Minggu, 17 Februari 2019

Pengalaman Saya Bekerja di Tiga Perpustakaan Agar Dapur Tak Sekedar Ngebul

Kalau ingin lebih, ya harus usaha lebih"
Halo teman-teman semuanya? Semoga sehat selalu dihari libur ini. Tulisan ini iseng saja sembari berburu koleksi digital. Koleksi digital untuk apa? Nantinya teman-teman juga tahu kalau sudah membaca tulisan ini sampai akhir. Ingat! Kalau sampai akhir loh ya.

Sampai sekarang, jika saya ditanya oleh seorang teman dekat misalnya, "kerja dimana?" Maka, akan saya jawab di tiga perpustakaan. Kok bisa? Iya pastinya bisa donk. Berpikir kreatif itu bisa datang manakala kalau sudah berhubungan dengan fulus, he..he..

Bekerja di tiga perpustakaan itu, pastinya ada tujuanya. Selain karena memang senang dengan dunia perpustakaan, faktor fulus seperti yang saya bilang itu juga masuk dalam daftar urutan paling urgent. Paling tidak, solusi dalam ketahanan ekonomi keluarga minimal bisa tercukupi.

Serba Cukup

Di Grup Pustakawan Blogger, persoalan ketahanan ekonomi pustakawan sering dilontarkan oleh Kang Yogi misalnya dengan istilah asal dapur ngebul. Bukan tanpa alasan Kang Yogi menyebutkan istilah tersebut karena memang isu kepustakawanan yang mendera adalah salah satunya karena faktor gaji yang minim khususnya di perpustakaan-perpustakaan sekolah tertentu. Saya tidak pukul rata. Bahkan, Paijo pernah menyinggung tentang itu di blog pribadinya.

Menyoal asal dapur ngebul ini juga mengingatkan perkataan emak saya misalnya, aja sampe pedaringan gelimpang.  Artinya kurang lebih sama dengan asal dapur ngebul. Nah, dari situ juga yang membuat saya bersemangat untuk bekerja di tiga perpustakaan. Selain itu, tentu saja karena saya teringat pesan dari teman babeh yang membeli Vespa saya. Katanya, "baka pegawai pengen ana luwihe, ya kudu duwe usaha sampingan." Artinya kalau seorang pegawai itu ingin ada lebihnya, ya harus punya usaha sampingan.

Lantas, apa maksudnya agar dapur tak sekedar ngebul? Begini, kalau biasanya telinga kita lazim mendengar asal dapur ngebul, maka hemat saya ada kesan hanya menyangkut soal pangan saja. Padahal, saya tentu ingin lebih dari itu. Tapi, bukan berarti saya merasa belum cukup, lalu tidak bersyukur. Bukan! Alhamdulillah, selama ini lebih dari cukup. Ya, namanya juga usaha, kalau ingin lebih, ya harus melakukan usaha lebih juga bukan? Singkatnya begini, agar dapur tak sekedar ngebul itu inginya serba cukup. Misalnya anggap saja ketika ingin ngasih orang tua, uangya cukup. Ingin membeli rumah, uangnya juga cukup, ingin ke tanah suci, uangnya cukup. Ingin membiayai pendidikan anak, uangnya cukup. Ingin membeli kendaraan, uangnya cukup. Ingin jadi donatur pesantren, masjid, atau buku, juga cukup. Pendek kata, serba cukup. Semoga ya Allah. Amin.


Perpustakaan Keempat

Ok, kembali lagi dengan tiga perpustakaan diatas. Lantas, dimana saja sih tiga perpustakaan itu? Perpustakaan pertama, yakni di perpustakaan khusus (lembaga) dibidang nuklir. Agar tak tertukar, saya sebut nama instansinya langsung, yakni BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir). Sengaja saya sebut langsung, soalnya sering ketukar sama BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional). Memang sih, lahirnya BAPETEN itu tidak terpisahkan dari BATAN karena dulu bagian dari salah satu unit kerja yang ada di BATAN. Tapi, sekarang sudah satu level. Sama-sama LPNK. Sementara itu, perpustakaan kedua adalah perpustakaan pribadi di rumah dan perpustakaan ketiga adalah perpustakaan digital di dunia internet.

Perpustakaan pertama, jam kerjanya jelas, sebagai pustakawan, 8 jam sehari dan penghasilannya tetap. Pemustakanya juga jelas, hanya para pegawai lingkungan sendiri walaupun orang luar boleh datang, tapi hanya sekedar membaca. Di perpustakaan ini, saya masih berproses menjadi seorang pustakawan agen ganda yang harus suka dengan dunia radiasi (baca: Mampukah Saya Menjadi Double Agent?)

