Selasa, 22 Maret 2022

Flexing Ala Perpustakaan

 

Beberapa minggu ini, dunia media sosial dihebohkan dengan kasus-kasus para crazy rich yang terkenal dengang konten-konten beraroma flexing. Di tengah himpitan ekonomi ditambah pandemi yang tak kunjung usai selama dua tahun belakangan ini, justru banyak orang yang melakukan flexing tanpa memikirkan perasaan orang lain. 

Jika kita pernah mendengar lagu No Flex Zone yang dinyanyikan oleh Rae Sremmud sekitar tujuh tahun yang lalu dan telah ditonton lebih dari 316.000 juta viewers. Kurang lebih arti flex dalam lirik lagu ini adalah sebagai tempat orang-orang santuy, menjadi diri sendiri alias tidak berpura-pura menjadi orang lain.

Apa itu flexing? Adalah sebuah istilah untuk menyebut seseorang yang berperilaku pamer kekayaan untuk beberapa tujuan tertentu sesuai yang mereka inginkan. Flexing dilakukan dengan tujuan mereka ingin diakui dengan kekayaan yang mereka miliki, padahal belum tentu semua yang mereka pamerkan itu adalah benar-benar milik mereka. Sejatinya, orang-orang kaya yang sesungguhnya tidak membutuhkan pengakuan orang lain untuk terlihat kaya.

Orang-orang yang melakukan flexing memiliki tujuan yang berbeda-beda. Di Cina, banyak sekali bertaburan perempuan-perempuan yang tampil di media sosial memamerkan kegiatan mewah mereka meski sebenarnya itu adalah sandiwara. Bahkan ada semacam penyewaan foto di pesawat, sesi pemotretan minum teh, dan sebagainya. Salah satunya yang cukup menggemparkan di tahun 2019, seorang vlogger bernama Qiao Biluo yang selama ini selalu tampil menggunakan filter. Perempuan yang dikenal dengan sebutan 'Dewi Imut' ini ternyata ibu-ibu yang sudah berusia 58 tahun dan secara fisik juga jauh dari yang ada di vlog menggunakan filter dengan dirinya yang asli.

Lain halnya dengan di Korea Selatan, belum lama ini juga media sosial dihebohkan dengan selebgram bernama Song Ji A yang sempat muncul di acara Single's Inferno tersandung skandal memakai barang-barang branded tapi KW alias palsu. Mungkin, di Indonesia jika kita memakai barang-barang palsu bukan suatu masalah, tapi berbeda dengan di Korea Selatan yang merupakan suatu aib jika memakai barang palsu apalagi Song Ji A ini selain selebgram juga muncul di layar kaca. Beratnya lagi jika hidup di Korea Selatan, cancel culture sangat terasa di sana. Selain pihak televisi yang tidak lagi menampilkan scene Song Ji A, dia juga meminta maaf di laman instagramnya dan juga menghapus postingan-postingan yang menampilkan dirinya dengan barang-barang KW tersebut.

Sedangkan di Indonesia sendiri, sekarang ini flexing identik dengan para affiliator yang melakukan modus trading padahal hanyalah judi online. Lalu kenapa affiliator ini melakukan flexing? Sebenarnya itu sebagai salah satu trik marketing mereka. Semakin mewah sesuatu yang mereka pamerkan seperti rumah, mobil, jam, motor, jet pribadi dan sebagainya, berarti semakin takjub yang menonton konten mereka, dan menganggap jika para affiliator itu betapa mudahnya uang mengalir ke mereka hanya dengan mengikuti trading padahal judi online. Orang kaya sesungguhnya lebih mementingkan kualitas, bukan fokus ke brand.

Flexing apa hubungannya dengan perpustakaan? Tanpa disadari, baik pustakawan maupun para tenaga perpustakaan yang bekerja di perpustakaan-perpustakaan juga melakukan flexing. Baik saat mengikuti lomba atau akreditasi, tak jarang perpustakaan meminjam atau memanipulasi sarana dan pra sarana yang ada. Kok bisa? Apa sajakah itu?

PENGEMBANGAN KOLEKSI. Tak jarang saat mengikuti lomba ataupun akreditasi, koleksi yang ada sebagian adalah koleksi pinjaman. Alias bukan benar-benar koleksi perpustakaan tersebut. Masalah koleksi menjadi salah satu masalah krusial di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Sebagian besar perpustakaan sekolah di Indonesia didominasi oleh buku-buku pelajaran. Kenapa? Karena dalam juknis BOS yang dikeluarkan pemerintah memang mewajibkan untuk pembelian buku pelajaran. Diperbolehkan membeli buku referensi jika buku pelajaran sudah memenuhi sejumlah murid yang ada di sekolah tersebut. Sedangkan buku pelajaran sering berganti jika kurikulum berganti. Buku referensi seolah-seolah menjadi nomor sekian untuk diprioritaskan demi menjunjang kurikulum pembelajaran yang selalu silih berganti. Sedangkan dalam akreditasi perpustakaan yang borangnya dibuat oleh Perpustakaan Nasional, salah satu syarat mengikuti akreditasi adalah jika sebuah perpustakaan memiliki 1.000 judul buku. Sayangnya, buku pelajaran yang jumlahnya banyak itu tidak dihitung koleksi perpustakan. Hal itu tentu mempengaruhi poin pengembangan koleksi yang tidak hanya berupa buku, tapi juga koleksi berupa majalah dan koran yang terbatas. 

SARANA DAN PRASARANA PERPUSTAKAAN. Semakin besar perpustakaan, akan semakin besar peluang poin yang didapatkan sebuah perpustakaan terhadap penilaian lomba maupun akreditasi perpustakaan. Kebalikannya, tak jarang perpustakaan terutama perpustakaan sekolah yang hanya sebatas ruang kelas, akan kalah dengan perpustakaan yang sudah memiliki gedung sendiri. Meski perpustakaan sekolah sudah seaktif mungkin, dalam hal pengolahan dan pengembangan perpustakaan, akan kalah dengan perpustakaan yang memiliki tampilan fisik lebih besar dalam soal ruang karena tentunya akan mempengaruhi ke penataan ruang baca, ruang sirkulasi, ruang multimedia, dan ruang-ruang lainnya. Tak jarang, ada juga perpustakaan yang ditempatkan di ruang sementara ke tempat yang lebih baik hanya demi terlihat megah saat penilaian lomba atau akrditasi perpustakaan. Tentu itu akan mempengaruhi soal kebersihan, pencahayaan, sirkulasi udara dan lokasi perpustakaan. Dan sedihnya akan dikembalikan ke ruang aslinya jika penilaian sudah selesai.

Tidak hanya ruangannya saja, sarana dan prasarana juga meliputi isi dari perpustakaan tersebut. Misalnya, rak-rak yang tersedia di perpustakaan meliputi rak buku, rak majalah, rak surat kabar, rak audio visual, rak buku referensi dan rak display buku baru. Tidak hanya itu, sarana penunjang lainnya berupa loker penitipan tas, rak penyimpanan katalog, papan pengumuman, meja baca, meja sirkulasi, meja kerja petugas, kursi baca, televisi, komputer untuk pengolahan, komputer untuk pemustaka, wifi, document scanner, VCD & DVD player, sampai CCTV. Tentu tidak semua perpustakaan sanggup memiliki semuanya. Tak jarang juga, demi memenuhi standar penilaian, perpustakaan dipinjamkan dari ruangan lainnya yang tentunya ini menjadi semacam flexing yang dilakukan perpustakaan: menampilkan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka miliki demi tujuan tertentu.

PELAYANAN PERPUSTAKAAN. Semakin besar sebuah perpustakaan, tentu akan semakin lengkap macam-macam ruang layanan yang disediakan. Soal layanan, menyangkut jam buka perpustakaan. Tak jarang, pustakawan atau tenaga perpustakaannya tidak bekerja sesuai jam kerja, yang tanpa disadari juga mempengaruhi jam buka perpustakaan. Dan juga merugikan pemustaka dalam hal pelayanan. Apalagi zaman pandemi seperti ini yang membatasi para pengunjung yang datang.

Begitu juga masalah peminjaman buku. Banyak juga perpustakaan yang mengaku sudah menggunakan aplikasi untuk perpustakaan, yang ternyata sebatas meng-install aplikasi tersebut, belum digunakan secara optimal. Yang lebih miris lagi adalah ada juga perpustakaan yang tidak memiliki tenaga perpustakaan yang mengerti masalah IT, dan mau tidak mau harus bergantung dengan tenaga di luar perpustakaan.

Promosi perpustakaan. Sekarang mulai banyak perpustakaan melakukan promosi perpustakaan melalui media sosial. Tentu dokumentasi menjadi modal paling utama dalam hal promosi melalui media sosial. Nah, ada juga perpustakaan yang hanya sekedar mendokumentasikan kegiatan padahal nyatanya kegiatan tersebut tidak dijalankan. Jadi hanya tempelan semata.

TENAGA PERPUSTAKAAN. Karena terbatasnya pustakawan dan tenaga perpustakaan yang berada di perpustakaan, khususnya perpustakaan sekolah, seringkali sebuah perpustakaan memanipulasi data pustakawan atau tenaga perpustakaan yang bekerja di perpustakaan tersebut. Apalagi tenaga perpustakaan menjadi salah satu poin penting dalam penilaian lomba maupun akreditasi perpustakaan. Misalnya di perpustakaan sekolah, tak jarang nama-nama guru dimasukkan ke dalam struktur perpustakaan demi memenusi syarata padahal realitanya sehari-hari mereka tidak berada di perpustakaan, alias menumpang nama saja.

PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN. Hal ini diantaranya meliputi program kerja sebuah perpustakaan, anggaran, dan kerjasama. Program kerja seringkali hanya menjadi teori semata karena tidak semua dijalankan. Masalah anggaran juga kerap dimanipulasi datanya. Begitu juga dengan kerjasama, tak jarang hanya formalitas semata tapi dalam praktekkan tidak benar-benar di jalankan.

Sebuah perpustakan mendapatkan nilai tinggi saat penilaian lomba ataupun akreditasi perpustakaan itu memang penting, tapi lebih penting lagi adalah kejujuran para pustakawan dan tenaga perpustakaan terhadap perpustakaan yang mereka kelola. Ketika kita sebagai pustakawan atau tenaga perpustakaan pernah melakukan beberapa hal yang ada di ulasan, tanpa disadari kita juga melakukan flexing layaknya para affiliator melakukan janji-janji manis kepada calon member yang akan mereka rekrut dalam trading padahal nyatanya hanyalah judi online.

Ditulis oleh

Luckty Giyan Sukarno

Pustakawan SMA Negeri 2 Metro, Lampung

https://luckty.wordpress.com/

http://catatanluckty.blogspot.co.id/

http://perpus.sman2metro.sch.id/

https://www.instagram.com/lucktygs/

https://www.instagram.com/perpussmanda/

 

1 komentar:

  1. Betul sering terjadi, tetapi ada jg juri lomba atau asedor yg cukup jeli melihat kenyataan dan itu sdh diperhitungkan. Juri/asesor bisa curiga dan berusaha cari tau yg sesungguhnya, yg bukan flexing

    BalasHapus