Oleh:
Akmal Faradise
Lulusan MIP UGM
Dear adick-adick Ilmu Perpustakaan
yang cute …
Tulisan ini aku buat khusus untuk
kalian sebagai bahan pertimbangan pilihan karir ke depannya. Meski secara
tertulis konteks tulisan ini adalah dalam jurusan Ilmu Perpustakaan, namun
prinsip pemilihannya dapat digunakan oleh mahasiswa hampir semua jurusan.
Disclaimer. Tulisan ini berdasarkan
pengalamanku pribadi, berbagai referensi yang pernah kubaca dan sharing dengan
beberapa kolega. Tulisan ini tidak memberikan jawaban pasti tapi mencoba
menemani teman-teman menemukan jawaban kalian sendiri.
Oke, ada setidaknya 3 hal yang
kalian perlu pertimbangankan untuk melanjutkan S2.
Pertama, tujuan.
Kedua, pilihan karir.
Ketiga, ekonomi dan variabel X.
Sedikit cerita, tujuanku melanjutkan
S2 karena memang “suka suasana belajar”. Jadi, aku suka aja gitu saat dengerin
lecturing, diskusi, presentasi, dan mengerjakan tugas. Artinya memang kegiatan
mahasiswa itu menyenangkan aku lakukan berulang. Well, mungkin tidak semua
orang sepertiku.
Ketika S1, pilihan karir yang
tergambar di benakku adalah dosen. Memutuskan untuk S2 sebenarnya sudah tepat.
Namun seiring waktu, persepsi terhadap karir dosen mulai berubah. Banyak hal
yang cukup menggangu pikiranku seperti realita dan ekosistem pelaksanaan Tri
Dharma di lapangan, serta besarnya beban moril saat menjadi dosen (bagian ini
merupakan personal world view). Sampai hari ini, dosen bukan prioritas profesi
yang ingin kucapai, tapi hanya opsional saja. Mubah gitu hukumnya.
Salah satu konsekuensi yang
kuhadapi waktu itu adalah beratnya beban ekonomi saat S2. Studi pasca sarjanaku
kutembuh di UGM, dengan UKT sebesar 9 juta per semester. Dua kali lebih tinggi
dari besaran UKT di uin suka. Aku masuk semester ganjil, dan ini merupakan
bagian ‘kesialan’ selama proses studi. Saat itu aku belum bisa apply LPDP, BU
tidak buka selama lebih dari satu tahun, dan beasiswa kampus hanya dibuka untuk
maba semester ganjil. Bagus sekali. Aku harus membayar biaya kuliah secara
mandiri. Berat rasanya, mengingat aku cuma orang golongan ekonomi menengah ke
samping.
Dengan gambaran ceritaku, kuharap
kalian bisa mempertimbangkan tiga faktor tadi.
1. Tujuan
Apa sebenarnya tujuan kalian untuk melanjutkan
S2? Untuk kepentingan karir? Untuk kepuasan pribadi? Untuk menunda bertemu
realitas? Untuk menghindari menikah? Bahaha. Silakan temukan itu dalam diri
kalian sendiri, sebuah alasan yang memang datang dari hati dan memang ingin
kalian lakukan. Sebab tujuan itu akan disertai dengan beberapa konsekuensi
setelahnya.
2. Pilihan Karir
Kalau kalian mau jadi dosen, go on
studi S2. Tidak perlu buang waktu lagi. Soalnya kalau kamu mau jadi dosen, kamu
‘hanya’ perlu ijazah minimal S2 dan kompetensi secara umum sebagai dosen.
Kompetensi tersebut sudah kamu pelajari di perkuliahan. Kerja dosen dan
mahasiswa di kelas, mirip bukan? Kalian tidak harus selalu punya pengalaman
kerja atau portfolio, meski memang ini somehow bisa menjadi poin unggulan dalam
CV dan saat interview kerja. Yah walau kalian tetap saja punya tantangan
tersendiri saat tes seleksi masuk kerja sih.
Tapi kalau prioritas karir kalian
bukan dosen, mending kerja aja dulu.
