Kamis, 14 Maret 2019

Potensi Lain dari Pustakawan

Saya buka tipe orang yang suka debat kusir. Melihat pekerjaan seorang pustakawan dari satu sudut saja. Misalkan, tidak sedikit orang menganggap pustakawan itu bergelut dengan dunia buku. Mulai dari merencanakan koleksi yang ingin dibeli, hingga akhirnya koleksi tersebut berada di rak dan bisa dipinjam pemustaka.

Dulu, pandangan seperti itu melekat pada diri saya. Sebuah pertanyaan mendasar sering terlontar pada diri sendiri.

Rak buku di lantai empat Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
Rak buku di lantai empat Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga/Dok. pribad

“Apa mungkin hanya itu (bergelut dengan buku) yang saya kerjakan di masa mendatang?”


Pertanyaan-pertanyaan yang mirip juga sering terpikirkan. Hingga masa kuliah berlangsung, benar adanya, duniaku hanya bergelut dengan buku. Datang ke sekolah-sekolah memberi materi motivasi Minat Baca. Hingga bergabung dengan kawan mengolah perpustakaan SD.

Apa yang saya kerjakan? Menyampul buku, memasukkan data ke Slims, dan menata koleksi di rak perpustakaan. Sampai di sana, aku merasa bangga. Memang ini nanti yang aku kerjakan di waktu mendatang.

Di tambah, menjelang lulus kuliah, saya mencari pengalaman bekerja di perpustakaan kampus sebagai pekerja paruh waktu. Tugas saya kembali menata kembali buku-buku selepas dari proses pengembalian. Bagi pustakawan, istilahnya adalah “Shelving”.

Tugas saya bersama tim memastikan koleksi tersebut tepat di rak yang seharusnya, dan mudah ditemu-kembali pemustaka yang ingin meminjamnya. Satu tahun saya menikmati proses tersebut. Hingga saya sadar, memang ini bagian dari tugas pustakawan.

Lambat laun, saya mulai sadar bahwa pekerjaan yang saya emban bukan sekadar koleksi tercetak. Bukan hanya tumpukan buku. Namun lebih. Di dunia kerja yang sebenarnya, sering pekerjaan lebih luas cakupannya. Mau tidak mau, kita harus mengikuti arusnya.

Tahun pertama saya bekerja, perpustakaannya hanya dipenuhi koleksi seperti jurnal, buku-buku referensi, dan tesis. Ini artinya tidak seperti yang saya bayangkan. Tak ada proses sirkulasi, hanya baca di tempat. Cukup sederhana.

Percayalah, yang menurut kita sederhana itu pasti ada kejutan-kejutan. Di tahun yang sama, saya mendapatkan tugas tambahan sebagai Administrator Jurnal. Sebagai orang awam dan belum pernah mendapatkan materi tentang jurnal di kampus. Saya belajar sendiri melalui artikel-artikel yang ada tentang Open Journal System (OJS).

Di sini, saya mulai paham bagaimana proses mengumpulkan artikel, menyeleksi, mengedit, mengkomunikasikan dengan editor, reviewer, penulis, hingga mengunggah di OJS. Rasanya pekerjaan ini membutuhkan tenaga lebih dibanding sebagai Pustawakan (di tempat kerjaku).

Tahun-tahun berikutnya, OJS sedikit lancar. Hingga terbitlah jurnal yang bisa diakses oleh pembaca khalayak umum. Saya menikmati pekerjaan ini sembari tetap menjalani staf perpustakaan di instansiku. Oya, di tempat kerja, staf perpustakaan hanya saya sendiri.

Kejutan demi kejutan kembali datang. Terlebih ketika instansi ingin membuat website resmi. Kembali, saya didapuk mengurusi website karena di tempatku bekerja stafnya hanya ada empat orang. (1 staf akademik. 1 pembantu staf akademik, 1 keuangan, dan satunya adalah saya).

Di website instansi tugas saya tentunya menulis segala berita yang berkaitan dengan aktivitas instansi. Misalkan ada kuliah tamu, fiedtrip, kursus, kunjungan tamu, dan yang lainnya. Sedikit demi sedikit saya kembali menggeluti dunia tulis-menulis yang sempat terbengkalai.

Sedikit ada modal bisa menulis di blog, saya mempraktikkannya di pekerjaan sekarang. Secara tidak langsung, tugas saya di instansi menjadi tiga. Staf perpustakaan, admin jurnal, dan content writer di website instansi. Uniknya, di instansi ada prodi dan pusat kajian. Saya kembali didapuk menjadi penulis tunggal di dua website tersebut secara bersamaan.

Untungnya, saya di khalayak umum lebih dikenal sebagai blogger, lebih spesifiknya travel blogger. Sehingga tugas tambahan membuat berita di portal instansi bagi saya menyenangkan. Pekerjaan itu sampai sekarang masih saya tekuni.

Bergelut dengan berita di portal membutuhkan dukungan yang lainnya. Harus ada foto dokumentasi yang bercerita, hingga mengabadikan tiap momen melalui visual. Pihak instansi merasa saya mumpuni diberi tanggung jawab yang lebih. Pada akhirnya tahun 2018, tugas saya kembali bertambah. Benar-benar mengasyikkan!

Disokong dari instansi sebuah kamera mirrolens yang cukup mumpuni (meski saya sendiri punya peralatan sendiri), dan handycam. Sembari menyerahkan dua barang ini, atasan memberi saya tugas tambahan sebagai fotografer instansi. Tugasnya memotret dan merekam setiap aktivitas jika ada agenda.

Sudah kepalang basah, saya harus belajar memotret lebih baik dan tentunya membuat cuplikan video lebih baik pula. Tentu saya harus mendalami ilmu pemotretan dan membuat video klip. Awalnya memang terasa berat, lama-lama saya menikmati proses ini.

Mau tahu tugas saya sekarang di instansi? Staf Perpustakaan, Admin Jurnal, Content Writer, Fotografer, plus Videografer. Ditambah semua admin media sosial. Saya kerjakan sendirian layaknya pendekar.

Ditilik dari awal hingga sekarang, saya percaya tiap orang mempunyai potensi yang beragam. Pustakawan-pustakawan di berbagai tempat mempunyai banyak cerita yang menarik dibagikan. Dari sini, saya tahu bahwa pustakawan tak hanya bergulat dengan buku, namun bisa berkembang mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman.

Mulai dari sekarang, coba kita pahami potensi apa yang ada dalam diri kita untuk bisa disalurkan sebagai pustakawan. Jika kita tekuni dan jalani prosesnya, tentu kita bisa menjadi lebih baik, dan harapannya, pundi-pundi tabungan pun mengalir dari banyak arah. 

Nasirullah Sitam
Blog: https://www.nasirullahsitam.com/

Travel Blogger & Staf Perpustakaan
Lokasi: Yogyakarta, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar