Tampilkan postingan dengan label Nugroho D Agus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nugroho D Agus. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Mei 2019

Beasiswa Ikatan Pustakawan Indonesia


[Semarang, 2 Mei 2019] Kamis malam Jumat, saya terpilih menjadi juara ketiga Lomba Pustakawan Berprestasi Terbaik Provinsi Jawa Tengah 2019. Berbagai rangkaian seleksi telah saya ikuti di gedung Perpustakaan Provinsi di Jl Sriwijaya. Salah satu tahapan seleksi diantaranya adalah menuliskan artikel alasan memilih berprofesi sebagai pustakawan dan rencana untuk memajukan profesi pustakawan. Berikut ini adalah artikel yang saya sajikan untuk kelima dewan juri yang  100% difasilitasi Perpustakaan Kota Magelang. Terimakasih teman-teman pustakawan Kota Magelang telah sepenuh hati mendukung moril dan materiil.


***

BEASISWA IPI

Sejak sekolah dasar, saya dibiasakan memegang majalah oleh ibu. Kala itu, ketika Ibu pulang kantor pada kamis siang, beliau membelikan majalah Bobo dan Ina. Saya senangnya bukan main. Sejak itu, saya selalu dibawakan kedua majalah itu tiap kamis.

Setelah dewasa, saya baru tahu bahwa Ibuku ternyata tidak suka membaca. Alasan Ibu membelikan majalah begitu sederhana, karena mengikuti nasehat dari teman kerjanya semata. Bagiku itu tidak penting, karena masa kecilku sangat bahagia dibawakan majalah oleh Ibu. Walau sebenarnya saya hanya suka melihat-lihat gambar di majalah dan sesekali mendapatkan bonus permainannya. Misalnya menyusun potongan gambar menjadi mainan kertas dinosaurus berdiri dengan empat kakinya.

Beranjak ke jenjang sekolah menengah atas, saya begitu tertarik meminjam buku di perpustakaan. Maklum, selama sekolah enam tahun sekalipun tidak pernah melihat perpustakaan. Mulai kelas tujuh, saya sudah mulai meminjam buku. Namun hanya di kala libur sekolah saja. Sehingga total selama tiga tahun hanya 5 judul buku yang saya baca. Semuanya cerita pendek. Sedangkan di saat jam pelajaran kosong, saya pergi ke perpustakaan untuk menyempatkan membaca majalah MOP. Tapi merasa kurang puas, saya lebih memilih menyisihkan uang untuk membeli majalah XY Kids dan Bola. Jika tidak ada uang, kerap kali saya merengek kepada Nenek untuk membelikan kedua majalah itu.

Setidaknya, kebiasaan membeli majalah menjadi rutinitas tiap pulang sekolah. Eh, kadang malah kehabisan stok. Ada rasa menyesal. Akan tetapi, semenjak masuk jenjang sekolah menengah atas, rasa menyesal pun hilang. Perpustakaan ternyata berlangganan majalah Bola, sehingga saya kerap kali pergi ke perpustakaan hanya untuk membaca majalah itu. Acap kali antar siswa laki-laki berebut membaca majalah itu. Sampai-sampai petugas perpustakaan mencopot steplesnya sehingga masing-masing lembaran lepas dan bisa dibaca oleh banyak siswa sekaligus.

Itulah kisah saya yang erat dengan majalah dan perpustakaan. Kini, saya telah lulus dari Ilmu Perpustakaan dan bekerja menjadi pustakawan di salah satu perguruan tinggi negeri di Magelang. Perjalanan saya memilih pilihan jurusan ketika penerimaan mahasiswa baru tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Waktu itu, saya ditanya oleh Bapak. “Mau kuliah jurusan apa? Pilihlah yang kerjaannya kelak yang kamu suka dan cepat mendapat pekerjaan.” Setelah beliau menyodorkan beberapa usulan jurusan dan mendengar arahannya, saya telah memantabkan diri memilih jurusan Ilmu Perpustakaan.