Ini realita yang kulihat saat ada
di kelas selama S2. Teman-temanku beberapa adalah bapack2 yang sudah punya
anak, atau mba-mba yang sudah berstatus pustakawan dengan tugas belajar.
Kekuranganku di kelas adalah aku tidak bisa merelasikan teori yang kupelajari
dengan kondisi perpustakaan di lapangan. Itu wajar mengingat aku belum pernah
bekerja formal sebagai pustakawan, lulus S1 langsung menempuh S2.
Berbeda dengan teman-temanku yang
memang sudah/sedang mengalami bekerja. Mereka mampu merelasikan pengalaman
lapangan mereka dengan teori yang disampaikan dosen di kelas. Sisi baik dari
polaku adalah aku tidak kesulitan untuk menyerap teori yang ada. Selain memang
tidak ada jeda dalam belajar (S1 ke S2 langsung), juga karena waktu jeda
sebelum kuliah kusiapkan untuk mempelajari materi yang akan kupelajari di
kelas. Justru, ada beberapa teman kelasku yang sudah bekerja seringkali
kesulitan memahami teori di kelas. Ini juga wajar mengingat mereka punya jeda
belajar. Tidak semua orang yang bekerja akan membaca ulang materi kuliah
mereka, bukan?
“Kak kalau misalkan aku pernah
magang jadi pustakawan gimana?”
Jawaban retorisnya adalah mungkin
kamu tidak akan mengalami kesulitan yang sama denganku. Mungkin yaa. Sebab kita
tahu durasi, tugas dan tanggung jawab yang kita terima selama magang tidak sama
dengan posisi full time. Pengalaman magang menurutku akan membantu, tapi aku
tidak tahu akan sesignifikan apa. Lagipula di generasi sekarang, dengan
kebijakan Kampus Merdeka lalala, peluang magang itu sangat luas dan bervariasi.
Tapi aku secara personal tetap
menyarankan kalian untuk S2 dulu.
Why? Ya realita pekerjaan kita.
Pertama, lowongan Pustakawan di Indonesia itu lebih banyak terbuka untuk
lulusan S1. Kualifikasi yang dibutuhkan perpustakaan tersebut ya kompetensi
level S1 paling tinggi. Nah ketika perpustakaan membutuhkan pegawai dengan
kualifikasi S2 atau kalian butuh upgrade diri, itu bisa dibilang waktu yang
tepat untuk lanjut studi. Kalian tidak cuma memiliki bekal lapangan, tapi akan
lebih mudah secara ekonomi. Perpustakaan kalian bisa mengutus kalian dalam tugas
belajar, tentunya mereka bisa saja memberikan beasiswa dalam bentuk tugas
belajar. Atau kalian bisa apply mandiri beasiswa di luar institusi kalian.
Peluang kalian akan lebih tinggi karena tujuan S2 kalian (bisa saja) didukung
kebutuhan institusi, alasan S2 kalian lebih spesifik, dan kalian sudah punya
refere yang relatif kuat (atasan, misalnya). Kinerja kalian yang bagus selama
bekerja bisa membantu untuk memenangkan beasiswa. Misal beasiswa yang menilai
dari kontribusi kamu terhadap perusahaan/instusi seperti beasiswa dari Swedish
Institute.
S2 diperlukan untuk naik level
manajerial. S2 juga memiliki daya saing bagus dalam bidang tertentu karena
lulusan master memiliki kualifikasi professional yang spesifik. (Kalau dalam
lingkup industry, rasanya jarang yang S3 ya. Paling mentok biasanya S2. Studi
doctoral sepertinya lebih make sense untuk mereka yang bekerja di ranah
akademik).
Ini kalau di Indonesia ya. Di LN
biasanya kualifikasi minimal untuk job title ‘Librarian’ itu lulusan master.
3. Ekonomi dan
variabel X
Ini salah satu faktor yang pasti
dihadapi oleh mereka yang belajar. Menuntut ilmu itu biayanya mahal karena
nilai ilmu itu sendiri mahal. Bagi kalian yang tidak punya hambatan dengan
ekonomi, silakan lanjut S2. Tapi tentu pertimbangkan tujuan dan pilihan karir.
Bagi kalian yang terkendala dengan ekonomi, aku menyarankan untuk kerja dulu
–ngumpulin duit dan pengalaman seperti yang kuceritakan di bagian sebelumnya.
“Varibel X itu apa kak?”
Apapun yang memengaruhi keputusanmu
untuk lanjut S2. Mengingat tiap orang bisa berbeda kondisi, tentu aku tidak
tulis jelas, beda dengan faktor ekonomi yang hampir pasti semua orang alami.
Misal ya, kamu punya riwayat
kesehatan yang kurang mendukung untuk S2. Atau kamu harus segera pulang kampung
karena dibutuhkan institusi di sana. Atau kamu harus menemani orang tua jadi
tidak bisa merantau lebih lama. Masih banyak hal-hal senada yang seringkali
harus dipertimbangkan apakah kita akan S2 atau tidak. Silakan ditemukan sendiri
mengingat kondisi tiap orang pasti berbeda. Kalau kalian tidak punya variabel
itu atau bisa mengatasinya, silakan lanjut S2.
Tips Menyiapkan Diri Sebelum S2
Nah bagi kalian yang sudah memahami
kondisi personal dan punya tujuan S2
yang jelas, selanjutnya aku bagikan tips yang semoga berguna untuk
menyiapkan diri sebelum S2.
Sejauh ini, aku baru bisa kasih dua
saran.
1. Pelajari Bahasa
Inggris
No excuse. Ini syarat mutlak
hahaha. Baik kamu kamu kuliah S2 DN atau LN, harus bisa Bahasa Inggris. Apalagi
mau ambil beasiswa, IELTS atau TOEFL itu harus soalnya syarat administratif.
Kecuali memang ada Negara tertentu yang tidak menyaratkan harus ada sertifikasi
Bahasa Inggris tapi gantinya kamu harus bisa bahasa utama Negara tersebut.
Misalnya harus bisa bahasa Turki untuk apply beasiswa Turkiye Burslari atau
harus ambil kelas bahasa misal nilai TOPIK (Toefl Korea Selatan) belum
mencukupi kalau mau apply Global Korea Scholarship.
Biasakan dirimu berbahasa Inggris.
Buat semua indramu terbiasa dengan Bahasa Inggris. Azek. Lakukan dari hal
terkecil sekalipun. Contoh.
- -
Ubah bahasa pengaturan di hp dan laptop dengan bahasa Inggris
- -
Dengerin lagu bahasa Inggris
- -
Baca berita bahasa Inggris
- -
Nonton konten video review atau film berbahasa Inggris
- -
Menirukan dialog di film berbahasa Inggris
- -
Berlatihan ngomong sendirian dalam bahasa Inggris
- -
Menemukan teman yang bisa diajak berbahasa Inggris,
baik langsung atau online
- -
Menulis tweet atau caption berbahasa Inggris
- -
Main Duolingo atau game edukasi yang membantu belajar
bahasa Inggris
- -
Ikut kelas bahasa (daring maupun luring)
- -
Ngomong jaksel
- -
Dan lalala
Pokoknya buat 24 jam kamu ada Inggris-Inggrisnya
selama proses menyiapkan S2. Bisa berbahasa Inggris dengan baik akan membantumu
dalam KBM selama S2. Karena materi yang diberikan seringkali dengan bahasa Inggris,
referensi yang kamu baca berbahasa Inggris, bahkan tugas dan diskusi yang kamu
lakukan menggunakan bahasa Inggris.
Catatan Penting. Bisa berbahasa Inggris
secara teoretis dan praktik belum menjamin nilai ielts dan toefl kamu bagus.
Jadi pelajari dengan baik bahasa Inggris dasar (grammar) dan bahasa Inggris
untuk sertfikasi bahasa. Kamu juga bisa belajar academic writing yang memang
spesifik dipakai dalam perkuliahan.
