Tampilkan postingan dengan label citra pustakawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label citra pustakawan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Februari 2019

LIBLOMAT – LIBRARIAN RASA DIPLOMAT

oleh 
Irhamni Ali
Pustakawan Wannabe - Perpustakaan Nasional

Minggu lalu 19-22 Februari 2019, Saya mendapat tugas untuk ikut rombongan Kepala Perpustakaan Nasional RI menghadiri Conference of Director National Library Asia-OCEANIA (CDNL-AO) atau Sidang Kepala Perpustakaan Nasional RI se-Asia dan OCEANIA di Singapura. CDNL-AO Konferensi Direktur Perpustakaan Nasional di Asia dan Oceania (CDNLAO) bertemu setiap tahun untuk membahas masalah perpustakaan yang menjadi kepentingan bersama dan untuk mempromosikan dan berbagi sumber daya dan informasi di kawasan Asia Pasifik. Pertemuan pertama diadakan pada tahun 1979 dan Direktur Perpustakaan Nasional sepakat pada pertemuan ini bahwa tujuan utama CDNLAO adalah untuk bertukar informasi dan mempromosikan kerja sama untuk pengembangan perpustakaan di Asia dan Oseania; membantu perpustakaan di negara-negara kurang berkembang melalui kerja sama; memahami bagaimana pengembangan perpustakaan di antara perpustakaan di Asia dan Oseania. Organisasi ini bisa mengadakan pertemuan setiap tahunnya di wilayah Asia dan Oseania, dan setiap 3 tahun sekali pasti di selenggarakan di negara ASEAN bertepatan dengan acara CONSAL (Congress of South East Asia Library) atau persatuan Pustakawan Se-ASEAN. Ada banyak hal yang saya pelajari terkait bagaimana berdiplomasi di tingkat regional dan internasional serta bagaimana konstalasi kepentingan yang berkaitan dengan perpustakaan di wilayah regional Asia dan Oseania.

Foto 1. Delagasi Peserta CDNL-AO ke 40 di Singapura 20-21 Februari 2019
Foto 1. Delagasi Peserta CDNL-AO ke 40 di Singapura 20-21 Februari 2019
Conference of Director National Library Asia-OCEANIA (CDNL-AO) atau Sidang Kepala Perpustakaan Nasional RI se-Asia dan OCEANIA ke 40 tahun saat ini dihadiri oleh Australia, Bangladesh, Bhutan, China, Fiji, Indonesia, Iran, Japan, Korea, Malaysia, Maldives, Mongolia, Myanmar, New Zealand, Papua New Guinea, Philippines, Qatar, Singapore, Thailand, Vietnam. Sidang kali ini akan membahas bagaimana rencana serta peran strategis perpustakaan di 40 tahun yang akan datang di negara Asia dan Oceania. Indonesia memberikan presentasi bagaimana Isu-isu serta program strategis perpustakaan di Indonesia salah satunya adalah implementasi perpustakaan berbasis inklusi sosial serta implementasi big data untuk layanan perpustakaan yang lebih baik. Selain itu Conference of Director National Library Asia-OCEANIA (CDNL-AO) atau Sidang Kepala Perpustakaan Nasional RI se-Asia dan Oceania akan dilaksanakan di Jakarta di tahun 2020 mendatang.

Diplomasi ala pusakawan

Diplomasi merupakan istilah yang acap kali disebutkan dalam pembahasan mengenai hubungan antar negara. Pada dasarnya tujuan utama diplomasi yaitu “pengamanan kepentingan negara sendiri”. Atau bisa dikatakan bahwa tujuan diplomasi merupakan penjaminan keuntungan maksimum negara sendiri. Selain dari itu juga terdapat kepentingan lainnya, seperti ekonomi, perdagangan dan kepentingan komersial, perlindungan warga negara yang berada dinegara lain, pengembangan budaya dan ideologi, peningkatan prestise, bersahabat dengan negara lain, dan lain lain. Tujuan untuk pengamanan kebebasan politik dan integritas teritorial suatu negara biasanya merupakan hal paling utama dalam diplomasi walaupun tidak bisa dipungkiri tujuan-tujuan lainnya seperti ekonomi, budaya, dan lainnya. Tujuan pokok lain yakni mencegah negara-negara lain melawan suatu negara tertentu.

