Tampilkan postingan dengan label profesional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label profesional. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 Januari 2019

Pustakawan Ala Singkong

Oleh: Maniso Mustar
Pustakawan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ariemaniso1205@ugm.ac.id


Menggelitik bukan?  Iya, ini sangat menarik. Kenapa pustakawan disebut singkong? Ini adalah sebuah perumpamaan yang saya temukan dalam kehidupan saya sebagai pustakawan. Berawal dari pertemuan singkat saya dengan seorang alumni kampus yang saat ini bergelar dokter spesialis anak di Kota Lampung, saat beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti acara call for pappers dalam Semiloka Nasional Inovasi Perpustakaan (SNIPer) yang diselenggarakan Forum Pustakawan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) kota Lampung. Dalam acara tersebut tersimpul bahwa dalam memasuki perubahan iklim informasi era digital, pustakawan harus membuka mata hati untuk bersinergi dengan perubahan. Perpustakaan dan pustakawan harus dapat menakar ulang seberapa besar perannya dalam retrospeksi dan reposisi di era disrupsi teknologi.

Setelah seharian berkutat dengan acara tersebut, saya langsung menuju hotel tempat saya menginap yang kebetulan di depannya terdapat sebuah kedai kopi ala Lampung yang sangat menggoda untuk disinggahi. Selapas magrib telepon saya berdering dan ternyata seorang alumni dari tempat saya bekerja menghubungi saya untuk sekedar bersua. Saya janjikan untuk bertemu di kedai kopi yang berada tepat di depan kamar hotel tempat saya menginap yang memang sudah dari awal sangat menggelitik batin saya untuk berkunjung. Benar saja, dia mengajak bertemu di tempat tersebut dan membawa rasa bahagia dalam hati saya.

Pustakawan Singkong?

Dalam pertemuan tersebut diawali dengan munculnya seorang pelayan yang membawakan buku menu yang tebal dan tercetak sangat menarik. Dalam waktu yang singkat sahabat saya langsung memesan secangkir kopi dan sepiring singkong. Sayapun terheran-heran. Bagaimana bisa, seorang dokter spesialis anak kok hanya memesan sepiring singkong? Kenapa tidak makanan lain yang menyehatkan? Semua memang tergantung selera.

Obrolan dimulai. Saya langsung berseloroh, kok pesannya singkong, tidak makanan lain yang menyehatkan? Ini favorit saya, jawabnya. Sayapun bercerita mengenai profesi saya sebagai pustakawan dan menghubungkan dengan suasana setempat, yaitu singkong. Dok, hidup saya (pustakawan) yang hanya bermodalkan kuliah dan setiap hari melakukan rutinitas itu seperti singkong lho. Saya dituntut untuk bekerja di perpustakaan dengan keilmuan yang cetek  untuk melayani pemustaka dengan segala aturan baku. Pekerjaan hanya duduk, menunggu buku, menunggu ruangan yang sunyi senyap tanpa suara, meskipun terdapat banyak pengunjung. Leher saya seolah terasa kaku karena harus mengikuti aturan tersebut. Itulah diri saya (pustakawan) dengan keilmuan yang pas-pasan, yang tidak up to date. Inilah saya, pustakawan singkong.

Ilmu kepustakawanan yang sangat dasar dan belum mengikuti perkembangan zaman tidak akan menghasilkan pelayanan yang sempurna. Apalagi hanya bermodal ilmu yang didapatkan waktu kuliah. Ingat!!!! Ilmu perpustakaan terus berkembang dan berubah seiring dengan adanya perubahan iklim teknologi informasi. Maka, apabila pustakawan tidak mau merubah diri dan mengikuti perkembangan zaman, sudah otomatis pustakawan akan terdampak disrupsi teknologi. Pustakawan ibarat singkong rebus. Bagus dalam penampilan namun terasa hambar dan mencekik tenggorokan apabila dikonsumsi.

Pengembangan Identitas Pustakawan Layaknya Singkong Keju?

Dalam menyajikan makanan, seorang koki harus pandai dalam mengkombinasikan menu supaya terasa lebih nikmat untuk penggemarnya. Olahan singkongpun seperti itu, akan lebih menarik apabila dikombinasi dengan keju sebagai topping. Singkong akan terasa lebih sedap, gurih, nikmat dan menagih. Singkong inilah yang akan bernilai komersial tinggi. Tak hanya disajikan di rumah, tetapi bisa menembus pasaran papan atas seperti kafe dan restoran. Begitu juga pustakawan. Dalam perubahan iklim informasi era digital, bisa  dilihat secara gamblang tipe pustakawan itu. Singkong atau singkong keju?

