Selasa, 29 Januari 2019

Pustakawan Data



Saya sekedar berbagi di area sisilain kondisi pustakawan yang terbunuh oleh jaman. Tak bijak jika saya menggeneralisasikan terhempasnya pustakawan ini. Fenomena yang hanya terjadi di sebagian perpustakaan, khususnya yang berada di naungan sebuah perusahaan. Saya sudah diundang sebagai dosen tamu di Jip Universitas Yarsi, Vokasi UI, Jip UIN Jakarta dan terakhir di Jip Unpad Bandung, tentang transformasi perpustakaan dan pustakawan ini. Artinya, jika para akademi bicara transformasi hanya berdasarkan referensi dari luar negeri, saya sharing langsung dari praktik day to day di lapangan.

Senjakala itu datang....

Sebagai seorang mahasiswa ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia, suatu saat Polan berharap bisa mendapatkan pekerjaan di industri media. Untuk itu dia magang selama enam bulan di sebuah surat kabar besar dan sangat terkenal. Perusahaan media dengan sebuah departemen arsip nya yang besar dan megah. Puluhan pustakawan bergabung untuk mengelola database Kliping Pers. Mereka menambahkan metadata dengan menggunakan thesaurus yang sangat canggih dan sistem kata kunci, dan melakukan penelitian untuk jurnalis dan pelanggan eksternal mereka sendiri.

Polan pun berpikir bahwa saat itu, dia telah melakukan Job describsion kepustakawanan yang menakjubkan. Bayangkan, melakukan sebuah pekerjaan yang hebat dan heroik “mengatur informasi dunia”. Luarbiasa.
Setelah lulus kuliah, Polan mulai mendapatkan realita yang tidak seperti bayangannya. Perjalanan karir sebagai pustakawanpun menjadi terjal dan berliku; the long and winding road; mirip lagunya The Beatles. Lowongan kerja di perpustakaan media menjadi hampa, seiring mulai beralihnya media informasi dan equipmennya dari teknologi analog; berubah ke teknologi digital. Sebuah keniscayaan yang mengenaskan mengingat tidak ada pekerjaan baru dalam arsip pers pada saat itu. Beberapa koran khawatir penurunan pendapatan dan mulai mengurangi pekerjaan pustakawan media.
Tapi toh Polan tidak bisa menyumpah-serapahi sang waktu. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Demikian juga ketika teknologi digital mulai masuk menggantikan equipment analog, serta mengubah peran kerjanya. The show must go on. Membendung kemajuan teknologi dan ngotot untuk tidak berubah, merupakan pekerjaan yang sia sia. Ibarat menjaring matahari dengan telapak tangan.
Saat itu adalah masa transisi orang menggunakan media cetak yang beralih ke media elektronik dan digital. Senjakala era cetak ikut mempengarui dipangkasnya profesi pustakawan media. Berbanding-lurus karena eksistensi pustakawan swasta tergantung pada industri yang memayunginya. Pustakawanpun mulai di assesmen, siapa yang tidak qualified dan kompeten harus siap angkat koper. Siapa yang lambat dalam berubah, siap ketinggalan kereta. Semua harus meng upgrade skill dan keahliannya akan tersingkir.
Digitisasi bukan sekedar mengurangi pekerjaan manual; memakai equipmen analog dengan banyak sdm. Teknologi analog dianggap sebuah pemborosan; fitur yang pada teknologi digital bisa multiple dari hulu ke hilir, pada teknologi manual harus terpisah kurang terintegrasi. Dan frasa pemborosan adalah monster bagi investasi dan efisiensi perusahaan. Pada sistem digital; pekerjaan bisa ditingkatkan secara kualitas dengan cepat dan lebih akurat. Dan para bos menduga; -hal ini; aktifitas manual ini akan mengakibatkan bahwa tidak ada nilai tambah bagi para pustakawannya. 
Isyu barupun muncul seiring tema efisiensi perusahaan. Tak terkecuali perpustakaan dan pustakawanpun pun diaudit apakah unit yang boros atau masih bisa ditingkatkan valuenya. Dan pada titik tertentu; kuantitas pustakawan media pun terkena imbasnya. Mengibaratkan pustakawan layaknya pasien yang akan disuntik euthanasia, dimatikan jika tidak berubah peran.
Beberapa perusahaan pers merilis informasi:
 “Kami tidak akan mempekerjakan Pustakawan dalam waktu dekat”
Departemen arsip pers terus menyusut dari tahun ke tahun. Pustakawan yang bekerja dalam lingkungan arsip pers – dan yang dulu merupakan pemangku kepentingan utama, – telah kehilangan pengaruhnya.
Kita kebanyakan berbicara dengan manajemen, marketing, editor dan IT. Pustakawannya mana? Kebanyakan pustakawan tidak terlihat, dan hampir dipecat karena pemotongan anggaran”, itulah kondisi pustakawan media cetak saat itu.
Senjakala “Pustakawan” begitu menghantui dimasa transisi ini. Pustakawan (media) mati muda dan siap digantikan si jabang bayi para pengelola aset digital (Digital Asset Manajer). Jabang bayi hasil dari reinkarnasi pustakawan.