Foto 2. Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia  Sedang Berdiskusi dengan Kepala perpustakaan Nasional Republik Islam Iran Pada Sidang CDNL-AO ke 40 di Singapura
Foto 2. Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia  Sedang Berdiskusi dengan Kepala perpustakaan Nasional Republik Islam Iran Pada Sidang CDNL-AO ke 40 di Singapura
Dalam hal ini tentu diplomasi ala pustakawan adalah bagaimana kita mengamankan kepentingan negara atau organisasi kita sendiri. Dalam sidang CDNL-AO ini akan banyak sekali penawaran-penawaran kerjasama yang ditawarkan, salah satunya adalah China silk belt initiative. China silk belt initiative merupakan program rintisan china untuk menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa, inisiatif ini telah berubah menjadi slogan yang luas untuk menggambarkan hampir semua aspek keterlibatan Cina di luar negeri.  Belt and Road, atau yi dai yi lu, adalah “jalan sutra abad ke-21,” yang terdiri dari “sabuk” koridor darat dan “jalan” maritim dari jalur pelayaran. Dari Asia Tenggara ke Eropa Timur dan Afrika, Belt dan Road mencakup 71 negara yang menyumbang separuh populasi dunia dan seperempat dari PDB global. Negara-negara yang menjadi anggota silk belt initiative adalah sebagai berikut :
  • 8 negara di Asia Selatan: Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Afghanistan, Nepal, Maladewa, Bhutan 
  • 11 negara di Asia Tenggara: Mongolia, Rusia, Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Myanmar, Kamboja, Laos, Brunei, Timor Leste
  • 5 negara Asia Tengah: Kazakhsta, Uzbekistan, Turkmenistan, Kyrghyzstan, Tajikista
  • 16 negara di Asia barat dan Afrika utara: Arab Saudi, UEA, Oman, Iran, Turki, Israel, Mesir, Kuwait, Irak, Katar, Yordania, Lebanon, Bahrain, Yaman, Suriah, Palestina
  • 16 negara Eropa tengah dan timur: Polandia, Rumania, Republik Ceko, Slovakia, Bulgaria, Hongaria, Latvia, Lithuania, Estonia, Kroasia, Albania, Serbia, Makedonia, Bosnia dan Herzegovina
  • Enam negara bagian lainnya: Ukraina, Azerbaijan, Armenia, Belarus, Georgia, Moldova
Inisiatif sabuk dan jalan sutra saat ini bukan hanya tentang perdagangan dan investasi tetapi juga pertukaran budaya, yang akan membawa perubahan yang menjanjikan pada ikatan budaya China dengan peserta inisiatif lainnya. Sampai saat ini  China telah menandatangani lebih dari 300 kesepakatan kerja sama resmi dan rencana aksi pertukaran budaya dengan negara-negara yang berpartisipasi. Setelah membangun mekanisme kerja sama budaya multilateral dengan negara-negara Eropa Timur dan Arab serta ekonomi ASEAN, Cina bersekutu dengan sejumlah peserta inisiatif dalam hal teater dan museum bertema Silk Road. Hal ini akan memungkinkan para cendekiawan di seluruh dunia akan diberikan lebih banyak kesempatan untuk mengunjungi Cina dan menghadiri kursus lanjutan tentang budaya Tiongkok untuk membantu mereka lebih memahami China. China juga akan menyambut karya-karya asing dari sastra dan produk-produk film, buku untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Cina dan diperkenalkan ke pasar Cina, dan akan melakukan hal yang sama untuk negara-negara yang terlibat dalam inisiatif ini. Ada sejumlah potensi besar yang potensi besar yang belum dimanfaatkan dalam investasi dua arah di industri kreatif seperti game dan kartun, serta perlindungan bersama warisan budaya.

Forum Internasional Silk Road untuk Perpustakaan adalah inisiatif yang dipelopori oleh Perpustakaan Nasional Cina. Forum perdana diadakan pada Mei 2018 di Chengdu, Cina. Tujuannya adalah untuk menjalin aliansi di antara perpustakaan yang berpartisipasi untuk kerja sama strategis jangka panjang dan pertukaran budaya, serta kemajuan umum kepustakawanan negara-negara terkait. Forum ini untuk Kepala Pustakawan atau Direktur semua Perpustakaan Nasional di sepanjang Jalur Sutra, yaitu negara-negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Tengah, termasuk Belarus. Tujuan forum adalah untuk:
  • Memperkuat pertukaran bisnis dan kemitraan di antara perpustakaan tentang akuisisi, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya dokumen untuk meningkatkan layanan perpustakaan.
  • Mempromosikan pertukaran dan kemitraan di antara orang-orang, mengorganisir kunjungan ke perpustakaan, mendorong kunjungan antara staf manajemen tingkat atas dan memberikan pelatihan kepada para profesional untuk memastikan pengembangan timbal balik.
  • Mempromosikan pertukaran akademis dan kemitraan dalam penelitian ilmiah, mengadakan pertemuan puncak dan forum reguler untuk direktur untuk berbagi hasil dari warisan budaya dan program penelitian.
  • Bersama-sama mendiskusikan transformasi dan mengembangkan strategi untuk perpustakaan.
Menghadapi hal ini tentu seorang pustakawan harus mempertimbangkan Sejumlah risiko yang perlu diperhatikan dalam berpartisipasi kerjasama Silk Belt Initiative untuk itu diperlukan suatu analisis lebih jauh mengenai dampak kerjasama di kemudian hari dengan melihat aspek-aspek sebagai berikut;
  • Risiko keuangan dalam hal ini terkait anggaran
  • Risiko Hukum, kontrak, dan peraturan
  • Risiko organisasi terkait manajemen dan manusia
  • Risiko politik yang terkait dengan masyarakat.
  • Faktor lingkungan dan tindakan Tuhan (force majeure)
  • Risiko teknis, operasional, dan infrastruktur kerjasama Aliansi perpustakaan Jalur Sutra yang dipelopori oleh China.

The Power Of Soft Diplomacy ala Pustakawan

Diplomasi tidak melulu mengandalkan kekuatan politik. Tetapi diplomasi bisa juga dilakukan melalui soft diplomacy yang lebih lembut, tetapi mampu memberikan hasil. Untuk itu  diplomasi semacam ini dilakukan melalui keinginan masing-masing pihak dengan sukarela serta hasilnya memberikan kontribusi positif bagi setiap pihak yang terlibat. Soft diplomacy yang paling ampuh adalah melalui pedekatan informal yaitu melalui pendekatan pribadi. Sebagai contoh pada saat perundingan damai antara RI dan GAM di Helsinki para diplomat Indonesia menghadapi petinggi GAM dengan pendekatan informal dan layaknya seorang saudara namun tetap dengan membawa prinsip NKRI Harga Mati.

Bagaimana seorang pustakawan melakukan soft diplomacy? Seorang pustakawan haruslah luwes dan tidak kaku dalam bergaul dan memilih teman. Untuk itu Pustakawan dituntut untuk mampu berkolaborasi dengan pustakawan dari negara lain dalam berdiplomasi. Melalui kolaborasi, pustakawan bisa melihat dari berbagai sisi perspektif untuk mengetahui bagaimana mengatasi hambatan dan melangkah lebih dekat ke tujuan. Untuk itu setiap perpustakaan harus mempersiapkan setiap individu pustakawan di dalam organisasinya untuk siap berdiplomasi dengan konsep “Pustakawan Super Agile” (super lincah), memiliki 5 ciri berikut:
  1. People Agility: Mampu bekerjasama dengan siapapun. 
  2. Change Agility: Mampu beradaptasi dengan perubahan se-ekstrim apapun.
  3. Result Agility: Mampu tetap berprestasi dan menghasilkan dalam kondisi apapun. 
  4. Mental Agility: Mampu bertahan dalam tekanan mental apapun. 
  5. Learning Agility: Mampu memahami dan mempelajari hal baru dengan cepat.
Kunci dari diplomasi adalah kemampuan berkomunikasi dan mampu mengetahui waktu yang tepat untuk mengungkapkan kepentingan sesuai dengan etika diplomasi. Etika diplomasi merupakan upaya pelaku diplomasi untuk menjalankan tugas mereka memperjuangkan kepentingan nasional (Lembaga) sesuai dengan kaidah-kaidah moral dan kebenaran universal yang berlaku secara internasional. Etika diplomasi mencakup beberapa elemen yang harus dianut oleh para pustakawan, yaitu integritas, kejujuran, obyektivitas, dan impersialitas (ketidakberpihakan).

Foto 3.Penulis Bersama Kepala Kantor IFLA Regional Asia Oceania Ms.Soh Lin Li dari Singapura
Foto 3.Penulis Bersama Kepala Kantor IFLA Regional Asia Oceania Ms.Soh Lin Li dari Singapura
Dalam setiap event  internasional ingatlah bahwa pustakawan merupakan wakil negara yang akan menjadi representasi dari negara itu sendiri di hadapan negara-negara lainnya. Pustakawan bagaikan menjadi seorang public relations bagi negaranya di mana setiap pustakawan harus menjaga citra negaranya dan juga mampu membangun hubungan baik dengan pustakawan dari negara-negara sahabat. Pustakawan harus menjadi cerminan bagaimana negara ingin dipandang. Apapun kepentingan yang diusulkan dalam setiap kesepakatan, pustakawan harus selalu bersikap hati-hati dan mampu menyampaikan informasi tentang kepentingannya tanpa menimbulkan pandangan negatif di mata kolega lainnya. Seorang pustakawan harus selalu menjaga image negara dan institusinya dengan memahami etika diplomasi dan membangun kerjasama yang baik pada tiap negara yang disinggahi.

Sabtu, 09 Februari 2019

Pustakawan Bermanfaat

Pustakawan itu makhluk apa tentu para pembaca yang budiman telah memiliki perspektif subjektif dalam pengalaman otentik. Baik pembaca sebagai produsen, pelaku, kolega, keluarga, atau pemakai (user) dari si pustakawan. Dalam menjalankan tugas pekerjaan, manusia pustakawan memiliki prinsip dan cara pandang yang beragam mengenai dirinya sendiri. Penulis sebut manusia pustakawan tidak lain karena pustakawan bukan Tuhan, bukan makhluk suci sejenis malaikat, bukan jin, iblis, atau setan bahkan nabi. Pustakawan juga bukan tumbuhan, hewan, mesin atau tokoh fantasi dalam gelaran kartun. Pustakawan adalah manusia.

Sangat beragam jenis kegiatan pekerjaan yang dilakukan pustakawan. Belum lagi bila ditilik dari beragamnya jenis manusia pustakawan. Belum nanti jika menuturkan jenjang kastanisasi berdasarkan jabatan atau ragam keterampilan. Tempat dan jenis perpustakaan dimana manusia pustakawan bertugas, bakal semakin lebar bahasannya. Sudut pandang latar belakang rahim (tempat calon pustakawan ditempa) untuk kemudian dilahirkan. Namun terdapat sebuah kesamaan mendasar jawaban atas pertanyaan mengapa (tetap) bekerja menjadi manusia pustakawan? serempak menjawab diplomatis ingin menjadi manusia bermanfaat.

Secara sederhana bermanfaat berarti berguna; berfaedah; ada manfaatnya. Kata benda berawalan ber- ini menjadi kata kerja dari kata dasar manfaat. Kemudian untuk menjadi bermanfaat maka harus ada pemanfaatan agar supaya kemanfaatannya terasa atau terlihat. Dalam rangkaian ini memerlukan pelaku (subjek) yang memanfaatkan agar lengkap pemanfaatan manusia pustakawan, dan tentunya bermanfaat. Lalu benarkah pustakawan siap sedia untuk dimanfaatkan?

Pustakawan sekolah/madrasah tingkat dasar tetap bermanfaat sebagai guru pengganti kelas yang kosong. Menjadi operator merangkap staf administrasi. Menjaga koperasi, melatih pramuka dan menjadi petugas kebersihan sekolah. Atau pekerjaan-pekerjaan diluar informasi yang penulis himpun. Tetaplah bermanfaat wahai manusia pustakawan sekolah madrasah tingkat dasar. Tak begitu berbeda dengan tingkat dasar, sekolah/madrasah tingkat menengah pertama juga memanfaatkan pustakawan. Pustakawan bermanfaat menjadi personil tambahan tata usaha, koperasi, pelatih beragam ekskul. Pesuruh alias seksi ‘riwa-riwi’ dalam dan luar sekolah. Apa kabar perpustakaan dan pemustaka kalian dan semoga senantiasa bermanfaat.

Hai pustakawan sekolah/madrasah yang kabarnya hari ini sudah mendapat honor UMR. Pustakawan sekolah/madrasah menengah atas ini masih bermanfaat untuk penunjang sertifikasi guru dengan tidak menjadi kepala perpustakaan. Dalam akreditasi instansi keberadaan dan perannya tidak bisa dipungkiri. Sebagiannya masih sebagai personil tambahan beragam tugas seperti adik jenjangnya. Walau dengan konsekuensi meninggalkan atau menutup layanan perpustakaan, tetap saja para pustakawan bermanfaat.