Bagi Ibu, pilihan jurusan yang telah saya putuskan adalah tidak sesuai keinginannya. Beliau ingin saya bekerja satu kantor di Dinas Pekerjaan Umum. Sehingga saya disarankan untuk memilih jurusan Teknik Sipil. Apa daya, untuk memenuhi hasrat kedua orang tua, saya pun memasukkan kedua nama jurusan tersebut pada formulir daring penerimaan mahasiswa baru Universitas Diponegoro. Saya isi pilihan nomor 3: Statistika, pilihan nomor 2: Teknik Sipil, dan pilihan nomor 1: Ilmu Perpustakaan. Beres, bukan? Hasrat kedua orang tua saya telah terpenuhi. Bagi teman sekolah yang mengetahui formulir itu. Mereka membuli saya. “Bocah kok lucu. Kalau tidak keterima pilihan nomor 1, ya tidak bakal keterima pada pilihan nomor 2 atau pun 3 lah!”.

Tapi, takdir berkata lain. Tepat satu hari setelah ujian akhir sekolah berakhir, saya melihat pengumuman penerimaan masuk mahasiswa baru Undip. Saya berteriak kencang: Alhamdulillah! Saya diterima sesuai pilihan pertama yang saya pilih.

Sejak saat itu, saya membayangkan seperti apa pekerjaan seorang lulusan Ilmu Perpustakaan. Saya bertanya ke tetangga yang pernah bekerja di perpustakaan.  Cari sana dan sini. Dan bertemulah saya dengan Ibu Wiharjanti, yang bekerja di perpustakaan daerah. Saya diajak berkunjung dan mendengar cerita perjuangan beliau bekerja. Dan akhirnya, saya mantab bercita-cita menjadi pilotnya suatu perpustakaan: pustakawan.

***

Masa kuliah telah usai, gemuruh sorak-sorak wisudawan menghiasi gedung Soedarto. Semua wisudawan dan orang tua wali tertib masuk ke gedung lalu duduk dan mengikuti prosesi upacara wisuda dengan khidmat. Saya bangga. Saya adalah lulusan mahasiswa Ilmu Perpustakaan pertama dalam sejarah Undip sebagai pembaca sumpah alumni di upacara wisuda universitas. Tidak hanya itu, saya pun diberi amanah lagi mewakili seluruh wisudawan Fakultas Ilmu Budaya untuk memberikan pidato pada upacara wisuda fakultas. Berikut petikan pidato yang masih terngiang: “Seandainya kami (alumni) bagai kura-kura, tempurung kami ini kian berat! Pasalnya terlabel Undip di pundak kami! Universitas ternama dengan prestasi mengabdi kepada masyarakat yang menjulang. Sudah saatnya kami tidak lagi merepotkan Ayah dan Ibu. Kami siap mandiri demi martabat negeri!”

Lulus! Ya, lulus adalah momok bagi semua alumni. Rasa bangga bisa lulus namun hanya kesenangan sesaat. Setelah itu? Ada yang malu kerja dengan gaji sedikit. Tidak sedikit yang karirnya banting stir. Saya sudah bertekad sejak pendaftaran mahasiswa baru: Ilmu Perpustakaan adalah pilihan pertama, bukan pilihan cadangan. Oleh karena itu, saya ingin sekali bekerja menjadi pustakawan ala lembaga tempat bekerja.

***

Sejak awal mencari lowongan kerja, saya yakin menjadi pustakawan bagaikan memiliki sifat air. Air yang selalu menyesuaikan diri (mengisi) sesuai bentuk wadahnya. Jika wadahnya berbentuk tabung, maka air itu juga berbentuk tabung, jika wadahnya berupa mangkuk, maka air akan mengisi mangkuk tersebut. Artinya, indikator menjadi pustakawan itu tidak bisa dipukul rata dari sabang sampai merauke dari desa sampai ibu kota. Akhirnya saya berlabuh untuk kali pertama sebagai pustakawan di Surabaya, YPPI, Lembaga Swadaya Masyarakat yang saya lebih suka menyebutnya: lembaga konsultan perpustakaan. Dan sekarang ini, saya membentangkan layar lalu mengarahkannya di Universitas Tidar, tempat saya melanjutkan karir sebagai pustakawan.