Pustakawan harus bisa menjawab tantangan dalam perubahan agar tidak ditinggalkan oleh pemustaka. Apakah tantangan pustakawan di zaman now? Tak  dipungkiri perubahan iklim informasi era digital melanda semua kalangan dan adaptasi oleh masyarakat. Perubahan ini merupakan kebutuhan manusia modern, di mana hampir semua aspek kehidupan ditunjang dengan perkembangan teknologi digital yang canggih yang mengutamakan profesionalisme, kecepatan, ketepatan, entertiainment dan smart device. Semua menganulir perubahan ini sangat penting dan diikuti untuk menunjang kebutuhan mereka, terutama dalam dunia kerja. Perkembangan ICT seperti teknologi 4G LTE, perkembangan komunikasi super canggih dalam berbagai fitur, perkembangan operating system dan Big Data juga sangat berperan dalam perubahan dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Semua menjadi mudah, praktis, cepat, tepat dan porfesional.

Transformasi dan Disrupsi

Transformasi ini juga disambut berbagai industri, pemerintahan, lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Semua berusaha untuk menyesuaikan zaman supaya selaras dengan perubahan iklim informasi era digital yang menantang. Contoh, transformasi teknologi digital oleh industri besar sektor manufaktur, akan tetapi masih tidak sejalan dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja dan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terpangkas secara perlahan karena kurangnya kompetensi mereka akbibat disrupsi digital ( Kompas, Sabtu 24 November 2018 halaman 1 ).

Contoh lain adalah disrupsi teknologi pada perusahaan pengelola jalan tol. Lihatlah kisah mereka. Jalan favorit para pengendara yang ingin melintas dengan cepat dan tepat waktu, dulu dijaga oleh pegawai di setiap pintu sehingga membutuhkan SDM yang banyak untuk memperlancar arus kendaraan sistem cepat tanpa macet. Ribuan tenaga dibutuhkan dalam operasional setiap harinya. Tapi keadaan sekarang bagaimana? Mereka terdampak disrupsi teknologi tanpa ampun. Mereka yang berjumlah ribuan, tiba-tiba harus diberhentikan dan digantikan dengan mesin pembaca barcode. Benda kecil yang praktis untuk menjalakan oprasional sesuai harapan manajemen. Lalu mereka dikemanakan? Apakah mereka masih bekerja atau di PHK? Sungguh malang nasib mereka.

Apakah nasib pustakawan akan berujung sama seperti mereka? Bisa jadi iya. Apabila pustakawan masih pasif, tidak mau memperbaharui ilmu, maka lambat laun mereka akan tersingkir layaknya pekerja jalan tol. Betapa tragis dan memilukan apabila hal tersebut benar terjadi. Pustakawan dapat belajar dari hal tersebut. Bahwa kebutuhan manusia saat ini tertuju pada perubahan yang sangat besar. Dan di sinilah peran profesional pustakawan harus ditunjukkan.

Pustakawan harus up to date, menerima, memaknai dan menjalankan perubahan dengan sikap dan tindakan nyata melalui karya-karya dan inovasi bidang kepustakawaan. Pustakawan harus menyesuaikan perkembangan dan meningkatkan profesionalitas bidang teknologi, manajemen, relationship, membangun daya saing dengan menyajikan konten digital yang beragam. Pustakawan harus menjadi partner informasi generasi milenial melalui pelaksanaan tupoksi yang dijalankan secara optimal. Merekalah pustakawan singkong keju, pustakawan peka zaman yang sangat menggoda untuk dikunjungi oleh pemustaka. Salam literasi.