Perpustakaan umum daerah ada yang memanfaatkan pustakawan sebagai bendahara. Pustakawan di perpustakaan jenis ini ada yang bermanfaat hanya dan hanya menjadi staf meski secara perundang-undangan sudah boleh didefinisikan pustakawan. Menjadi petugas lelang, desainer grafis, admin medsos perpus dan banyak manfaat lainnya. Di Perguruan Tinggi, masih banyak pustakawan bermanfaat di BAAK, publikasi atau promosi, admin website, admin PDPT. Pustakawan bermanfaat menjadi anak emas jika jadwal visitasi akreditasi program studi atau institusi sudah diedarkan. Tentu banyak juga pustakawan yang masih menjadi 'babu' di rumah sendiri, tak terkecuali pustakawan di kedua perpustakaan ini.

Credit : steemitimages.com

Lantas bagaimana manusia pustakawan lain di instansi-instansi, di desa, di berbagai tempat lainnya, apakah mereka semua bermanfaat? Ya, tentu saja pustakawan bermanfaat. Tinggal perlu dilihat lebih dekat dalam hal apa kemanfaatan pustakawan dan pekerjaannya. Bermanfaat dalam melayani pengguna, menyimpan dan mengelola, mencari, mendapatkan, membuat informasi pada perpustakaan atau kini telah meluas menyeberang jauh keluar mengikuti siapa yang memanfaatkan. Atau asal bermanfaat membutakan diri dalam hal apa kemanfaatanya. Sungguh mulia pekerjaan manusia pustakawan si manusia bermanfaat. Bermanfaat artinya ada yang memanfaatkan. Selamat bermanfaat manusia pustakawan. Sejatinya kemanfaatanmu tidak hanya untuk manusia melainkan sekalian alam.

Sabtu, 02 Februari 2019

Mengenal Perpustakaan Sejak SD

2011 lalu akhirnya saya berkesempatan mendapatkan status mahasiswa. Artinya saya berkesempatan kuliah setelah setahun ‘nganggur’ selepas tamat pendidikan menengah atas. Keinginan kuliah memang sudah ada sedari masih sekolah menengah pertama. Dan, program studi yang saya tempuh adalah Ilmu Perpustakaan jenjang diploma dua.

Mempelajari kepustakawanan memang bukan pilihan utama. Dalih-dalih menjadi pustakawan, profesi macam apa itu pun saya tak tahu sebelumnya. Setelah beberapa kali ketemu dan ngobrol dengan senior melalui berbagai kesempatan, saya menemukan kesamaan dengan sebutan “tersesat di jalan yang benar”. Boleh jadi bukan tersesat, atau bukan tersesat di jalan yang benar, tapi setidaknya istilah ini cukup untuk menghibur diri. Minimal sampai saat ini.

Sementara berstatus sebagai mahasiswa ilmu perpustakaan, saya mencoba mengingat keterkaitan diri dengan perpustakaan. Sejak kapan, apa, siapa, bagaimana dan dimana saya bersinggungan dengan yang namanya perpustakaan. Bukan apa-apa, saya hanya ingin merefleksikannya saja.


Entah kelas berapa saya lupa, mungkin kelas dua atau lima. Setelah mengumpulkan segenap sisa-sisa ingatan yang masih ada, saya susun kata dan kalimat mengisahkan realita. Saat itu tak ada yang memberitahukan kepada saya, apa itu perpustakaan.

Saya dan beberapa teman lelaki memang sering usil main ke belakang sekolah tiap guru belum masuk kelas atau waktu istirahat tiba. Di pojok utara sekolahan yang langsung berbatasan dengan sawah, kami, saya dan teman-teman sering bermain layaknya anak-anak. Dari keusilan kami, sesekali kami memenuhi rasa keingintahuan dari isu sekeliling meski kadang dengan cara yang tak wajar. Gedung di pojok sekolah itu bagi banyak teman menakutkan, mistis, angker, ada hantunya dan sebagainya. Ruangnya memang tertutup, tak banyak orang masuk kesana, bahkan guru, mungkin sesekali ada guru tapi tak lama, begitu sejauh yang kami amati.

Pak Bun, begitu dulu kami menyebut penjaga sekolah sekaligus tukang kebun di sekolah, meski ternyata namanya tak ada unsur kata “bun” sama sekali. Sering kami dapati Pak Bun berada di gedung itu, gedung di pojok sekolah yang ternyata di dalamnya saat ini saya sebut perpustakaan. Kami belum bisa menjangkau isi ruang gedung yang diisukan mistis dan angker itu. Kecuali Pak Bun dan mungkin beberapa guru, tapi kami tak yakin Bapak atau Ibu guru mengetahui. Dalam berbagai kesempatan, kami beberapa kali mencoba ‘ngintip’ dari sela-sela kaca jendela yang dicat warna gelap. Coklat tua atau apa warnanya saya sudah lupa. Kami menemukan tumpukan buku walau sebenarnya tak yakin dengan hasil temuan pengintipan hari itu.

Keusilan kami yang sering main di belakang gedung di pojok sekolah tercium oleh Pak Bun. Pernah kami dipergoki Pak Bun saat mengintip celah jendela kaca yang dicat warna gelap itu. Sontak saya dan teman-teman lari ‘sipat-kuping’ terbirit-birit. Kejadian itu justru sebenarnya menguatkan rasa penasaran dan kecurigaan kami. Pasalnya ada isu lain di luar keangkeran gedung pojok sekolah. Disisi lain kami sempat takut dan tidak ingin melanjutkan investigasi untuk mengetahui apa sebenarnya yang ada disana.