2. Biasakan Membaca
dan Menulis Artikel Jurnal
Sempat aku singgung sebelumnya
mengenai tugas dan KBM S2. Rata-rata tugas anak pasca itu menulis jurnal. Baik
untuk tugas mingguan, tengah dan akhir semester. Baik untuk disetor ke dosen
saja atau tuntutan publikasi. Everyday article journal related gitu sih. Jadi
alangkah baiknya kalau kamu sudah terbiasa selama bekerja, misalnya.
Saat menjadi pustakawan, kamu bisa
membiasakan membaca jurnal. Pilih topik yang memang kamu suka dan ingin
perdalam. Pilih yang bahasa Inggris ya, biar sekalian latihan membaca, he. Nah
sekalian kamu juga menulis artikel jurnal. Tulisan seorang praktisi itu punya
nilai yang besar dalam komunitas akademik. Dengan menulis, kamu juga sudah
membiasakan dan mensimulasikan diri untuk menjadi anak pasca. Poin plus lainnya
adalah tulisanmu bisa membantumu untuk mencapai credit score tertentu, dan jadi
portfolio publikasi. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Well aku cuma bisa bilang ‘good
luck gais!’. Pilihan dan eksekusinya bergantung pada kalian.
Eh iya, aku terbuka kok kalau mau
diskusi tentang kuliah S2, dan menulis. Mau kolaborasi menulis pun ayok!
Memilih Tujuan S2
Proses memilih kampus tujuan S2
bisa dibilang merupakan versi kompleks dari memilih jurusan saat S1. Sebab kita
harus mempertimbangkan kesesuaian dengan research interest kita. Kalau aku
pribadi biasanya memilih tujuan dengan pertimbangan kurikulum, institusi dan lokasi.
Dulu aku mempertimbangkan tiga
kampus untuk studi pasca: UI, UGM dan UIN SUKA. Pilihanku waktu itu jatuh pada
UGM karena kurikulum yang mereka ajarkan menarik minatku dan secara relatif
berbeda dengan apa yang kupelajari selama S1.
Aku tidak begitu berminat tinggal di Depok jadi tidak begitu tertarik
masuk UI. Aku ingin merasakan belajar dengan dosen yang berbeda, makanya aku
tidak memilih UIN SUKA karena sebagian dosennya adalah dosen S1ku xixixi.
Ada beberapa pertimbangan yang
mungkin bisa kamu pikirkan. Coba kamu tanyakan ini pada dirimu sendiri untuk
memilih S2 yang tepat buatmu.
-
Lokasi. Apakah kamu punya keinginan atau restriction
tertentu? Semisal tidak ingin di Yogyakarta lagi karena sudah melewati masa S1
di sana. Atau ingin meresakan kuliah di Negara empat musim seperti Eropa.
-
Kekhasan prodi. Apakah jurusan yang ingin kamu tuju
itu sesuai dengan reseach interestmu? Kamu perlu tahu spesifikasi kamu dan
jurusanmu sih. Misal kalau NTU itu LISnya lebih ke teknologi, UIN SUKA mengarah
pada Islamic studies. Atau kampus-kampus di Australia lebih dominan ke
pendidikan dan manajemen. Atau kampus-kampus di amerika yang lebih banyak
condong pada Information Sciences.
-
Institusi. Apakah kamu punya preferensi kampus
tertentu? Misal lebih pengen kuliah di kampusa agama atau kampus LN yang tidak
punya catatan restriksi terhadap muslim. Ini berelasi dengan poin pertama. Juga
apakah kampus dan jurusan yang kamu tuju masuk dalam daftar beasiswa yang kamu
ambil.
Pro Tips. Usahkan kamu punya mentor
yak dalam pemilihan kampus dan jurusan S2-mu. Mereka akan membuka hal-hal yang
tidak kamu lihat sebelumnya saat kamu berpikir sendiri J
Realita Cari Kerja S2
Ini cerita personalku, jadi tiap
orang bisa berbeda.
Lowongan untuk dosen tidak buka
setiap waktu. Jadi timelinenya belum tentu sesuai dengan kondisi kita. Tidak
jarang kita harus menunggu. Belum dengan segala syarat administrasi yang harus
dipenuhi. Meski mendaftar kerja gratis, syarat yang harus kita penuhi kan butuh
biaya. Ambilah untuk cek kesehatan ini dan itu. Nah, ketika kita bisa apply,
ada serangkaian tes yang harus dijalani dan belum tentu lolos.
Lowongan untuk pustakawan jauh
lebih banyak dan lebih sering dibanding dosen. Tapi tidak semua perpustakaan
menerima kualifikasi S2. Sedikit sekali malah. Sebab memang rata-rata
kualifikasi yang dibutuhkan paling tinggi S1. Ya gimana ya, kualifikasi dengan
kan sejalan dengan gaji. Kamu S2 dan apply posisi S1 itu overqualified dan
sangat mungkin institusi tidak bisa afford your expected salary. Ditolak karena
overqualified itu lebih nyesek dari pada ditolak karena underqualified.
Menikmati Hidup dengan Menjadi S1
Dulu ketika saya masih sekolah,
lulusan S1 itu banyak banget. Jadi terpikirkan untuk kuliah S2, biar punya nilai
tambah (apa nilai tambahnya juga ngga tahu). Tapi ketika saya hendak masuk S2,
ya lulusan S2 sudah banyak juga. Sekarang sudah lulus S2, teman-teman saya
banyak yang berkarir dari dosen dan lulusan S3 juga sudah banyak. Haha
Banyak dalam pandangan persepsional
ya, karena informasi yang saya lihat di sekeliling saja. Saya tidak merujuk
statistik tertentu.
Nah realita seperti ini wajar bila
membawa kita pada bias tertentu. Seolah kalau lulusan S1 sudah memblubak maka
saya harus S2 agar punya sisi pembeda. Seolah kalau teman-teman saya banyak
yang S2, maka saya harus s2 juga. Well, rasanya hal seperti ini cuma kesalahan
berpikir. Kita melakukan sesuatu bukan karena ingin tapi karena orang-orang
melakukannya.
Bagi saya, bukan tentang setinggi
apa level pendidikanmu dan apa profesimu tapi kamu tahu tujuan kamu dan
bertindak sesuai kebutuhanmu. Kalau memang kamu belum harus S2, ya ndak masalah
kamu menikmati hidup sebagai S1. Jika menjadi pustakawan menyenangkan bagimu,
kamu tidak harus tertekan karena temanmu memilih profesi yang berbeda dan
seolah lebih bonafide. Perasaan seperti itu seringkali muncul karena kita tidak
memahami diri kita sendiri.
Lulus S1 lalu kerja selama tiga
tahun. Menikah di usia 25 tahun. Itu hidup template yang dialami banyak orang.
Hidup seperti bagaimana yang tetangga kita harap dan bicarakan. Lalu kemudian
punya anak. Which is kalau menghitung jarak biologis orang tua ke anak, itu pas
aja sih. Abis itu menikmati hidup dengan pasangan dan keturunan. Tidak
memikirkan harus S2. Mungkin ada yang mengatakan hidup seperti ini membosankan
dan tidak menantang. Tapi saya rasa hidup seperti itu tidak salah juga. Intinya
adalah jalani hidup yang memang ingin kamu jalani. Tidak seorang pun berhak
menghakimi pilihan hidupmu.
Atau kamu memilih untuk jadi
pekerja bidang digital, bukan pustakawan. Kamu melakukan banyak eksplorasi.
Belajar skill baru setiap hari. Pindah dari satu perusahaan ke perusahaan
lainnya. Belum mau menikah tapi menikmati kesendirian dan travelling ke banyak
tempat. Mungkin ada yang bilang hidup seperti itu terlalu bebas dan egois. Tapi
itu hidupmu sendiri. Asal tidak memberikan masalah pada orang lain, yaaa why
not?
Jadi, untuk menutup tulisan yang
dimulai dengan pertanyaan “Perlukah melanjutkan studi s2”, saya mengajukan pertanyaan
pula “Apakah S2 berpengaruh penting pada hidupmu?”
Selamat menemukan jawaban kalian!