat buku laporan perpustakaan.
Dalam peraturan sistem pendidikan nasional dimana guru yang sertifikasi tapi tidak memiliki jam mengajar 24 jam dapat mengambil tugas tambahan sebagai kepala perpustakaan sekolah, akan mendapat tambahan 12 jam.
Mungkin peraturan ini bertujuan baik agar Perpustakaan Sekolah terurus, tidak terbengkalai dan jadi tempat nongkrong makhluk halus kali yah.
Peraturan ini lah yang membuat para guru sertifikasi yang tidak punya 24 jam datang berbondong-bondong ke perpustakaan umum kabupaten untuk meminta saya diajarkan segala hal tentang perpustakaan. Boro-boro punya latar pendidikan ilmu perpustakaan, banyak dari mereka tidak pernah sekalipun mendapatkan pelatihan perpustakaan sekolah.
Sebagai pustakawan yang ada di Perpustakaan Umum Kabupaten, saya lah yang bertugas mengajari mereka.
Pertanyaan nya adalah :
Apakah Perpustakaan Sekolah Semakin Baik?”
Jawaban saya adalah bisa YA, bisa TIDAK, bisa juga OMG GAK BANGEEETZZZ
Bisa dikatakan saya pernah di tahap putus asa. Bahkan ogah ngajari mereka karena PERCUMA. Sebab, saya udah ngomong panjang kali lebar kali tinggi (kok jadi rumus luas balok😅). Tetap aja perpustakaan mereka tak tersentuh tangan manusia (kalo tangan jin udah beda cerita dah).
Plis jangan tanya upahnya saudara-saudara. Smua ini Gratis bahkan bahan materi yang diberikan pada mereka gratis biaya kantor.
Beda kalo program tahunan pembinaan perpustakaan sekolah door to door, saya diberi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tapi ini hanya untuk Sekolah Pelosok (sekolah sangat terpencil).
Tapiiiii ujung-ujungnya sama aja banyak yang tidak berubah, sedikit sekali yang mau berubah. Akhirnya saya jadi “down” terhadap Perpustakaan Sekolah.
Penyebabnya bisa bermacam-macam tapi saya lebih menjabarkan dari segi Jenis-jenis/tipe-tipe Kepala Perpustakaan Sekolah.
1. Pemburu sertifikat
Jangan ditanya sumber intel berita dari mana, mereka ini selalu tahu tentang pelatihan perpustakaan sekolah. Terkadang mereka rela membayar bahkan loncat bahagia kalo gratisan. Tapi ujung-ujungnya gak ngaruh tuh dengan perkembangan perpustakaan nya sendiri. Mau berantakan kayak kapal titanic ato susun buku yang penting rapi, bodo amat tentang inventaris, klasifikasi, dll. Bahkan saat belajar diklat ato pemberi materi, dia ilang entah kemana. Yang penting SERTIFIKAT!
2. Tipe Penyakitan
Nah yang ini Kepala Perpustakaan Sekolah hampir di ujung tanduk PENSIUN, atau yang divonis penyakit kronis entah jantung, darah tinggi, stroke pokoknya gak ngajar lagi tapi usia blom mendekati pensiun. Tipe yang beginian ibarat pepatah “layu sebelum berkembang”. Ngajar tentang perpustakaan pada tipe ini udah kayak sekedar kewajiban amal jariyah aja. Karena jelas kemungkinan untuk mengubah perpustakaan nyaris nol.
3. Tipe “What The Hell, I Dont Care
Kalo tipe ini, bikin saya garuk dinding berkali-kali plus pengen jedotin kepala. Karena jangankan untuk perhatian tentang perpustakaan, sekedar mengunjungi perpustakaan aja gak pernah. Tapi jangan tanya uang sertifikasi nya lancar kayak air selalu diterima. Mo ngajarin stafnya yang status anak bakti hanya digaji dari dana bos 300rb saja tapi tidak memiliki kebebasan untuk membuat keputusan merubah perpustakaan. Ujung-ujungnya saya akan menyanyikan lagu Abdullah (😂gak nyambung emang)
4. Tipe More Niat Less Action
Tipe yang begini nih, saya kasih tambahi julukannya yaitu Kepala Perpustakaan Sekolah tipe PHP. Pemberi Harapan PALSU, saat saya ajarin tentang perpustakaan, beugh…! omongannya untuk mengubah perpustakaan udah mirip kayak CALEG. Tapi saat saya datang melihat perubahan dan perkembangan perpustakaan nya NOL BESAR. Mulai lah saya akan menyanyikan lagu sayur koooooool…sayur kooooool (pustakawan stres🤣🤣🤣)
5. Tipe Duet Maut
Ini perpustakaan ato manggung nyanyi sih sampe pake ada kata “duet maut”. Kalo biasanya duet maut itu menghasilkan sesuatu yang spektakuler ke arah yang lebih positif. Akan tetapi ini lebih ke arah negatif. Kenapa? Kemajuan perpustakaan merupakan hubungan kerjasama antara Kepala Perpustakaan Sekolah dengan Kepala Sekolah. Karena beliau memiliki kewenangan atas Dana Operasional Sekolah. Terkadang saya menemukan seorang Kepala Perpustakaan Sekolah yang niat untuk mengubah perpustakaan sekolah dari yang jelek ke arah yang lebih baik. Akan tetapi tidak di support oleh Kepala Sekolah yang memiliki konsep pemikiran bahwa perpustakaan sekolah itu gak penting. Sehingga semangat kepala perpustakaan sekolah layu dan padam untuk mengubah perpustakaan sekolah.
6. Tipe Truly, Deeply, almost Pustakawan sejati
Walaupun tipe ini sangat amat sedikit sekali (lebay dah gue). Tapi bisa membuat semangat saya dari 0% bisa loncat jadi 100%. Ini beneran loh, apa yang saya ajarkan benar-benar diterapkan nya di perpustakaan sekolah. Apa yang saya sarankan untuk membuat ini itu dikerjakan dengan semangat. Ditambah dukungan Kepala Sekolah yang memberi dana serta kebebasan untuk mengubah perpustakaan sekolah. Saya benar-benar menghargai orang yang seperti ini. Efeknya tak sedikit yang iri dengan perhatian saya sebagai pustakawan dalam membina mereka. Karena setiap kegiatan pelatihan, lomba, dan kegiatan apapun itu selalu mereka duluan yang mendapatkan info.
Perpustakaan sekolah
Perpustakaan sekolah

Mungkin bagi teman-teman pustakawan yang lain ada yang tidak setuju dengan saya terhadap tipe-tipe ini. Mungkin ada yang angguk-angguk plus senyum ketawa-ketawa membaca artikel ini berarti tos! dulu kita senasib sependeritaan.😂😂😂😂😂😂.
Mudah-mudahan tulisan saya ini tidak dihujat, dicaci, dihina dan dijilat (say whaaaat🤨🤨). Ini cuma sharing pengalaman aja dan semoga para pustakawan yang selalu membina perpustakaan sekolah tetap semangat dan tetap berusaha mengubah perpustakaan sekolah lebih baik lagi.
Salam Literasi!!!!
Dari Pustakawan Bergerak

Rabu, 13 Februari 2019

Perpustakaan Sebagai Lembaga Sensor

Memilih koleksi perpustakaan sekolah dasar, harus melalui banyak pertimbangan, di antaranya kesesuaian level baca, minat dan kepopuleran.

Sebagai pustakawan sekolah dasar, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam pengadaan koleksi. Di antaranya, kesesuaian level baca anak, minat, dan tentunya kepopuleran buku tersebut di antara pembaca seusia mereka. Biasanya sih yang dicari adalah buku yang ada filmnya, seperti Captain America, Captain Underpants, Diary of a Wimpy Kid, dan sejenisnya. Bisa dibayangkan lah yaa buku apa saja yang sering dicari?