Sejak kejadian itu, cukup lama kami tak bermain di pojok belakang sekolah. Kami hanya main layaknya teman pada umumnya. Di kelas, jajan di pinggir jalan atau sekedar main bola di halaman sekolah. Entah angin apa yang berhembus, atau setan apa yang merasuki pikiran kami. Kami memutuskan melanjutkan investigasi dan memuaskan rasa keingin-tahuan yang pernah melanda. Kami putuskan kembali ke pojok belakang sekolah jika ada kesempatan.

Sekolah kami kekurangan guru, dan korbannya adalah kelas saya yang gak kebagian guru. Sementara guru olah raga dan guru agama saat itu tidak hanya mengajar di sekolah kami. Kelas sering kosong, kecuali termat ramai karena kegaduhan hingga guru kelas sebelah datang sekedar memberikan tugas. Ini kesempatan. Kesempatan ini kami gunakan untuk melanjutkan penelusuran. Kami kembali ke markas.

Pada kesempatan itu, kami mencoba memberanikan diri bertemu Pak Bun secara langsung. Kami mencoba dengan ‘modus’ ingin meminjam buku. Meski sebenarnya kami belum yakin apakah disana benar ada buku yang boleh dipinjam. Paling tidak kami mencoba supaya bisa masuk. Untuk kemudian tahu apa yang ada disana, menjawab rasa keingintahuan kami. Menyatakan apa yang menjadi isu, mencari bukti. Menguak misteri.

Setelah memastikan Pak Bun ada di ruang itu, kami bersama-sama dengan segenap tekad yang ada untuk masuk. ‘Celingak-celinguk’ memperhatikan sekitar yang berisi tumpukan barang tak terpakai, satu diantara kami atau secara bersamaan berkomunikasi dengan Pak Bun menyampaikan maksud (alibi) meminjam buku. Gayung bersambut, kami diantar ke sebuah ruang kecil di ujung gedung. Pintunya dikunci dengan gembok. Setelah Pak Bun membukanya, benar saja kami menemui bertumpuk-tumpuk buku disana. Terang, ini sesuai dengan penglihatan kami saat mengintip tempo lalu. Tanpa basa-basi kami langsung masuk, agar supaya Pak Bun tidak curiga.

Dengan mengiyakan arahan Pak Bun untuk tidak mengacak-acak tempat acak-acakan itu, kami memilih buku asal-asalan. Berikutnya Pak Bun meninggalkan kami dalam ruang itu, kemudian rasa takut dan curiga pun datang. Cepat-cepat kami membawa buku yang terpilih dan segera menemui Pak Bun di tempat duduknya seperti saat pertama kami temui dekat tempat pencucian peralatan dapur. Kami mencukupi kesempatan pertama dengan ‘wanti-wanti’ seminggu lagi bukunya harus dikembalikan. Kami kembali ke kelas.

Belum ada seminggu sejak hari itu, saya mengajak teman-teman kembali ke gedung pojok sekolah. Di ruang yang berisi lemari dengan banyak dokumen di dalamnya, barang-barang bekas hasil kerajinan tangan, berbagai peralatan tak terpakai di ruang tengah, kursi dan meja berisi beberapa gelas dan piring, tempat pencucian dan kamar kecil dalam yang kemudian saya ketahui juga ada bak air yang mengisinya dari luar, dari sumur di belakang gedung. Satu ruang di pojokan yang hari ini saya sebut perpustakaan serta satu ruang terkunci di sebelahnya. Dari kesempatan kedua ini, kami sudah bisa memetakan seisi gedung itu walau tak begitu detail. Aura mistis dan angker masih melekat yang menjadikan kami belum berani berlama-lama disana.

Masih dengan alibi bin modus yang sama, kami kembali menjemput kesempatan berikutnya. Berpura-pura mengembalikan buku dan meminjam buku lainnya, kami masih berusaha mencari bukti atas isu, mencari kebenaran yang tersembunyi. Kekurangan guru membuat kami memiliki kesempatan lebih untuk bermain di pojok sekolah. Sampai akhirnya saya berkesimpulan, tempat itu tidak angker, mistis sebagaimana isu yang berkembang, hanya saja tempat itu tidak sering dijadikan tempat beraktifitas, kecuali penghuni tunggal yaitu Pak Bun.

Ternyata oh ternyata, sedari sekolah dasar saya sudah bersinggungan dengan perpustakaan. Saya tahu hari ini bahwa saat itu bukan pustakawan yang melayani peminjaman. Penjaga tempat yang saya namai perpustakaan itu bukan lah pustakawan.

Pertanyaan saya hari ini adalah fungsi pustakawan apa dan mana yang tidak bisa digantikan oleh mereka yang bukan pustakawan?
Ataukah benar hasil perenungan Paijo bahwasanya setiap orang adalah pustakawan? Entahlah. Ingin saya bertanya tapi kepada siapa.

Bagaimana saya bersinggungan dengan perpustakaan di sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan saat duduk di selasar perguruan tinggi?. Nantikan tulisan berikutnya.

Jumat, 01 Februari 2019

Pustakawan, Bisa Apa?

Pustakawan BISA apa ??



Entah kenapa malam ini muncul ide itu di pikiran saya, Hmmm kayak nya efek acara Mata Najwa episode "PSSI Bisa Apa" kali yaa? yang acaranya sampe jilid ke-3!! Hhhe

Sebelumnnya, izinkan saya memperkenalkan diri saya. Nama saya Ahmad Sofyan Alfi, alhamdulillah baru saja menyelesaikan pendidikan D3 Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di Tahun 2018. Nah, saat ini saya sedang melanjutkan studi di S1 Ilmu Perpustakaan Universitas Terbuka. Ini juga Alhamdulillah lagi, masih ada kampus buat lanjut kuliah dengan harga bersahabatlaaah.. :D

Pustakawan

Masih banyak orang umum yang bilang "Pustakawan itu hanyalah orang yang  jaga perpustkaan aja" Gimana...? Setuju yaaaa? (Ya harus setuju dong, sebelum saya mengenal jurusan perpustakaan juga memandangnya seperti itu) :v

Berdasarkaan UU No 43 Tahun 2007 Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.

Kalo dilihat dari perundangan-uandangan tersebut, tugas pustakawan hanya melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan, Apakah hanya itu saja?
Nah Terussss, Pustakawan bisa apa dong?? 
Jawab saya setelah selesai lulus kuliah "Pustakawan itu bisa apa saja". Pustakawan bisa lebih dari hanya mengerjakan pengelolaan dan pelayanan saja.
Berikut ini adalah hal-hal yang bisa dilakukan oleh Pustakawan menurut pandangan saya secara pribadi:

1. Penulis
Penulis gak hanya orang yang sudah membuat buku yaaaa, tapi bisa juga mereka yang nulis di blog, koran, jurnal dan lain-lain.
Pustakawan yang juga sebagai penulis memang ideal banget, tapi ga semua bisa menumpahkan nya di dalam sebuah tulisan. Pustakawan juga bisa sebagai penulis. Salah satu contohnya yang saya temui yaitu adalah Mas Mursyid, alumni JIP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau mengawali kepenulisannya di koran dan sering muncul namanya, sampai saat ini masih aktif menulis dan memberikan pelatihan kepenulisan serta masuk ke ranah penerbitan buku.

Selanjutnya ada Mas Teguh Prasetyo Utomo, blogger dengan ciri khas tulisannya yang muantaapss! laman blognya yaitu Pustakawan Jogja, konten dari blognya lebih banyak tentang informasi lowongan perpustakaan dan isu-isu terkini kegiatan perpustakaan.

Saya bertemu Mas Mursyid dan Mas Teguh ini saat acara Knowledge Sharing: Young Librarians Speak Up yang diadakan oleh HMJ IP Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN SuKa pada Sabtu, 17 Desember 2016, kebetulan juga saya yang jadi pembawa acaranya hhhe..

2. Peneliti, atau malaikat mahasiswa semester sekarat

Udah ga terhitung berapa banyak mahasiswa yang membutuhkan Pustakawan saat mencari referensi untuk tugas akhir. Menurut saya hebatnya pustakawan di universitas bisa banyak membantu mahasiswa dalam pencarian refrensi tugas akhir,
Sedikit cerita dari pengalaman saya ketika di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, ketika itu saya sedang di perpustakaan, melihat ada seorang mahasiswa yang kebingungan mencari informasi yang dibutuhkan. Lalu datang seorang Pustakawan datang menanyakan, Mas mencari buku apa? Sudah ke OPAC?. "OPAC itu yang mana ya Bu?" jawab pemuda itu dengan bingung. Kemudian Pustakawan itu langsung memberikan arahan dan pembelajaran dalam penelusuran. Setelah saya selidiki, ternyata pemuda tersebut tidak ke perpustakaan lagi semenjak user education di awal semester, dan kembali masuk ke perpustakaan saat tugas akhir. (Yaaaa saya sih husnudzan saja mungkin dia mencari referensinya selama kuliah di luar kampus hehhe :v)
setelah itu terbesit dalam hati saya, Pustakawan ki koyo malaikat (Pustakawan itu seperti malaikat), langsung dapat memberi bantuan.

3. Pustakawan sebagai pengajar, juga event kretor

Pustakawan bisa berperan sebagai guru dimanapun instansinya berada, kenapa?
Tentu saja setiap perpustakaan pasti akan mengenalkan perpustakaannya melalui kegiatan yang disebut user education. Nah, disitulah pustakawan bisa berperan sebagai pengajar kepada pemustakanya, sehingga dasar-dasar dalam Public Speaking juga dimiliki dalam diri Pustakawan.

Event Kreator, bayangkan saja kalo perpustakaan tidak ada kegiatan selain layanan informasi maupun sirkulasi? Pastinya perpustakaan bakal krik-krik tuuh, sepi dan tidak menarik minat untuk dikunjungi.
Pustakawan juga bisa sebagai event kreator.
Saya ambil contoh saja dosen saya yang multi fungi ini, yaitu  Mak Nyak atau Bu Labibah Zain.
Semenjak perpustakaan UIN Sunan Kalijaga dipegang beliau, setiap bulan pasti ada event di perpustakaan tersebut. Hasilnya gimana? Jelas sekali, perpustakaan serasa lebih hidup dengan ada kegiatan-kegiatan tersebut, pengunjung pun tertarik.

4. Pustakawan  sesebagai peran di masyarakat

Jika seorang mahasiswa ilmu perpustakaan setelah lulus hanya bekerja mungkin sudah biasa, namun ada salah satu sosok Pustakawan yang juga menginspirasi. Peran Pustakawan juga bisa dilihat masyarakat, contohnya saja Mas Triyanto, Pustakwan SD N Jetis Sedayu dan TBM Guyub Rukun. Mas Triyanto juga aktif di kalangan karang taruna remaja dan masyakarat sekitar, banyak hal yang ia lakukan untuk suatu perubahan seperti pengelolaan sampah donasi dengan menggerakkan masyarakat sekitar.
Beliau juga pernah dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor DIY 2017 dalam peringatan Sumpah Pemuda, selanjutnya pada tahun 2018 juga meraih penghargaan sebagai TBM Kreatif dan Rekreatif dalam peringatan Hari Aksara Naional.
Nah saya  bertemu dengan Mas Triyanto ini juga saat acara Knowledge Sharing: Young Librarians Speak Up di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.

5. Pustakawan bisa sebagai penggerakan kemajuan literasi bangsa.

Ini juga hal yang mulia dan hebat, pada poin ini saya mengambil contohnya saja Pak Agung Pustakawan TBM Adil, yang sudah berjuang selama belasan tahun menyebarkan virus kabaikan (literasi) di ligkungan masyarakat sekitar. Perjuangannya dimulai dari menjajakan buku secara cuma-cuma, berkeliling menggunakan sepeda, kemudian sampai saat ini menggunakan motor roda tiga
Saya tau dan kenal Pak Agung ini saat beliau mengisi workhop ulang tahun Pustaka adil ke-13 di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.

Itulah beberapa orang yang membangun citra positif dalam dunia perpustakaan di Indonesia (yang sampai saat ini saya tau yaa :D), diluar itu saya yakin masih banyak pustakawan hebat dengan kemampuan, ciri khasnya masing-masing dan kayaknya juga yaa saya yakin mereka semua belum mengenal saya .. hhhe :v

Terus penulis dalam postingan ini bisa apa dong?
Hhhuummm, Hmmm, Hmmm.. (cerita gak yaa)
Penulis kali ini masih suka nulis di blog Pena Librarian dan di blog Catatan Penggemar Bus untuk menuangkan hobi. Selain itu juga main ngevlog di Channel Youtube. Yaa intinya penulis ini masih banyak belajar lagi lewat Pustakawan Blogger ini dengan para master-nya. :v yang banyak menginpirasi :)


Salam #PustakawanBloggerIndonesia
Terima Kasih :), sampai jumpa di postingan selanjutnya :v


Selasa, 29 Januari 2019

Pustakawan, Sosok Yang IMUT

(Credit to Pixbay)
Siapa sih tak kenal perpustakaan? Jika dilakukan survei hari ini, sekitar 8 dari 10 orang Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan pasti kompak menjawab 'Ya, kami kenal'. Namun jika survei dilanjutkan dengan pertanyaan : Apakah pustakawan itu? Mahluk apakah pustakawan?  Tipe pilihan jawaban model pilihan ganda tidaklah cocok  bagi para responden untuk memberikan respon. Cocoknya ya tipe jawaban uraian. Jawaban mereka pun pasti beragam. Tak salah bila jawaban mereka merujuk pada sosok avenger, ipin upin, cucak rowo maupun mak lampir.
Tapi, jika kita berani jujur pada hati nurani kita. Saya berani katakan bahwa 'Pustakawan adalah sosok yang IMUT' (Wah siap-siap terima banyak komplain nich :-)). Kata IMUT itu sendiri tidak merujuk pada tampilan fisik lho. Kembali lagi ke statemen diatas, Kenapa  pustakawan sosok yang IMUT? Begini penjelasannya.
I = Intelek. Kita kudu setuju nih kalo pustakawan itu intelek. Tahu tidak, tidak gampang lho mengelompokkan berbagai sumber informasi berdasarkan kesesuaian subjek pengetahuan. Bayangkan, setiap hari pustakawan membaca buku dari berbagai genre, menganalisis isinya lalu mengelompokkan sesuai notasi Dewey Decimal Classification atau Universal Decimal Classification. Selain itu, pustakawan kudu siap melayani pemustaka dari berbagai latar belakang keilmuan. Mulai dari jenjang TK sampai jenjang S3. Kalau pustakawan tidak intelek, mana mungkin pustakawan mampu menyediakan sumber informasi sesuai kebutuhan pemustakanya. Singkat saja, berprofesi sebagai pustakawan merupakan jalan menjadi seorang intelektual yang sedang menempuh berpuluh-puluh sks di lembaga pendidikan sepanjang hayat.
MU= MUltitalenta. Sebagian besar pustakawan itu memiliki beragam talenta. Ada yang hobi merangkai kata, ada juga yang jago sketsa maupun mengoprek-oprek bahasa program. Namun semua talenta tersebut linier dengan profesi pustakawan. Contoh interlokalnya: Mr. George W Bush junior saja kepincut dengan Mrs. Laura Bush, yang dulunya seorang pustakawati yang piawai merangkai kata dan story teller diperpustakaan sekolah dinegerinya paman SAM. Mungkin Mr. Bush terpesona aura keibuan Mrs Laura saat Mrs Laura sedang mendongeng di perpustakaan sekolah. Ada lagi contoh lokalnya, kang Hendro wicaksononya yang gemar ngoprek bahasa program akhirnya beliau bisa mengembangkan aplikasi SLIMS yang mulai go internasional. Masih banyak seh pustakawan/wati yang bertalenta dan berkontribusi dibidang kepustakawanan yang belum sempat terungkap (Tunggu X-files berikutnya).
T terakhir = Tahan banting. Nah, tidak ada profesi lain yang setahan banting kayak pustakawan. Disaat negara kita mo beralih menjadi negara maju, profesi pustakawan masih saja terpinggirkan dari aspek kesejahteraan. Tak sedikit, rekan-rekan pustakawan yang berpenghasilan dibawah Upah Minimun Regional. Padahal mereka berkontribusi nyata baik kepada dunia kepustakawanan maupun dunia pendidikan. Bukankah perpustakaan dan pustakawan berperan penting turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyediaan bahan bacaan berkualitas. Faktanya, pustakawan ibarat sebuah lilin yang menerangi sekitarnya namun tubuhnya turut luruh terbakar api.
Nah, berdasarkan uraian diatas maka tidak berlebihan bukan. Pustakawan merupakan sosok yang Intelek, Multitalenta dan Tahan Banting. Semoga untaian kata ini mampu mendorong kita mengapresiasi profesi yang bernama 'Pustakawan'. Salam (RAH)

Senin, 28 Januari 2019

Pustakawan di Ruang Politik Digital


Pustakawan bisa jadi 'juru kunci' ruang digital | Image: simplilearn.com  

Hari ini, berbagai kanal komunikasi massa dibanjiri dengan informasi politik, utamanya terkait isu dan dinamika seputar pemilihan umum. Obrolan di media sosial membuat ruang politik digital begitu gempita. Hal ini semakin membuktikan bahwa alam demokrasi yang pada awalnya kerap berjalan linier dari para elite menuju khalayak biasa, kini bertransformasi menjadi pola interaktif yang memungkinkan siapa saja bisa berpartisipasi secara intens di dalamnya tanpa sekat, tanpa kasta dan tanpa status apapun.

