Tampilkan postingan dengan label Sylvia L’Namira. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sylvia L’Namira. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Februari 2020

Pustakawan Mentok


Banyak alasan seorang pustakawan tetap bertahan di tempat kerjanya sejak 10 bahkan 20 tahun lamanya. Antara lain mungkin karena mentok.

1. Mentok usia.

Yah… udah tua, mau ngelamar ke mana lagi? Yang buka lowongan juga pastinya nyari yang masih muda lah! Kalau yang fresh graduate kan minta gajinya gak selangit, beda sama yang sudah pengalaman.

2. Mentok ilmu.

Meski tahu sih, kalau yang namanya belajar itu seumur hidup, pustakawan yang selalu dikelilingi buku belum tentu sempat membaca. Perkembangan apa sih yang ada di dunia profesi perpustakaan? Nggak tahu juga mau cari ke mana. Beruntunglah yang ikutan grup WAG profesi, bisa update meski hanya sebagai silent reader.

3. Mentok pengalaman.

Ah, sudah bagus ini, setiap tahun saat tanda tangan kontrak juga dipuji kok kalau perpustakaannya sekarang terlihat bagus sejak dia yang pimpin. Buat apa nyari-nyari tempat lain, yang mungkin disuruh set up perpustakaan dari awal, diminta ini-itu biar kekinian. Bisanya segini doang udah cakep banget. Sesuai gaji lah!

4. Mentok jaringan.

Teman se-angkatan sudah kerja semua, pasti sudah settle dengan gaji yang memadai. Mau nanya apa ada lowongan, ya kali jadi junior temen sendiri, malu lah! (padahal asap dapur gak kenal malu kalau gak ngebul).

5. Mentok karena sayang.

Nah, yang ini juara deh. Pengabdian, loyalitas, mencintai profesi dan tempat kerja, menganggapnya sebagai rumah kedua, betah di kantor bahkan suka pulang malam kerja lembur tanpa bayaran overtime. Ini pustakawan langka, mesti dipertahankan.

Sayangnya, terlepas dari alasan-alasan mentok di atas, banyak atasan yang tidak menghargai pustakawannya. Menganggap sebagai penjaga buku, disuruh bikin kegiatan padahal nggak pernah ditengokin sekali pun, disuruh buat laporan per minggu tapi kalau diajak rapat tetiba paling sibuk se dunia, pas ada komplain dari pemakai langsung kena bombardir tanpa ampun.

Ini curhat ya?

Bukan, hanya sharing, kalau dunia perpustakaan itu tidak seindah tempat tidur bertabur bunga mawar. He-he.

**

Penulis: pustakawan sekolah dasar di Bintaro, yang sekarang Sukanya main di Instagram dengan akun @BookDragonMomma. Website: book-corner.blogspot.com

Rabu, 13 Februari 2019

Perpustakaan Sebagai Lembaga Sensor

Memilih koleksi perpustakaan sekolah dasar, harus melalui banyak pertimbangan, di antaranya kesesuaian level baca, minat dan kepopuleran.

Sebagai pustakawan sekolah dasar, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam pengadaan koleksi. Di antaranya, kesesuaian level baca anak, minat, dan tentunya kepopuleran buku tersebut di antara pembaca seusia mereka. Biasanya sih yang dicari adalah buku yang ada filmnya, seperti Captain America, Captain Underpants, Diary of a Wimpy Kid, dan sejenisnya. Bisa dibayangkan lah yaa buku apa saja yang sering dicari?

Namun, tentu saja koleksi perpustakaan tidak melulu mengikuti kesukaan anak-anak saja. Ada pula koleksi yang harus dibeli meski kurang populer. Seperti misalnya cerita klasik. Mau tidak mau harus dibeli, karena tidak mungkin dong mereka hanya membaca fiksi populer saja? Cerita klasiknya tentu disesuaikan dengan usia dan kemampuan membaca mereka: yang teksnya mudah dan banyak gambarnya.