Setelah melalang buana ke seantero negeri lalu kembali ke daerah (magelang) bukan malah mengerutkan semangat untuk berkarir lagi sebagai pustakawan. Kini karya-karya sebagai pustakawan telah saya capai. Mulai dari bekerjasama internal dengan mahasiswa untuk pendekatan kebutuhan sampai berjejaring eksternal dengan lembaga mentereng. Berbagai tulisan telah tayang di Call For Paper dan berbagai jurnal serta media massa. Kemas ulang video pun telah tayang di berbagai televisi nasional. Kini 3 buku telah terbit dan 1 sebagai editor buku. Tentu saya tidak berhenti sampai di sini. Saya memiliki pandangan yang berbeda di profesi pustakawan ini. Pasalnya menjadi pustakawan bukanlah hal mudah walau memiliki nilai IPK sempurna.

Saya berpendapat, untuk memutuskan benar-benar menjadi pustakawan adalah di mulai sejak bangku kuliah. Lebih-lebih baik lagi sejak lulus SMA. Soalnya, bila mahasiswa yang masuk kuliah saja sudah galau apalagi setelah lulus malah semakin galau, mau jadi apa negara ini?. Oleh karenanya, supaya mahasiswa tidak galau, perlu ada arahan oleh para alumninya. Mereka (mahasiswa) adalah adik tingkat kita yang menjadi tanggungjawab bagi alumni untuk membinanya. Sudah ada dosen, bukan? Kenapa alumni harus terlibat? Kita meyakini bahwa sebuah pekerjaan dikatakan menjadi profesi ketika ada tiga kriteria. Pertama, ada pabrik pencetak calon pustakawan, kedua adalah keberadaannya diakui oleh masyarakat, dan ketiga yang terpenting adalah memiliki organisasi profesi yaitu IPI – Ikatan Pustakawan Indonesia. Sehingga IPI perlu dilibatkan dalam mencetak calon pustakawan di pabriknya yaitu di lembaga pendidikan Ilmu Perpustakaan.

Pelibatan ini perlu mendapat perhatian khusus. Pasalnya, organisasi IPI sudah terlanjur basah kuyub dicap mengecewakan oleh sebagian pustakawan. Karena itu, saya menawarkan sebuah gagasan untuk meningkatkan martabat IPI dikancah daerah maupun nasional. Bagaimana caranya? Saya berpendapat perlunya kesediaan dan keikhlasan dari anggota IPI sendiri untuk menyelenggarakan gagasan saya ini. Lalu juga perlunya kerjasama antara IPI dengan lembaga pendidikan Ilmu Perpustakaan. Gagasan saya ini adalah program pemberian beasiswa gotong royong kepada calon pustakawan.

Program beasiswa ini memiliki konsep sebagai berikut:

  1. Penggalangan donasi beasiswa dari para alumni / pustakawan / anggota IPI sebagai donator yang bergotong royong mendonasikan minimal sejumlah Rp 50.000,- sampai maksimal tidak terhingga.
  2. Donasi disetorkan tiap bulan pada tanggal 25-4 (misal 25 april - 4 mei) dan durasi donasi tiap periode minimal 12 bulan (12 x setor).
  3. Maksimal 10 donatur membiayai kuliah seorang mahasiswa terpilih. (Tiap 10 donatur gotong royong untuk 1 mahasiswa).
  4. Calon penerima beasiswa diseleksi ketat, transparan dan daring.
  5. Calon penerima beasiswa diberikan wawasan baru tentang jenjang karirnya kelak melalui serangkaian wawancara oleh IPI.
  6. Calon penerima beasiswa wajib menjadi pengurus IPI Provinsi jika sudah bekerja dimanapun berada.
  7. IPI harus mencari donator lain selain dari anggota / pustakawan seperti perusahaan ternama.
  8. Melalui program ini, citra IPI disinyalir membaik dan pengurus IPI akan terisi oleh generasi penerus yang berkualitas sehingga IPI semakin maju.



Selasa, 05 Februari 2019

10 Ciri Pustakawan Strawberry

Kriteria Pustakawan Growth Mindset ini bisa dilihat saat mereka bekerja yaitu lebih memikirkan dampak dan merealisasikan apa yang bisa diberikannya kepada lembaga, bukan selalu menuntut dari lembaganya."

Oleh: Nugroho D Agus*

Aku ini bukan makhluk bernama pustakawan. Aku hanyalah pegawai kontrak. Yang bisa dipecat jika tidak lagi perpanjangan kontrak. Namun aku bersyukur. Kini aku sudah menikah. Membeli rumah KPR dengan modal SK kontrak itu.

