Tampilkan postingan dengan label Maman Kendal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maman Kendal. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Maret 2019

Lupa Pustaka Lupa Pemustaka

Tak ingin tersesat untuk kesekian kali. Saya terus dan terus mencoba belajar mengenali diri. Sekolah jurusan perpustakaan adalah satu dari sekian ketersesatan saya. Ya meski kadang dan sesekali mencoba positif thinking ketersesatan ini bukan di jalan yang keliru. Belajar sepanjang hayat sebagaimana dicita-citakan terwadahi di perpustakaan sesuai dengan keyakinan.

Adalah sebuah perangkat lunak sistem manajemen perpustakaan dengan kode sumber terbuka terkemuka, Senayan. Belum selesai belajar di jenjang diploma, saya berkenalan dengannya. Berikutnya berkenalan dengan keluarga besar komunitasnya sampai ketemu sang pemilik hak ciptanya. Berbagai pertemuan komunitasnya saya ikuti bahkan dengan merogoh kantong sendiri karena tak mendapat surat tugas dari instansi. Merasakan manfaatnya secara nyata sedari pengalaman pertama menjadi pustakawan ber-SK.

Saya tidak mengerti bahasa pemrograman, namun betah nge-SLiMS ria semalaman. Sebuah kebanggaan tatkala mampu memasang plugin terbaru. Tak hanya sehari dua hari, sebulan dua bulan, setahun dua tahun, tetap saja saya tidak membuat plugin sendiri. Harus segera diakhiri, saya berkesimpulan harus keluar dari zona ini. Semuanya kini berlalu, saya keliru. Saya lupa pustaka dan pemustaka.


Pustaka dan pemustaka semestinya merupakan fokus. Mengelola perpustakaan sayoganya memberi jiwa pada perpustakaan. Hadir untuk pustaka dan siap sedia siapa pun pemustaka. Menjadi pustakawan adalah memberikan pelayanan. Berkepustakawanan merupakan belajar berkelanjutan. Sementara teknologi, otomasi, dekorasi, tata letak rak dan kursi, berorganisasi dan bumbu penyedap lain pelengkap dalam menyaji.

Untuk mencapai sebuah tujuan banyak jalur mana saja bisa dilalui. Pakai kendaraan pribadi, angkutan umum atau fasilitas instansi. Jalur udara, laut atau darat pilih yang disukai.

Komunitas SLiMS adalah keluarga untuk saya yang bukan siapa-siapa. Berhenti 'ngoprek' adalah pilihan yang saya ambil untuk pergi terjun dalam lautan kepustakawanan. Tak harus membuat plugin sendiri untuk berkontribusi. Karena menggunakan SLiMS bagi saya sudah berkontribusi. Sementara lautan kepustakawanan terlalu indah untuk tidak diarungi. Tak boleh saya lupakan dan harus saya akui, kesempatan belajar berbicara di depan orang banyak tema kepustakawanan saya peroleh dari jalur keluarga merdeka, Komunitas SLiMS se-jagad raya. Terlebih untuk saya yang belum selesai menapaki sekolah jenjang sarjana.

Tetap merdeka, nge-SLiMS ria. Fokus pustaka dan pemustaka. Pustakawan bukan mesin melainkan manusia. Jaya lah kepustakawanan Indonesia.

Kamis, 07 Maret 2019

Menjual Perpustakaan

Kalau perpustakaan dijual, apakah ada yang berminat membeli? Perpustakaan adalah lembaga non-profit, tidak mencari keuntungan materi terang seorang pustakawan. Perpustakaan musti meninggikan value informasi yang dikelolanya, terang pustakawan lainnya. Informasi-informasi yang ada di perpustakaan bisa dikemas ulang menjadi sumber pendapatan lain pustakawan, pustakawan lain menerangkan. Sementara di kesempatan lain seorang pimpinan instansi induk tempat perpustakaan bernaung berujar "mengolah perpustakaan gampang, buku-buku itu benda mati". Makjleb, dyaaarrr, bak petir menyambar.

Perpustakaan musti menjadi wahana bagi masyarakat dalam upaya mensejahterakan kehidupannya. Pustakawan harus punya pedoman diri, bertransformasi, harus memahami IT, harus memiliki beragam kompetensi, mendigitalisasi koleksi, beradaptasi. Rentetan perjalanan panjang kepustakawanan Indonesia tidak akan berhenti disini. Regulasi, pemanfaatan IT, diskusi para ahli, peran organisasi profesi, negosiasi-negosiasi, lobi-lobi, seminar, workshop, diklat disana-sini mengiringi tahun berganti. Kampanye gemar membaca ke berbagai pelosok negeri. Seruan literasi. Gembar-gembor penanggulangan hoaks dengan cek validasi informasi. Tak ketinggalan ajakan menulis para praktisi pengelola informasi.

Optimis!!! Seru pendidik sekolah pustakawan di penjuru negeri. Pustakawan profesi bergengsi, walau tak begaji tinggi. Sementara kondisi perpustakaan mulai distandarisasi. Perpustakaan diakreditasi. Kerja pustakawan disertifikasi. Disusunlah SKKNI. Pustakawan dilombakan mencari yang terbaik dari yang yang berprestasi. Semua yang terbaik dicurahkan untuk masa depan negeri.

Pustakawan mulai belajar keramahan teller bank dalam melayani. Interior perpustakaan didesain ala kafe masa kini. Perpustakaan mengadopsi bioskop dengan jargon teater mini. Koleksi digital dilayankan berbantukan teknologi informasi teringegrasi. Koleksi buku dijajar penuh gaya seni untuk promosi. Intinya perpustakaan ingin dimanfaatkan serta dikunjungi. Pustakawan menginginkan pemustakanya literat di era keterbukaan infomasi. Ingin bangsanya mandiri, sementara dunia industri terus berevolusi.

Menjual perpustakaan, jasa layanan beragam informasi dan referensi. Layanan termudah, tercepat, dan terbaik dengan beragam inovasi. Adalah keniscayaan di zaman ledakan infomasi yang kian tak terbendung ini. Adalah tugas bersama dengan beragam peran yang saling mengisi dan melengkapi.

Tetap saja musti selalu diingatkan kembali bahwa masih banyak jeloban sekolah perpustakaan yang keilmuannya belum terimplementasi. Para alumni banyak yang belum terserap kerja pada perpustakaan (sebagai industri). Masih banyak pekerja perpustakaan yang gaji bulanannya belum mencukupi. Masih banyak tenaga-tenaga perpustakaan belum terwadahi dalam organisasi profesi. Masih banyak pustakawan yang tak mendapat kesempatan meningkatkan kompetensi diri dalam kekangan instansi.



Para pekerja perpustakaan ialah ia yang menjual perpustakaan. Mereka sedang berproses menyelami strategi-strategi para sales. Memerhatikan cara penjual menjual dagangannya. Memasarkan produk dalam internet. Untuk kepuasan sang raja calon pembeli, pemustaka. Karena pemustaka adalah raja di perpustakaan.

Sabtu, 23 Februari 2019

Pustakawan: Profesi Mandiri


Berapa banyak ragam pekerjaan yang masuk kategori profesi? Cukup, tulisan ini tidak akan menguraikan kuantitas. Pekerjaan mengelola perpustakaan dikategorikan sebagai profesi, pustakawan. Meskipun diketahui bahwa tidak semua sumber daya manusia perpustakaan adalah pustakawan. Selain pustakawan diteorikan terdapat administrator dan tenaga teknis dalam sebuah perpustakaan ideal, jangan tanya bagaimana kenyataannya. Lalu bagaimana kerja profesi pustakawan ini? mari simak bersama.

Pembaca pasti mengtahui beberapa profesi yang akan diurai berikut ini. Pertama hakim, profesi penegak hukum penjaga keadilan negeri. Sudah barang tentu pernah ada hakim terjerat kasus hukum dan diadili oleh hakim. Namun agaknya tidak masuk akal jika si hakim adalah pengadil dan yang diadili sekaligus secara bersamaan. Jika dipaksa menjadi rasional maka menyalahi prosedur penegakan keadilan. Dalam tatanan ilmu hukum salah.

Kedua pendidik, baik dosen, guru atau lainnya. Dalam upaya mentransfer pengetahuan dan informasi, beberapa menyebutnya ilmu, harus ada yang dididik alias peserta didik. Pendidik yang mendidik dirinya sendiri disebut belajar, bukan mendidik. Pendidik malah seringkali menjadi peserta didik dari pendidik lain.