Lalu dimana, bagaimana atau apakah pustakawan dapat terlibat atau mengambil ‘kavling’ di ruang maya itu?
Pustakawan, anggaplah dia sebagai makhluk yang memiliki misi. Apapun asalnya, pendidikannya, keberuntungan atau keterpurukannya. Saya tak ingin beretorika yang biasa diungkapkan Kang Paijo atau lawannya yang menjadi digital asset manager tapi ‘kekeuh’ menyebut diri sebagai pustakawan. Pustakawan digital, katanya. Atau mengangkat isu ketidakrelevanan IPK dengan skill para mahasiswa perpustakaan tetapi ‘kekeuh’ pula mencantumkan IPK minimal sebagai syarat ‘mempersunting’ pekerjaan. Apapun itu, saya yakin profesi ini memang akan sedang terus berkembang mencari jati dirinya, baik secara keilmuan maupun pratikalnya.

Kembali pada pustakawan, yang sejatinya terlahir dengan misi. Kita coba menelisik ke sekitar tahun 285-246 SM, pada masa Perpustakaan Alexandria, dikenal tokoh-tokoh pustakawan seperti Zenodotus yang bekerja merekonstruksi puisi-puisi Homer; Callimachus menyusun Pinakes yang disebut-sebut sebagai katalog perpustakaan pertama di dunia; hingga Aristhopanes, seorang pustakawan yang juga ahli puisi. Pada intinya, apa yang mereka kerjakan bermuara pada kepentingan para penggunanya, memudahkan pengguna dalam memahami dan/atau memanfaatkan sesuatu.

Lalu kembali ke era sekarang, ruang-ruang digital kita memang tengah diwarnai dengan informasi politik. Yang perlu dicermati, sesungguhnya pustakawan sangat bisa mengimitasi laku para politisi di ruang politik digital itu. Fenomena ruang politik digital ini setidaknya ditandai dengan empat fenomena. Pertama, tren global demokrasi partisipatoris. Politik kerelawanan semakin menguat, contohnya dalam media sosial dimana masyarakat tak lagi sekedar konsumen informasi tetapi juga memproduksi dan menyebar gagasan serta dukungan. Ini dapat dimanfaatkan oleh pustakawan dengan melibatkan masyarakat untuk meng-create dan blowing-up isu-isu kepustakawanan, literasi dan sebagainya dengan daya resonansi yang kuat.

Kedua, komunikasi politik interaktif. Politikus yang memahami pentingnya interaksi dan mampu mengadaptasi perubahan pola komunikasi inilah yang akan bertahan. Hal ini dapat diadopsi oleh pustakawan saat menyebar isu via ruang digital. 

Para pustakawan harus menyadari bahwa gaya komunikasi di ruang digital tak lagi cocok dengan controlling style yang menempatkan kuasa begitu kuat pada komunikator. Gaya ini justru akan membuat gap, menjaga citra dan mengontrol umpan balik dari para komunikan. Pustakawan pun harus menyadari, gaya terstruktur, rapi dan keterukuran tak pula cocok di ruang digital karena akan membosankan.
Gaya yang relevan dan cocok serta masih mungkin disukai adalah kesetaraan (equalitarian style) yang menekankan kesetaraan posisi antara komunikator dan komunikan. Sandiaga Uno dan Jokowi, misalnya, dengan gaya khasnya mereka bisa masuk di kalangan milenal meskipun mereka bukan lagi dari golongan itu. Pustakawan dapat mencontoh style mereka dalam berinteraksi lewat ruang digital.

Ketiga, saat ini berbagai konflik sering dimediasi dengan penggunaan informasi berbasis teknologi komunikasi. Fenomena twit-war dan petisi online misalnya, dimana satu isu besar diangkat ke depan pintu ruang digital untuk dicarikan pendukung dan selanjutnya diarahkan sesuai tujuan dan kepentingan. 

Fenomena ini adalah contoh nyata dimana pustakawan juga punya andil dengan isu-isu sensitif semacam tingkat literasi, razia buku, gaji pustakawan, anggaran perpustakaan, pengiriman buku gratis, dan lainnya yang dapat dikomunikasikan di ruang-ruang digital.
Keempat, transformasi politik memberikan akses ke informasi yang sifatnya personal. Di ruang digital, kita sangat mungkin langsung berada di pusaran informasi melalui interaksi yang dibangun. Di ruang digital, seorang walikota, gubernur bahkan presiden sangat mungkin berinteraksi langsung dengan warganya. Bahkan sering kita jumpa di lini masa, seorang professor dan pakar beradu argumentasi dengan mereka yang bukan ahlinya. Nah, pola interaksi seperti ini yang sangat bisa diadopsi oleh pustakawan ketika ingin terjun di ruang-ruang digital untuk mengangkat berbagai isu yang menjadi konsentrasi atau perhatiannya.

Sekarang, tinggal bagaimana pustakawan akan mengambil sikap. Hanya ada dua pilihan; segera berinvestasi dengan mengambil ‘kavling’ terbaik di ruang politik digital itu; atau tetap menunggu modal yang tak kunjung kumpul sementara muncul pengumuman, ‘senin harga naik’!

------------------------------------------------------------------------------
Kebon Sirih,
Senin, 28 Januari 2019 [11:27 WIB]

Muhammad Bahrudin
[masih jadi] Pustakawan