Kamis, 07 Februari 2019

FANTASI DAN HEGEMONI MAKNA PERPUSTAKAAN


 





Artikel ini sedikit posmo, jadi harap memaklumi jika penulis mengupas sudut sempit kegalauan generasi Hyun Bin dan para army BTS ketika memaknai perpustakaan. Jangan pulak mengutuk, jika terkesan artikel ini menggeneralisir dengan serampangan, karena terkadang kita harus memulai mengupas dari sudut sempit subyektifitas.

 

Siapa tak kenal Jacques Lacan ? Pemikir posmo anak didik Sigmund Freud ! Lacan selalu memandang objek sebagai objek hasrat dan juga objek penyebab hasrat. Objek penyebab hasrat adalah apa yang dicari subjek hasrat saat menghasrati suatu objek hasrat. Objek hasrat adalah botol. Sebuah pemaknaan botol sebagai wadah air minum merupakan objek penyebab hasrat. Objek penyebab hasrat bukanlah objek dalam-dirinya-sendiri, melainkan objek untuk diri kita. Kehadiran objek inilah yang justru menjadikan botol sebagai objek hasrat hilang.

 

Contoh yang sangat menggelikan adalah botol minuman bersoda dalam Film The Gods Must Be Crazy. Botol yang kita mengerti sebagai wadah air minum pada kenyatannya bisa digunakan sebagai alat pemukul, alat musik tiup ataupun sebagai cetakan. Hingga pada akhirnya N!xau sebagai pemeran utama berkelana mencari ujung dunia untuk mengembalikan botol tersebut kepada Dewa.

 

Dalam konsep Lacanian, kesalah-mengertian (meconnaissance) berbeda dengan ketidaktahuan (ignorance). Di balik kesalah-mengertiannya, subjek tau pengetahuan macam apa yang disalah-mengerti.

 

Sebagai masyarakat modern, kita tentu saja melihat fenomena itu sebagai hal yang menggelikan. Namun pada saat itulah kita menyadari kehilangan familiaritas objek akibat makna kita sendiri dan menjadikan objek tersebut tak familiar bagi diri kita. Semuanya terjadi tiba-tiba seakan-akan objek mengguncang dan meninggalkanmu dengan mendisorientasi makna kebingungan dan ketidakpastian. Itulah yang dinamakan Keganjilan (Uncanny).

 

Sejatinya memang tidak ada pemaknaan tunggal dari sebuah objek. Objek-dalam-dirinya-sendiri memang selalu dimaknai oleh orang yang mengetahui objek. Pengetahuan yang dimengerti tentang objek ironisnya merupakan sebuah kesalah-mengertian. Kesalah-mengertian dari objek ini memang akan selalu terjadi setiap kita mengenali apapun termasuk diri kita sendiri. Dalam konsep Lacanian, kesalah-mengertian (meconnaissance) berbeda dengan ketidaktahuan (ignorance). Di balik kesalah-mengertiannya, subjek tau pengetahuan macam apa yang disalah-mengerti.

 

Begitulah Perpustakaan sebagai sebuah objek Lacanian tidak hanya dipandang sebagai sebuah uang atau tempat itu sendiri (das-ding-an-sich). Perpustakaan (kemudian) secara (awam) dimaknai sebagai tempat atau locus yang mengelola buku (pustaka). Ya sesederhana itu, karena masyarakat umumnya mencerna dengan hal yang sederhana, yang tertancap di bathok kepala mereka. Perpustakaan mendapatkan maknanya juga melalui statistik sebagai tempat belajar atau orang yang menelusur informasi. Mengelola dan meminjam telusurkan buku. Pengertian apapun terhadap pustakawan diluar definisinya hanya membuat dia semakin disalah-mengerti.

 

Sejarah, data dan statistik justru menyandera subjek untuk mengaburkan pandangannya tentang pustakawan. Subjek tersandera dan terfiksasi terhadap suatu objek dalam fungsi istimewa. Data analisis justru membuat masyarakat kebanyakan terjebak pada fantasi kita tentang peran pustakawan. Fantasi meyakinkan masyarakat, bahwa pustakawan akan bisa mengelola buku dengan mudah.

 

Ini menarik, ketika kemudian perpustakaan mulai digugat eksistensinya. Atau ada yang nyinyir kenapa harus ada perpustakaan ? Atau yang lebih moderat, ketika kemudian perpustakaan dicangkok bidang lain untuk peran yang berbeda, itu justru hanya akan menambah momen keganjilan semakin terlihat. Benarkah ? Apa jadinya jika perpustakaan koleksinya gitar dan alat alat pertukangan. Apa mungkin sebuah perusahaan akan mencangkok “dasar pengelolaan administrastif” terinspirasi sebuah perpustakaan ? Atau ada yang menakut nakutin, perpustakaan ntar jadi Librarysaurus loh ! Yakin perpustakaan bisa berkelindan, menggeliat dengan seksi keluar dari khittah nya ?

 

“Ngomongin Perpustakaan itu ya ngomongin seekor harimau sang raja hutan ! Bukan seekor macan kumbang, jaguar atau cheetah, karena mereka adalah kaum Muggle, (Muggle merujuk kaum campuran kaun penyihir dan manusia pada film Harry Potter, ras yang tidak murni)”, kata Ambar temanku pustakawan BSN.

 

Pada saat itulah sebuah fantasi bermain. Sejarah, data dan statistik justru menyandera subjek untuk mengaburkan pandangan masyarakat tentang makna sebuah perpustakan. Subjek tersandera dan terfiksasi terhadap suatu objek dalam fungsi istimewa. Data analisis justru membuat kita terjebak pada fantasi kita tentang perpustakaan. Fantasi meyakinkan kita bahwa perpustakaan ya fungsinya seperti itu, titik bukan koma. Fantasi yang membuat topeng untuk pustakawan agar dimengerti.

 

Alih-alih fantasi kemudian membuat masyarakat senang atau tidak; terhadap makna “perpustakaan”. Justru fantasi tersebut akan membuat awam makin galau terhadapnya. Topeng yang selama ini disematkan terhadap makna perpustakaan ternyata sepenuhnya tidak muat. Menampakkan sebuah wajah yang lain yang sama sekali asing dari topeng yang dibuat.

 Toh...perpustakaan di era kekinian perlu topeng juga, karena ada "kue nikmat" berkulit literasi. Apalagi jika tujuannya untuk menyerap anggaran !

Yuk berfantasi !

 

3 komentar:

  1. MAntap mas yogi...ayo pustakawan kita bersatu meruntuhkah hegempni pemaknaan pustakawan....supaya semua orang tau pustakawan juga manusia yg memiliki hasrat...dan jiwa pengabdian....

    BalasHapus
  2. MAntap mas yogi...ayo pustakawan kita bersatu meruntuhkah hegempni pemaknaan pustakawan....supaya semua orang tau pustakawan juga manusia yg memiliki hasrat...dan jiwa pengabdian....

    BalasHapus