Ketiga ada dokter, selain beberapa tenaga medis lain. Dokter tentu pernah sakit. Dokter yang pekerjaannya mengobati, berusaha menyembuhkan yang sakit, tidak mungkin logisnya menjadi pasien bagi dirinya sendiri. Dokter mustahil menyelenggarakan rumah sakit sendiri, berlaku sebagai dokter dan pasien atas dirinya sendiri. Mustahil.

Jangan kecewa, tulisan ini hanya sedikit, dangkal, singkat dan tidak mendalam. Selebihnya pembaca memiliki kemerdekaan untuk bisa menelisik lebih lanjut dan mendalam tentang profesi-profesi lain. Lantas bagaimana dengan pustakawan yang adalah profesi?

Pustakawan boleh, bisa jadi dan mampu menyelenggarakan perpustakaan (pribadi), mengelola (koleksinya) sendiri, bahkan menciptakan bahan pustakanya sendiri, dan melayankan pada dirinya sendiri. Pustakawan sangat bisa menjadi pemustaka dan pustakawan bagi dirinya sendiri secara bersamaan. Pustakawan tentu bisa dan berkenan mengelola dan melayankan pustaka kepada pemustaka selain dirinya. Profesi pustakawan boleh lah disebut profesi mandiri sekiranya tidak berlebihan.

Ditulis di Kendal berteman secangkir kopi. 230220192207.

Sabtu, 09 Februari 2019

Pustakawan Bermanfaat

Pustakawan itu makhluk apa tentu para pembaca yang budiman telah memiliki perspektif subjektif dalam pengalaman otentik. Baik pembaca sebagai produsen, pelaku, kolega, keluarga, atau pemakai (user) dari si pustakawan. Dalam menjalankan tugas pekerjaan, manusia pustakawan memiliki prinsip dan cara pandang yang beragam mengenai dirinya sendiri. Penulis sebut manusia pustakawan tidak lain karena pustakawan bukan Tuhan, bukan makhluk suci sejenis malaikat, bukan jin, iblis, atau setan bahkan nabi. Pustakawan juga bukan tumbuhan, hewan, mesin atau tokoh fantasi dalam gelaran kartun. Pustakawan adalah manusia.

Sangat beragam jenis kegiatan pekerjaan yang dilakukan pustakawan. Belum lagi bila ditilik dari beragamnya jenis manusia pustakawan. Belum nanti jika menuturkan jenjang kastanisasi berdasarkan jabatan atau ragam keterampilan. Tempat dan jenis perpustakaan dimana manusia pustakawan bertugas, bakal semakin lebar bahasannya. Sudut pandang latar belakang rahim (tempat calon pustakawan ditempa) untuk kemudian dilahirkan. Namun terdapat sebuah kesamaan mendasar jawaban atas pertanyaan mengapa (tetap) bekerja menjadi manusia pustakawan? serempak menjawab diplomatis ingin menjadi manusia bermanfaat.

Secara sederhana bermanfaat berarti berguna; berfaedah; ada manfaatnya. Kata benda berawalan ber- ini menjadi kata kerja dari kata dasar manfaat. Kemudian untuk menjadi bermanfaat maka harus ada pemanfaatan agar supaya kemanfaatannya terasa atau terlihat. Dalam rangkaian ini memerlukan pelaku (subjek) yang memanfaatkan agar lengkap pemanfaatan manusia pustakawan, dan tentunya bermanfaat. Lalu benarkah pustakawan siap sedia untuk dimanfaatkan?

Pustakawan sekolah/madrasah tingkat dasar tetap bermanfaat sebagai guru pengganti kelas yang kosong. Menjadi operator merangkap staf administrasi. Menjaga koperasi, melatih pramuka dan menjadi petugas kebersihan sekolah. Atau pekerjaan-pekerjaan diluar informasi yang penulis himpun. Tetaplah bermanfaat wahai manusia pustakawan sekolah madrasah tingkat dasar. Tak begitu berbeda dengan tingkat dasar, sekolah/madrasah tingkat menengah pertama juga memanfaatkan pustakawan. Pustakawan bermanfaat menjadi personil tambahan tata usaha, koperasi, pelatih beragam ekskul. Pesuruh alias seksi ‘riwa-riwi’ dalam dan luar sekolah. Apa kabar perpustakaan dan pemustaka kalian dan semoga senantiasa bermanfaat.

Hai pustakawan sekolah/madrasah yang kabarnya hari ini sudah mendapat honor UMR. Pustakawan sekolah/madrasah menengah atas ini masih bermanfaat untuk penunjang sertifikasi guru dengan tidak menjadi kepala perpustakaan. Dalam akreditasi instansi keberadaan dan perannya tidak bisa dipungkiri. Sebagiannya masih sebagai personil tambahan beragam tugas seperti adik jenjangnya. Walau dengan konsekuensi meninggalkan atau menutup layanan perpustakaan, tetap saja para pustakawan bermanfaat.

Perpustakaan umum daerah ada yang memanfaatkan pustakawan sebagai bendahara. Pustakawan di perpustakaan jenis ini ada yang bermanfaat hanya dan hanya menjadi staf meski secara perundang-undangan sudah boleh didefinisikan pustakawan. Menjadi petugas lelang, desainer grafis, admin medsos perpus dan banyak manfaat lainnya. Di Perguruan Tinggi, masih banyak pustakawan bermanfaat di BAAK, publikasi atau promosi, admin website, admin PDPT. Pustakawan bermanfaat menjadi anak emas jika jadwal visitasi akreditasi program studi atau institusi sudah diedarkan. Tentu banyak juga pustakawan yang masih menjadi 'babu' di rumah sendiri, tak terkecuali pustakawan di kedua perpustakaan ini.

Credit : steemitimages.com

Lantas bagaimana manusia pustakawan lain di instansi-instansi, di desa, di berbagai tempat lainnya, apakah mereka semua bermanfaat? Ya, tentu saja pustakawan bermanfaat. Tinggal perlu dilihat lebih dekat dalam hal apa kemanfaatan pustakawan dan pekerjaannya. Bermanfaat dalam melayani pengguna, menyimpan dan mengelola, mencari, mendapatkan, membuat informasi pada perpustakaan atau kini telah meluas menyeberang jauh keluar mengikuti siapa yang memanfaatkan. Atau asal bermanfaat membutakan diri dalam hal apa kemanfaatanya. Sungguh mulia pekerjaan manusia pustakawan si manusia bermanfaat. Bermanfaat artinya ada yang memanfaatkan. Selamat bermanfaat manusia pustakawan. Sejatinya kemanfaatanmu tidak hanya untuk manusia melainkan sekalian alam.

Senin, 04 Februari 2019

Perpustakaan Dalam Ruang Bersama Madrasah

Setelah mengenal perpustakaan di bangku sekolah dasar tidak serta merta penulis menjadi gemar membaca. Boro-boro gemar membaca, tahu mengenai gedung berisi seserakan buku yang penulis kunjungi di gedung pojok sekolah dasar dinamai perpustakaan baru belakangan ini. Atau ternyata bukan? jikalau perpustakan benar mensyaratkan minimal seribu judul dan dikelola dengan aturan tertentu. Paling tidak sementara judulnya demikian, mengenal perpustakaan sejak SD. Toh di negeri yang mencita-citakan kehidupan bangsanya cerdas bernama Indonesia ini banyak lembaga pendidikan yang belum menyelenggarakan perpustakaan.


Betapa bahagianya penulis jika hanya sekali dua kali berkunjung tempat buku ditumpuk lantas menjadi gemar membaca. Macam banyak kegiatan perpustakaan belakangan ini yang menghadirkan segerombolan orang untuk diperkenalkan perpustakaannya lantas berasumsi segerombolan tadi telah literat. Naif. Penulis bukan seorang kutu buku yang kemudian di masa kuliahnya mengambil prodi ilmu perpustakaan. Penulis barangkali adalah seekor ‘kutu kupret’ tak berekor. Baiklah, penulis akan mulai mengisahkan fakta.

Penulis semasa kelas delapan diperkosa dipilih menjadi ketua OSIS. Dengan tiada modal secuil pengetahuan dan pengalaman berorganisasi, penulis tak kuasa menampik politik pemilihan OSIS tahun 2005 itu. Sangat terpaksa penulis terima kenyataan dengan ‘pengayem-ayem’ dari kakak dan beberapa teman yang bersiap membantu dalam menjalankan organisasi. Menjadi ketua OSIS harus dijalani meski bak masuk hutan belantara tanpa bekal.