DAM, Dari Pengelola Koleksi ke Pengelolaan Aset Digital



Maks munculah spesies baru bernama DAM Atau Digital Asset Manager yang merupakan transformasi dari profesi pustakawan. Perubahan besar di arena pengguna yang cenderung beralih dari analog ke rezim medsos dan digital, membuat manajemen  merubah strategi, dari fokus pengelolaan asset terintegrasi.
Pengelolaan asset beda dengan pengelolaan koleksi. Pada pengelolaan asset, profesional mengelola material berharga yang mempunyai value added yang bisa dikapitalisasi korporat. Berbeda dengan pegelolaan koleksi pada perpustakaan konvesional, Digital Asset Manager  masuk ke jantung proses bisnis dan terlibat langsung meggerakkan opersional bigdata day to day perusahaan. Sebuah paradoksal, eksistensi perpustakaan di perusahaan yang tadinya terpinggirkan, sekarang justru naik kelas menjadi koki penyaji orkestra pengelolaan aset digital perusahaan yang sangat penting. Perubahan ini menjadikan peran si “pustakawan” menjadi diperhitungkan kembali sebagai manager data dan asset perusahaan. Sayangnya istilah pustakawan kemudian berubah sebagai Digital Aset Manager. Untuk lebih memahami DAM/MAM terlampir adalah link DAM/MAM yang saya tulis: transformasi perpustakaan 
Dalam banyak kasus, banyak profesional informasi yang meniru membuat rancangan search engine dan penyimpanan big data ala “google”. Mereka merancang sebuah sistem DAM (Digital Asset Management) untuk mengelola asset bisnis mereka. Tagline google menawarkan ketersediaan berjuta informasi. DAM bukan sekedar itu, dia menawarkan informasi yang dibutuhkan dan sesuai untuk user. DAM berusaha membantu memenuhi kehausan informasi aset pemakai melalui mekanisme fitur pencarian data yang cepat; tepat dan akurat. Metadata yang kompleks yang diadopsi DAM akan menghasilkan pencarian data yang cepat dan sesuai.
Tapi permasalahnya, layanan tersebut tidak bisa langsung diakses seperti halnya proses pencarian informasi di gogle. Semua orang ingin pelayanan langsung tanpa sekat termasuk di perusahaan. Mereka menafikkan fungsi ”pustakawannya” sebagai gate atau jembatan. Saat itulah mulai diperkuat fungsi “pustakawan”, bukan sekedar “penyimpan dan penjaga koleksi” atau juga sebagai analis; assesment data informasi asset sebelum megarsipkannya. Sebuah peran baru dengan baju Digital Asset Manager.
Di era digital profesi pustakawan kembali menjulang. Profesi Digital Asset Manager sejajar dengan posisi spesialis lain di bidang teknologi informasi. Betapa pentingnya DAM untuk perusahaan; Seth Godin pakar teknologi Informasi bersabda:
“Untuk Pustakawan dan Digital Asset Manager; era digital, inilah kesempatan seumur hidup,”
Alat digital baru – mesin telusur, lansiran otomatis, kategorisasi otomatis, visualisasi – dapat dipelajari dan kemudian digunakan oleh arsiparis dan pustakawan untuk memperbaiki layanan mereka dengan lebih baik. Para pustakawan dan pekerja informasi tidak lagi diam dibelakan rak buku. Mereka harus proaktif menguasai teknologi informasi. Mereka harus bisa membuat halaman topik, mengirimkan berkas digital, memiliki dan menggunakan intranet dan wikis sebagai alat komunikasi. Pustkawan harus akrab dengan istilah baru digital (tag geo, sharing sosial, pengelolaan hak, pengarsipan video). Pustakawan juga harus punya value tambahan di bidang IT; mampu melacak dan memvisualisasikan metrik. Mampu mengoptimalkan search engine dan metadata untuk self-service.
Di era kekinian; "pustakawan" dan  profesional informasi akan mulai  mendapatkan penghargaan yang pantas. Pustakawan media menemukan eksistensinya kembali yang sempat meredup. Senjakala pustakawan media yang pada awalnya menciptakan kondisi suntik mati  atau euthanasia pustakawannya, akhirnya berakhir. Sang pustakawan tidak disuntik mati, tapi dirubah perannya sebagai pengelola pengelola asset . Mereka adalah pengelola asset atau Digital Asset Manager.
Ada saran menarik dari seorang konsultan Teknologi Informasi, dari US,Seth Diamon:
"Buat mereka mengerti apa yang Anda lakukan dan mengapa itu penting. Buat ketergantungan mereka pada kalian” kata Diamond berapi api.

Dibawah adalah contoh aktifitas penelusuran Informasi oleh Journalis melalui media central. Di Media Central yang terdiri dari 300 an PC ini para journalis melakukan riset dan penelusuran data pada server DAM atau MAM (Media Asset Manager) secara online.
cscnnindonesia800a
Tabik
yogi hartono - digital asset manager, cnn 

2 komentar:

  1. Warbiasah...walaupun DAM bunyinya tetap pustakawan...pustakawan modern bahkan postmodern...

    BalasHapus