Kamis, 26 Maret 2020

Ekoliterasi : Kontribusi Pustakawan Dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup dan Hutan


Setiap tahunnya, tanggal 21  Maret ditahbiskan sebagai Hari Hutan Hutan Internasional. Walaupun momen tersebut telah berlalu namun aksi penyelamatan hutan dan lingkungan tak boleh meredup. Pesan reflektif-nya adalah betapa pentingnya fungsi hutan sebagai komponen penyanggga dan penyeimbang kehidupan. Tanpa hutan niscaya kita akan merasakan betapa menderitanya kekurangan oksigen dan air serta bencana alam akan datang silih berganti. Jika alam telah rusak maka betapa tidak nyamannya hidup ini.
Telah digaungkan bahwa pelestarian hutan dan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun segenap lapisan masyarakat turut diharapkan kontribusinya. Bahkan pustakawan pun dituntut peran aktifnya dalam berkontribusi nyata dalam pelestarian hutan dan lingkungan. Beberapa diantara kalangan pustakawan tentu familiar dengan ‘ekoliterasi’ (serapan dari ecology: ilmu tentang bagaimana interaksi antar komponen penyusun kehidupan dan literacy: kemampunan mengidentifikasi, mengelola dan memanfaatkan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya). Konsep tersebut pertama kali dicetuskan oleh Fritjof Capra, seorang fisikawan berkebangsaan Austria, memperkenalkan konsep ekoliterasi pada tahun 1995. Sang penggagas berpikir bahwa kerusakan hutan dan lingkungan ini dominan disebabkan oleh perbuatan manusia yang memanfaatkan sumbedardaya alam secara eksploitatif baik secara individual maupun berkelompok. Bahkan perbuatan sepele seperti membuang sampah secara serampangan pun turut menyebabkan kerusakan lingkungan, iseng-iseng memburu burung pun secara tidak langsung akan merusak regenerasi tanaman hutan secara tidak langsung. Perlu diketahui bahwa burung yang memakan buah-buahan tumbuhan hutan turut membantu penyebaran biji tanaman dan renegerasi tanaman secara alami. Nah, kenapa manusia cenderung merusak lingkungan dan hutan? Beberapa klaim menyebutkan bahwa terbatasnya pengetahuan tentang ekoliterasi akan berdampak pada sikap yang abai terhadap kelestarian lingkungan. Dan keterbatasan pengetahuan disinyalir disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumber informasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan topik lingkungan hidup. Dalam konteks penyebarluasan informsi, pustakawan ibarat mercusuar yang memandu masyarakat disekitarnya agar tidak abai terhadap isu-isu lingkungan hidup.
Perlu disadari bersama bahwa mengubah pola pikir (mindset) yang berorientasi ramah lingkungan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun hal tersebut tidaklah mustahil dilakukan. Teringat akan piramida pengetahuan yang susunan dari bawah ke atas yang secara  berturut-turut terdiri atas aspek: mengenalkan untuk diketahui - membaca untuk memahami – kepahaman membentuk kebijaksanaan.  Dalam konteks tersebut, pustakawan selaku garda terdepan ekoliterasi dapat berkontribusi nyata dalam tataran mengenalkan konsep kelestarian lingkungan dan menyediakan akses serta  panduan kepada sumber-sumber informasi bertopik kelestarian lingkungan.
Menjelang penghujung akhir tahun 2019, Para pustakawan/ti Perpustakaan R.I Ardi Koesoema, sebuah perpustakaan khusus di bidang lingkungan hidup dan kehutanan pada Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berikhtiar mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan pelajar terhadap lingkungan hidup dan kehutanan. Pertimbangan kenapa program ekoliterasi menyasar para pelajar adalah mereka akan menjadi pemegang estafet kepemimpinan sebagai bagian proses regenerasi  10-20 tahun mendatang. Jika para pelajar tersebut memiliki pengetahuan dan pola pikir serta sikap yang pro-kelestarian lingkungan hidup dan hutan maka paham eksploitaisme sumberdaya alam akan teredam setidaknya 10-20 tahun lagi mendatang. Lalu, tim pustakawan PRI Ardi Koesoema merumuskan bahwa format ekoliterasi yang sesuai dengan karakteristik usia pelajar tingkat sekolah dasar adalah bentuk bercerita (story telling). Mengingat bercerita merupkan proses penyampaian pesan yang mengkombinasikan aspek verbal dan non-verbal. Pendongeng dapat mengemas pesan dalam bentuk suara dan gerakan atau ditunjang materi penunjang audio visual lainnya.
Pada event FORDA YOUTH bertema “Serunya Mengajak Anak-Anak Mencintai Lingkungan Melalui Dongeng’, Kak Bugi Sumirat selaku pendongeng melalui tokoh ‘Otan‘ menyampaikan pesan-pesan pentingnya pelestarian lingkungan kepada pada pelajar. Sekelumit ulasan peristiwa tersebut merupakan kontribusi nyata Pustakawan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan hutan. 
Sebagai penutup, menjaga kelestarian alam dan lingkungan bukan monopoli suatu kelompok atau profesi tertentu. Bahkan Pustakawan yang tidak bersinggungan langsung pun dapat berperan nyata dengan mengembangkan ekoliterasi. Program tersebut dirasa efektif dengan menyasar pelajar dengan materi pengenalan konsep pelestarian alam secar berkesinambungan dan sebaiknya program memadukan konsep eduianment sehingga pesan dapat tersampaikan secara efektif dan efisien. Semoga sekelumit cerita ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bahkan menginspirasi pustakawan lainnya dalam mengembangkan program ekoliterasi dalam format program yang bervariasi. Sekian. (RAH)

0 komentar:

Posting Komentar