Adalah suatu keniscayaan bahwa manusia harus terus belajar dan beradaptasi. Menjabat sebagai ketua OSIS ternyata membukakan jalan tersendiri bagi penulis. Masuk kantor, ruang guru, biasanya penulis jalani sebagai hukuman tatkala terlambat datang, kini berada di kantor, ruang guru hampir menjadi kebiasaan. Tempat belajar penulis semasa menengah pertama adalah madrasah tsanawiyah swasta. Dari pusat kota lebih kurang berjarak sebelas kilo meter. Hanya terdapat enam rombel, masing-masing tiga kelas putra dan tiga kelas lainnya putri. Satu jenjang dibagi dua kelas, kelas putra dipisah dari kelas putri. Sementara hanya ada satu ruang lain selain kelas.

Bermula dari Ruang OSIS

Ruang OSIS terletak satu ruang dengan ruang tata usaha, ruang guru, ruang tamu, ruang kepala sekolah dan dua ruang lainnya dengan batasan sekat dari papan. Menjalankan roda organisasi mengantarkan penulis -mau tidak mau- harus seliweran ‘riwa-riwi’ keluar masuk ruang OSIS untuk mengurus administrasi serta beberapa hal lain. Barangkali didasari kebiasaan usil ditambah keingintahuan anak usia puber kala itu, penulis mengulik penasaran ruang apa gerangan yang sering tertutup di sebelah utara ruang OSIS. Dua ruang di sebelah utara ruang OSIS masih belum pernah penulis temui dibuka sejak terbiasa seliweran di ruang bersama itu.

Semenjak ada guru pegawai negeri yang diperbantukan, ruang paling ujung utara beberapa kali dibuka. Guru baru yang mengajar mata pelajaran olahraga itu sering mengambil dan mengembalikan peralatan praktek olahraga di ruang sekat ujung utara. Anggap saja ruang ujung utara itu untuk menyimpan peralatan praktek olahraga. Lantas ruang apa di antara ruang OSIS dan ruang ujung utara.

Jujur, dalam beberapa kesempatan, penulis pernah memanfaatkan jabatan di luar kewenangan. Bermodal jabatan ketua OSIS dan kunci ruangnya, penulis pernah memasukkan dua orang cewek, kami hanya bertiga. Modusnya tentu bisa ditebak, ya rapat terbatas pengurus harian OSIS. Penulis selaku ketua, bendaharanya kakak perempuan penulis, anak dari paman dan sekretaris adalah cewek yang penulis taksir saat itu. Eh, ceritanya kok jadi begini. Kembali ke rel utama.

Jujur, dalam beberapa kesempatan memang penulis pernah memanfaatkan jabatan ketua OSIS di luar kepentingan organisasi. Pernah suatu waktu penulis masuk ke ruang OSIS sendirian. Dengan menutup pintu rapat-rapat, penulis memanjat sekat ruang untuk melihat apa sebenarnya kegunaan ruang sebelah selatan tempat alat olahraga. Namun belum bisa melihat dengan jelas, buru-buru penulis harus turun karena tampaknya ada orang masuk ke ruang bersama itu. Belum puas menemukan apa yang dicari, tapi setidaknya rasa penasaran penulis sedikit terjawab dengan melihat rak dari besi, kardus dan jajaran buku. Apakah itu ruang perpustakaan?

Untuk memastikan apa yang dilihatnya dari ruang OSIS dan tentu untuk memenuhi hasrat ingin tahu anak puber kala itu, penulis berburu informasi siapakah gerangan yang bertanggungjawab dan membawa kunci ruang itu dan mengapa tak pernah dibuka. Berbagai cara penulis tempuh untuk mendapatkan informasi, sampai pada seorang ‘juru kunci’ saat madrasah sudah sepi dan hendak ditutup. Selain bertanya, penulis juga memohon untuk dibukakan sekedar melihat jika diperbolehkan. Besarnya hasil memang berbanding lurus dengan kerasnya usaha.

Penulis akhirnya mampu merayu, meluluh lantahkan hati sang juru kunci. Tak sampai menikmatinya memang, tapi setidaknya rasa penasaran penulis terjawab. Sang juru kunci berkenan membukakan ruang itu sebentar sementara beliau memberesi dan mengunci ruang tata usaha, ruang kepala madrasah dan ruang guru. Benar saja ruang itu adalah ruang dimana buku dijajar dalam rak besi, beberapa buku lain masih dalam kardus warna coklat. Pengap, kotor, berserakan dan tak ketinggalan laba-laba membangun istananya disana.


