Senin, 11 Februari 2019

Delima Me Librarian

Delima Me Librarian

Di tengah kemacematan dan hirukpikuk Jakarta, tubuhku terasa lelah sekali melanjutkan perjalanan ke rumah, hingga akhirnya aku memutuskan untuk bermalam di perpustakaan

Bermalam di perpustakaan?
mendengar kalimat ini mungkin akan terasa asing di telinga kita, khususnya perpustakaan di Indonesia. berbeda dengan negara negara maju, public library menjadi rumah idaman untuk menginap bagi para pelancong bahkan tunawisma/gelandangan.

Tiba di perpustakaan, aku putuskan untuk merebahkan diri di sofa sofa empuk di depan TV kabel, hingga ku terlelap tidur.

Entah pukul berapa aku terbangun, aku memutuskan untum berwudu dan sholat 2 rakaat untuk merelaksasi badan yang telah lelah.

Hingga azan subuh terdengar sayup di masjid, aku putuskan untuk segera mandi, dan sholat subuh, lalu berangkat ke kantor untuk menghadiri meeting pagi.

saat meeting dimulai, tlp dan wa terus menerus masuk ke handphoneku.

ada yang mengirimkan pesan bernada kesal, marah, dan tidak suka aku bermalam di perpustakaan tadi malam. semua pesan itu membuyarkan konsentrasiku di dalam meeting.

Selesai rapat, aku langsung membalas pesan wa tersebut dan minta maaf atas perlakuanku menginap di perpustakaan.

sepertinya ada ketabuan menginap di perpustakaan, hingga aku berpikir para pustakawan di Indonesia belum bisa berpikiran bebas menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua.

apakah para pustakawan di Indonesia masih menginap virus “Generasi Aku”, atau “Me Generation”, padahal dunia hari ini adalah dunia kolaborasi

Aku ingat 15 tahun yang lalu, hampir lebih  kuhabiskan usia produktifku di perpustakaan bermalam di perpustakaan untuk belajar, riset serta mengeluarkan produk produk teknologi perpustakaan bersama orang orang 'sosialis' pendukung gerakan kebebasan dan keterbukaan

Kejadian malam itu, seakan-akan  meruntuhkan keyakinanku, bahwa para pustakawan di Indonesia  masih terjangkit virus "Me Generation", sebuah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pola pikir sekaligus pola perilaku manusia  yang egois, mementingkan kepentingannya sendiri.

Generasi aku juga dianggap sebagai generasi narsis. Mereka senang dipuji. Mereka senang memamerkan diri mereka.

Aku teringat tulisan David Brooks dalam bukunya The Morality of Selfism, Generasi Aku ini memiliki beberapa ciri mendasar. Pertama, sebagai bentuk dari pemujaan diri yang berlebihan, Generasi Aku ini aktif sekali di media sosial untuk memamerkan dirinya. Mari kita lihat konten medsos medsos perpustakaan pemerintah di Indonesia yang hanya menjual dirinya dengan cara cara hard selling, mirip medsos jualan obat diet dan peninggi badan. Tidak menarik sama sekali untuk dikunjungi, lebih baik abaikan atau diunfollow saja akun akun medsosnya. rugi menjadi followernya.

Di era kolaborasi ini, ada baiknya priyai priyai perpustakaan di Indonesia ini berbenah diri, jadikan perpustakaan sebagai makerspace bagi pemustakanya. Biarkan pemustaka berkreasi, berkolaborasi, bahkan meniduri ruang-ruang perpustakaan. Jika ini telah menjadi tradisi, maka aku jamin tak perlu lagi para priyai ini memikirkan gerakan literasi di negeri ini yang konon terdegradasi.








0 komentar:

Posting Komentar