Senin, 28 Januari 2019

Pustakawan: makhluk dongkrak-an dan malapraktik pendidikan pustakawan

Paijo, anggota pustakawan blogger itu sedang mumet. Konsep pustakawan blogger berubah. Tadinya bebas posting di blognya masing-masing. Apapun bisa ditulis namun tetap tanggungjawab. Sak geleme dhewe, lalu sebarkan.

Sekarang, ada konsep baru. Anyar. Dibuatlah satu blog, kemudian diundang siapa yang minat ngisi. Semua bisa nulis di blog yang sama. Keroyokan. Tiap bulan, atau mungkin tiap minggu akan ada tantangan tema. 

****

Tema pertama sudah ditentukan: “pustakawan: makhluk apa itu?”. Tema ini berbentuk pertanyaan. Berarti tulisannya nanti paling tidak berusaha menjawab pertanyaan tema itu. Itulah yang membuat Paijo mikir.

“Sejatinya, makhluk seperti apakah pustakawan itu?,” gumamnya.

Teman-temannya sudah nulis. Paijo tak kunjung dapat ide. Mbundet

Setelah renungan panjang, perlu diuyak-uyak alias dikejar-kejar, akhirnya dia ingat, dulu pernah nulis di blognya dengan judul “pustakawan itu bukan siapa-siapa”. Bukan siapa-siapa, Paijo memang yakin begitu. Pustakawan itu manusia biasa. Dia bukan manusia super yang bisa ini itu.

Sebenarnya judul tulisan itu nyontek. Dia akui itu, dan dia tulis dibagian paling bawah tulisannya. Tulisan itu, fikirnya, sebenarnya bisa menjawab pertanyaan “pustakawan makhluk apa itu?”. Tapi tidaklah elok, kalau dia posting ulang di blog keroyokan itu. 

Akhirnya, setelah njungkel njempalik mikir, dia memutuskan. Dia  lanjutkan saja judul tulisan lamanya: “pustakawan bukan siapa-siapa”, dengan pendekatan pertanyaan  lanjutan “bukan siapa-siapa itu karena apa?”.

Paijo ingin menelisik, sebab musabab pustakawan itu bukan siapa-siapa?

Namun, menelisik “sebab” dengan waktu yang terbatas tidaklah mungkin. Kecuali lewat perenungan, kontemplasi agar turun wahyu, kemudian: cling, ketemu sebabnya. Tapi Paijo juga sadar. Dia manusia biasa yang berlumur dosa. Kesalahan dan dosanya sangat mungkin menjadi penghambat turunnya ilham. Ada tabir pemisah ilham dan wahyu yang sulit ditembus. 

***

Di grup pustakawan blogger yang Paijo ikuti, pernah terlontar pertanyaan atas dasar sebuah pengalaman. Kang Yogi, seorang manajer aset digital terkemuka di Indonesia, kaget tak terkira. Ketika itu dia sedang memilah dan memilih para pelamar. Salah satu yang dilihat, tentunya selain foto pelamar yang bening-bening, juga IPK. Dia kaget saat melihat IPK adik angkatannya yang menjulang tinggi setinggi tugu monas. Tugu yang kabarnya juga disebut MONumen Akal Sehat. Padahal, dulu di jamannya, IPK mau setinggai tiang bendera saja susahnya minta ampun. Sulit. 

Ada beberapa prediksi dari Kang Yogi, apa sebab IPK bisa menjulang tinggi: si mahasiswa makanannya bergizi, daya hafalnya luar biasa, kemudian yang terakhir nilai menjulang tinggi itu karena dongkrakan.

Dongkrak?

Dongkrak, menurut kamus suci Bahasa Indonesia, berarti alat untuk mengumpil atau menaikkan. Hasil dongkrak-an, berarti hasil dinaikkan, hasil umpilan, angkatan, yang sebelumnya di bawah menjadi naik ke atas. Mumbul.  

Komentar muncul, masih dalam grup itu, yang mengatakan bahwa dongkrakan itu diperlukan agar akreditasi kampus tetap oke, dan tentunya tuntutan pasar. Mungkin ada belas kasihan dari dosen pada alumni kalau IPK kecil, dan tidak lolos masuk syarat mendaftar ASN. Efek berikutnya  akan dahsyat. Si sekolah perpustakaan akan dijauhi calon mahasiswa. Bahaya. Jelas para dosen tidak mau ini terjadi.