Selain fiksi, koleksi non fiksi juga harus dibeli. Ini juga buku-buku yang jarang dilirik siswa. Koleksi ini populernya saat mereka riset. Biasanya setelah guru bersabda agar mereka mencari informasi tentang satu topik, barulah buku-buku ini banyak dicari.

Repotnya, jika buku-buku yang sudah dengan hati-hati dipilih ini, ternyata menyebabkan kerusuhan di perpustakaan. Umumnya terjadi jika ada gambar-gambar tidak senonoh di dalamnya. Mulai dari buku cerita bergambar deh. Tidak semua buku cerita bergambar ini aman untuk anak-anak, ternyata. Contohnya buku ini, “Mr. McGee and the Biting Flea.”

Jadi ceritanya Mr. McGee sedang main layangan, tiba-tiba dia merasa ada yang gigit! Maka dia pun berlari sambil membuka bajunya satu persatu.

Tidak hanya baju, dia juga melepaskan celana dan semua sampai jeroannya! Parah kan Mr. McGee? Gak tahu apa kalau itu AURAAATTT..!


Lalu buku klasik “The Jungle Book.” Mowgli setelah besar dan tinggal bersama hewan-hewan sih, sudah lebih beradab ya, dia pakai celana. Mungkin sudah baligh.


Tapi sebelum dia dipelihara sama hewan-hewan, dia ditemukan dalam keadaan bugil. Meski digambar masih balita gitu, tetap saja anak-anak cekikikan melihat paha Mowgli kemana-mana. Duh, aurat lagiii…!

Lalu buku non fiksi harusnya aman dong? Gak juga, ternyata pemirsah!

Ini buku judulnya “Gods, Heroes and Monsters.” Isinya ya tentang mitologi gitu deh, dewa-dewa, hewan dalam mitologi dan sebagainya. Awalnya saya pikir anak-anak kok hebat ih, selalu mengerumuni buku non fiksi, padahal tidak ada info mereka harus riset topik ini.

Mereka sangat ingin tahu ya tentang dunia mitologi, pikir saya. Tapi lama kelamaan kok baca buku rame-rame sambil giggling. Curiga dong saya? Sebelum sempat ditanya, seorang anak bilang kalau buku ini ada gambar seksinya. WHAT? Seksi di mana?

Dibuka halaman, dan ternyata... patung, sodara-sodara! Patung gak pake baju sih, tapi tetap saja, itu P A T U N G! Saya sampai speechless.

Ya sudah lah. Akhirnya memang semua buku harus disensor. Lalu apa yang saya lakukan jika terdapat buku penuh ketidaksenonohan seperti ini? Karena saya bukanlah pelukis atau orang yang punya bakat menggambar, saya langsung angkut buku-buku tersebut ke ruang kelas art, dan meminta gurunya menyensor gambar-gambar tersebut. Guru art kan jago, ya kan? Dan ada saja idenya untuk menutupi gambar-gambar itu.



Seperti yang ini, dia menggambarkan celana dengan spidol. Mr. McGee nggak pamer aurat lagi deh!


Kalau yang ini pakai spidol perak. Ada saja caranya bikin celana yang fashionable di hutan. Untung anak-anak gak nanya, ini celana bikinan designer mana.


Nah, kalau yang ini saya nggak tahu deh bagaimana dia akan berkarya. Soalnya saya belum sempat menemui beliau. Penasaran gak hasilnya gimana? Saya juga :D

**

Penulis: pustakawan sekolah dasar di Bintaro, yang sekarang sukanya main di Instagram dengan akun @bookdragonmomma. Website: book-corner.blogspot.com


Selasa, 05 Februari 2019

Pustakawan Sekolah WAJIB Narsis


Jadilah makhluk narsis, namun narsis yang berfaedah.

