Kamis, 07 Februari 2019

Satire dari Sang Profesor

"Hebatnya pustakawan, ia bisa jadi dosen. Tetapi dosen yang dari akademis, ia tidak bisa jadi pustakawan." 

Kalimat di atas terlontar dari seorang profesor pada pustakawan. Kalimat yang secara umum mengandung energi berlipat, sanjungan yang mampu menggolakkan darah siapapun yang mendengarkan kemudian bersemangat; dengan satu syarat: dia pustakawan.

Namun, apakah hanya demikian adanya, apakah kalimat itu bertafsir tunggal?

Tafsir, akan bergantung pada dua hal: siapa yang mengatakan, dan siapa yang menafsirkan lengkap dengan kondisi di sekelilingnya. Yang mengatakan akan dipengaruhi lingkungannya, penafsir juga demikian. Eloknya sebuah bahasa, dia bisa punya sejuta makna.

Bagi orang yang mendengarnya langsung, tentunya sangat  beruntung. Dia ada pada atmosfir sama dengan sang profesor, mesti tetap sangat mungkin bisa berbeda frekuensi.

Kalimat pembuka tulisan ini,  penulis kutip dari sebuah grup wa. Penulis fokus pada kalimatnya, bukan siapa yang mengabarkan adanya kalimat itu. Penulis tidak berada atau mendengar langsung, maka penulis berusaha membuka kemungkinan tafsir yang bisa muncul.

Tafsir pertama, sebagaimana kalimat itu apa adanya. Tidak dikurangi, tidak ditambahi. Kalimat yang mampu melambungkan imaji pustakawan, karena begitu disanjung. Apalagi sanjungan dari seorang profesor.

Namun, tentunya ada tafsir lain. 

***

Kalimat itu merupakan satire, agar siapapun yang mendengarnya  mau berfikir, dan membuka ruang-ruang tafsir baru. Entah satire sengaja, atau tidak disengaja. 

Kalimat pertama “hebatnya pustakawan, ia bisa jadi dosen”. Ini benar. Faktanya banyak pustakawan bisa (berubah) (men)jadi dosen. Seolah profesor itu ingin menyodorkan kenyataan, bahwa pustakawan begitu berhasrat menjadi dosen. Ini terjadi. Pustakawan tidak "kuat" dengan profesinya kemudian meninggalkannya, berpindah jadi dosen. Tidak mungkin pustakawan memiliki status formal ganda juga sebagai dosen. Tidak mungkin. Salah satu harus ditinggalkan.

“Tetapi dosen yang dari akademis, ia tidak bisa jadi pustakawan”.  demikian kalimat berikutnya dari sang profesor. Sebenarnya dia ingin menekankan, bahwa tidak ada dosen yang meninggalkan status dosennya untuk jadi pustakawan. Dengan kalimat keduanya, dia justru melindungi muruah profesinya sebagai seorang dosen, yang tidak bisa diombang-ambingkan oleh profesi lain, sebagaimana pustakawan pada kalimat pertama. 

“Hebatnya pustakawan, dia sangat ingin  berubah jadi dosen. Tetapi, tidak ada dosen yang mau berubah jadi pustakawan”, demikian kalimat asal asli dari satire tersebut.

***

Saudara sekalian. Kita juga bisa mengoreksi pernyataan sang profesor. Jika maksud kalimat di atas adalah si pemegang status formal pustakawan bisa menjalankan peran dosen, maka kalimat yang tepat adalah: Hebatnya pustakawan, ia bisa jadi “dosen”. Dosen dalam tanda petik. Ini sangat mungkin, karena toh sang profesor itu mengatakan, bukan menuliskan. Sehingga kita tidak tahu, kata dosen itu menggunakan tanda petik atau tidak.  Jika kata dosen memang dalam tanda petik, maka ini mengharuskan adil pada kalimat kedua. Jika dosen dalam tanda petik, maka pustakawan pada kalimat kedua juga harus tanda petik.

Kalimat kedua akan bernilai benar jika: dosen yang dari akademis, juga bisa jadi “pustakawan”. Dosen juga bisa menjalan peran seorang pustakawan dengan status formal tetap dosen. 

Nah, terserah pembaca: mau menelan kalimat dosen tersebut mentah-mentah, mengangapnya sebuah satire, atau mengoreksinya.


Apakah tafsir pertama pasti positif, sedangkan kedua dan ketiga bernilai negatif? belum tentu. Justru tafsir pertama yang berbentuk sanjungan itu yang sangat mungkin menjerumuskan pustakawan.


Sambisari, pagi hari
Jumadilakir-1952 Be



[[ selesai ]]

0 komentar:

Posting Komentar