Sabtu pagi ini adalah hari yang selalu aku tunggu. Waktu mandi menjadi lebih awal. Tidak lagi berpakaian resmi. Dan tidak ada sepatu hitam. Hanya memakai kaos, rok jin dan sandal untuk keluar rumah. “Indahnya sabtu”, gumamku. Sementara, Dicki, pasangan hidupku, sudah memakai helm dan menunggangi sepeda motor mionya. Kami berdua siap berangkat.

Kini, hari-hariku menyenangkan bersama teman hidupku. Kami pergi ke pasar Borobudur. Membeli sayur dan keperluan rumah tangga untuk sepekan ke depan. Sesampai di pasar,kami parkir di dekat kios buah Mbah Olo. Sudah menjadi kebiasaan kami, supaya tidak kelupaan membeli buah.

Ada tiga buah yang biasa kami beli. Kalau tidak pisang lembang, pepaya kalifornia atau strawberry. Pisang lembang kesukaan laki-lakiku. Tidak repot saat dimakan, dan rasanya manis walau bentuknya kecil. Cocok sebagai cemilan sehat di akhir pekan. Sedangkan pepaya kalifornia punya daging yang tebal dan mampu bertahan sampai 3 hari kedepan. Warnanya merah dan sedikit bergetah. Sedangkan hari ini, Dicki lebih memilih strawberry. Lalu ia menyodorkan uang kepada Mbah Olo. “Stroberi setunggal mbah! Niki Rp 11.000,- nipun (stroberinya satu ya, nenek! Ini uangnya)“.

10 Ciri Pustakawan Strawberry
Credit: Openclipart
“Kates e sekalian Le? Nopo gedhang e? (Mau sekalian beli pepaya atau pisang?)”, sahut Mbah Olo, yang sudah hafal hanya ketiga buah itulah yang bakal kami beli.

“Mboten, Mbah. Matur suwun. Pamit njih (Tidak Mbah. Terima kasih. Saya pamit ya)”.

Buah masuk ke keranjang belanja. Tanda belanjaan sudah komplit. Tukang parkir sudah diberi uang Rp 1.000,-. Dicki menyalakan motor dan siap untuk pulang. Motor telah melaju. Hawa udara masih sejuk. Jembatan telah terlewati. Motor terasa mengerem di jalan menurun. Dadaku mulai menempel di punggung Dicki. Paha kanan dan kiri semakin merapat ke depan. Reflek tanganku melingkar dengan lembut di perutnya. Daguku sengaja aku tempelkan di pundak sebelah kirinya. Aku berharap Dicki akan merasa geli. Akan tetapi usahaku bagai menggantang asap, mengukir langit. Dicki tidak merasakan apapun, malah bertanya sesuatu kepadaku: “pernah dengar istilah pustakawan stroberi?”

“Apa itu?”

“Nanti aku jelasin di rumah.”

Kepada wajahnya yang tercermin di kaca spion, senyumku mengembang. Tanganku pun semakin erat memeluknya.

**

Sesampai di rumah, tentu penjelasannya tidak seketika diungkapkan olehnya. Kami sibuk masing-masing. Aku memasak menu sederhana untuk sabtu ini. Dicki mencuci strawberry, setengah bagian di simpan di kulkas, setengah sisanya untuk pelengkap sarapan. Lalu Dicki menyiapkan piring, sendok dan mangkuk di meja makan.

Ketika sarapan sudah siap, aku menagih penjelasannya. “Ayo apa itu pustakawan stroberi?”

“Bentar-bentar, difoto dulu menu masakan hari ini. Terus lapor ke bapak-ibu. Hehe”.

“Mana-mana handphonenya, tak fotoin aja”. Cekrek-cekrek. “Udah nih! Udah aku kirim juga ke WA keluarga”, kataku kesal.

“Makan dulu ya! Baru aku jelasin”, kata Dicki dengan wajah penuh senyum.

“Pufff! Ya udah deh.”

**

Selesai makan, kami bergiliran membawa piring kotor dan mangkuk sayur ke dapur, kecuali mangkuk bening berisi beberapa buah strawberry. Lalu Dicki mencucinya. Aku pun duduk kembali di kursi meja makan. Mengambil handphone lalu mengecek apa ada pesan masuk. Ternyata cuma pesan di grup WA kecamatan. Handphone aku taruh kembali di meja. Sedangkan Dicki juga sudah kembali ke meja makan. “Mari mulai. Sudah siap?”, tanya Dicki.

“Iya donk, cepetan jelasin.”

Setelah Dicki duduk. Badannya bergerak maju, lebih condong ke depan, agak berdiri dan mencoba membenarkan posisi duduknya. Kedua sikunya menempel pada meja, pergelangan tangan kanannya mulai bergerak menandakan menunjuk sesuatu. Kemudian berkata. “Aku baru selesai baca buku berjudul Strawberry Generation. Itu di sana! Ada di rak buku belakang kamu. Karya Pak Rhenald Kasali.”

Mungkin Dicki memberi kode untuk mengambilkannya. Aku reflek mengambil buku itu. Aku taruh di atas meja lalu mendorong ke arahnya. Ternyata dugaanku salah. Dia tidak menginginkan buku itu. Buku sampul biru itu tidak digubrisnya. Meliriknya pun tidak. Matanya tetap fokus kepadaku. Hanya bibirnya yang mulai bergerak lagi lalu berkata. “Setidaknya ada sepuluh ciri pustakawan stroberi lho”.

“Banyak amat, say! Bentar-bentar, pustakawan stroberi itu apa sih?”, celotehku.

Dicki mengambil satu strawberry di depannya. Lalu menunjukkannya kepada ku. Kemudian dia melanjutkan penjelasannya. “Buah ini tuh, kalau kena goresan dikit aja langsung lecet. Kalau didiemin sebentar, cepat menghitam tanda busuk. Kalau ditaruh di freezer, malah lembek. Gini nih karakter pustakawan yang aku maksud. Mereka itu ada yang kayak stroberi. Maunya dibungkus rapi terlihat indah, tapi rapuh, ringkih, dan mudah sakit hati. Makanya aku beri mereka sebutan: pustakawan stroberi.”

“Ou….”, takjubku.

“Di kantorku ada tuh yang pustakawan stroberi”.

O ya? Emang kaya apa cirinya?”, tanyaku penasaran.

“Pertama tuh, punya ciri sifat bebal. Mereka merasa dirinya pintar eh - ternyata statis karena tidak ada upaya belajar dan sensitif kritik. Mereka lebih mementingkan ijazah dan gelar sekolah. Lalu biasanya cenderung arogan dan membanggakan prestasi masa lalu. Namun bukan berarti mereka kurang pandai, sayangnya malah suka menentang perubahan karena terlalu terkurung oleh cara berpikirnya sendiri dan anggapan-anggapan mereka sendiri. Sulit diajak maju dan tidak punya inisiatif padahal lulusan sekolah bagus-bagus. Akhirnya jika mereka bertemu teman sekantor yang lebih hebat maka dianggap sebagai ancaman dan menunjukkan muka sinis. Paling enak tuh berdasarkan kriteria itu - mereka aku sebut sebagai Pustakawan bermental Fixed Mindset. Seharusnya pustakawan berjenis kaya githu segera menyadari, lalu berubah menjadi Pustakawan bermental Growth Mindset alias siap berubah. Supaya lebih terbuka terhadap kritik dan saran.”
“Kriteria Pustakawan Growth Mindset ini bisa dilihat saat mereka bekerja yaitu lebih memikirkan dampak dan merealisasikan apa yang bisa diberikannya kepada lembaga, bukan selalu menuntut dari lembaganya. Lalu jika bertemu orang lain yang lebih berhasil, mereka akan dijadikan kawan, bukan lawan karena mereka tetap menganggap dirinya ‘bodoh’ (merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa). Kemudian menjadikan orang lain itu sebagai tempat belajar. Jika sudah menjadi Pustakawan Growth Mindset, mereka bakal beranggapan bahwa tantangan baru atau kegagalan justru dianggap sebagai kesempatan bagus untuk menjadi unggul di bidang-bidang baru. Intinya, Pustakawan Growth Mindset ialah manusia adaptif, bukan manusia bebal.”, lanjut Dicki.

“Ou ya ya.... Aku bisa mbayangin orang kaya gitu.”, sahutku.

“Ciri selanjutnya pustakawan stroberi adalah mereka sering memunculkan pertanyaan ‘bagaimana kalau…’. Misalnya begini, saat di kantor selalu ada rencana target atau malah ada permasalahan. Bukannya segera diselesaikan, malah sok bersuara lalu keluar kalimat pertanyaan ora mutu seperti: bagaimana kalau tidak berhasil, bagaimana kalau rusak, bagaimana kalau repot, dll. Cara seperti itu dikenal sebagai orang yang belum move on, deh. Masih mengutuk kesalahan masa lalu. Aku kasih sebutan mereka tuh sebagai Pustakawan bermental What If. Bukankah lebih baik bersikap lentur atau fleksibel dalam menyusun target dan menyelesaikan masalah. Soalnya, pernah disadari atau tidak, kita akan menghadapi situasi yang belum pernah kita bayangkan. Contohnya nih, mutasi kerja tanpa diduga atau pembatalan kegiatan secara sepihak oleh pimpinan. Nah, suatu saat mungkin akan terjadi pada kita. Seandainya Pustakawan What If tidak bebal, mereka bisa memperbaharui diri menjadi Pustakawan bermental Cognitive Flexibility. Lebih memilih menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Ya tho?”

Aku mengangguk tanda paham. Dicki pun melanjutkan ceritanya.

“Ciri berikutnya adalah hilangnya kebiasaan cetakan: cepat kaki – ringan tangan. Yang terjadi adalah menjadi Pustakawan bermental Mager alias malas bergerak, dikira semua tugas bisa selesai hanya dengan duduk manis. Contohnya saat diberi tugas A, seringnya belum tuntas mengerjakan tugas A, malah mengerjakan tugas B atau C. Akhinya ketiganya tidak tuntas semua. Parahnya bisa terjadi bagi pustakawan yang diberi tugas belajar. Cirinya hadir ke kelas tanpa membaca materi terlebih dahulu, ada juga alasan lain lupa menyelesaikan tugas, parahnya lagi malah lupa materi penting pada pertemuan pekan lalu.”

“Lalu ada pustakawan yang jauh lebih mempentingkan memperoleh gelar berderet ketimbang mencari ilmu untuk meningkatkan kompetensi. Orang semacam ini aku sebut sebagai Pustakawan bermental Sarjana Kertas. Mereka minim skilled worker. Kalau ditanya: kamu bisa (ahli) apa? Jawabannya nol besar. Bisanya cuma memindahkan isi buku ke dalam lembar kertas ujian. Padahal harapannya adalah setelah lulus – melamar pekerjaan – seharusnya siap kerja. kemudian parahnya lagi, malah lembagalah yang harus menanggungnya memberi pelatihan untuk menempa mereka supaya siap kerja.”

“Nah ada pula pustakawan yang sukanya ribut melulu, hebohnya di media sosial doang – komen sana komen sini, pintar debat sok politikus dan lihai membangun argumentasi, tapi ketika ditantang untuk mengambil keputusan atau kapan memulai pekerjaannya eh nyalinya langsung ciut. Ini nih aku sebut Pustakawan bermental Generasi Wacana. Mereka sukanya dilayani. Mentang-mentang sudah mapan, mereka menjadi malas bergerak. Gejala ini disinyalir waktu mudanya terlalu banyak menghafal saat belajar. Memang, mereka akan menjadi pustakawan berpengetahuan tapi kurang berimprovisasi, kurang berpikir kritis, dan kurang berpikir mendalam. Mereka bagai danau luas tapi dangkal, tahu banyak tapi hanya berada di permukaan doang. Contohnya sederhanya, kadang ada permasalahan datang kepada mereka sendiri. Padahal masalah tersebut tidak melibatkan teman kerja yaitu mendapat tugas perjalanan dinas luar negeri. Bukannya berangkat, malah merepotkan teman kerja untuk menguruskan paspor dan tiket. Parahnya minta ditemanin satu orang lagi sebagai pendamping karena takut ini - itu. Padahal kondisi keterasingan itu bagus untuk membangun diri. Seharusnya mereka intropeksi diri lalu menjadi Pustakawan bermental Deep Understanding, mau bergerak mendatangi permasalahan, lalu merasalah menjadi kreatif saja tidak akan cukup karena juga harus menjadi kontributor yang bertanggungjawab dan reflektif. Pustakawan semacam ini diharapkan menjadi pemecah masalah namun harus tetap terkendali dan mampu menjadi komunikator yang efektif.”

“Lanjut lagi ya?”, tanya Dicki.

“Iya, Rek. Duowuneee…”, jawabku.

“Pernah kan kita diberi kepercayaan menjadi pimpinan proyek? Semisal menjadi ketua panitia seminar. Jika pustakawan stroberi diberi tugas, bukannya diterima, malah beralasan dan inginnya menjadi anggota panitia saja. Ini nih mental Pustakawan bermental Passenger alias penumpang. Yang dirasakan adalah rasa takut dan tidak percaya diri. Ciri orang seperti ini ialah selalu berangkat ke kantor dengan menyetir melewati jalan yang sama berulang-ulang setiap hari bahkan dalam satu tahun yang sama. Dan mencirikan kemalasan berpikir belaka. Padahal jika mencoba memilih rute baru, maka akan ada banyak pilihan walau memulainya memang tidak mudah. Toh jika benar-benar bertemu dengan jalan buntu, anggap saja sebagai pengalaman baru dan pasti ada manfaatnya, kok. Oleh karena itu, jangan sampai takut melakukan kesalahan, karena orang yang tidak pernah berbuat kesalahan sebenarnya ialah orang yang tidak berbuat apa-apa. Nah kita bayangkan sebentar, dalam proses menjadi ketua panitia ibarat menjadi sopir. Pasti si sopir selalu berpikir sepanjang perjalanan untuk sampai tujuan dengan selamat namun tetap menyenangkan. Bukankah berpikir adalah proses belajar. Jika seseorang terus menerus diasah berpikir maka akan memiliki mental Pustakawan Driver. Mereka yang akan menentukan arah perpustakaannya bakal dibawa kemana. Tidak stagnan yang membosankan. Merekalah yang bermental berani mengambil risiko karena merasa memiliki tanggungjawab terhadap penumpangnya.”

Pustakawan bermental Miss Behavior. Mereka orang-orang yang memiliki kebiasaan merusak diri. Biasanya cepat menolak hal baru, reaktif, mudah curigaan, sukanya menyangkal, senang membuat orang lain susah, susah melihat orang lain senang, cemas melihat kesuksesan orang lain, sulit berkoordinasi dengan orang lain, mudah iri, senang mengadu domba, dan sukanya mempermasalahkan keberhasilan orang. Kemudian suka memperolok orang lain, mengaku tahu persis, padahal hanya tahu dari koran atau internet. Ditambah lagi kebiasaan mengerjakan tugas hanya yang disukai saja, sisanya acuh tak acuh. Kemudian suka menghasut orang lain untuk melawan atau membangkang pimpinan padahal dia sendiri mendaftar kerja melalui jalur nepotisme akut.”

Pustakawan bermental Zona Nyaman. Mereka ini kerjaannya hanya itu-itu saja dan tidak mau ditambah tugas lain. Mereka merasa belajar formal itu sudah cukup. Apa artinya bergelar S1/S2/S3 jika diajak diskusi hanya akan keluar suara “saya sudah tahu…”, “ saya tahu banyak…”, tapi takut menambah tanggungjawab dan jaringannya terbatas. Mereka lalai bahwa ada belajar informal yaitu belajar dari aktivitas keseharian, lingkungan dan alam. Dan mereka juga lupa bahwa bakal hadir zona berbahaya atau zona panik, dimana seseorang mendapatkan situasi diluar dugaan yang sama sekali tidak pernah tahu solusinya. Oleh karena itu, untuk menghindari zona panik, pustakawan perlu masuk ke zona belajar yaitu zona perantara antara zona nyaman dengan zona panik. Di sinilah muncul Pustakawan bermental Zona Belajar, dimana mereka mau belajar cara-cara baru dalam bekerja, menjadi manusia yang selalu produktif, sadar akan perubahan dan selalu dinamis serta mau belajar menangani perasaan-perasaannya.”

