Senin, 28 Januari 2019

Pustakawan Adalah Makhluk Bertangan Banyak

Oleh: Sylvia L’Namira*

Semacam gurita kali ya? Dan tak hanya itu, pustakawan juga harus-kudu-wajib multitalenta. Setidaknya itu yang saya rasakan setelah lebih dari dua puluh tahun bekerja di perpustakaan sekolah. Di awal karir saya *tsah, karir* sebagai pustakawan, tentu saja saya berpikir kalau pekerjaan saya hanya akan berhubungan dengan buku, dan bahan pustaka koleksi perpustakaan. Mengolah hingga siap dipinjam oleh pemakai perpustakaan. Tak lebih, tak kurang.

Namun ternyata tidak hanya itu saja, terlebih lagi di perpustakaan sekolah tempat saya bekerja sekarang. Memang saya memiliki seorang asisten, namun dia tidak memiliki latar belakang ilmu perpustakaan. Sengaja saya meminta yang lulusan SMA saja, karena sebelumnya asisten saya yang lulusan JIP mengundurkan diri untuk mengejar karir yang lebih. Wajar saja. Dan saya memang tak ingin memiliki asisten sarjana JIP, sebab mereka harusnya memiliki posisi lebih tinggi dari asisten.

Maka bisa ditebak, segala pekerjaan yang berhubungan dengan kepustakawanan, adalah bagian saya. Mulai dari mencari koleksi, membeli, mendata, mempromosikan, hingga proses cek in-out, pengejaran buku yang belum kembali, pelacakan buku yang hilang, peneroran orang tua murid yang anaknya belum mengembalikan buku, hingga ancaman jika buku yang hilang atau rusak tidak diganti. Ha-ha… kesannya saya penjahat kelas kakap ya.

Makhluk Bertangan Banyak
Sumber foto: nearsoft.com
Sebelum saya jelaskan lebih lanjut kenapa pustakawan mirip gurita, tolong jangan bayangkan perpustakaan sekolah ini seperti perpustakaan tempat anda bekerja. Mari saya gambarkan kondisinya. Perpustakaan dikunjungi SETIAP SAAT, SETIAP HARI oleh siswa sekolah ini dari kelas 1-6 yang jumlahnya mencapai 600 lebih anak. Sifat mereka tentu beda sesuai usianya. Kalau saya perhatikan dari kaca mata amatiran, perilaku mereka terbagi dalam tiga kelompok besar:

KELOMPOK 1.
Siswa kelas 1. Anak-anak golongan wangi minyak telon ini masih belum bisa move on dari masa-masa di TK, masih suka main, tidak bisa berjalan selalu berlari, kalau bicara teriak-karena-kalau-pelan-temen-aku-gak-denger-miss, dan dikit-dikit nangis padahal nggak ada apa-apa. Kalau diajak ngobrol seringnya nge-blank. Jadi habis lempar pertanyaan, suka terdengar suara jangkrik, krik-krik-krik…

KELOMPOK 2.
Terdiri dari kelas 2-4, merasa sudah besar, dan sudah mulai nyambung diajak ngobrol. Kalau ditanya mau cari buku apa sudah bisa jawab. Sudah enak lah komunikasinya, meski yang kelas 2 kadang masih terbawa kelakuan saat kelas 1.

KELOMPOK 3.
Kelompok besar, kelas 5-6. Nah, yang ini sudah (sok) gede, nggak bisa disuruh tenang, dan kalau ke perpustakaan cari pojokan, ngumpul cekakak-cekikik sama teman-temannya, kalau disuruh ngobrol di luar, langsung pura-pura ambil buku dan baca. *tarik napas, buang*

DIBUTUHKAN KELINCAHAN KAKI DAN TANGAN

Bayangkan satu situasi di mana saya sedang mengajar kelas perpustakaan. Kelas ini saya adakan untuk mengajarkan mereka hal mendasar tentang perpustakaan seperti penyusunan buku di rak, buku mana yang sesuai level membaca mereka, cara mencari buku di OPAC,  dan sejenisnya. Nah, bertepatan dengan kelas tersebut adalah jam istirahat kelas lain (di sini jam istirahat dibagi 3 di waktu yang berbeda). Otomatis anak-anak yang di kelas perpustakaan belajar cari-cari buku di database, sementara yang sedang istirahat dilayani di komputer yang lain, belum lagi yang minta dicarikan buku sudah menarik-narik baju saya. Asisten saya di mana? Dia sering ditarik ke kelas untuk menggantikan asisten guru yang tidak masuk. Jadilah saya sendirian lari sana-lari sini macam ballerina. Betapa chaosnya hari itu di perpustakaan, dan itu tidak hanya terjadi sekali, melainkan berkali-kali.

Makhluk Bertangan Banyak
Sumber foto: watsonillo.wordpress.com


MULTITALENTA

Pustakawan juga harus mengadakan kegiatan ekstra kurikuler. Saya tidak jago sih, tapi suka origami. Jadilah saya kebagian bikin klub origami. Pernah juga klub membaca, klub menulis, klub nobar. Saat ujian semesteran ikut menjaga di kelas, dan kalau UN dikirim keluar sekolah (kalau yang ini sih hepi saya, ganti suasana :D). Kadang menjadi editor dari tulisan anak-anak yang akan dijadikan buku, jadi literacy agent yang mencarikan penerbit untuk buku tersebut, dan nanti kalau sudah terbit jadi penjaga lapak deh jualan buku ;)) Selepas bel pulang sekolah, pustakawan berubah menjadi Nanny-Librarian yang ketitipan anak yang belum dijemput orang tuanya. Jika ada kegiatan sekolah, diberdayakan juga menjadi fotografer amatiran, jadi janitor yang angkut-angkut meja kursi, dan mungkin kalau bisa juga jadi badut sulap.

Di mana kursinya? Sedang dipinjam untuk rapat
Di mana kursinya? Sedang dipinjam untuk rapat 
Tipsnya: enjoy saja lah! Kalau dibawa stress dan mikir, “ini kan bukan kerjaan gue!” ya bakal makin stress deh. Yang buat saya bahagia adalah di sekolah ini tidak ada pengaruh jaman millennial dan perpustakaan yang sepi pengunjung. Perpustakaan selalu ramai, mereka wajib meminjam buku setiap hari, dan yang paling penting, tidak membawa gadget ke sekolah. Perpustakaan menjadi tempat yang nongkrongable. Biarlah berisik, yang penting mereka happy. Karena percayalah, menjadikan perpustakaan ini tempat yang tenang dan damai itu bagaikan membelah air di lautan (kalau Nabi Musa sih bisa). Ketenangan hanya didapat saat mereka libur.

Jadi, sudah dapat gambaran pustakawan itu makhluk jenis apa?

-salam gurita-

*Penulis adalah Pustakawan Sekolah Dasar di Bintaro. Website: book-corner.blogspot.co.id.

2 komentar: