Kamis, 30 Juli 2020

Kunci Kebahagiaan Hidup Pustakawan (Sebuah Refleksi Pembelajaran Nabi Ibrahim AS)

Oleh : AHMAD SYAWQI
(Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin)

AHMAD SYAWQI
Dalam kalender Islam, bulan Zulhijjah merupakan bulan yang sangat mulia, karena di bulan tersebut umat Islam merayakan hari raya yang penuh makna yaitu hari raya Idul Adha atau yang dikenal dengan hari raya qurban yang dikaitkan dengan kisah tentang keimanan seorang ayah dan anak yaitu Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.  Mereka berdua sama-sama merelakan sesuatu yang paling dicintainya, sebagai pembuktian bahwa cinta mereka kepada Allah SWT adalah mutlak di atas segalanya. Nabi Ibrahim rela mengorbankan putranya Nabi Ismail yang sangat dicintainya dan Nabi Ismail pun merelakan nyawanya demi menjalankan perintah Allah SWT. 

Yang menjadi renungan kita adalah apa makna Idul Adha yang ingin disampaikan Allah SWT kepada ummatnya? Tentunya bukan hanya sekedar berqurban. Tetapi Allah SWT telah memberikan makna pembelajaran kehidupan yang bisa menjadi kunci kebahagiaan hidup bagi setiap manusia apapun profesinya, apakah ia seorang pedagang, guru, dokter, atau lainnya, termasuk bagi seorang pustakawan, ia akan merasakan kebahagiaan hidupnya ketika mengamalkan  apa yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS.

Pertama, Cintai Tuhanmu melebihi yang lainnya. Lewat Idul Adha, Allah SWT ingin mengajarkan kita tentang kemurnian cinta. Kita tentu tahu bahwa Nabi Ibrahim baru dikaruniai seorang anak saat usianya memasuki senja. Doa beliau untuk memiliki putra dikabulkan dengan lahirnya Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Bisa dibayangkan betapa beratnya hati Nabi Ibrahim ketika anak yang dinantikan setelah sekian lama, dirawat dan dibesarkan sekian tahun, dicintai dengan segenap hati, harus direlakan ketika Allah SWT memerintahkan kepadanya untuk menyembelih Ismail.

Namun rasa cinta Nabi Ibrahim yang begitu besar kepada Allah, mendorong hatinya untuk rela mempersembahkan Ismail, sesuai yang diperintahkan kepadanya. Nabi Ismail yang memiliki kecintaan yang sama murninya kepada Allah pun, merelakan dirinya dijadikan persembahan kepada Sang Pencipta. Tapi, cinta Allah jauh lebih murni dari cinta siapapun. Allah mengakhiri ujiannya kepada mereka, dengan cara menukar Nabi Ismail dengan hewan qurban.

Bagi seorang pustakawan, ketika kita ingin hidup dengan bahagia, wajib mencintai Tuhan sang pencipta dengan tulus ikhlas yang telah memberikan nikmat ilmu pengetahuan dan menshare ilmu tersebut kepada orang lain sehingga memberikan manfaat kebaikan sebagai amal jariyah yang terus mengalir, sehingga Tuhan pun akan mengangkat derajat kita sebagai orang yang berilmu pengetahuan dengan berbagai kemudahan dan keberkahan hidup berkah ilmu yang kita berikan kepada orang lain.

Kedua, Doa orang yang taat tak pernah terlewat. Nabi Ibrahim dikenal sebagai nabi yang begitu taat kepada Allah. Kecintaannya tak perlu diragukan. Maka ketika Nabi Ibrahim menginginkan seorang putra di usianya yang senja, Allah tak segan-segan mengabulkannya. Allah membalas ketaatan Nabi Ibrahim dengan keturunan-keturunan yang soleh dan berbakti pada orang tua. 

Bagi seorang pustakawan, doa menjadi senjata utama dalam melaksanakan segala aktivitas kepustakawanan, karena dengan doa akan menjadi kekuatan batin pustakawan untuk bisa melaksanakan tugasnya dengan ikhlas dalam memberikan pelayanan kepada pemustaka sebagai  simbol ketaatannya kepada Tuhan terhadap tugasnya sebagai seorang pelayan informasi bagi pemustaka. 

Ketika pustakawan yang dengan ikhlas memberikan kebaikan dengan layanannya kepada pemustaka, maka secara otomatis, Allah SWT juga akan memberikan ganjaran kebaikan atas apa yang telah diberikannya kepada orang lain, dimana jika Allah SWT sudah berkehendak, apapun bisa terjadi. Tidak ada yang mustahil bagi Allah, asalkan kita juga menjadi hamba yang taat.  

Ketiga,  Ikhlas memberi rasa bahagia tanpa pamrih. Beribadahlah hanya karena Allah. Ini yang bisa kita pelajari dari Nabi Ismail, saat beliau merelakan dirinya disembelih oleh ayahnya sendiri. Bagi Nabi Ismail, mengorbankan nyawa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah adalah bagian dari ibadah. Dan ketika Nabi Ismail ikhlas menyerahkan nyawanya, Allah membalas keikhlasannya dengan usia yang panjang, dan derajat kehidupan yang lebih baik. Buktinya, kita selalu mengenang Nabi Ismail setiap tahunnya. 

Bagi pustakawan keikhlasan dalam memberi harus menjadi karakter yang harus selalu melekat dalam dirinya. Ketika pustakawan memberikan pelayanan kepada pemustaka yang memerlukan informasi, maka keikhlasan harus selalu tumbuh dalam dirinya dengan segala kesiapan melayani segala keperluan si pemustaka sehingga memberikan rasa kebahagian bagi setiap pemustaka yang datang ke perpustakaan. Oleh karena pembelajaran terpenting adalah  berilah rasa kebahagian orang lain karena Allah, maka kita juga akan selalu merasakan kebahagiaan hidup.

Keempat, menjadi anak berbakti. Kalau kita jadi Nabi Ismail, mungkin kita akan meminta Nabi Ibrahim untuk memohon kepada Allah, supaya menarik lagi perintahnya untuk menyembelih leher kita. Tapi, Nabi Ismail beda. Sebagai anak yang berbakti, Nabi Ismail justru yang meminta ayahnya untuk segera menjalankan perintah tersebut. Sepertinya Nabi Ismail takut kalau Allah akan marah pada ayahnya dan memberikan hukuman pada ayahnya. Kalau kita? apa yang sudah kita lakukan untuk kedua orang tua kita?

Bagi pustakawan, ketaatan untuk berbakti kepada orang tua menjadi modal utama dalam meraih keberkahan dan kesuksesan hidupnya. Ketika menjadi pustakawan maka keridhoan orang tua juga menjadi keridhoan Tuhan, sehingga pustakawan dituntut untuk selalu meminta doa mereka agar menjadi anak yang shaleh berbakti kepada kedua orang tua yang setiap saat selalu mendoakan mereka yang telah melahirkan kita semua ke dunia ini.

Kelima, Berbagi kepada sesama. Melalui Idul Adha, Allah ingin memberikan satu lagi kunci hidup bahagia. Selain mencintai-Nya dengan tulus, mencintai orang tua, kita juga harus mencintai sesama. Itu mengapa, berqurban disarankan untuk mereka yang mampu. Dengan harapan, saudara-saudara di sekitar kita yang belum mampu membeli daging yang harganya mahal bisa menikmati lezatnya berbagai menu olahan daging.

Kepedulian kepada sesama jangan hanya saat Idul Adha saja, tetapi harus belajar peduli sesama setiap saat. Tidak bisa menyumbang uang, bisa menyumbang tenaga. Tidak bisa menyumbang tenaga, bisa menyumbang pikiran. Tidak bisa menyumbang pikiran, bisa menyumbang doa. 

Bagi pustakawan kesempatan untuk berbagi terutama melalui ilmu dan informasi yang ia berikan sangat terbuka lebar melalui pemberian layanan kepada permustaka yang datang ke perpustakaan, maka berusahalah untuk selalu berbagi buat sesama.

Berharap dengan moment hari raya Idul Adha ini, sebagai pustakawan yang selalu berinteraksi dengan orang lain (pemustaka), mampu mengimplementasikan 5 hal tersebut melalui pengabdian yang kita berikan sehingga bisa memberikan kebahagian hidup bagi kita dan orang lain di dunia dan di akhirat nanti. Aamiiin.

0 komentar:

Posting Komentar