Senin, 11 Februari 2019

Suluh Pustakawan Desa

Mungkin tak banyak ruang yang mempertemukan pustakawan atau pengelola perpustakaan desa. Jika mereka dapat berjumpa, paling pada saat ada pelatihan pengelola perpustakaan desa. Yang pernah saya fasilitasi seperti pelatihan strategi pengembangan perpustakaan (SPP), kebanyakan pengelolanya masih merangkap sana-sini. Mungkin pula belum semua daerah memprogramkannya. Alih-alih membuat pelatihan semacam diklat pengelola, perpustakaan desa banyak yang belum punya pengelola tetap. Eh, bahkan masih banyak desa yang belum punya perpustakaan desa.

Saat ini, di banyak tempat yang saya kunjungi, perpustakaan desa beroperasi di kantor desa. Ibaratnya numpang, tentu agak sungkan untuk berbuat banyak. Belum lagi stigma yang melekat pada kantor (desa) biasanya terkesan normatif dan administratif, seakan bersanding dengan anggapan negatif terhadap perpustakaan. Kecuali jika Kepala Desa-nya visioner, asumsi itu tak berlaku. Dan memang faktanya, ada kepala desa yang sebenarnya paham dan perhatian pada perpustakaan desa.

Hanya saja tidak banyak kepala desa yang mampu menunjukkan komitmen pada perpustakaan desa. Banyak sih yang mengetahui pentingnya membaca dan keberadaan perpustakaan, namun sering menjadi wacana yang tak kunjung terealisasi. Faktornya bisa jadi karena prioritas pada kebutuhan dan usulan masyarakat yang cenderung ke pembangunan jalan (fisik), ataupun karena belum berani mengambil kebijakan yang non-populis. Apalagi kalau sudah bicara kalkulasi politik, dimana perpustakaan tak langsung menghadirkan efek pembangunan yang instan dan berpeluang diolah menjadi komoditas elektoral.

Tiga tahun terakhir, harapan akan pembangunan perpustakaan umum (desa) sebenarnya terpacu lewat Peraturan Menteri Desa (Permendes) tentang penggunaan dana desa, yang telah menerangkan perpustakaan sebagai salah satu prioritas. Hanya saja, aturan yang terbit itu tidak serta merta mendorong pemerintah desa, sebab masih banyak yang masih dilema (kalau bukan takut) menggunakan dana desa untuk perpustakaan. Ibaratnya menteri bukan pimpinan langsung, mereka tak merasa bergeming. Akhirnya, banyak pemerintah daerah lalu menggodok peraturan daerah, membuat peraturan bupati dan surat edaran untuk meneruskan amanat dari peraturan menteri. Malah aturan ini pun baru muncul jika digiatkan dan diupayakan dari instansi terkait literasi dan pegiat literasi.

Pustakawan desa memfasilitasi Pelatihan Internet Dasar untuk masyarakat 
Saat ini, pengelolaan perpustakaan desa masih banyak dikerjakan secara rangkap dari aparatur pemerintah desa. Ketimbang harus menugaskan khusus pengelola, yang juga berarti mengalokasikan belanja honorer dari anggaran desa. Meskipun sebenarnya, banyak juga yang sudah memiliki pengelola khusus, malahan ada yang berasal dari lulusan ilmu perpustakaan. Tapi biasanya mereka mengakui bahwa bekerja di desa untuk sementara waktu sambil menanti nasib baik bekerja di perpustakaan yang sanggup menjanjikan masa depan.

Beberapa orang yang saya jumpai di perpustakaan desa memang masih muda-muda. Mereka ada yang baru lulus kuliah dan masih berkuliah. Selebihnya ada yang merangkap sebagai guru PAUD, aparatur desa, atau perpustakaan tanpa pengelola. Yang terakhir saya sebutkan, wajah perpustakaan desa masih serupa properti tambahan di kantor desa yang bisa dibersihkan atau dirapikan seperlunya oleh siapa saja.

Hal lain yang berbeda saya temui, tentu keberadaan beberapa orang alumni ilmu perpustakaan yang mau mengabdi di perpustakaan desa. Meski menyadari gaji yang terima dalam sebulan hanya sebesar 250 rupiah. Keputusan berada di desa memang kadang menjadi pilihan terakhir saat mereka tak mendapat tempat (perpustakaan) di kota. Para alumni dari kampus yang sama, saling berebut tempat di perpustakaan perguruan tinggi (PTN/PTS) atau perpustakaan sekolah (swasta) yang lumayan menjamin bulanannya karena kota itu cukup ketat menerapkan standar upah minimun pekerja.

Padahal jika dihitung, jumlah perpustakaan (untuk semua jenis) lebih banyak ketimbang alumni ilmu perpustakaan. Mereka baru dicari bila suatu instansi akan diakreditasi, dan tentunya saat gelombang penerimaan ASN dibuka.

Kalau melihat kondisi dan perhatian terhadap perpustakaan desa yang belum memadai di desa, lulusan perpustakaan tentunya akan ragu memilih bekerja di sana. Namun saat ia memutuskan bekerja sebagai pustakawan desa, maka hal itu menarik dan perlu diapresiasi. Tidak saja karena masa depannya dipertaruhkan, tapi juga pembuktiannya dinanti untuk merubah perpustakaan desa yang situasinya serba terbatas. Memilih menjadi pustakawan desa seakan mematahkan asumsi banyak orang, bahwa lulusan perpustakaan juga bisa mengabdi, tak selamanya dimulai dari target penghasilan.

Hal demikian juga menyiratkan bahwa sarjana muda perpustakaan sudah punya niat kembali ke desanya membangun. Sekalipun, mereka yang kembali ke desa sering dipandang 'kalah'. Tentunya seorang pustakawan desa tak boleh pasrah dengan stigma macam itu, sebab udara segar pembangunan nyatanya mulai melirik desa. Tinggal berikhtiar mendorong kebijakan yang komitmen pada perpustakaan, maka ia akan menanti masa depan bersama perpustakaan.

Ets, siapakah yang dibilang pustakawan desa?

Penulis adalah Penata Pustaka di PUKE dan Pengetik di perpuseruenrekang.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar