Sabtu, 02 Februari 2019

Menata(p) Pustaka(wan)

Entah kapan sebenarnya saya jatuh hati pada pustaka. Saat berusaha mengingatnya atau menerka kapan kiranya mulai benar-benar bersentuhan dengan pustaka, jawabannya agak meragukan. Tapi jika merujuk pada ingatan yang paling berkesan, tentu ada beberapa momen yang mungkin bisa saya klaim.

Namanya mengklaim, tak mungkin saya beri izin pembaca Pustakawan Blogger menodongkan protes. Kecuali anda seperti malaikat yang sejak dulu membututi dengan secarik catatan. Atau setelah membaca tulisan ini, anda berhak melalukan telaah hermeneutik yang sanggup menyingkap makna atau mental penulis. Lalu memberikan catatan yang sesungguhnya.

Perkenalan saya dengan pustaka (dalam arti berselera membaca) dimulai saat mahasiswa, itu pun baru intens menjelang semester 10. Perkuliahan di Ilmu Perpustakaan ternyata tak mampu menggodaku menjadi pembaca. Padahal kala itu saya menyahuti bahwa giat membaca (falsafah iqra) adalah karakter yang penting dimiliki mahasiswa JIP. Dosen pun hanya menjadi objek keresahan khas mahasiswa yang lagi hangat-hangatnya berargumen tanpa teks atau kutipan.

Memasuki semester akhir, atau periode pengerjaan skripsi, saya lantas menyadari betapa tertinggalnya diriku. Kesadaran itu mengilustrasikan posisi primitif yang begitu nampak. Ibaratnya saya terlempar keluar dari kekinian untuk mengambil jarak dan mengukur diri sendiri.

Saya lalu menepi dari keramaian, berpindah dari sekretariat lembaga mahasiswa dalam kampus (yang kutinggali selama 4 tahun) bergeser ke kos. Tak pernah ada waktu yang begitu sunyi saat saya memilih bersendiri di kos melakukan refleksi.

Refleksi semacam itu rupanya menerbitkan kegairahan melahap bacaan, terutama koran-koran yang hampir tiap hari menjadi santapan pagi. Dalam seminggu saya meminjam dua buku di perpustakaan fakultas. Saya tak tahu saat itu berlomba dengan siapa. Yang jelas saya membayangkan sedang tertinggal jauh dari yang lain (liyan), merasa ternyata kering akan pengetahuan. Dan saat-saat itulah rupanya yang kian meyakinkan bahwa sebaiknya pustakawan adalah pembaca.

Nah, saat ini situasinya berbeda, saya merasa telah dekat dengan pustaka, namun itu karena sedang bekerja di perpustakaan. Di balik itu, selama 3 tahun bekerja di perpustakaan, yang terjadi ialah semakin dekat dengan pustaka semakin jauh untuk bisa (memiliki waktu) menyerap kontennya. Situasi ini pada akhirnya harus ditaktisi dengan cara yang baru.

Hari demi hari saya bergiat di perpustakaan, dan tak pernah betul-betul fokus untuk membaca. Padahal kini saya punya defenisi tersendiri, pustakawan adalah pembaca. Secara radikal bahkan saya sering memancing kawan dengan bilang pustakawan adalah pembaca. Meski agak egois, paling tidak orang terakhir yang membaca kala perpustakaan tak lagi dikunjungi atau sepi adalah pustakawan.

Saya kadang tergoda untuk bercerita bak sastrawan yang bakat menulisnya dimulai dari masa kecil. Saya pernah membaca biografi semacam itu, yang entah kenapa saya sangsi itu dibesar-besarkan untuk meneguhkan identitasnya, seakan linear dengan apa yang ditekuni saat ini. Ada banyak sih yang jujur.

Untuk saya, membaca cerita seperti itu, efeknya bikin dilematis (kalau bukan berserah) untuk bisa menyamai rekor para sastrawan yang dalam setahun membaca ratusan buku. Pastinya saya tidak akan mampu bercerita seperti mereka yang sedari kecil katanya sudah rajin membaca dan menulis.

Praktis saya mengalihkan aktivitas membaca dan menulis pada malam hari. Hari kerja sepenuhnya saya alokasikan demi menjalankan tugas-tugas kepustakawanan yang katanya kian kompleks. Itu pun yang membawaku setiap pagi berusaha menata pustaka. Jejeran buku yang berdesakan dan terbongkar, saya rapikan tanpa sungkan, tak menuruti rekan pegawai dan honorer di meja baca yang rutin memulai paginya dengan percakapan basa-basi.

Di sela menata buku, bayang berjarak selalu muncul. Seringkali ada perasaaan terlempar dari suatu sistem, yang entah kenapa kelihatan bias dari visi. Rutinitas menata pustaka, alhasil mengajakku terus menatap kedirian. Pergulatan yang terjadi bukan lagi soal kecurigaan, tetapi ada semacam asa dan keinginan memikirkan kondisi yang ideal. Pada akhirnya, saya memaknai aktivitas menata sebagai aktivitas yang dapat mengawal profesionalisme dan terus memantik berpikir beragam hal.

Banyak kawan saya yang mengira menata pustaka sebagai keahlian inti dari seorang pustakawan. Padahal, alih-alih mengakuinya, justru kadang menata pustaka semacam kegiatan yang menimbulkan keresahan (refleksi).

Di sisi lain, mungkin stigma itulah yang akhirnya membiarkan mereka memaklumi diriku (pustakawan) yang gemar menata. Atau bisa juga jadi alat pembenaran bahwa pustakawan 'sejati' itu adalah yang giat menata pustaka. Seperti itu yang tersemat pada rekan-rekan pustakawan lain bila ia begitu asyiknya menata pustaka (hingga menjelang maghrib, lupa jam kantor telah usai), tapi tak menatap sesuatu sedang terjadi padanya.


Penulis adalah Penata Pustaka di PUKE dan Pengelola Kulimaspul.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar