Menjelang semester akhir sekolah, biasanya murid-murid yang udah pada
kelas XII sibuk dan galau untuk memilih jurusan saat kuliah nanti.
Tampilkan postingan dengan label librarian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label librarian. Tampilkan semua postingan
Jumat, 22 Maret 2019
Sabtu, 02 Februari 2019
Jangan Jadi Pustakawan Sekolah, Berat. Biar Aku Saja.
Tepat
sembilan tahun yang lalu, Januari 2011. Hari H itu datang. Saya dapat SK jadi
abdi negara, tentunya juga sebagai pustakawan, hehe… Huaaa…rasanya
beraaaattt…kerjaan di kampus belum beres. Saya juga gak tega resign. Masalahnya
mencari pengganti pustakawan itu susah banget loh, gak kayak profesi-profesi
lain. Bisa dibilang mahluk langka, hahaha.. x))
Selama masa pembekalan CPNS sebulan, saya masih
bolak-balik ke kampus. Pokoknya Februari adalah hal teribet dalam hidup saya.
Gak sempet baca, apalagi posting review. Bahkan Ibu Peri, Endah Sulwesi pernah
kirim wall di Group Pembaca Serambi menanyakan keberadaan saya yang menghilang
bagai ditelan bumi. Gak sempet online… :p
Pertengahan Maret, mulai aktif bekerja di Perpus Sekolah.
Sebenernya jauh dari harapan saya. Dulu ngebayanginnya ditempatkan di
Perpustakaan Daerah. Jujur, saya sampe nangis gak mau diambil aja. Kayaknya
saya emang gila, jadi abdi negara malah emoh. Saya udah
ngebayangin…ampun…perpustakaan sekolah kalo negeri yaaaa….gitu deh…hidup segan
mati tak mau. Sebenernya di kampus dulu juga keadaannya begitu, tapi saya
‘teror’ para petingginya, mereka merespon positif karena perpus juga sebagai
penentu akreditasi sebuah kampus. Lha kalo di sekolah?? Bisa dibayangin kan,
mau saya ‘teror’ juga percuma. Dana pasti minim. Pengadaan buku cuma pembelian
dari dana BOS, itupun belum tentu tiap bulan. Bagi kebanyakan sekolah negeri,
keberadaan sebuah perpustakaan kurang diperhatikan. Mana sekolahnya pelosok pula,
jauh di ujung. Apalagi sekolah tempat saya bekerja ini; mewah alias mepet
sawah, hahaha… x))
Dugaan saya benar. Perpustakaan yang saya tempati persis
seperti yang saya bayangkan. Ruangannya hanya satu kelas, kipas anginnya hanya
satu, meja baca pun juga hanya satu, suram dan kumuh (awal-awal kerja sering
menemukan tikus, bahkan ada tikus yang nongkrong di laci lemari, hiii….), buku-buku
paket di lemari dan rak penuh sesak dari jaman kapan, rak-rak penuh rayap,
jendela penuh debu, langit-langit sawangan, dan… masih manual. Saya juga
menemukan beberapa barang yang seharusnya tidak di perpustakaan; karungan
beberapa semen, cangkul, dan beberapa lemari ‘titipan’ yang bukan milik
perpustakaan. Sudah bisa dipastikan murid yang datang ke perpustakaan hanya hitungan
jari, itupun itu-itu lagi muridnya. Saya ditantang bapake, PUSTAKAWAN itu harus bisa mengubah PERPUSTAKAAN menjadi menarik.
Percuma ada pustakawan kalo perpustakaannya gak berubah. Jleeebbb!!
Setelah dua minggu kena shock dengan keadaan, saya mulai
semangat di bulan April. Pelan-pelan buku yang ada dientri secara
komputerisasi, dipasang barcode satu per satu. (Terima kasih program SLIMS.) Buat nambah koleksi,
murid-murid kelas XII yang lulus diwajibkan nyumbang buku. Ini aja banyak yang
gak mau, karena dulunya gak pernah ada. Pokoknya nyumbang buku bebas, gak harus
baru yang penting bisa dibaca. Targetnya semester baru, Juli harus
sudah sistem otomasi. Agak susah memang mengubah kebiasaan sikap disiplin
murid. Jika sebelumnya saat manual, murid yang pinjam dan mengembalikan buku
susah dideteksi. Kadang pinjem udah ngaku balikinlah. Nah, dari sistem barcode
ini perpus bisa dapat pemasukan karena sistem denda sudah berjalan otomatis.
Saya belikan buat buku-buku fiksi modern yang sebelumnya cuma ada buku-buku
sastra zaman kapan (zaman saya pun belum lahir kayaknya, hahaha…). Sebagai
rangsangan buat baca diperpus, uang denda juga disisihkan buat beli majalah
Gadis, Kawanku, Cinta Cinta, Alia, Hidayah, Intisari dan lain-lain yang edisi
lama. Yang penting ada dulu, itupun muridnya udah rebutan. Yang baru biasanya
koleksi saya pribadi (sekitar seratusan novel yang dibawa dari rumah, dipilih
yang sekiranya cocok jadi bacaan remaja). Awalnya hanya sementara, tapi
antusias murid yang seperti haus bacaan, membuat saya harus merelakan buku-buku
itu menjadi koleksi perpustakan sekolah (bahkan sampai sekarang, jika mendapat
novel kiriman penulis maupun penerbit, asal sesuai dengan segmentasi remaja,
biasanya akan saya jadikan koleksi perpustakaan sekolah bukan koleksi pribadi
dengan tujuan makin banyak yang membaca buku tersebut. Semakin banyak yang baca
kan semakin bermanfaat. Memang sih beresiko rusak, bahkan hilang. Tapi saya
berprinsip yang hilang selalu akan berganti. Dan alhamdulillah sampai sekarang
buntelan buku datang masih mengalir. Bagaimana cara mendapatkan buku gratis?
Nanti akan dibuat postingan khususnya.
Alhamdulillah, semakin melonjak jumlah murid yang datang
ke perpustakaan. Meskipun gak semua niatnya baca. Ada yang wifi-an sekedar
buka media sosial, nonton TV, ngerjain tugas, cuma curhat, yang ngecengin kakak
kelas juga ada, hahaha… Ya, cara
pertama membuat murid tertarik untuk datang ke perpustakaan bukan tiba-tiba
langsung ke minat baca, tapi bagaimana mereka nyaman dulu untuk datang ke perpustakaan.
Setelah berkali-kali mendesak Kepala Sekolah, akhirnya
perpus dikasih dana khusus beli buku-buku fiksi. Senangnyaaaa….ini rekor karena
sebelumnya gak pernah ada buat pengadaan buku fiksi.
Korden saya cuci sendiri. Bayangkan, terakhir kali dicuci
tahun 2009, ampyuuunnn… Bahkan sampe sekarang, saya setiap hari masih beres-beres ruangan (menyapu, mengepel, mengelap, dan sebagainya). Ada tukang bersih-bersih?? Bangkrut juga
kalo tiap hari dimintai tolong musti ada uang rokoknya. Mending minta bala
bantuan murid-murid buat nempel-nempel label, gunting-gunting barcode,
shelving, dll. Dikasih gorengan ama jus aja mereka udah seneeenng banget! Malah
kadang ada yang sukarela menawarkan diri membantu, lumayanlah… :p
Selama bulan-bulan itu, saya masih nyambi di kampus. Pagi
ampe siang, di sekolah. Siang ampe sore di kampus. Lewat AGUSTUS udah
gak bisa bagi waktu karena sekolah jam belajarnya ditambah sampe sore. Akhirnya
yang kampus dilepas.
Pasca lebaran, SEPTEMBER & OKTOBER kedatangan
ribuan buku-buku pelajaran baru dari Pusat dan Kota. Padahal buku-buku yang
terdahulu belum selesai di barcode. Banyak juga yang belum tersentuh, bahkan
belum diinventarisasi. Gimana ini?!? Saya
udah kayak tukang sate, semua dikerjain sendiri. Mulai dari pelayanan hingga
pengolahan. Buku yang baru gak ada rak, ruangan juga gak muat menampung
murid-murid, ditambah lagi selama ini perpus buat lapak beberapa guru
tertentu yang (ehem) istirahat pula.
NOVEMBER, hampir tiap hari saya ‘meneror’ kepala sekolah. Minta
ruangannya ditambah. Ruangan sebelah kiri yang kosong minta dijebol biar
perpusnya lapang. Ternyata perpus harus bersaing dengan yang lain; lab bahasa,
ruang UKS, dan yang menang adalah ruang untuk orang Korea yang akan meneliti
sekolah selama dua tahun. Sembari menunggu ruangan ditambah, buku-buku jaman
dahulu kala yang sudah tidak sesuai kurikulum, saya weeding alias disiangi.