What? Kok  bisa? Narsis bagaimana? Dengan sering-sering selfie di perpustakaan, trus sebar di sosmed, gitu? Wkwkwk, kalau mau begitu ya silahkan aja sih. Tapi bukan itu maksud saya. Trus, apakah pustakawan harus terlihat sibuk terus? Pura-pura sibuk kalau perlu, biar semua orang melihat betapa sibuknya kita, dengan kening berkerut, senyum setipis mungkin, dan menjawab seadanya? Well… hidup adalah pilihan ya :D

Tapi kalau sudah kerja pontang-panting memajukan perpustakaan tapi pustakawannya diam saja, tidak menunjukkan hasil kerjanya ke khalayak ramai alias kurang narsis, sama saja bohong kan? Ketika di akhir tahun ajaran hanya menyodorkan laporan berisi kegiatan selama setahun yang dilakukan diam-diam (mungkin ini pustakawan pemalu, atau low profile dengan prinsip 'kerja adalah ibadah, bukan buat riya'), tidak ada gembar-gembornya saat kegiatan tersebut berlangsung, tetap saja pustakawan akan dianggap makhluk yang tidak ada kerjaan.

Percayalah! Di sini banyak yang menyangka menjadi pustakawan itu enak, “gampang ah miss, Cuma cenat-cenit scanner barcode aja kan kerjaannya? Tukeran-yuk!”  Nah, jadi minta tukeran job deh.

Mendengar itu pustakawannya harus merasa apa ya? Merasa sedih? Sakit hati? Atau marah? Apalagi jika atasan kita juga menganggap demikian. Sementara dia bukanlah atasan yang rajin melongok ke perpustakaan, hanya berasumsi saja dan tidak melihat pustakawannya koprol. Saya punya yang kayak gitu, dua :D

Sedih no more, wahai pustakawan sekolah. Seperti lagu lawas yang dibawakan Chrisye, badai pasti berlalu. Demikian juga prasangka buruk tentang pustakawan sekolah yang kurang kerjaan itu. Mau saya berikan tipsnya? Ini beberapa hal yang sudah saya lakukan selama menjadi pustakawan sekolah.

1. Promosi koleksi

Kadang perpustakaan yang sepi itu terjadi karena guru-guru di sekolah tidak tahu koleksi apa saja yang ada di dalam perpustakaan. Maka, carilah waktu untuk menyebarkan informasi koleksi. Jangan sekaligus semua, bisa bertahap. Di sini, saya berpromosi melalui grup guru di whatsapp. Apa sih yang tidak dibuat grup sekarang, ya kan? Pertama saya foto buku-buku per-subject. Misal, buku pegangan guru di ma-pel matematika, saya foto cover bukunya, lalu blast ke group. Besok ganti subject Musik, demikian seterusnya. Pasti ada kok satu-dua yang lalu datang dan ingin meminjam. Tak  apa mempromosikan koleksi lama.

2. Kerja sama dengan Guru

Ini saya lakukan terutama ke guru-guru yang subjectnya itu mengharuskan siswa membuat project yang membutuhkan riset, seperti science, dan social study, namun tidak menutup kemungkinan untuk pelajaran lain, seperti Bahasa Indonesia. Saya datangi koordinator subject tersebut, atau langsung ke gurunya juga lebih bagus. Katakan bahwa jika ada project, siswa bisa mencari data di perpustakaan, pustakawan yang akan menyediakan resourcesnya (bisa buku, poster, peta, ensiklopedia, dan lain-lain). Misal, guru sains sedang ada tugas tentang tanaman, pustakawan bisa menarik koleksi buku tentang tanaman dari rak -ini bertujuan supaya anak-anak tidak mengacak-acak koleksi- dan menumpuknya di meja. Beri sign TANAMAN. Guru tersebut datang ke perpustakaan dengan anak-anaknya, dan mencari data tentang tanaman dari buku yang telah disediakan.

3. Library Games

Sering-seringlah mengadakan games. Anak-anak suka banget jika perpustakaan mengadakan games. Yang gampang saja, seperti menghitung jumlah buku yang ada dalam kotak. Susun buku sedemikian rupa, sehingga sulit dihitung :D Jangan lupa diblast di group guru dan ajak juga mereka untuk ikut serta. Kadang mereka yang lebih antusias ikutan dibanding siswa, lho! Seru kan?

4. Pusat Kegiatan

Selain untuk kegiatan riset, bisa juga menjadikan perpustakaan sebagai pusat kegiatan. Di sini, komputer dan printer yang disediakan untuk guru, diletakkan di perpustakaan. Jadilah pustakawannya menjadi penjaga warnet :D Tapi jangan dianggap beban, justru ini akan membuat guru-guru sering datang ke perpustakaan. Kan mereka butuh nge-print. Nah, jika ada koleksi yang sekiranya sesuai untuk salah satu dari mereka, bisa langsung direkomendasikan secara personal. Ini terjadi saat saya melihat-lihat koleksi apa ya yang bisa ditunjukkan ke guru? Tiba-tiba mata saya berhenti pada satu buku tebal yang menurut saya akan berguna untuk counselor. Ketika saya mau WA, ternyata couselornya datang mau nge-print. Langsung saja saya suruh lihat-lihat buku itu, eeeh dia malah langsung pinjam, dan seminggu kemudian dia kasih feed back, “Miss, bukunya ternyata kepake banget!” Ah senangnya.


Ini semua tidak akan terjadi kalau pustakawannya kurang (atau tidak) narsis. Memang harus banyak sebar info, mau itu info tentang koleksi, tentang kegiatan, tentang apa saja. Ada seorang teman pustakawan yang sangat rajin mengirimkan headline koran ke grup guru. SETIAP HARI! Dia sangat mengerti bahwa guru-guru tidak sempat membaca koran, maka dia update berita terbaru yang ada di koran hari ini. Dia pancing sedemikian rupa rasa ingin tahu guru dengan tidak menceritakan seluruh artikel, agar mereka datang dan membaca sendiri ke perpustakaan.

Banyak hal yang bisa kita lakukan kok. Jangan gundah. Dan seperti halnya perpustakaan adalah pusat informasi, pustakawan juga harus rajin menyebarkan informasi. Jadilah makhluk narsis, namun narsis yang berfaedah ;)

**

Penulis: pustakawan sekolah dasar di Bintaro, yang sekarang sukanya main di Instagram dengan akun @bookdragonmomma. Website: book-corner.blogspot.com

Sabtu, 02 Februari 2019

THE LIBRARIAN FROM THE BLACK LAGOON: Bernostalgia bersama buku anak

Oleh: Sylvia L’Namira*

"Jangan remehkan pustakawan. Matanya seribu"
Pernahkah ada yang membaca buku anak-anak ini? Serinya lumayan banyak, tidak hanya librarian saja. Penulisnya Mike Thaler, terbitan 1997.

THE LIBRARIAN FROM THE BLACK LAGOON

Buku ini kocak sangat, membuat saya tertawa-tawa membacanya, dan jadi ingat awal saya menjadi pustakawan di sekolah ini. Saya masih lugu, masih terdoktrin bahwa perpustakaan itu harus sepi dan tenang, kalau bicara harus berbisik dan perhatian-kalau-suara-kalian-terdengar-hingga-meja-saya-berarti-kalian-sudah-terlalu-berisik! Jadilah saya dulu adalah pustawakan yang distereotipekan orang-orang: galak, jarang senyum, giliran senyum tampak seperti menyeringai, anak-anak pun langsung kabur, kalau bertemu di koridor mereka melipir ke tembok, takut saya terkam *roaarrr…!*

Mengingat saya (semoga) bukan pustakawan ‘itu’ lagi, jadi saya ingin bernostalgia melalui buku anak-anak ini, saat sedang shelving di pagi hari. Rasanya saya ingin posting halaman demi halaman buku ini, tapi nanti melanggar hak cipta, jadi beberapa bagian yang paling kocak saja menurut saya.

Class today we visit the school library

Nah, ini dia stereotype perpustakaan jaman dulu. Yang bikin anak-anak takut ke perpustakaan. Saya juga dulu takut sih ke perpustakaan, makanya waktu sekolah dulu hampir-nyaris-tidak pernah ke perpustakaan. Serem! Jika kehabisan uang jajan, saya mampir ke perpustakaan untuk baca buku (dulu buku roman macam Siti Nurbaya, Layar Terkembang, dll, waktu SMA) percaya atau tidak, saya tidak tahu pustakawannya yang mana. Saya ambil saja dari rak, baca di tempat, ketika bel berbunyi tanda istirahat selesai, kembalikan buku ke rak lagi, balik deh ke kelas. Tak ada penampakan pustakawan di sana. *creepy ya*

 The kids call her "The Laminator"

Nah! Ini dia pustakawan dari Laguna Hitam. Beuh, sebutannya dong.. “The Laminator.” Kalau saya dapat sebutan apa ya? Hmmm… mau investigasi ah, barangkali saja dulu ada julukan buat saya juga. Anyway, kenapa pustakawan dari Laguna Hitam ini disebut “The Laminator”?

 They say she laminates you if you talk in the library

Karena kalau ada anak yang ngobrol bakal langsung dilaminating. *Ngakak* Idenya bisa aja ya? Di sini kalau anak-anak berisik, saya jadikan pembatas buku.

Also, they, say, the shelves are electrified

Hahaha.. jangankan menyembunyikan buku atau mencuri, ini mau ambil buku saja bisa-bisa kesetrum. Tapi kalau diingat-ingat, dulu memang perpustakaan kan tempat sakral yang tidak semua orang bisa bebas keluar-masuk. Gak kayak perpustakaan jaman now, apalagi perpustakaan tempat saya sekarang, anak-anak keluar masuk tak henti-henti saat istirahat, saat makan siang, saat pulang sekolah, sampai door-stopper rusak! Jadi sekarang nutup pintu manual aja, gak bisa nutup sendiri. *curhat dikit*

Storytime

Storytellingnya dong… bacain kartu katalog *HA-HA* ini aslik bikin saya geguligan ketawa. Zaman dulu jadi anak PKL, saya sempat lho bikin kartu katalog, pakai mesin ketik! Tiga spasi ke kanan, kalau salah tiada ampun. Secara tip-x buat mesin ketik juga gak murah dan kudu hemat *tekanan tingkat tinggi* Tapi kalau sudah jadi, kartu katalog itu rasanya ingin diajak selfie karena kesuksesan itu memang rasanya manis. Tapi dulu belum punya HP jadi hanya dalam ingatan saja. Adakah yang juga punya pengalaman membuat kartu katalog? Itu kenangan indah tak terlupakan, ya kan?

The dewey decimal system by heart

Kalau saya mah yang dirapal itu mantra supaya anak-anak kalau berjalan di dalam perpustakaan slow motion, mantra yang membuat suara anak-anak mengecil otomatis di perpustakaan, dan doa semoga buku yang mereka pinjam segera kembali dalam keadaan utuh. Biasanya ada saja yang mengembalikan dalam versi berkuah, alias ketumpahan air minum. Ketika ditanya, air mata langsung menggenang, dan menyalahkan mbak di rumah yang tidak menutup botolnya dengan rapat. Atau ada juga yang mengembalikan buku dengan pocelan bekas gigitan anjingnya. Se-literate itulah anak-anak di sini, sampai hewan peliharaannya juga diajak baca buku. *maap, gak sombong*

You'are Laminated

HA-HA-HA! Ini saya banget nih. Kalau ini sampai sekarang. Dari tempat saya duduk saja sudah tahu mana anak yang sedang main petak-umpet di dalam perpustakaan. Mereka suka tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arah meja saya. Biasanya awalnya saya pura-pura tidak lihat, tapi lalu saat anak itu tidak melihat, saya mengendap-endap menghampiri dan memegang pundaknya. Beberapa melompat karena kaget *ini seru sih* ada juga yang langsung pura-pura mencari buku. Tapi semua sama: saya tunjukkan jalan yang benar menuju pintu keluar :D

Perpustakaan Sekolah Dasar Bintaro

Itu dia rak buku yang sering menjadi tempat main petak-umpet. Monitor komputer saya memang luas, yang 48 inci. Mungkin menurut mereka, saya tidak akan melihat mereka saat main, karena kepala saya memang terhalang monitor. Tapi jangan remehkan pustakawan. Matanya seribu :D
Adakah yang memiliki pengalaman mirip dengan saya, menjadi The Laminator?

**

*Penulis: Pustakawan Sekolah Dasar di Bintaro. Yang sekarang sukanya main di instagram dengan akun @bookdragonmomma. Website: book-corner.blogspot.co.id.

Senin, 28 Januari 2019

Pustakawan Adalah Makhluk Bertangan Banyak

Oleh: Sylvia L’Namira*

Semacam gurita kali ya? Dan tak hanya itu, pustakawan juga harus-kudu-wajib multitalenta. Setidaknya itu yang saya rasakan setelah lebih dari dua puluh tahun bekerja di perpustakaan sekolah. Di awal karir saya *tsah, karir* sebagai pustakawan, tentu saja saya berpikir kalau pekerjaan saya hanya akan berhubungan dengan buku, dan bahan pustaka koleksi perpustakaan. Mengolah hingga siap dipinjam oleh pemakai perpustakaan. Tak lebih, tak kurang.

Namun ternyata tidak hanya itu saja, terlebih lagi di perpustakaan sekolah tempat saya bekerja sekarang. Memang saya memiliki seorang asisten, namun dia tidak memiliki latar belakang ilmu perpustakaan. Sengaja saya meminta yang lulusan SMA saja, karena sebelumnya asisten saya yang lulusan JIP mengundurkan diri untuk mengejar karir yang lebih. Wajar saja. Dan saya memang tak ingin memiliki asisten sarjana JIP, sebab mereka harusnya memiliki posisi lebih tinggi dari asisten.

Maka bisa ditebak, segala pekerjaan yang berhubungan dengan kepustakawanan, adalah bagian saya. Mulai dari mencari koleksi, membeli, mendata, mempromosikan, hingga proses cek in-out, pengejaran buku yang belum kembali, pelacakan buku yang hilang, peneroran orang tua murid yang anaknya belum mengembalikan buku, hingga ancaman jika buku yang hilang atau rusak tidak diganti. Ha-ha… kesannya saya penjahat kelas kakap ya.

Makhluk Bertangan Banyak
Sumber foto: nearsoft.com
Sebelum saya jelaskan lebih lanjut kenapa pustakawan mirip gurita, tolong jangan bayangkan perpustakaan sekolah ini seperti perpustakaan tempat anda bekerja. Mari saya gambarkan kondisinya. Perpustakaan dikunjungi SETIAP SAAT, SETIAP HARI oleh siswa sekolah ini dari kelas 1-6 yang jumlahnya mencapai 600 lebih anak. Sifat mereka tentu beda sesuai usianya. Kalau saya perhatikan dari kaca mata amatiran, perilaku mereka terbagi dalam tiga kelompok besar:

KELOMPOK 1.
Siswa kelas 1. Anak-anak golongan wangi minyak telon ini masih belum bisa move on dari masa-masa di TK, masih suka main, tidak bisa berjalan selalu berlari, kalau bicara teriak-karena-kalau-pelan-temen-aku-gak-denger-miss, dan dikit-dikit nangis padahal nggak ada apa-apa. Kalau diajak ngobrol seringnya nge-blank. Jadi habis lempar pertanyaan, suka terdengar suara jangkrik, krik-krik-krik…

KELOMPOK 2.
Terdiri dari kelas 2-4, merasa sudah besar, dan sudah mulai nyambung diajak ngobrol. Kalau ditanya mau cari buku apa sudah bisa jawab. Sudah enak lah komunikasinya, meski yang kelas 2 kadang masih terbawa kelakuan saat kelas 1.

