Kamis, 25 Juni 2020

Ketika sebuah Buku Dilarang Dibaca

By Dian Arya*

Sore ini, ada seorang rekan pustakawan yang memposting sebuah berita di media online terkait 10 buku best seller legendaris yang ternyata pernah menjadi buku yang terlarang di Amerika. Amerika, negara yang katanya menjunjung tinggi kebebasan berfikir dan berbicara.

Terlepas dari lokasi pelarangan buku tersebut, bila kita ingat kembali hukum Ranganathan, every book it’s reader, semestinya tidak boleh ada buku yang dilarang untuk dibaca. Tapi tentunya tidak berarti tidak ada pembatasan. Semua buku ada pembacanya, artinya kalau kamu masih di bawah 17 tahun, ya jangan baca buku untuk orang dewasa. Lalu, siapa yang bertugas ‘menjaga’ supaya setiap pembaca mendapat buku yang sesuai dengan peruntukannya? Siapa lagi? Ya, pustakawan.

Buku
Pixabay
Yups, tugas pustakawan menjaga kemurnian pemikiran anak-anak dari buku-buku berkonten ‘dewasa’. Pustakawan juga yang bisa mempertahankan kekuatan ideologi bangsa dari bahaya laten. Tapi harus diingat bahwa caranya tentunya bukan dengan melarang peredaran buku, apalagi sampai membakarnya. Saya tidak bisa membayangkan perasaan penulis yang sudah bersusah lelah payah menuangkan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan, tetiba secara sepihak dilarang beredar, apalagi dibakar. Wow. Sad.

Cara yang paling sederhana adalah dengan membatasi akses. Loh, apa bedanya melarang beredar dengan membatasi akses? Jelas beda.... Ketika melarang beredar, yang pertama kita sudah violating hak penulis dalam menyebarkan hasil pemikirannya. Yang kedua, kita juga sudah melanggar hak pembaca untuk mengakses bahan bacaan. Dengan pembatasan akses, kita hanya perlu mengenal pembaca lebih jauh, dan memberi penilaian apakah memang buku kontroversial yang dia minta memang yang dia butuhkan. Bila tepat, tentunya sang pembaca bisa mengaksesnya. Tapi bila tidak, pustakawan boleh merekomendasikan bahan bacaan lain yang lebih sesuai.

Membahas kembali hukum ketiga Ranganathan ini memang tidak akan ada habisnya. Beberapa tahun ke belakang issue ini pernah hangat dibahas berbagai media karena seorang pejabat Perpusnas menyatakan akan melarang peredaran buku-buku ‘kiri’ , tapi lalu meminta maaf karena kekeliruannya. Di sepanjang masa sejak awal buku ada, selalu ada judul-judul buku yang membuat fihak-fihak tertentu merasa tersinggung, bahkan terancam. Tapi sekali lagi, every book has it’s reader, semua buku ada pembacanya.

Untuk penutup, saya teringat sebuah manga (komik jepang, bukan typo) yang berjudul library war, yang inti ceritanya berputar antara perjuangan sekelompok pustakawan yang berjuang dengan mengangkat senjata (betul-betul senjata, senapan, bom, tank...) demi memperjuangkan hak pemustaka untuk membaca. Mereka akan membeli buku-buku dari sumber manapun, sebelum buku itu di -banned oleh pemerintah karena dianggap menentang ideologi para pemegang tampuk kekuasaan. Manga ini termasuk populer di kota terbitnya, karena sempat dibuatkan versi life action-nya juga. Satu hal yang terbersit dalam hati saya ketika baca komik ini, adalah sebuah do’a, semoga kita, pustakawan, ga perlu sampai sebegitunya mempertahankan diseminasi dan preservasi informasi.

*Pustakawan UPI

2 komentar:

  1. Benar-benar kreatif, bahasanya lugas tak berat tuk dibaca

    BalasHapus
  2. Mudah2an enggak sampai begitu, meski untuk perpustakaan sekolah, menyediakan buku bacaan yang fun membutuhkan perjuangan pustakawan yg sama sulitnya. Hehehe. Semangat para pustakawan....

    BalasHapus