Namun, tentu saja koleksi perpustakaan tidak melulu mengikuti kesukaan anak-anak saja. Ada pula koleksi yang harus dibeli meski kurang populer. Seperti misalnya cerita klasik. Mau tidak mau harus dibeli, karena tidak mungkin dong mereka hanya membaca fiksi populer saja? Cerita klasiknya tentu disesuaikan dengan usia dan kemampuan membaca mereka: yang teksnya mudah dan banyak gambarnya.

Selain fiksi, koleksi non fiksi juga harus dibeli. Ini juga buku-buku yang jarang dilirik siswa. Koleksi ini populernya saat mereka riset. Biasanya setelah guru bersabda agar mereka mencari informasi tentang satu topik, barulah buku-buku ini banyak dicari.

Repotnya, jika buku-buku yang sudah dengan hati-hati dipilih ini, ternyata menyebabkan kerusuhan di perpustakaan. Umumnya terjadi jika ada gambar-gambar tidak senonoh di dalamnya. Mulai dari buku cerita bergambar deh. Tidak semua buku cerita bergambar ini aman untuk anak-anak, ternyata. Contohnya buku ini, “Mr. McGee and the Biting Flea.”

Jadi ceritanya Mr. McGee sedang main layangan, tiba-tiba dia merasa ada yang gigit! Maka dia pun berlari sambil membuka bajunya satu persatu.

Tidak hanya baju, dia juga melepaskan celana dan semua sampai jeroannya! Parah kan Mr. McGee? Gak tahu apa kalau itu AURAAATTT..!


Lalu buku klasik “The Jungle Book.” Mowgli setelah besar dan tinggal bersama hewan-hewan sih, sudah lebih beradab ya, dia pakai celana. Mungkin sudah baligh.


Tapi sebelum dia dipelihara sama hewan-hewan, dia ditemukan dalam keadaan bugil. Meski digambar masih balita gitu, tetap saja anak-anak cekikikan melihat paha Mowgli kemana-mana. Duh, aurat lagiii…!

Lalu buku non fiksi harusnya aman dong? Gak juga, ternyata pemirsah!

Ini buku judulnya “Gods, Heroes and Monsters.” Isinya ya tentang mitologi gitu deh, dewa-dewa, hewan dalam mitologi dan sebagainya. Awalnya saya pikir anak-anak kok hebat ih, selalu mengerumuni buku non fiksi, padahal tidak ada info mereka harus riset topik ini.

Mereka sangat ingin tahu ya tentang dunia mitologi, pikir saya. Tapi lama kelamaan kok baca buku rame-rame sambil giggling. Curiga dong saya? Sebelum sempat ditanya, seorang anak bilang kalau buku ini ada gambar seksinya. WHAT? Seksi di mana?

Dibuka halaman, dan ternyata... patung, sodara-sodara! Patung gak pake baju sih, tapi tetap saja, itu P A T U N G! Saya sampai speechless.

Ya sudah lah. Akhirnya memang semua buku harus disensor. Lalu apa yang saya lakukan jika terdapat buku penuh ketidaksenonohan seperti ini? Karena saya bukanlah pelukis atau orang yang punya bakat menggambar, saya langsung angkut buku-buku tersebut ke ruang kelas art, dan meminta gurunya menyensor gambar-gambar tersebut. Guru art kan jago, ya kan? Dan ada saja idenya untuk menutupi gambar-gambar itu.



Seperti yang ini, dia menggambarkan celana dengan spidol. Mr. McGee nggak pamer aurat lagi deh!


Kalau yang ini pakai spidol perak. Ada saja caranya bikin celana yang fashionable di hutan. Untung anak-anak gak nanya, ini celana bikinan designer mana.


Nah, kalau yang ini saya nggak tahu deh bagaimana dia akan berkarya. Soalnya saya belum sempat menemui beliau. Penasaran gak hasilnya gimana? Saya juga :D

**

Penulis: pustakawan sekolah dasar di Bintaro, yang sekarang sukanya main di Instagram dengan akun @bookdragonmomma. Website: book-corner.blogspot.com