Biografi Penulis:

Maniso Mustar, lahir di Kebumen, 12 Mei 1980. Pendidikan terakhir memperoleh gelar Ahli Madya pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (2002). Saat ini bekerja sebagai Pustakawan di Perpustakaan Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Selain mengerjakan tugas kepustakawanan saat ini dipercaya untuk menjadi Seksi Hubungan Kerjasama kepada Masyarakat (HUMAS) dalam Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Pengurus Daerah Kabupaten Sleman DIY. Penghargaan terakhir yang diperolehnya adalah sebagai Pustakawan Berprestasi Terbaik II tahun 2018 Universitas Gadjah Mada. Informasi dan kontak pada: ariemaniso1205@ugm.ac.id, Nomor HP: 08122696246. Link: https://ugm.academia.edu/ManisoMustar , https://scholar.google.co.id/citations?user=nvNk8LgWG4gC&hl=id 

Sabtu, 26 Januari 2019

Pustakawan Juga Manusia Yang Bisa Sembelit


Ngomongin pustakawan itu seperti sedang sembelit. Sulit lit lit. Dalam sebuah prakonvensi pustakawan yang diselenggarakan oleh Perpusnas, aku menginap di Hotel Mercury Jakarta. Aku oleh panitia prakonvensi harusnya tidur sekamar dengan Yuan (ISIPII). Note, biar gak misleding, Yuan Oktavian itu laki loh...dan beruntung si Yuan kemudian ngilang, so aku bisa sendiri dikamar menikmati film City Of Angel.

Dalam film City of Angel, Nicolas Cage memerankan malaikat pencabut nyawa yang jatuh cinta ke seorang dokter bernama Seth. Sementara Maggi sang manusia diperankan Meg Ryan. Dan cara bagi malaikat untuk menjadi berubah menjadi manusia adalah dengan  “jatuh” dari tempat yang tinggi. Didorong rasa cintanya kemudian Seth melakukannya. Ternyata hal tersebut berhasil dan membuat Seth menjadi manusia. Ia pun bisa menjalin cinta dengan Maggie. Namun Seth tidak pernah menyangka bahwa menjadi manusia artinya dia harus siap merasakan kehilangan dan patah hati. Menjadi manusia, adalah sebuah pilihan hidup, yang meskipun tidak abadi, tapi harus dijalaninya.

Bagaimana dengan pustakawan? 
Apakah menjadi pustakawan juga pilihan hidup?.


Kegalauan Menjadi Pustakawan 

Dalam prakonvensi yang berlangsung selama 3 hari tersebut, hadir semua dedengkot dunia kangauw pustakawan Indonesia yang membahas SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional bidang Perpustakaan). Sebuah momen yang sangat penting bagi dunia kepustakawanan Indonesia, karena disitulah akan ditentukan seperti apa standar kompetensi bidang perpustakaan?

Karena sifatnya menentukan kompetensi kerja para pustakawan, hadir semua stakeholder yg mewakili bidang kepustakawanan. Jujur saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan konten acaranya. Saya tak terlalu minat dengan tema tema besar "menarik gerbong kereta". Satu hal yg mengasyikan ya karena pada momen tersebut, saya banyak bergaul dengan para pustakawan dan akademisi sekolah perpustakaan dari berbagai daerah. Maklum, para pendekarnya sedang kumpul saat itu. Dari situ banyak cerita muncul terkait pengalaman berkepustakawanan.

Dalam obrolan di sela istitirahat prakonvensi, salah seorang temanku berceritra terjebak menjadi pustakawan karena sejak kuliah ketika ia sudah magang di perpustakaan. Itukah putusan eksistensialis sebagai Pustakawan? Apakah ia menyesal kini setelah dirinya terbelunggu dalam rutinitas tetek bengek kerja perpustakaan yang monoton?; Adakah ia menyesal melepaskan kesempatan mereguk cita-citanya serta mimpi mimpi anggun menjadi seorang Jenderal Besar misalnya atau Sekjen PBB mungkin ?.

Ada juga cerita seorang pustakawan yang sudah sepuh dan memutuskan untuk tak berharap lagi mengupas segala kegalauannya. Bahkan menyentuhnya dan meraba dan mengungkit makna eksistensi pustakawanpun enggan.

Kenapa?

“Karena aku telah matang dan tak ada yang tersisa untukku selain menjadi pustakawan. Menjadi Pustakawan adalah takdir Illahi yang tak perlu dipertanyakan”


“ Tidak, tidak, aku tak mau menjadi orang lain dalam deret aritmetika profesi yang bodoh macam itu" : serapahnya.


"Aku bisa saja menjadi guru, insinyur atau dokter sekalipun, tapi takdirku menjadi pustakawan titik, bukan koma" , beuh mantab nian si bapak mirip poltak.