KELOMPOK 3.
Kelompok besar, kelas 5-6. Nah, yang ini sudah (sok) gede, nggak bisa disuruh tenang, dan kalau ke perpustakaan cari pojokan, ngumpul cekakak-cekikik sama teman-temannya, kalau disuruh ngobrol di luar, langsung pura-pura ambil buku dan baca. *tarik napas, buang*

DIBUTUHKAN KELINCAHAN KAKI DAN TANGAN

Bayangkan satu situasi di mana saya sedang mengajar kelas perpustakaan. Kelas ini saya adakan untuk mengajarkan mereka hal mendasar tentang perpustakaan seperti penyusunan buku di rak, buku mana yang sesuai level membaca mereka, cara mencari buku di OPAC,  dan sejenisnya. Nah, bertepatan dengan kelas tersebut adalah jam istirahat kelas lain (di sini jam istirahat dibagi 3 di waktu yang berbeda). Otomatis anak-anak yang di kelas perpustakaan belajar cari-cari buku di database, sementara yang sedang istirahat dilayani di komputer yang lain, belum lagi yang minta dicarikan buku sudah menarik-narik baju saya. Asisten saya di mana? Dia sering ditarik ke kelas untuk menggantikan asisten guru yang tidak masuk. Jadilah saya sendirian lari sana-lari sini macam ballerina. Betapa chaosnya hari itu di perpustakaan, dan itu tidak hanya terjadi sekali, melainkan berkali-kali.

Makhluk Bertangan Banyak
Sumber foto: watsonillo.wordpress.com


MULTITALENTA

Pustakawan juga harus mengadakan kegiatan ekstra kurikuler. Saya tidak jago sih, tapi suka origami. Jadilah saya kebagian bikin klub origami. Pernah juga klub membaca, klub menulis, klub nobar. Saat ujian semesteran ikut menjaga di kelas, dan kalau UN dikirim keluar sekolah (kalau yang ini sih hepi saya, ganti suasana :D). Kadang menjadi editor dari tulisan anak-anak yang akan dijadikan buku, jadi literacy agent yang mencarikan penerbit untuk buku tersebut, dan nanti kalau sudah terbit jadi penjaga lapak deh jualan buku ;)) Selepas bel pulang sekolah, pustakawan berubah menjadi Nanny-Librarian yang ketitipan anak yang belum dijemput orang tuanya. Jika ada kegiatan sekolah, diberdayakan juga menjadi fotografer amatiran, jadi janitor yang angkut-angkut meja kursi, dan mungkin kalau bisa juga jadi badut sulap.

Di mana kursinya? Sedang dipinjam untuk rapat
Di mana kursinya? Sedang dipinjam untuk rapat 
Tipsnya: enjoy saja lah! Kalau dibawa stress dan mikir, “ini kan bukan kerjaan gue!” ya bakal makin stress deh. Yang buat saya bahagia adalah di sekolah ini tidak ada pengaruh jaman millennial dan perpustakaan yang sepi pengunjung. Perpustakaan selalu ramai, mereka wajib meminjam buku setiap hari, dan yang paling penting, tidak membawa gadget ke sekolah. Perpustakaan menjadi tempat yang nongkrongable. Biarlah berisik, yang penting mereka happy. Karena percayalah, menjadikan perpustakaan ini tempat yang tenang dan damai itu bagaikan membelah air di lautan (kalau Nabi Musa sih bisa). Ketenangan hanya didapat saat mereka libur.

Jadi, sudah dapat gambaran pustakawan itu makhluk jenis apa?

-salam gurita-

*Penulis adalah Pustakawan Sekolah Dasar di Bintaro. Website: book-corner.blogspot.co.id.