Jumat, 24 September 2021

Apakah Karya Digitalmu Aman dari Plagiarisme? Peran Perpustakaan Melindungi HKI dengan NFT

Oleh: Akmal Faradise

Mahasiswa Manajemen Informasi dan Perpustakaan UGM

NFT - photo by A M Hasan Nasim from Pixabay


Hari ini setiap orang dapat dengan mudah berkarya, apalagi berkarya dalam bentuk digital. Banyak tool yang tersedia untuk memudahkan hal itu, didukung gadget canggih yang mulai ramah kantong. Format karya digital semakin beragam, bahkan bisa disertifikasi sebagai barang unik (NFT) pada platform digital. Rasanya menyenangkan bukan ketika karya kita diapresiasi banyak orang atau dipamerkan di ruang publik seperti media sosial atau perpustakaan? Tapi rasanya juga menyebalkan ketika karya kita tersandung plagiarisme, atau diplagiasi tanpa hati. 

    Berkarya merupakan hak semua orang. Ada yang melakukan hanya sebagai sebuah kesenangan, ada yang menjadikannya sebuah jalan mencari nafkah. Seseorang bisa saja memiliki tujuan tertentu dalam berkarya, bisa saja juga tidak. 

    Suatu karya yang memiliki dampak besar biasanya tidak lahir dalam waktu yang singkat. Ada energi, ide dan perasaan pembuatnya. Ada yang ingin disampaikan pembuatnya kepada orang-orang. Terkadang, butuh waktu, dan biaya yang tidak sedikit untuk membuat karya sebaik itu.

    Sayangnya, seringkali suatu karya dibajak oleh orang lain. Pembajakan secara sederhana merupakan tindakan tanpa izin yang menyangkut karya orang lain lalu kemudian mengakui sebagai karya sendiri, atau melakukan ‘peniruan’ tanpa memberikan kredit. Bahkan dalam kasus tertentu, pembajakan dilakukan dengan motif ekonomi karena memang dapat menjadi jalan pintas untuk meraup keuntungan. Pembajakan timbul dari motif personal untuk mengeksploitasi, bertemu dengan celah dan kesempatan untuk memperlancar prosesnya. Pembajakan sudah ada sejak lama dan terus berlangsung hingga hari ini.

    Pesatnya internet dan media sosial dapat memberikan celah untuk memudahkan pembajakan. Mudah sekali hari ini untuk mengambil karya orang, atau meniru secara dominan tanpa memberikan kredit. Misalnya, ada sebuah karya yang kita lihat di media sosial berupa ilustrasi sampul buku. Selanjutnya kita membuat ilustrasi serupa dengan melakukan beberapa perubahan kecil pada warna dan font. Kemudian sampul buku itu kita jual, dan laku. Sadarkah kita bahwa kita telah membajak karya orang lain? Kalau itu terjadi pada karya kita, rasanya sakit bukan?

    Cerita seperti di atas sering kita temukan di internet atau dengar dari seorang kawan. Rasanya sudah menjadi sisi gelap yang umum orang tahu. Kabar baiknya, internet dan media sosial tidak cuma memudahkan pembajakan tapi sekaligus dapat memudahkan pelacakannya. Suatu karya yang terunggah di internet bisa dilacak siapa dahulu yang mempublikasikan. Ini memberikan kesempatan bagi kreator untuk memberikan karyanya perlindungan.

    Logikanya seperti ini. Misalkan kita membuat suatu ilustrasi. Apakah karya tersebut kira-kira sudah pernah dibuat dan dipublikasikan orang? Kita perlu melakukan pengecekan sebab bisa saja kita terinspirasi karya seseorang, pernah melihatnya di suatu tempat, dan secara tidak langsung tersimpan dalam bawah sadar dan menjadi inspirasi. Kita bisa mengunggah ilustrasi kita pada mesin pencari untuk melihat apakah kemudian muncul ilustrasi serupa, misalnya. Cara ini mirip sekali saat kita menggunakan plagiarism checker untuk melihat apakah tulisan kita punya kemiripan dengan karya orang lain. Internet dan media sosial yang bersifat ‘terkoneksi satu sama lain’ memungkinkan hal ini terjadi. 

    Atas dasar yang sama, prinsip ini juga terjadi pada blockchain. Blockchain pada dasarnya merupakan ledger terdistribusi yang mencatat setiap transaksi. Setiap orang yang terhubung pada blockchain dapat melihat transaksi yang terjadi –blockchain memiliki asas transparansi. Bila diterapkan pada konteks hak cipta, maka kreator bisa mengetahui kapan pertama kali karyanya dipublikasi. Tidak hanya itu, dengan sifat pencatatan permanen pada blockchain, nama kreator akan secara permanen tercatat dan tidak terpalsukan. 

    Beberapa waktu yang lalu, Non-fungible tokens (NFT) muncul sebagai isu yang ramai dibicarakan dalam ekosistem blockchain. Meski isunya lebih berat pada trading, lelang dan apresiasi nilai suatu karya seni digital, namun sebenarnya NFT memiliki kekuatan pada perlindungan hak cipta. NFT secara sederhana adalah token yang merepresentasikan kepemilikan atas suatu barang unik. NFT merupakan praktik asset tokenization yang bekerja di ekosistem blockchain. Dengan menjadikan suatu karya digital sebagai NFT, pada dasarnya kita memberikan perlindungan berupa sertifikat digital atas karya tersebut.

    Pertanyaannya kemudian, apakah NFT menjamin kreator dan karyanya aman dari tindakan pembajakan? Sayangnya ada berita miris mengenai ini. Banyak cerita yang bisa dibaca tentang pembajakan karya yang berlindung dibalik NFT. Teman-teman bisa membaca salah satu ulasannya di Whiteboard Journal. Rekapnya begini: karya seorang seniman bernama Kendra Ahimsa dijiplak oleh Twisted Vacancy. Kemudiain Twisted Vacancy mengunggah karya tersebut di blockchain sebagai sebuah NFT. Akhirnya, blockchain dan orang-orang akan lebih dulu melihat karya tersebut sebagai karya Twisted Vacancy bukan Kendra Ahimsa. 

    NFT memang ide yang menarik untuk mengamankan hak cipta suatu karya. Namun ada celah besar, screening. Sistem atau marketplace atau crypto project belum bisa mengantisipasi kepalsuan. Dalam arti siapapun yang meunggah suatu karya seni digital, maka sistem akan membaca dialah pembuatnya. Atau lebih tepatnya, hari ini belum belum disediakan opsi untuk memvalidasi hal tersebut. Sebab bagaimanapun, blockchain membawa ciri khasnya yang lain: anonimitas. Pada masa mendatang, masalah ini tentu bisa diselesaikan dengan pengembangan protokol dan mekanisme yang lebih ketat pada pembajakan. Atau yang bisa dilakukan hari ini: ada pihak tertentu menjadi penanggung jawab dalam mencegah pembajakan. Kehadiran pihak tersebut penting, utamanya bagi kreator pemula yang belum terliterasi mengenai hak cipta ataupun blockchain.  

    Pengetahuan setiap kreator berbeda mengenai pembajakan. Tidak semua punya cukup resource untuk mengadvokasi hal tersebut. Pengalaman dan relasi tentu berperan penting. Kreator yang sudah profesional tentu akan lebih siap menghadapi pembajakan, di luar apakah usahanya berhasil atau tidak. Namun bagaimana dengan kreator pemula? Bagaimana dengan seniman baru? Atau lebih spesifiknya, bagaimana dengan mahasiswa jurusan seni?

    Beberapa universitas di Indonesia membolehkan mahasiswanya membuat tugas akhir selain skripsi. Misalnya, mahasiswa jurusan kesenian dapat membuat karya seni digital menjadi tugas akhir yang menjadi syarat kelulusan. Membuat karya seni sebagai sebuah tugas akhir juga menjadi latihan yang bagus sebelum akhirnya berprofesi sebagai seniman di masa mendatang. Lalu, kemana tugas akhir tersebut bermuara? Perpustakaan.

    Perpustakaan menjadi tempat tugas akhir mahasiswa di kampus. Sebagai gerbang pengetahuan, perpustakaan juga berperan untuk melestarikan pengetahuan. Begitupun dengan karya seni. Tak ubahnya konsep Galleries, Libraries, Archives and Museums (GLAM) yang satu, karya seni dapat disimpan di perpustakaan juga dapat digunakan sebagai media belajar dan rujukan. Karya seni digital yang disimpan oleh perpustakaan dapat menjadi kekayaan pengetahuan. Hari ini, perpustakaan tidak harus menyimpan sendiri karya tersebut namun bisa menggunakan platform. Dalam konteks karya seni digital, perpustakaan bisa menyimpan karya seni digital mahasiswa pada blockchain sebagai NFT. Jadi alurnya bisa begini: 1) mahasiswa membuat karya seni digital, 2) mahasiswa menyerahkan karya seninya ke perpustakaan untuk keperluan tugas akhir,  3) perpustakaan mengubah dan menyimpan karya seni mahasiswa sebagai NFT.

    Perpustakaan akan mendapat keuntungan secara finansial juga dari setiap transaksi yang terjadi atas NFT yang terjual. Nantinya, royalti dari setiap NFT yang terjual dapat dibagi keuntungannya dengan mahasiswa sebagai kreator aslinya. Sebuah kondisi win-win solution. Tentu perpustakaan perlu mendapat bagian karena pada dasarnya proses minting memerlukan biaya (dengan cryptocurrency) yang sering kali tidak sedikit. Tentu perpustakaan harus selektif memilih blockchain dan NFT marketplace yang tidak cuma populer, aman dan  memudahkan tetapi juga biaya layanannya tidak terlalu besar. 

    Apakah perpustakaan bisa melakukan hal tersebut? Bukankah institusi ini ‘hanya menjaga buku’? Tenang, perpustakaan adalah organisasi/institusi yang terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Beberapa perpustakaan sudah mengintegrasikan AI dan IoT dalam layanan perpustakaan. Beberapa perpustakaan juga mengadopsi data science untuk meningkatkan kualitas layanan. Ke depan, bukan tidak mungkin perpustakaan merambah area blockchain.
 
    Perpustakaan juga dapat bertanggung jawab hak kekayaan intelektual mahasiswa dan plagiarisme. Tepatnya dalam hal ini, perpustakaan berperan sebagai gerbang untuk mencegah pembajakan atas karya digital mahasiswa sekaligus memeriksa karya mahasiswa bukan sebuah hasil tindak plagiarisme. Apakah karya seni yang diunggah mahasiswa memang orisinil karyanya? Perpustakaan menjadi pihak yang memastikan hal tersebut. Praktik ini mirip dengan unggah skripsi pada repository perpustakaan yang perlu memperhatikan tingkat plagiasi dan keasliannya. Lalu dengan mengunggah pada blockchain sebagai NFT, perpustakaan turut melindungi hak kekayaan intelektual mahasiswa. 

    Sebagai penutup, ide ini hanya salah satu cara menghadapi pembajakan. NFT menjadi pilihan yang baik untuk mengamankan karya digital di satu sisi, namun di sisi lain juga terdapat celah pembajakan terjadi. Selama marketplace NFT masih belum memiliki cara untuk mendeteksi plagiarisme, maka peran perpustakaan menjadi penting. Pembajakan pada dasarnya akan terus ada saat masih banyak orang memiliki motif untuk mengambil untung sendiri. Namun, selama pembajakan masih ada, selama itu juga kita akan terus melawan.

P.S. Tulisan ini diikutsertakan lomba menulis artikel Indodax tapi tidak lolos sebagai pemenang. 

1 komentar:

  1. Konten blog Anda bagus. Tema yang diulas juga unik, sebab baru kali ini saya menemukan konten blogger khusus tentang kepustakaan.

    BalasHapus