Saat itu juga, aku berdiskusi dengan salah seorang dosen dan praktisi perpustakaan mengenai sesuatu yang ideal, menjadi pustakawan yang paripurna. Dalam perbincangan saat makan malam di Hotel Mercure tempat pertemuan pra konvensi, ia menceritakan padaku mengenai semuanya – pengalamannya menjadi seorang pustakawan yang paripurna, dari beliau sampai uzur usianya menjelang pensiun.

Dia berceritera dengan gagah berani menjadi pustakawan yang paripurna adalah menjadi pustakawan tiga dimensi. Bukan sekedar pustakawan yang disibukkan oleh kegiatan rutinitas kepustakawanan yang menjemukan, tapi juga pustakawan dengan dimensi sosial yang humanis.
Sulit. Sulit? Sulit, seperti sembelit ! Sulit menjadi pustakawan yang diidamkan. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan pandangan masing-masing.

“Aku tak mau terjebak dalam diskusi tentang ini,” ujarnya sambil menyantap ayam bakar yang warnanya begitu mengkilap.

Ya, aku pun tahu kau akan berkata demikian. Kau pun aku sama dalam memandang makna menjadi pustakawan. Kami kemudian mempunyai persamaan pada suatu titik; sama-sama tak ingin cepat bertekuk lutut menjadi pustakawan yang repetitif prosedural dan untuk mengabdi menjadi sahaya. Menjadi Pustakawan yang sering terlihat adalah akumulasi ketertundukan manusia yang kehilangan dimensi kemanusianya. Pustakawan yang hanya terjebak dalam kegiatan repetitif administratif pagi – sore – siang – malam.

Tapi aku tak ingin diadu dengan kata-kata yang tak bermakna. Buktikan dengan tindakanmu barulah semuanya jelas. Baru aku dapat menilaimu apakah memang pantas aku menilanya sebagai Pustakawan yang Paripurna. Sayangnya itu sulit sulit dan mustahil, hingga aku merasa seperti sembelit!

“Kupikir itu wajar saja. Kita adalah orang-orang yang percaya terhadap arti penting pencapaian sebuah mimpi. Mana mau kita dengan cepat menyandarkan diri dengan orang yang tak tepat dan lemah?”

Kubiarkan pikiranku mengelana entah kemana. Rasanya jauh dan begitu menyakitkan. Ada kesadaran yang tiba-tiba merasuk dan mesti kuungkapkan.

“Kita tak bisa mengharapkan menjadi pustakawan yang paripurna. Tak ada kebahagiaan sepenuhnya abadipun. Coba kau bayangkan. Apakah dengan memilih menjalani profesi ini kau siap melepaskan semua mimpi-mimpimu?"

"Iya, jika kau pada akhirnya menemukan kebahagiaan yang sempurna. Jika tidak? Atau kita telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju mimpi-mimpi kita yang sendiri".
Ia mendengarkanku dengan seksama. Begitu serius dan hanyut ke dalam kata-kata yang kuucapkan disela-sela bibirku.

“Iya, selalu ada yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.

Kesadaran mengenai kebahagiaan yang tak mungkin dicapai jelas membayangi. Manusia yang dapat berpikir, sungguh menakjubkan sekaligus menakutkan. Berpikir dan menyelami diri sendiri seolah bermain layaknya Tuhan. Berpikir mengantarkan pada pengetahuan baru yang begitu menakutkan untuk diselami. Ada kebenaran yang tersembunyi dan jarang terkuak dikehidupan sehari-hari, termasuk ketika menjadi pustakawan.

Dan kembali ke Film City of Angel, apakah harga sebuah pilihan hidup, termasuk ketika menjadi seorang pustakawan, apakah sepadan dengan pengorbanannya?

Entahlah, yang pasti pustakawan bukanlah malaikat yang sedang jatuh cinta. Dan seperti paradoks, karena disaat yang sama para pendekar kepustakawan indonesia sedang berkumpul menentukan kompetensi kerjanya, saya belum menemukan definisi yang pas tentang menjadi pustakawan. Yang pasti, setiap mendengar kata pustakawan, seperti layaknya slilit yang menempel di gigi ataukah perasaan sembelit...


by:
yogi hartono - ketua forum pengelola perpustakaan & arsip media 
sisilainpustakawan@wordpress.com