Biar gak buat rumah tikus! >.<
Saya masih belum putus asa, akhirnya ruang sebelah kanan
yang kosong dijebol jadi milik perpus (meski jatahnya hanya separuh, separuhnya lagi ruang puskom). DESEMBER selesai
stock opname tepat sebelum ujian semester. Ruangan di cat ulang. Ruang separuh itu dijadikan ruang buku. Ruangan baca jadi lapang karena format lesehan menggunakan
karpet dengan tambahan beberapa meja pendek. Meskipun belum bisa disebut
sebagai perpustakaan yang layak, setidaknya udah beda jauh dengan apa yang
disebut gudang x))
Jangan Jadi Pustakawan Sekolah, Berat. Biar Aku
Saja....
Ditulis oleh
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri
2 Metro, Lampung
Label Pustakawan
“Jurusan Ilmu Perpustakaan?”
“Mau jadi apa kamu?”
“Pustakawan.”
--- hlm. 7 dikutip dari novel A Place You Belong ---
Kalimat tersebut memang sering terjadi ketika
seseorang akan memutuskan kuliah di jurusan (yang katanya) termasuk anti mainstream ini.
Banyak orang yang meremehkan dengan jurusan dan profesi ini. Dulu sewaktu saya
masuk kuliah jurusan ini juga banyak yang mencibir dengan kalimat, ngapain
jauh-jauh kuliah kalau lulus nanti cuma jaga buku. Saya pun bertekad, tunggu
setelah lulus nanti, siapa yang sukses duluan… x)) #TjurhatDiMulai
Beruntungnya, meski banyak yang
menganggap remeh ketika masuk jurusan ini, orangtua sangat mendukung. Karena
mereka tahu banget kalau anaknya ini hanya demen ama buku, buku dan buku. Kalau
dulu ke perpustakaan malah jarang, bisa dikatakan hampir nggak pernah. Jadi,
zaman SMA dulu, saya pernah dimarahi seorang penjaga perpustakaan (bukan
pustakawan) tanpa alasan yang jelas. Dan bersumpah nggak akan mau lagi masuk
perpustakaan sekolah. Sakit ati banget. Etapi sekarang malah kerja di
perpustakaan sekolah x)) #MungkinIniNamanyaKarma
Berawal dari pengalaman pahit
tersebut, sebisa mungkin saya berusaha untuk nggak menyakiti perasaan
pemustaka. Padahal dulu sempet keder juga kerja di perpustakaan sekolah, karena
saya ini sebenarnya cerewet akut, takut menyakiti hati anak orang. Siapa
sangka, beberapa bulan pertama kerja di sekolah langsung akrab murid-murid.
Untuk keseharian selama menjadi pustakawan di sekolah, selalu saya tulis
lengkap rangkumannya di postingan dengan judul label pustakawan.
BACA: LABEL PUSTAKAWAN
Jurusan Ilmu Perpustakaan, bahkan
sampai sekarang masih terdengar asing di telinga. Memang sih, jurusan ini hanya
di kampus-kampus besar macam UI, UGM, UNPAD, UNDIP, dll. Kalo dipikir-pikir,
jurusan ini ekslusif, karena nggak semua kampus memiliki jurusan ini.
Saking anehnya jurusan ini,
bahkan dulu teman sesama KKN (yang artinya satu universitas pun) juga baru tau
jurusan ini. Tapi saya malah senang dengan keanehan ini, terkesan beda sendiri
gitu alias anti mainstream. Bahkan sampai sekarang pun jika
mendengar kata-kata ‘perpustakaan’ atau ‘pustakawan’ langsung ingetnya ke saya,
padahal di dunia ini banyak loh yang juga pustakawan, nggak hanya saya x))
“Gunakan jiwa pustakawanmu. Jika pustakawan yang ingin
memperkenalkan sebuah dunia imajinasi penuh warna untuk memunculkan minat baca
anak-anak.” (hlm. 15)
“Terapkan Ilmu Perpustakaan ini
di bidang-bidang lain yang kita senangi. Misalnya kamu suka nulis. Kamu bisa
nulis novel atau skenario yang bisa memperbaiki citra jelek perpustakaan di
mata masyarakat. Atau kamu suka fotografi. Kamu bisa memotret berbagai perpustakaan
di Indonesia dan mengadakan pameran bertema foto perpustakaan. Ada banyak
banget cara kreatif untuk mengabdi ilmu di bidang kita.” (hlm. 57)
“Cari bidang lain yang kamu
kuasai selain perpustakaan. Gabungkan keduanya, terus berjuanglah di sana.
Lanjutkan tekadmu untuk membuktikan ke pakdemu kalau kamu bisa sukses di bidang
ini.” (hlm. 58)
dikutip dari novel A Place You
Belong ---
Ditulis oleh
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri
2 Metro, Lampung