Senin, 04 Februari 2019

Perpustakaan Dalam Ruang Bersama Madrasah

Setelah mengenal perpustakaan di bangku sekolah dasar tidak serta merta penulis menjadi gemar membaca. Boro-boro gemar membaca, tahu mengenai gedung berisi seserakan buku yang penulis kunjungi di gedung pojok sekolah dasar dinamai perpustakaan baru belakangan ini. Atau ternyata bukan? jikalau perpustakan benar mensyaratkan minimal seribu judul dan dikelola dengan aturan tertentu. Paling tidak sementara judulnya demikian, mengenal perpustakaan sejak SD. Toh di negeri yang mencita-citakan kehidupan bangsanya cerdas bernama Indonesia ini banyak lembaga pendidikan yang belum menyelenggarakan perpustakaan.


Betapa bahagianya penulis jika hanya sekali dua kali berkunjung tempat buku ditumpuk lantas menjadi gemar membaca. Macam banyak kegiatan perpustakaan belakangan ini yang menghadirkan segerombolan orang untuk diperkenalkan perpustakaannya lantas berasumsi segerombolan tadi telah literat. Naif. Penulis bukan seorang kutu buku yang kemudian di masa kuliahnya mengambil prodi ilmu perpustakaan. Penulis barangkali adalah seekor ‘kutu kupret’ tak berekor. Baiklah, penulis akan mulai mengisahkan fakta.

Penulis semasa kelas delapan diperkosa dipilih menjadi ketua OSIS. Dengan tiada modal secuil pengetahuan dan pengalaman berorganisasi, penulis tak kuasa menampik politik pemilihan OSIS tahun 2005 itu. Sangat terpaksa penulis terima kenyataan dengan ‘pengayem-ayem’ dari kakak dan beberapa teman yang bersiap membantu dalam menjalankan organisasi. Menjadi ketua OSIS harus dijalani meski bak masuk hutan belantara tanpa bekal.

Adalah suatu keniscayaan bahwa manusia harus terus belajar dan beradaptasi. Menjabat sebagai ketua OSIS ternyata membukakan jalan tersendiri bagi penulis. Masuk kantor, ruang guru, biasanya penulis jalani sebagai hukuman tatkala terlambat datang, kini berada di kantor, ruang guru hampir menjadi kebiasaan. Tempat belajar penulis semasa menengah pertama adalah madrasah tsanawiyah swasta. Dari pusat kota lebih kurang berjarak sebelas kilo meter. Hanya terdapat enam rombel, masing-masing tiga kelas putra dan tiga kelas lainnya putri. Satu jenjang dibagi dua kelas, kelas putra dipisah dari kelas putri. Sementara hanya ada satu ruang lain selain kelas.

Bermula dari Ruang OSIS

Ruang OSIS terletak satu ruang dengan ruang tata usaha, ruang guru, ruang tamu, ruang kepala sekolah dan dua ruang lainnya dengan batasan sekat dari papan. Menjalankan roda organisasi mengantarkan penulis -mau tidak mau- harus seliweran ‘riwa-riwi’ keluar masuk ruang OSIS untuk mengurus administrasi serta beberapa hal lain. Barangkali didasari kebiasaan usil ditambah keingintahuan anak usia puber kala itu, penulis mengulik penasaran ruang apa gerangan yang sering tertutup di sebelah utara ruang OSIS. Dua ruang di sebelah utara ruang OSIS masih belum pernah penulis temui dibuka sejak terbiasa seliweran di ruang bersama itu.

Semenjak ada guru pegawai negeri yang diperbantukan, ruang paling ujung utara beberapa kali dibuka. Guru baru yang mengajar mata pelajaran olahraga itu sering mengambil dan mengembalikan peralatan praktek olahraga di ruang sekat ujung utara. Anggap saja ruang ujung utara itu untuk menyimpan peralatan praktek olahraga. Lantas ruang apa di antara ruang OSIS dan ruang ujung utara.

Jujur, dalam beberapa kesempatan, penulis pernah memanfaatkan jabatan di luar kewenangan. Bermodal jabatan ketua OSIS dan kunci ruangnya, penulis pernah memasukkan dua orang cewek, kami hanya bertiga. Modusnya tentu bisa ditebak, ya rapat terbatas pengurus harian OSIS. Penulis selaku ketua, bendaharanya kakak perempuan penulis, anak dari paman dan sekretaris adalah cewek yang penulis taksir saat itu. Eh, ceritanya kok jadi begini. Kembali ke rel utama.

Jujur, dalam beberapa kesempatan memang penulis pernah memanfaatkan jabatan ketua OSIS di luar kepentingan organisasi. Pernah suatu waktu penulis masuk ke ruang OSIS sendirian. Dengan menutup pintu rapat-rapat, penulis memanjat sekat ruang untuk melihat apa sebenarnya kegunaan ruang sebelah selatan tempat alat olahraga. Namun belum bisa melihat dengan jelas, buru-buru penulis harus turun karena tampaknya ada orang masuk ke ruang bersama itu. Belum puas menemukan apa yang dicari, tapi setidaknya rasa penasaran penulis sedikit terjawab dengan melihat rak dari besi, kardus dan jajaran buku. Apakah itu ruang perpustakaan?

Untuk memastikan apa yang dilihatnya dari ruang OSIS dan tentu untuk memenuhi hasrat ingin tahu anak puber kala itu, penulis berburu informasi siapakah gerangan yang bertanggungjawab dan membawa kunci ruang itu dan mengapa tak pernah dibuka. Berbagai cara penulis tempuh untuk mendapatkan informasi, sampai pada seorang ‘juru kunci’ saat madrasah sudah sepi dan hendak ditutup. Selain bertanya, penulis juga memohon untuk dibukakan sekedar melihat jika diperbolehkan. Besarnya hasil memang berbanding lurus dengan kerasnya usaha.

Penulis akhirnya mampu merayu, meluluh lantahkan hati sang juru kunci. Tak sampai menikmatinya memang, tapi setidaknya rasa penasaran penulis terjawab. Sang juru kunci berkenan membukakan ruang itu sebentar sementara beliau memberesi dan mengunci ruang tata usaha, ruang kepala madrasah dan ruang guru. Benar saja ruang itu adalah ruang dimana buku dijajar dalam rak besi, beberapa buku lain masih dalam kardus warna coklat. Pengap, kotor, berserakan dan tak ketinggalan laba-laba membangun istananya disana.


Tak puas hanya melihat, penulis ‘mbujuki’ juru kunci untuk membocorkan rahasia utama. Selanjutnya penulis temui lakon dari dalang di balik ruang yang sering terkunci itu. Ialah seorang ibu paruh baya yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan serangan rayuan maut ala ketua OSIS, penulis memohon kesempatan memasuki ruang sebelah utara markas kutu kupret. Ah dasar rejeki, tanpa banyak pertanyaan dari si Ibu, untuk tujuan apa dan sebagainya, bukan dibukakan ruangnya malah mempercayakan kuncinya untuk dibawa.

Lalu, apakah pustakawan ia yang bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan dan pelayanan perpustakaan bermodal kompetensi yang diperolehnya dari pendidikan kepustakawanan? sementara orang tersebut lebih banyak menjalankan tugas non-perpustakaan untuk instansinya. Benar saja ungkap Kang Murad “menyebut diri seorangi pustakawan itu mudah, tapi berproses menjadi pustakawan itu yang sulit”.

Paragraf terakhir sengaja penulis maksudkan sebagai autokritik bagi diri pribadi penulis yang sedang belajar menjadi pustakawan. Jika toh bisa meluas digunakan sebagai autokritik pelaku profesi unik ini, silahkan saja. Mengenali diri sendiri itu penting. Begitu pula pustakawan penting mengenali pustakawan.

0 komentar:

Posting Komentar