Minggu, 10 Maret 2019

Pustakawan dan The Groot




Siapakah The Groot ?
Dalam film Guardian of Galaxy (GOG), Peran si Manusia Pohon atau Groot kurang dieksplor. Kemunculannya sekedar dianggap cameo meskipun pada akhirnya doski berperan penting dalam menyelamatkan para Guardian. Groot pun mati setelah upaya heroiknya memeluk bom. Untuk menggantikan perang Groot senior yang mati, Dalam GOG II, Sutradara James Gunn menganggap Baby Groot disajikan dengan gaya yang lebih baik ketimbang film pertama. Pasalnya, ia mengakui bahwa di film pertama dirinya sempat beberapa kali tak menyadari kehadiran Groot selama syuting berjalan. Pasalnya, model Groot di lokasi syuting hanya berdiri, sementara saudara James, Sean Gunn, yang didapuk sebagai model Rocket, cukup aktif di depan kamera.




“Orang yang memainkan Groot bertindak sebagai stand in pada film sebelumnya jadi kami selalu lupa kalau dia ada di sana. Dia tidak banyak bicara, jadi kami melakukan semua adegan ini dan ketika kami membuat adegan di film ketika mereka beralih ke Groot, dan Groot seperti, ‘Mengapa kau melupakanku?’ Itulah yang kami rasakan saat kami sedang syuting film pertama,” sambung James Gunn. 
“Tapi sekarang semuanya menyadari Groot dengan baik sehingga kami memiliki kesadaran yang jauh lebih besar, saya dan pemeran, Baby Groot ada di sana setiap saat. Dan dia menjadi salah satu anggota dalam adegannya… Saya pikir dia adalah karakter yang ditulis lebih baik daripada Groot pertama dalam beberapa hal. Bukan berarti dulunya ia ditulis dengan sangat buruk, tapi menurut saya dia hanya karakter yang lebih lengkap,” katanya.
Kalimat “I am Groot” yang kembali diucapkan oleh Baby Groot, membuat James Gunn terpikirkan untuk menciptakan nada suara berbeda di setiap makna yang disampaikan. Gunn lalu menciptakan naskah versi Groot untuk dirinya dan Vin Diesel, yang di dalamnya dituliskan makna dari setiap kalimat “I am Groot” dalam bahasa Inggris.
The Groot di Invinity War digambarkan sebagai karakter manusia pohon teenager, atau remaja yang sedang akil balik. Hobby beratnya adalah main gatget, terlihat seperti kecannduan game. Marvel merepresentasikan The Groot remaja sebagai wakil generasi now, yang addict terhadap gadget dan internet. Ibaratnya, penugasan kedalam situasi yg mahaberatpun cuek dilaluinya dengan bermain game dan gadget.
Sedikit sejarah, kenapa The Groot akhirnya terlibat dalam perang koalisi Avenger vs Thanos? The Groot sebenarnya muncul dalam Cluster Guardians of Galaxy, pimpinan Peter Quill. Di film Guardians of Galaxy I, peran the Groot sangat sugnifikan meski akhirnya mati. Di akhir film, The Groot melindungi Avenger dengan memeluk bom yg berakibat fatal. Tubuhnya hancur berkeping.
Di Film Guardians Galaxy II, karakter Groot dihidupkan kembali sebagai baby groot, anak dari bapak Groot yang diselamatkan oleh si Raccon. Disini Baby Groot muncul dengan karakter unik dan menghibur, lucu menggemaskan. Paradoks, di saat hero yang lain punya kekuatan super, Baby Groot hadir sebagai anak kecil imut yg cuma bisa joget tanpa kekuatan apapun. Disinilah kejelian Marvel. Banyak analis yang mencurigai, penampilan sosok Baby Groot sebagai bargaining bagi anak anak untuk semakin dekat dengan film ini…kampret.
Dan rumus tetap film ini adalah para penjaga galaksi harus berkontribusi nyata dalam setiap perannya. Baby Groot sebenarnya perannya besar, diakhir cerita berhasil menyelamatkan para Guardian, bukan dengan kekuatannya, tapi dengan ukurannya yang kecil dan imut. Dia dapat tugas menaruh bom, untuk menghancurkan musuh. Baby Groot remaja akhirnya dimuncul di Avenger Invinity War. Keterlibatannya adalah sebuah keniscayaan mengingat Nebula dan Zamora yg merupakan Guardian, adalah putri putri angkat Thanos. Ketika para Guardians berkoalisi dengan Avenger, peran Groot remaja sedikit tertutupi oleh kehebatan hero yang lain. Groot remaja juga punya capaian fantastis ketika dia menyelamatkan Thor di saat kritis mencari senjata untuk melawan Thanos. Groot yang culun mengorbankan lengan rantingnya sebagai gagang kampak meteor Thor yg kelak dipakai untuk menembus perut Thannos. Artinya peran Groot remaja yang sebenarnya penting, serasa disenyapkan dan ditiadakan.

Kenapa Karakter Pustakawan Mirip The Groot?
Bisa jadi saya akan dibully para pustakawan karena menggeneralisasi secara serampangan hal ini. Alur logikanya dimulai dari sini. Kerja pustakawan adalah kerja teamwork. Pustakawan bukanlah seniman atau salesman yang kinerjanya makjleb: bisa terlihat langsung dari hasil karya output kreasinya. Pustakawan lebih berperan sebagai pensupport, pendukung kinerja institusi penaungnya. Atau kalau di sektor swasta, pustakawan berperan dalam menunjang institusi bisnis korporat induknya.
Nah lo, tunggu dulu, bukankah peran pustakawan khususnya di era digital ini dibekali dengan proses meng-create produk, tidak sepasif mindset kepustakawanan jaman jadul ? Betul Mas Broh.
Pustakawan sekarang harus mampu menciptakan inisiatif kreasi yang mumpuni. Pustakawan harus punya capaian individu yang hebat. Misal, bisa mengoprek software SLIM menjadi FAT, dari kurus menjagi gemuk (valuenya he he joke). Atau bisa mengedit data broll video menjadi paket paket berita. Atau mampu menginput metadata sekerdipan mata. Banyak yang punya kemampuan tersebut. Tapi tetap secara kelembagaan, kemampuan tersebut pada akhirnya hanya merupan faktor penunjang institusi penaungnya. Karena toh produk produk kepustakawanan lebih kepada penguatan proses bisnis korporate nya. Pustakawan dan Perpustakawan hanya subsystem workflow dari rangkaian proses yang mengalir ke output. Dalam konteks tersebut; pustakawan hadir sebagai kekuatan teamwork, system unit yang  sangat vital dalam rangkaian worklow bisnis proses. Matinya pustakawan, akan menyebabkan kemacetan, atau lumpuhnya bisnis proses. 
Karakter pustakawan mirip dengan The Groot di Guardian Galaxy atau Avenger diatas. Ternyata sesuatu yang penting, tidak hanya ditentukan oleh faktor teknis an-sich nya tok. The Groot punya pencapaian individu mumpuni. Sebagai manusia pohon, dia sebenarnya mampu menjangkau musuh dengan akar dan cabang kuatnya, sehingga sering hadir di titik krusial sebagai pahlawan. Tipikal Hollywood bingit, Groot pun disimbolkan sebagai hope. Betapa tidak, dia hadir dalam teamwork, namun sayang perannya tertenggelamkan oleh pahlawan lainnya.
Apa kekurangan nya The Groot  yang mirip Pustakawan? Dia kurang mampu mengkomunikasikan kemampuan dan kinerja kepada management dan masyarakat. Lonely hero, atau pahlawan yang kesepian. Kemampuannya yang menjulang tidak diiringi dengan presentasi ide yang bernas. Sepanjang filem Avenger Invinity War yang berduarasi 3 jam, dia cuma berucap 2 kata:
” I am Groot “
Kekurangan The Groot lain yang mirip dengan pustakawan adalah kurangnya percaya diri. Pustakawan sepertinya jago kandang, terlihat hebat ketika berada di dalam tempurungnya tapi melempem ketika berinteraksi dengan profesi lain. The Groot juga sama, terlihat pemalu dan minder dengan kemampuannya. Kurang percaya diri seolah kena kutukan bahwa profesi ini sulit sekali berubah.
Dan sialnya, terkadang, persepsi bisa mengalahkan realita. Menjadi manajer perpustakaan yang handal, kita harus mampu mempresentasikan Perpustakaan kita kepada manajemen dengan baik dan sempurna. Kita harus mampu meyakinkan stakeholder dan manajemen dengan bahasa yang bernas dan mudah dipahami, tentang pentingnya peran kita. Sehebat dan brilyan nya capaian personal kita sebagai pustakawan kalau kita tak mampu mengkomunikasikannya dengan apik dan efektif toh menjadi percuma. Orang orang tidak akan berubah mindsetnya hanya bermodal berteriak :


” Saya Pustakawan “ ke jajaran direksi atau atasan kit 
 Seperti satu satunya kalimat yang hanya diucapkan Groot: 
” I am Grooot “ 

Saran Buat Sekolah Perpustakaan Agar Pustakawan Tak Seperti Groot !
31416983_10216171230496100_4886239548903662546_n
31408287_10216169966984513_578365384726447105_n
Pada tengah Januari 2018 yang lalu saya diundang ikut rapat kurikulum Jurusan Vokasi Manajemen Dokumen dan Informasi UI oleh ketua jurusan Ibu Diah Safitri. Dalam rapat beliau meminta saran dari saya sebagai praktisi kira kira ada masukan yang harus dibenahi.
Saya tidak akan cerita detilnya. Tapi saya mengungkapkan jika diranah praktis bidang pusdokindo, perkembangannya sangatlah cepat dan dinamis. Revolusioner bukan evolusioner seperti di dunia akademis. Yang dulunya kita mengelola koleksi Buku, sekarang kita dipercaya untuk mengelola data dan asset data. Bukan sekedar bigdata tapi smartdata. Untuk itu perlu networking antara sekolah perpustakaann dengan asosiasi profesi spesialis. Saya sudah bekerja di Industri penyiaran selama 15 tahun, tapi sudah 3 platform berubah mengikuti perkembangan teknologi. Dari awalnya banyak berhubungan dengan peralatan mekanis elektronis (VTR dan Tape Library), berkembang ke Hybrid Elekronis Mekanis dan akhirnya Fully Digital Platform. Untuk melihat perubahan ini saya menulis beberapa artikel:
Yang kedua, organisasi berubah, ekosistem pusdokinfopun  berubah. Yang menang kompetisi bukan yang pinter atau rajin membaca buku seperti jaman dulu, tapi mereka yang cepat beradaptasi dengan perubahan itu sendiri. Sekolah perpustakaann harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. 
Selama ini ada anggapan bahwa sekolah perpustakaan terlalu berkonsentrasi sebagai pemasok Pustakawan PNS. Beberapa sekolah perpustakaan mau fokus menyediakan sdm pustakawan di PNS, dibuktikan dengan ketakutan menanggalnya terminologi  kepustakawanan agar lulusannya diterima sebagai PNS. Padahal asal tahu saja, data menunjukkan hanya 2% lulusan yang terserap jadi pegawai negeri, lainnya mau dikemain? Kita harus realistis dan faktanya ada tidak setiap tahun ada rekruitmen PNS. Sementara berbanding terbalik di era digital permintaan pasar kerja di sektor swasta melimpah ruah. Ada gap dan kesenjangan yang harus dipangkas.
Ada semacam ketakutan jika tidak menggunakan redaksional jurusan perpustakaan, alumninya gak bakalan diterima di rekruitmen pustakawan PNS yang kaku tersebut. Mereka terpenjara dengan frasa “perpustakaan” sebagai redaksional nama Jurusan atau program studi. Vokasi UI lumayan moderat berani menggunakan terminologi Dokumentasi & Informasi. Saranku, jurusan harus mengambil pilihan untuk lebih bermitra ke semua stakeholder yang lebih luas termasuk dengan perusahaan perusahaan. Buka mental block, step forward, networking dengan semua stakeholder.
Saran terakhir terkait perubahan mindset kurikulum. Di era distrupsi ini, mbok ya masukin unsur banyak sofskill seperti peresentasi, grafis editing, metadata, komunikasi organisasi, leadership, berpikir kritis, teknik kolaborasi, writing skill, hipnosis dll kedalam core kompetensi kita, karena itu sangat bermanfaat di lapangan. Untuk core juga merubah kurikulum tradisional ke digital.
Saya pernah menulis agar perpustakaan berubah di artikel bleg sebagai berikut: Make pustakawan great again dan Kita bisa ngalahin profesi lain
Yogi Hartono, peraih best employee CNN Id 

0 komentar:

Posting Komentar