Sabtu, 02 Februari 2019

Mampukah Saya Menjadi Double Agent?

"Sebab menyebut diri seorang pustakawan itu mudah, tapi berproses menjadi pustakawan itu yang lebih yang sulit. "
Seandainya saat itu saya melanjutkan di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), mungkin sekarang saya akan menjadi pendakwah yang ber-Vespa (he..2, guyon). Tapi, takdir mengatakan lain. Saya akhirnya lebih memilih jurusan diploma perpustakaan karena saya anggap biaya kuliahnya lebih murah. Kisah awal pemilihan jurusan inilah yang akhirnya saya menjadi pustakawan hingga sekarang. Alhamdulillah.

Sungguh saya tidak menyesal menjadi seorang pustakawan, bekerja di perpustakaan sejak dari mahasiswa hingga sekarang. Ini bukan lebay, tapi sejujurnya saya ungkapkan apa adanya. Harus saya akui, perpustakaan adalah tempat dimana saya menemukan pilihan hidup dengan penuh kemerdekaan, sadar dan tanpa paksaan. Boleh dibilang, menjadi pustakawan dan bekerja di perpustakaan adalah laboratorium kehidupan saya sendiri di tengah kehidupan yang penuh tantangan ini.

Mampukah Saya Menjadi Double Agent?

Pustakawan bagi saya sendiri adalah seorang yang harus paham dengan dunia aksara. Itu saja dulu. Terlepas era sekarang sering kali dihubungkan dengan kemajuan teknologi hingga memunculkan sebutan profesi konon dengan nama yang lebih 'modern' misal semacam spesialis informasi, pengelola aset digital seperti yang digaungkan Kang Yogi, dan apalah sejenisnya, tapi menurut hemat saya adalah tetap satu, yakni kemampuan memahami dan memaknai kumpulan aksara.
Baca Juga: Pustakawan Data

 

Autokritik

Atas hal itu, saya jadi bisa melihat dalam profesi sendiri, katakanlah sebagai autokritik pribadi. Selama bekerja di perpustakaan yang berbeda-beda mulai dari perpustakaan pribadi, sekolah, umum, khusus (lembaga), semuanya itu bermuara pada pemahaman kumpulan aksara pada koleksinya. Kalaupun ada hal teknis-teknis, itu hanya sisi pengelolaan dalam upaya memudahkan saja. Oleh karenanya, ketika salah satu penulis sekaligus pengelola perpustakaan, yakni Muhidin M.Dahlan pernah mengatakan bahwa budaya membuat resensi buku adalah pekerjaan utama dari seorang pustakawan, maka dengan lantang saya katakan setuju karena itu adalah bagian dari memahami kumpulan aksara.

Memahami kumpulan aksara dari waktu ke waktu merupakan 'tambang emas' bagi seorang pustakawan, dimana itu kelak akan menjadi akumulasi pengetahuan (tacit), yang apabila tidak di eksplisitkan, maka merupakan sebuah kerugian besar. Hasil memahami kumpulan aksara di padu dengan pengalaman kehidupan, maka akan membuat pustakawan semakin memiliki banyak imajinasi, dimana pada satu titik akan bisa saling bersinggungan. Titik yang bersinggungan itulah apa yang dinamakan dengan ide/gagasan.


Double Agent

Kembali tentang autokritik, selama saya menjadi pustakawan, sudah berapa buku yang saya tamatkan? Sudah berapa buku yang saya tulis dan bermanfaat? Sudakah saya menjadi 'double agent', seorang pustakawan sekaligus pemustaka ideal sebelum berkoar-koar tentang pentingnya aktivitas membaca? Tiga autokritik itu, mampukah saya jalani? Sebab menyebut diri seorang pustakawan itu mudah, tapi berproses menjadi pustakawan itu yang lebih yang sulit. Tentunya pustakawan berdasarkan perspektif saya.

Sampai sekarang saya masih terus belajar untuk menyenangi dan memahami sekaligus memaknai kumpulan aksara terkait radiasi, nuklir, zat radioaktif dan sejenisnya. Berat memang, tapi bukan berarti saya harus paham sampai ke hal-hal teknisnya. Oleh karenanya saya sadar, seperti apa yang dibilang Paijo, "Pustakawan itu manusia biasa. Dia Bukan manusia super yang bisa ini itu."  Mungkin, salah satu cara yang bisa dilakukan, yakni berkolaborasi dengan si 'pengawas radiasi' di kantor saya. Siapa tahu, di masa yang akan datang, saya mampu merangkai kata menjadi buku berjudul "Awas Radiasi Di Sekitar Kita." Yah, yang mudah-mudah saja dulu, utamanya terkait kehidupan sehari-hari (he..2). Semoga.

Lantas, bagaimana dengan tiga autokritik tersebut? Sementara biarlah saya jawab dengan puisi amatiran alakadarnya sebagai bahan berkontemplasi, pengingat, nasihat pribadi saya sendiri. Ini dia mas bro:

Teman Teks

Menjelajahi teks
Banyak rintangan
Baru lima baris
Seketika mata menutup

Begitulah teks
Hanya orang terpilih yang menjadi temannya
Jika engkau kuat
Bersyukurlah

Pamulang, 20/1/2019

Aksara

Kumpulanmu itu
Banyak membuat orang bahagia
Hingga mereka banyak tersenyum
Namun, kadang juga sedih
Hingga meneteskan air mata

Melompat dari kata ke kata
Membuat mereka terbang melayang
Penuh impian
Menginspirasi
Menggugah rasa

Mereka yang sungguh-sungguh bergelut denganmu
Dengan hati bersih
Sabar
Tidak malas
Terbentanglah kehidupan penuh makna

Terima kasih pencipta aksara
Terima kasih para perangkai aksara

Jakarta, 18/1/2019
Merangkai Kata

Merangkai kata
Itu perlu makna
Perlu keindahan
Agar abadi

Merangkai kata
Itu perlu hati-hati
Perlu kesejukan
Agar terkenang

Merangkai kata
Itu harus dari hati
Jangan pernah lukai
Agar tetap damai

Jakarta,8/1/2019


Ngoceh

Sekedar Ngoceh
Itu tak ada arti
Lebih baik menjadi contoh
Lakukan dengan hati

Tak perlu melihat kanan dan kiri
Lurus, menatap kedepan
Yakin dengan apa yang dilakukan
Hanya karena-Nya

Itu tak mudah
Karena perlu latihan
Jika bukan sekarang
Mau kapan?

Niat itu baik
Disertai aksi juga lebih baik
Bukan sekedar ngoceh
Itu saja sih

Puri Pamulang, 24/1/2019

Kalau teman-teman pustakawan sendiri bagaimana?

Salam,
#pustakawanbloggerindonesia

0 komentar:

Posting Komentar