Tak puas hanya melihat, penulis ‘mbujuki’ juru kunci untuk membocorkan rahasia utama. Selanjutnya penulis temui lakon dari dalang di balik ruang yang sering terkunci itu. Ialah seorang ibu paruh baya yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan serangan rayuan maut ala ketua OSIS, penulis memohon kesempatan memasuki ruang sebelah utara markas kutu kupret. Ah dasar rejeki, tanpa banyak pertanyaan dari si Ibu, untuk tujuan apa dan sebagainya, bukan dibukakan ruangnya malah mempercayakan kuncinya untuk dibawa.

Lalu, apakah pustakawan ia yang bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan dan pelayanan perpustakaan bermodal kompetensi yang diperolehnya dari pendidikan kepustakawanan? sementara orang tersebut lebih banyak menjalankan tugas non-perpustakaan untuk instansinya. Benar saja ungkap Kang Murad “menyebut diri seorangi pustakawan itu mudah, tapi berproses menjadi pustakawan itu yang sulit”.

Paragraf terakhir sengaja penulis maksudkan sebagai autokritik bagi diri pribadi penulis yang sedang belajar menjadi pustakawan. Jika toh bisa meluas digunakan sebagai autokritik pelaku profesi unik ini, silahkan saja. Mengenali diri sendiri itu penting. Begitu pula pustakawan penting mengenali pustakawan.

Sabtu, 02 Februari 2019

Mengenal Perpustakaan Sejak SD

2011 lalu akhirnya saya berkesempatan mendapatkan status mahasiswa. Artinya saya berkesempatan kuliah setelah setahun ‘nganggur’ selepas tamat pendidikan menengah atas. Keinginan kuliah memang sudah ada sedari masih sekolah menengah pertama. Dan, program studi yang saya tempuh adalah Ilmu Perpustakaan jenjang diploma dua.

Mempelajari kepustakawanan memang bukan pilihan utama. Dalih-dalih menjadi pustakawan, profesi macam apa itu pun saya tak tahu sebelumnya. Setelah beberapa kali ketemu dan ngobrol dengan senior melalui berbagai kesempatan, saya menemukan kesamaan dengan sebutan “tersesat di jalan yang benar”. Boleh jadi bukan tersesat, atau bukan tersesat di jalan yang benar, tapi setidaknya istilah ini cukup untuk menghibur diri. Minimal sampai saat ini.

Sementara berstatus sebagai mahasiswa ilmu perpustakaan, saya mencoba mengingat keterkaitan diri dengan perpustakaan. Sejak kapan, apa, siapa, bagaimana dan dimana saya bersinggungan dengan yang namanya perpustakaan. Bukan apa-apa, saya hanya ingin merefleksikannya saja.


Entah kelas berapa saya lupa, mungkin kelas dua atau lima. Setelah mengumpulkan segenap sisa-sisa ingatan yang masih ada, saya susun kata dan kalimat mengisahkan realita. Saat itu tak ada yang memberitahukan kepada saya, apa itu perpustakaan.

Saya dan beberapa teman lelaki memang sering usil main ke belakang sekolah tiap guru belum masuk kelas atau waktu istirahat tiba. Di pojok utara sekolahan yang langsung berbatasan dengan sawah, kami, saya dan teman-teman sering bermain layaknya anak-anak. Dari keusilan kami, sesekali kami memenuhi rasa keingintahuan dari isu sekeliling meski kadang dengan cara yang tak wajar. Gedung di pojok sekolah itu bagi banyak teman menakutkan, mistis, angker, ada hantunya dan sebagainya. Ruangnya memang tertutup, tak banyak orang masuk kesana, bahkan guru, mungkin sesekali ada guru tapi tak lama, begitu sejauh yang kami amati.

Pak Bun, begitu dulu kami menyebut penjaga sekolah sekaligus tukang kebun di sekolah, meski ternyata namanya tak ada unsur kata “bun” sama sekali. Sering kami dapati Pak Bun berada di gedung itu, gedung di pojok sekolah yang ternyata di dalamnya saat ini saya sebut perpustakaan. Kami belum bisa menjangkau isi ruang gedung yang diisukan mistis dan angker itu. Kecuali Pak Bun dan mungkin beberapa guru, tapi kami tak yakin Bapak atau Ibu guru mengetahui. Dalam berbagai kesempatan, kami beberapa kali mencoba ‘ngintip’ dari sela-sela kaca jendela yang dicat warna gelap. Coklat tua atau apa warnanya saya sudah lupa. Kami menemukan tumpukan buku walau sebenarnya tak yakin dengan hasil temuan pengintipan hari itu.

Keusilan kami yang sering main di belakang gedung di pojok sekolah tercium oleh Pak Bun. Pernah kami dipergoki Pak Bun saat mengintip celah jendela kaca yang dicat warna gelap itu. Sontak saya dan teman-teman lari ‘sipat-kuping’ terbirit-birit. Kejadian itu justru sebenarnya menguatkan rasa penasaran dan kecurigaan kami. Pasalnya ada isu lain di luar keangkeran gedung pojok sekolah. Disisi lain kami sempat takut dan tidak ingin melanjutkan investigasi untuk mengetahui apa sebenarnya yang ada disana.

Sejak kejadian itu, cukup lama kami tak bermain di pojok belakang sekolah. Kami hanya main layaknya teman pada umumnya. Di kelas, jajan di pinggir jalan atau sekedar main bola di halaman sekolah. Entah angin apa yang berhembus, atau setan apa yang merasuki pikiran kami. Kami memutuskan melanjutkan investigasi dan memuaskan rasa keingin-tahuan yang pernah melanda. Kami putuskan kembali ke pojok belakang sekolah jika ada kesempatan.

Sekolah kami kekurangan guru, dan korbannya adalah kelas saya yang gak kebagian guru. Sementara guru olah raga dan guru agama saat itu tidak hanya mengajar di sekolah kami. Kelas sering kosong, kecuali termat ramai karena kegaduhan hingga guru kelas sebelah datang sekedar memberikan tugas. Ini kesempatan. Kesempatan ini kami gunakan untuk melanjutkan penelusuran. Kami kembali ke markas.

Pada kesempatan itu, kami mencoba memberanikan diri bertemu Pak Bun secara langsung. Kami mencoba dengan ‘modus’ ingin meminjam buku. Meski sebenarnya kami belum yakin apakah disana benar ada buku yang boleh dipinjam. Paling tidak kami mencoba supaya bisa masuk. Untuk kemudian tahu apa yang ada disana, menjawab rasa keingintahuan kami. Menyatakan apa yang menjadi isu, mencari bukti. Menguak misteri.

Setelah memastikan Pak Bun ada di ruang itu, kami bersama-sama dengan segenap tekad yang ada untuk masuk. ‘Celingak-celinguk’ memperhatikan sekitar yang berisi tumpukan barang tak terpakai, satu diantara kami atau secara bersamaan berkomunikasi dengan Pak Bun menyampaikan maksud (alibi) meminjam buku. Gayung bersambut, kami diantar ke sebuah ruang kecil di ujung gedung. Pintunya dikunci dengan gembok. Setelah Pak Bun membukanya, benar saja kami menemui bertumpuk-tumpuk buku disana. Terang, ini sesuai dengan penglihatan kami saat mengintip tempo lalu. Tanpa basa-basi kami langsung masuk, agar supaya Pak Bun tidak curiga.

Dengan mengiyakan arahan Pak Bun untuk tidak mengacak-acak tempat acak-acakan itu, kami memilih buku asal-asalan. Berikutnya Pak Bun meninggalkan kami dalam ruang itu, kemudian rasa takut dan curiga pun datang. Cepat-cepat kami membawa buku yang terpilih dan segera menemui Pak Bun di tempat duduknya seperti saat pertama kami temui dekat tempat pencucian peralatan dapur. Kami mencukupi kesempatan pertama dengan ‘wanti-wanti’ seminggu lagi bukunya harus dikembalikan. Kami kembali ke kelas.

Belum ada seminggu sejak hari itu, saya mengajak teman-teman kembali ke gedung pojok sekolah. Di ruang yang berisi lemari dengan banyak dokumen di dalamnya, barang-barang bekas hasil kerajinan tangan, berbagai peralatan tak terpakai di ruang tengah, kursi dan meja berisi beberapa gelas dan piring, tempat pencucian dan kamar kecil dalam yang kemudian saya ketahui juga ada bak air yang mengisinya dari luar, dari sumur di belakang gedung. Satu ruang di pojokan yang hari ini saya sebut perpustakaan serta satu ruang terkunci di sebelahnya. Dari kesempatan kedua ini, kami sudah bisa memetakan seisi gedung itu walau tak begitu detail. Aura mistis dan angker masih melekat yang menjadikan kami belum berani berlama-lama disana.

Masih dengan alibi bin modus yang sama, kami kembali menjemput kesempatan berikutnya. Berpura-pura mengembalikan buku dan meminjam buku lainnya, kami masih berusaha mencari bukti atas isu, mencari kebenaran yang tersembunyi. Kekurangan guru membuat kami memiliki kesempatan lebih untuk bermain di pojok sekolah. Sampai akhirnya saya berkesimpulan, tempat itu tidak angker, mistis sebagaimana isu yang berkembang, hanya saja tempat itu tidak sering dijadikan tempat beraktifitas, kecuali penghuni tunggal yaitu Pak Bun.

Ternyata oh ternyata, sedari sekolah dasar saya sudah bersinggungan dengan perpustakaan. Saya tahu hari ini bahwa saat itu bukan pustakawan yang melayani peminjaman. Penjaga tempat yang saya namai perpustakaan itu bukan lah pustakawan.

Pertanyaan saya hari ini adalah fungsi pustakawan apa dan mana yang tidak bisa digantikan oleh mereka yang bukan pustakawan?
Ataukah benar hasil perenungan Paijo bahwasanya setiap orang adalah pustakawan? Entahlah. Ingin saya bertanya tapi kepada siapa.

Bagaimana saya bersinggungan dengan perpustakaan di sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan saat duduk di selasar perguruan tinggi?. Nantikan tulisan berikutnya.

Selasa, 29 Januari 2019

Pantun Perpusku

Sumber Gambar: cdns.klimg.com

Mencari buku jangan di kebun
Penulis bilang “buku tuh lahan”
Jumlah perpus sudah bejibun
Banyak perpus tiada pustakawan

Membaca buku merawat manggis
Manggis disiram supaya hidup
Nasib pustakawan masih tragis
Gaji sebulan makan tak cukup

Sekolah tinggi banyak biaya
Tekun belajar menggapai asa
Lulusan ilpus jenjang sarjana
Toga dilepas kerja dimana?

Buku ditumpuk di perpustakaan
Buku dibuka baca ilmunya
Kalau lah engkau pustakawan
Mari menulis lanjut berkarya

eMKa 30012019

Pustakawan Heroik

Sumber Gambar: lawunhas.wordpress.com


Tercengang, kedua mata membelalak
Perpusku berserak, tumpukan buku membludak
Tikus, kecoa, laba-laba, tentram beranak pinak
Kota metropolitan berhamburkan buku rusak
Gelap, kumuh, menjijikan, busuk semerbak

Kabarnya gerakan literasi sudah semarak
Pegiat baca bergerilya dari istana sampai barak
Berkirim buku tanpa biaya memangkas jarak
Berharap minat baca tumbuh terbiasa sejak masa anak
Tapi banyak ditemui perpustakaan rusak, tak layak

Dadaku berkecamuk, suara senggak-sengguk, ingin mengamuk
Ilmu pengetahuan dan informasi yang tiada berufuk
Terisolir dalam huruf, kata, dan buku yang hanya ditumpuk
Kemana perginya pustakawan? ataukah ia telah dikutuk?
Atau ia menyusuri jalan sepi para sufi, sembunyi dari hiruk pikuk

Kecanggihan teknologi dan digitalisasi tak bisa ditampik
Beragam media mengemas informasi demikian apik
Video, ebook, pun jutaan digital konten begitu menarik
Pikirku terusik. Dibanding kafe, kenapa perpustakaan kalah menarik?
Mungkinkah perpus belum digawangi pustakawan heroik?

Pustakawan kabarnya bisa apa saja, taik
Perpus bisa disulapnya jadi surga, tengik
Informasi dikelola-layankan sebab berharga, munafik
Membudayakan minat baca, mencerdaskan kehidupan bangsa, jangkrik
Regulasi tak diimplementasi diam aja, fasik
Budak di istana sendiri aja bangga, pelik


Pustakawan, begitu kau sebut peran kerjamu heroik?


eMKa 290119