Kemudian, ada Pustakawan bermental 95%. Mereka itu yang belajar dari 95% pendidik di pabrik pencipta calon pustakawan. Sayangnya pendidik itu hanya memindahkan isi buku atau materi power point ke kepala mahasiswanya, tapi tidak memperbaiki cara berpikir mahasiswa lalu juga tidak menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya tercipta pustakawan yang menjadi pengikut arus. Pustakawan seperti ini mengaku sebagai generasi penerus akan tetapi terlena lalu tergerus. Seharusnya mereka segera bergabung dengan Pustakawan bermental 2%, mereka mendapatkan pengajaran dari 2% pendidik yang tidak hanya memberi hard skill, soft skill, skilled worker tapi juga diatur ulang cara berpikir dan mampu menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Nah aku ajak kamu hitung-hitungan jumlah calon pustakawan yang masuk kategori 2% ini. Kita lihat jumlah program studi yang menyelenggarakan Ilmu Perpustakaan yang lebih dari 30 perguruan tinggi. Jika rata-rata ada 80 mahasiswa lulus per tahun. Maka setidaknya hanya ada 48 calon pustakawan muda per tahun yang mau berpikir lalu menerapkan keilmuannya. Sisanya? Pernah kita temui kok tapi kita diam saja.”

“Jangan-jangan yang dimaksud ‘sisanya’ itu aku ya?”, tanyaku.

“yeee…, bukan aku yang bilang lho ya! Hahaha.”, jawabnya. Dicki pun melanjutkan ciri terakhir pustakawan strawberry.

“Terakhir, saya jadi teringat dulu pernah menginap di rumah salah satu tokoh di daerah Cempaka Putih Jakarta selama 2 bulan. Saat itu saya menganalogikan pustakawan itu sesungguhnya terlahir bagai burung rajawali, bukan burung dara. Namun keseharian mereka telah membentuknya menjadi Pustakawan bermental Burung Dara, yang hanya bisa terbang dari satu rumah ke rumah sebelah, lalu sesekali turun ke bawah jika diberi segengam biji jagung. Jika toh terbang jauh, itu pun diiming-imingi lomba menjemput betinanya. Mereka hanya ingin selalu dekat dengan tuannya. Tidak berkeringat dan perut kenyang. Lalu masih adakah peluang menjadi pustakawan bermental rajawali? Jelas ada! Caranya datangilah tokoh-tokoh idola kita, tagihlah komitmen mereka, atau perlu sekedar numpang tidur di sana, tapi bayarlah dengan kesungguhan dan kerja keras.”

“Wah akeh banget penjelasane. Tahu githu tak rekam lalu aku buat tulisan di blogku!”, timpalku.

“Udah selesai penjelasanku. 10 ciri sudah aku paparkan rinci. Kamu gak perlu khawatir, aku sudah rekam semua percakapan kita kok pakai handphoneku di laci meja ini.”

Sambil berdiri, Dicki menarik laci lalu mengambil handphone yang dimaksudnya.

Benar juga, handphonenya menyala. Aplikasi perekamnya masih berputar. Dicki pun memencet tombol ‘stop’, kemudian pergi ke ruang tamu untuk memulai aktivitas selanjutnya.

***

*Profil Penulis: Saya memiliki nama pena yaitu Nugroho D Agus. Penamaan itu terinspirasi dari nama beberapa tokoh fenomenal dengan huruf “D” nya yang kramat pada serial anime One Piece seperti Gold D Roger, Monkey D Luffi, dll. Temui keseharian saya di akun IG @dickiagusnugroho. Pernah membaca bukunya Puthut EA dan Rhenald Kasali. Blog: https://ula3.wordpress.com.

**

Pengantar postingan di media sosial: Dalam cerita ini, penulis memposisikan diri sebagai tokoh utama yang tidak diketahui nama & jenis kelaminnya. Dia menceritakan kesehariannya apa adanya. Mula-mula dari hidupnya yang berubah setelah menikah dengan laki-laki yang ditemuinya di Margonda. Lalu menyepi di Magelang. Dan mencoba menikmati hidup. Kali ini, buah stroberi menjadi cemilan untuk sabtu pagi. Sekaligus menjadi pembuka cerpen ini. Selamat membaca.

**