Kamis, 07 Februari 2019

Mengapa Kita Harus Membaca?

"Karena konon, menulis tanpa membaca seperti menuang teko yang tidak berisi apa-apa"

Oleh: Fina Lanahdiana

Saya membaca karena memang senang dan bukan diminta oleh siapa-siapa. Tentu saja tidak serta merta saya suka membaca begitu saja. Setiap hal di dunia ini memiliki sejarahnya masing-masing. Entah apakah sejarah itu menjadi sesuatu yang penting atau kah hanya (bisa) dijadikan sebagai alarm ingatan dalam wujud kenang-kenangan.
Mengapa Kita Harus Membaca?
Credit: Openclipart
Pada mulanya saya hanya sebatas dianggap bisa membaca lebih cepat daripada teman-teman sekelas ketika duduk di bangku sekolah dasar. Hal itu membuat saya suka jika diminta  guru kelas untuk membaca keras-keras  di jam pelajaran tertentu. Saya juga merasa beruntung, karena bibi adalah seorang guru SD di mana saya sekolah, setiap kali saya diharuskan menunggu di kantor sebelum kami pulang bersama, ia meminjamkan buku-buku cerita. Di antara buku-buku yang saya ingat antara lain: "Sersan Mayor Swani", "Doa Angsa Putih", dan "Dokter Kecil".


Berkenalan dengan Perpustakaan

Selanjutnya, tersebab sekolah kami mendapat kunjungan KKN dari Unnes, saya berkenalan dengan yang bernama perpustakaan. Itu pun hanya label, dan bukan benar-benar perpustakaan. Ketika itu saya hanya bocah yang tak tahu menahu definisi perpustakaan. Yang saya tahu, kami diperbolehkan meminjam buku untuk dibawa pulang. Tidak ada ruang khusus. Buku-buku itu disimpan di sebuah lemari usang (di dalam gudang) sekolah. Gudang yang dipenuhi tumpukan meja dan kursi yang kakinya patah dan berdebu. Benar-benar mengerikan. Ya, sekolah kami tidak memiliki perpustakaan.

Kesenangan membaca itu berlanjut ketika SMP. Di perpustakaan, saya sering meminjam 3 buku untuk 1 minggu masa peminjaman. Di SMA, saya tidak terlalu sering meminjam buku di perpustakaan--dengan alasan gedungnya terpisah dari gedung di mana kelas saya berada (sekolah kami terbagi 2 gedung; utara dan selatan. Jaraknya lumayan jika harus ditempuh dengan jalan kaki)--walaupun tetap menuliskan 'membaca' jika diminta mengisi kolom hobi dalam biodata.


Belajar Menulis

Setelah lulus SMA dan merasa tidak memiliki kesibukan, saya memutuskan terinspirasi oleh teman saya yang pernah menjuarai lomba menulis di SMA dengan lebih serius, walaupun sebelumnya saya pernah menulis untuk majalah sekolah dengan nama samaran dengan alasan khawatir tiba-tiba menjadi terkenal :p Dan belajar menulis membulatkan tekad saya untuk lebih serius menjadi pembaca. Selanjutnya saya tidak hanya meminjam buku di perpustakaan, saya mulai mencicil membeli buku. Pada mulanya satu, lalu bertambah, dan bertambah lagi.

Sampai bagian ini, saya merasa lucu sebenarnya, karena tidak pernah terpikir sebelumnya. Kakak sepupu saya mengenalkan Prodi D3 Perpustakaan dan Informasi di sebuah PTN di Semarang (ia juga mengambil Prodi tsb), lalu tau-tau saya sudah jadi bagian di dalamnya. Untuk mempersempit ruang dan waktu, rasanya bagian ini saya skip saja. Anggaplah sejarah yang saya ceritakan hanyalah sebatas ingatan yang perlu dikenang  :D

Kembali ke bagian paling awal dari tulisan ini. Mengapa kita harus membaca? Ketika terlintas pertanyaan ini, tiba-tiba saya menjadi kurang percaya diri sehingga pertanyaan tsb berulang di dalam kepala saya. Benarkah membaca itu penting? Karena saya sering mendengar bahwa membaca adalah aktivitas yang hanya buang-buang waktu. Duh, sedih rasanya jika mengingat bahwa saya jadi bagian yang turut serta sebagai penyumbang 'buang-buang waktu'.

Tapi kemudian pikiran saya yang lain turut meluruskan keruwetan, bahwa di dalam kehidupan sosial, diperlukan adanya kemampuan untuk mencerna informasi sehingga pada akhirnya informasi itu dapat diterima oleh pihak penerima dengan kesalahpahaman yang minim. Sementara untuk bisa melakukannya, diperlukan proses yang tidak instan. Dalam hal ini, membaca adalah salah satu media untuk membiasakan diri mengelola informasi dan mengasah pola pikir agar bisa terbuka seluas-luasnya. Tetapi kemudian saya menyadari dengan  sesadar-sadarnya. Membaca tidak bisa dipaksa, ia (membaca) haruslah diawali dari kesadaran, seperti halnya saya yang lebih sering membaca setelah belajar menulis. Karena konon, menulis tanpa membaca seperti menuang teko yang tidak berisi apa-apa. Jadi, masihkah perlu membaca (jika dipaksa?) dan apakah program wajib baca sebelum KBM di sekolah-sekolah efektif untuk memupuk budaya membaca?

1 komentar:

  1. Betul, dengan membaca kita jadi bertambah pengetahuan dan wawasan. Ga mau kan kayak tong kosong begitu? Sebagian orang malas membaca. Mungkin bisa juga secara visual dari video dan gambar. Tapi aku lebih suka membaca dengan memegang buku, majalah atau media apapun. Kayaknya lebih enak aja. Btw aku barusan follow blognya ya, folbek juga sip :)

    BalasHapus