Sabtu, 16 Maret 2019

Naruto di Perpustakaan Sekolah


Berhubung tema serangan udara ke 2 yang diadakan oleh Pustakawan Blogger salah satunya adalah tentang perpustakaan dan inklusi sosial, rasanya sayang jika melewatkan tema ini. kebetulan saya punya beberapa pengalaman tentang murid-murid inklusi.
Mungkin jika perpustakaan daerah, yang dimaksud dengan inklusi sosial adalah semacam penyetaraan kesempatan untuk semua masyarakat. Nah, agak mirip dengan konsep di sekolah. Kebetulan sekolah kami, salah satu sekolah yang berbasis inklusi, yang artinya sekolah menerima semua tipe siswa untuk belajar di sekolah. Untuk lebih lengkapnya tentang sekolah inklusi, bisa klik LINK ini.
Berikut ini adalah salah satu cerita bersama seorang murid yang istimewa dan memberikan kenangan pada perpustakaan sekolah. Nama-nama yang dijabarkan di sini sudah disamarkan semua.
Setiap ajaran baru, ada saja murid-murid ‘istimewa’. Salah satunya adalah Redo. Dia mengalami semacam trauma karena suatu keadaan saat masih SMP. Masuk SMA sebenarnya jiwanya belum stabil. Kalau ditanya suka nggak nyambung. Dan tatapannya sering kosong.
Waktu itu ajaran baru tahun 2014, yang artinya murid baru yang masuk tahun itu adalah murid-murid ‘percobaan’ Kurikulum 2013. Ganti kurikulum, artinya ganti buku pelajaran. Dan bisa dipastikan bakal lembur bagi pustawakan sekolah menjelang ajaran semester baru datang. Karena itu adalah tahun keempat bekerja di sekolah, artinya sudah mulai banyak murid yang bisa dipercaya untuk membantu pengolahan buku-buku di perpustakaan, jadi seminggu pertama saat ajaran baru yang biasanya belum aktif belajar karena banyaknya murid yang menjadi panitia saat MOS tiba, saya manfaatkan untuk mengajak murid-murid unyu untuk membantu pengolahan buku baru sampai sore, apalagi waktu itu belum punya teman di ruangan yang artinya semua masih dikerjakan sendiri layaknya tukang sate. Dan murid-murid unyu biasanya bahagia kalo diajak kerja gotong royong ama pustakawannya ini. Apalagi kalo di foto kemudian di posting di media, ada semacam kebanggaan sendiri bagi mereka.
Di saat jam gotong royong itu pas lewat jam sekolah yang artinya menjelang sore, apalagi kala itu bulan Ramadhan yang artinya daripada gabut nggak jelas ya mending bantuin pustkawannya ini ngolah buku. Tiba-tiba ada seorang remaja laki-laki berkaus merah dan mengenakan celana pendek krem, dengan permen lolipop di tangan, menyerocos nggak jelas dan masuk ke perpustakaan sekolah. Dia langsung duduk di pojokan perpustakaan, dan masih bergumam nggak jelas karena sambil mengemut lolipop yang ada di tangannya.
Lalu ada seorang murid cewek, Novi yang kebetulan memang panitia MOS kala itu, langsung berbisik pada saya jika anak itu yang diperbincangkan selama MOS. Siapa dia? Redo namanya. Harusnya dia sudah lulus SMA, tapi karena terkena goncangan hebat saat lulus SMP, dia sempat berhenti sekolah selama tiga tahun. Jadi di saat teman-temannya sudah lulus SMA tahun itu, dia baru masuk SMA.
Sejujurnya, saya kala itu takut banget ama Redo. Apalagi selain omongannya yang ngalur-ngidul, juga tatapan matanya yang kosong banget. Ditambah lagi Novi pun bilang jika selama MOS, Redo kerap kali mengamuk tanpa sebab. Mungkin saat kumat dan obatnya abis.
Saya yang bingung dan murid-murid yang lagi bantuin pengolahan buku juga pada takut, sementara Redo tidak bisa ‘diusir’ dari perpustakaan, saya berinisiatif meminta tolong bapak guru di ruang Puskom, yang ruangannya tepat di sebelah ruang perpustakaan sekolah. Bapak pertama yang saya panggil, namanya Sabar, tapi nada suaranya tak sesabar namanya. Walaupun beliau sebenarnya tidak marah, tapi nada suaranya sehari-hari memang tinggi jadi terkesan seperti marah, tentu bikin takut si Redo.
Lalu, kali kedua saya panggil lagi bapak guru yang masih ada di sekolah sore itu. Pak Ari namanya, beliau ini kebapakan banget. Begitu melihat Redo, dia hanya bertanya, apakah Redo sudah makan, dan karena hari sudah sangat sore Pak Ari mengajak Redo untuk pulang. Dan ajaibnya dia nurut dengan semua perkataan Pak Ari. Ketika Redo pulang, tanpa sengaja menjatuhkan kertas dengan tulisan tangan yang bertuliskan tentang perasaan pada seorang perempuan. Ya, semacam puisi gitu. Dan saya baru tahu setelah diceritakan seorang murid jika Redo jadi ‘korslet’ begitu karena dulu saat SMP pernah ditolak perempuan yang disukainya.
Hari itu sebelum pulang, Pak Ari bilang jika ada anak seperti itu jangan digurui, apalagi dihakimi. Anggap saja seperti anak normal lainnya, jangan dianggap sebagai anak yang sakit. Saya langsung mengingat kata-kata Pak Ari itu.
Selang beberapa minggu sekolah yang artinya kegiatan belajar mengajar sudah aktif sedia kala, dan buku-buku pelajaran sudah siap untuk dipinjam murid-murid. Tentu hampir setiap murid datang ke perpustakaan sekolah karena masing-masing siswa sudah mendapat jatah masing-masing buku per pelajaran. Tak terkecuali dengan kelas Redo, dan dia juga ikut antri bersama teman-temannya untuk meminjam buku. Saat giliran Redo meminjam buku, saya ingat nasehat Pak Ari untuk menganggapnya seperti murid lainnya.
Ternyata tidak ada kegaduhan apa pun seperti yang dikhawatirkan. Saya ambilkan buku pelajaran sesuai kelasnya, dan menuntun dia untuk menuliskan namanya di slip pengembalian buku yang ada di setiap buku pelajaran yang dipinjam. Dia juga patuh saat mengisi buku pengunjung perpustakaan.
Dan itu bukan kunjungan terakhirnya. Di saat kondisinya yang masih ‘sakit’, ketika pelajaran di dalam kelas tidak ia minati, biasanya ia akan ke lapangan basket dan ikut pelajaran olahraga meski itu bukan jam kelasnya. Dan jika lapangan basket sedang mengadakan olahraga lainnya seperti voli atau futsal, dia tidak berminat ikutan. Dan apa yang dilakukannya?!? Dia akan ke perpustakaan sekolah.
Jadi, setelah meminjam buku pelajaran, pernah dia datang ke perpustakaan dan ‘ubek-ubek’ rak fiksi. Dia menemukan komik Naruto. Semenjak itulah dia rajin datang. Perpustakaan sekolah memang memiliki koleksi komik Naruto, namun tidak lengkap serinya. Itupun biasanya didapat dari murid yang menyumbangkan komiknya saat lulus sekolah. Saking semangatnya Redo membaca komik Naruto, hampir tiap hari datang ke perpustakaan sekolah dan selalu bertanya kepada saya apakah udah ada komik Naruto yang baru. Dan saya hanya bisa menjawab sambil menenangkan dia bahwa perlu bersabar untuk mendapatkan komik Naruto terbaru. Dia biasanya mengangguk patuh.
Epiknya, saya baru sadar ternyata beberapa komik Naruto yang biasanya setelah dipinjam Redo, akan ada coretan manis hasil goresan tangannya. Dan kalimatnya selalu sama: Naruto = Redo, Sakura = nama cewek yang disukainya itu. Rasanya senyum-senyum geli kalo inget kejadian itu. Ya, siapa sangka jatuh cinta yang menurut kita biasa saja, bisa menjadi hal luar biasa bagi orang lain. Begitu juga bagi Redo ini.
Sebenarnya di tahun itu, tidak hanya sekolah kami yang menerima murid istimewa seperti ini. Jika di sekolah kami memiliki Redo dan berbakat menulis puisi-puisi romantis yang ditulisnya sendiri, sekolah lain juga memiliki murid dengan kasus serupa; sama-sama patah hati, sama-sama ditolak. Jika Redo selama di sekolah kami tidak pernah mengamuk sampai fatal, paling mentok hanya selalu keliling sekolah, energinya seperti tidak pernah habis.
Sekolah lain ada murid seperti ini tapi lebih ekspresif. Jika kumat, segala hal yang didekatnya bisa ditendang, tak terkecuali mobil guru yang parkir di sekolah pernah jadi sasarannya, dan nyawanya tidak tertolong saat mencoba bunuh diri dengan cara meminum obat serangga karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya. Ya, si anak ini patah hati karena ditolak sang cewek dengan alasan miskin dan tidak punya motor besar (kala itu sedang tren). 
Seiring berjalannya waktu, Redo bisa sembuh total. Iya total. Dan saat kelas XII, dia bisa masuk kelas unggulan. Selalu langsung sholat saat mendengar adzan berkumandang. Pernah saya bertanya apakah dia mengingat kejadian yang lalu saat dia ‘berubah menjadi yang lain’, dengan malu dia menjawab masih ingat. Saya juga pernah bertanya pada guru BK, hal mendasar apa yang bisa membuat orang lain berubah seperti Redo ini. Menurut Ibu Rosa, guru BK yang memang ahli psikologi, remaja seperti Redo ini akan sembuh selain faktor keluarga juga faktor lingkungan yaitu teman-temannya di sekolah. Memang semua itu butuh proses. Masih ingat kata-kata bapak kepala sekolah yang menjabat saat itu bahwa sukses adalah hak semua anak. Sekarang Redo sudah lulus sekolah dan sudah melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.

Ditulis oleh
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri 2 Metro, Lampung


3 komentar:

  1. Semangat pustakawan...smg perpustakaan mjd rumah pertama kaum inklusi...

    BalasHapus
  2. Semoga perpustakaan menjadi yang terdepan untuk mencerdaskan anak bangsa. Termasuk mereka yang berkebutuhan khusus

    BalasHapus