Perpustakaan kedua, sebagai kepala perpustakaan sekaligus pustakawannya, jam kerjanya tak terbatas. Pemustakanya keluarga sendiri mulai dari istri, anak, keponakan, paman, bibi, pokoknya yang masih ada unsur kerabat. Selain itu juga teman dan tetangga. Tak ada gaji bekerja di perpustakaan pribadi ini. Tapi, kalau dikaitkan untuk mendukung penghasilan, maka perpustakaan ini manfaatnya begitu besar karena sebagai amunisi dalam menulis. Pastinya menulis untuk memperoleh fulus. Sejatinya masalah fulus itu nomor ke berapa. Hal terpenting adalah praktik sebagai pustakawan aktif (baca: Disrupsi, Pustakawan Radikal, dan Donatur Buku ). Walaupun, sebelum ada istilah itu, bekerja di perpustakaan keluarga sudah saya lakukan sejak lama. Bisa dikatakan pengumpulan koleksinya dari mulai menjadi mahasiswa (kisahnya bisa dibaca di ebook Dua Dunia Seirama). Dahulu perpustakaan pribadi itu saya namakan Lovely Mom's Library. Saya ingat betul, buku pertama yang dibeli saat itu adalah Men Are from Mars, Women Are from Venus yang ditulis John Gray. Dalam perpustakaan keluarga juga sama, ada budget pengembangan koleksi, layanan peminjaman, minimal saya promosi orang-orang terdekat dulu.

Men Are from Mars, Women Are from Venus
Koleksi pertama yang saya beli untuk perpustakaan pribadi sejak tahun 2002
Perpustakaan ketiga pemustakanya tak terbatas. Semua pengunjung internet yang memang memerlukan informasi di perpustakaan digital yang saya himpun. Penghasilan juga tak terbatas, dalam arti kadang kecil, kadang juga besar atau bahkan, bisa nihil. Tergantung fluktuasi pengunjung. Jam kerja di perpustakaan digital juga bebas dan tak ada ruang secara fisik. Senjatanya cuma laptop dan koneksi internet. Satu lagi, tidak malas karena harus berburu banyak bahan koleksi di hutan belantara yang kejam. Khusus yang ketiga ini, sengaja saya tidak pernah promosikan ke siapa-siapa. Biarlah mesin pencari yang mengantarkan mereka para pencari informasi sampai ke perpustakaan digital yang saya buat itu. Jadi, kalau ada yang nanya, "emang alamat perpustakaan digitalnya apa?" Maka dengan berat hati, tidak akan saya jawab. he....he... Biarlah perpustakaan digital saya itu tetap misterius yang dikelola pustakawan tanpa nama. Ciye..he..he..

Sebenarnya, ada lagi keinganan saya untuk bekerja di perpustakaan yang keempat sebagai kepuasan batin. Dimana itu? Perpustakaan masjid atau musola. Ya, saya kadang berkhayal sembari jadi marbot sekaligus jadi pustakawan masjid atau musola. Enak kali ya.

Usaha Lebih

Perpustakaan pertama dan kedua saya anggap teman-teman sudah tahu. Sedangkan perpustakaan ketiga, mungkin masih ada yang belum paham dari mana memperoleh penghasilannya? Sementara ini saya dapatkan hanya dari iklan pihak ketiga. Itulah kenapa penghasilanya tak terbatas karena memang bergantung pada jumlah pengunjung.

Ok, segitu dulu celoteh saya hari ini. Namanya juga menulis iseng sembari berburu koleksi untuk perpustakaan digital saya agar dapur tak sekedar ngebul. Nanti kapan-kapan saya lanjutkan. Mungkin, bisa jadi nanti saya sedikit mengulas tentang kewirausahaan apa saja yang cocok untuk pustakawan. Bagaimana dengan teman-teman? Punya cerita? Boleh dong tulis dikolom komentar atau tulis di Blog Pustakawan Blogger ini.

Oh iya, terakhir, satu kesimpulan yang bisa diambil garis besarnya, jo lali, kalau ingin lebih, ya harus usaha lebih. Teman-teman pasti sudah tahu bukan? Pustakawan gitu loh!

Salam,
#pustakawanbloggerindonesia

3 komentar:

  1. Pengalaman yg menurut saya memadukan unsur fisik dn rohani menjadi sesuatu yg ideal dan indah...

    BalasHapus
  2. Ane masih terus berproses...antara keseimbangan fisik dan rohani.hahahaha

    BalasHapus
  3. Pengalaman yang menarik nih, bisa jadi model buat pustakawan lain nih Mas Murad. Salam Vespa.

    BalasHapus