Namun, apakah prediksi ini benar?

“Harus diinvestigasi,” Paijo mengepalkan tangan.

***

Nah, sore ini, Paijo buka facebook. Biasa, buka akun satu dan lainnya, buka wall kemudian baca status banyak orang. Tanpa sengaja dia nemu status seorang dosen. Tentunya dosen ilmu perpustakaan, bukan dosen ilmu lainnya. Dia tak berani membahas yang lain. Status itu masih ada hubungannya dengan dongkrak mendongkrak. Begitu lugunya si dosen membuka rahasia dapurnya pada status sebuah facebook. 

Entah keluguan itu muncul karena memang lugu, atau, ya mungkin sedang menikmati posisinya sebagai dosen, yang memiliki "kuasa" atas mahasiswanya. Atau bisa juga karena saking mumetnya menjalankan perannya sebagai dosen (ilmu) perpustakaan.

“nilai-nilai itu sudah hasil dongkrak sana dan sini”, demikian katanya. 

“Ini jelas bukan status lugu,” gumam Paijo mengoreksi anggapan awalnya. Karena dia yakin, dosen itu sebagai ilmuwan yang boleh salah, tapi tidak boleh bohong dan harus jujur. “Lebih tepatnya ini status jujur!.”, koreksi Paijo dalam hati. Status itu sudah melewati tes kevalidan, kajian ilmiah, review, dan akhirnya keluar. Kabarnya ada juga yang nilainya D atau E.

Paijo mikir, kalau D dan E itu juga sudah hasil dongkrakan, lalu aslinya berapa? 

Sebenarnya Paijo masih heran, kenapa selevel dosen membuat status seperti itu? 

Ah, entahlah. 

Status itu merupakan bukti kejujuran, yang didukung oleh keluguan dan apa adanya. Status itu, yang berwujud kumpulan huruf, menjadi kata, menjadi kalimat, kemudian melahirkan tafsir, adalah tanda.  Ini bahasa semiotik. Tanda itu dikirim/terkirim oleh si dosen kepada publik, tentang apa yang terjadi dalam dapurnya.  Jika itu disengaja, maka memang ada pesan yang sengaja dikirim oleh si dosen. Jika itu tidak sengaja alias alamiah, atau tanpa sadar, maka memang demikianlah adanya.


Status itu cukuplah membuktikan, atau bukti awal prediksi Kang Yogi. Selain itu, juga cukup sebagai bukti awal, kenapa pustakawan itu “bukan siapa-siapa”. Atau, juga bukti awal, silang sengkarut kepustakawanan di Indonesia.

Paijo berkesimpulan. Diperlukan lebih banyak dosen (ilmu) perpustakaan, yang berani membuka dapurnya di muka umum. Agar dunia kepustakawan lebih terang benderang duduk masalahnya.

****

Sendirian, Paijo masih melanjutkan lamunannya. Masih tentang dongkrak mendongkrak. 

Paijo mikir. “Jangan-jangan nilaiku dulu juga dongkrakan, katrolan”. Oh tidak…

Seorang kawannya yang bekerja di bidang penjaminan mutu pendidikan pernah berkata. Waktu itu di sebuah kafe samping rumahnya mereka ngobrol. Intinya: malapraktiknya pendidik itu efeknya sangat panjang, lama. Bahkan efek itu bisa menimbulkan efek ikutan lainnya. Bahaya, dan berpengaruh pada perjalanan bangsa dan negara.

Apakah proses pendongkrakan ini, merupakan malapraktik dalam pendidikan pustakawan?

Jika iya, maka jelas sudah. Silang sekarut kepustakawanan Indonesia memang bermula dari pendidikan pustakawannya. Bermula dari, ah... sudahlah.

Entahlah.
---------------

[[ titik - selesai ]]


Sambisari, 
Selasa Wage pagi hari, 22 Jumadilawal, 
Wuku Pahang, 1952 tahun be.

5 komentar: