Selasa, 05 Februari 2019

Perpustakaan Kuno dan Konvensional ala Agatha Christie

Jadi,  kalo masih gak mau berubah, siap-siap aja ada mayat di perpustakaan."
Oleh: Hariyah*

Sudah jadi kebiasan Bulan, kalau setiap bulan musti ada target berapa buku yang dibacanya. Bukan buku teks sih. Berat dan serius. Bulan senang baca novel atau juga buku-buku popular bidang apa saja, yang penting asyik dibaca. Bener sih, kelebihan pustakawan salah satunya adalah bisa menyisipkan beberapa judul buku atau novel best seller untuk diadakan di perpustakaan. Jadi  gak perlu nganggarin sendiri, alias pinjam saja di perpustakaan. Kan salah satu fungsi perpustakaan adalah rekreasi, diantaranya dengan adanya novel-novel yang menarik akan membuat pemustaka enjoy library.   Ya selain itu juga Bulan harus terus membiasakan, jangan sampai pustakawan menggembar-gemborkan budaya baca, tetapi dirinya sendiri gak banyak baca apalagi menulis. Phfff.

Baca juga: Pustakawan Meneliti

Perpustakaan Kuno dan Konvensional ala Agatha Christie
Credit: Openclipcart
Nah, saat sedang membereskan koleksi pribadinya di rumah, tetiba sudut pandang matanya bertemu dengan salah satu judul buku yang cukup misterius. Agatha Christie, The Body in the Library. Buku aslinya terbit pada tahun 1942, versi Indonesianya berjudul Mayat dalam Perpustakaan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pertama kali tahun 1985. Wuih, serem juga bacaan si Bulan. Sepertinya buku itu sudah lama sekali, sudah hampir lupa juga Bulan kalau punya buku itu. Bulan tidak terlalu ingat bagaimana jalan ceritanya. Tapi judul buku ini cukup mengusik pikirannya.

Apa yang membuat Bulan terusik. Yakni kenapa perpustakaan jadi latar tempat terjadinya pembunuhan atau tempat ditemukan mayat. Penasaran dengan judul ini, Bulan coba membaca tulisan di cover belakang buku dan  menelisik kata pengantar pengarangnya. Dan  akhirnya ditemukanlah kalimat yang jadi kunci. Kata penulisnya, “Perpustakaan yang diceritakan haruslah suatu ruangan yang amat kuno, dan konvensional. Di pihak lain, si mayat haruslah mayat yang menyolok, sensasional, dan berlawanan dengan sifat-sifat perpustakaan itu”.  Nah loh, apa nih maksudnya.

Di awal kata pengantar penulisnya bilang, “Di dalam dunia fiksi ada ciri-ciri tertentu yang diasosiasikan dengan tipe-tipe cerita tertentu (di Inggris). Untuk cerita-cerita melodrama, sering ditokohkan seorang bangsawan yang bersifat pemberani dan jahat. Untuk cerita-cerita detektif, plot yang umum adalah mayat yang ditemukan di dalam perpustakaan”. Waaat??? Tetiba mata Bulan membelalak. Kalimat yang terakhir itu loh, “…plot yang umum adalah mayat yang ditemukan di dalam perpustakaan”. Gak salah nih, pikir Bulan. Mata Bulan terus mengikuti kata demi kata dan berputar di sekitar itu. Sampailah ia  pada kalimat penulisnya, “Selama bertahun-tahun lamanya saya selalu berharap dapat membuat suatu variasi sesuai dengan tema-tema cerita yang terkenal ini. Untuk itu saya  membuat beberapa ketentuan bagi diri saya sendiri”.

Bulan berfikir, untuk penulis besar seperti Agatha Christie, pasti dia punya alasan tertentu kenapa perpustakaan menjadi latar adanya mayat. Seperti yang dikatakan penulisnya, ini hanya sekedar  imajinasi penulis, sekedar suatu variasi, dan sekedar ketentuan yang dibuat sendiri oleh penulisnya. Baiklah, itu hak penulis. Dia yang punya cerita. Bulan tidak bisa masuk ke alam imajinasi penulisnya. Bulan pun tidak sampai imajinasinya ke masa silam tahun 1940an atau jauh sebelumnya di Inggris. Tetapi Bulan gak bisa mengakhiri sampai di sini.

Bulan mencatat di novel itu bahwa perpustakaan yang menjadi tempat ditemukannya mayat adalah perpustakaan yang kuno dan konvensional. Nah kalimat inilah yang harus jadi perhatian. Perpustakaan yang kuno dan konvensional itu seperti apa sih?? Hmmmm. Bulan merenung.

Bulan penasaran. Apa sih yang digambarkan penulisnya tentang perpustakaan seperti itu. Bulan membaca secara skimming. Matanya terus saja menjelajah kata demi kata untuk memuaskan penasarannya. Nah ini dia. Ketemu, “Perpustakaan itu memantulkan ciri khas pemiliknya. Ruangannya luas, dalam keadaan yang mengibakan dan tidak rapi. Ada kursi-kursi besar yang sudah kendor tempat duduknya, ada pipa-pipa rokok, buku-buku, dan dokumen-dokumen hak milik tanah yang berserakan di atas meja yang besar. Ada satu atau dua buah lukisan keluarga yang baik tergantung di dinding, dan beberapa buah lukisan cat air gaya Victoria yang jelek, ada pula beberapa lukisan adegan perburuan yang konyol. Di pojok ruangan ada sebuah jambangan besar berisikan bunga-bunga aster. Seluruh kamar itu redup, lembut, dan sederhana. Kamar itu memberikan kesan bahwa sudah lama dan terlalu sering dipakai. Juga kamar ini masih erat kaitannya dengan tradisi lama”. Bulan mengangguk-angguk sendirian.

Ooo, jadi itu ya menurut imajinasi penulisnya. Gak jauh beda sama persepsinya Bulan. Menurutnya perpustakaan yang kuno dan konvensional sering digambarkan sebagai perpustakaan yang sepi, manual alias gak modern apalagi posmo, cahayanya remang-remang cenderung gelap, lokasinya di pojokan, tidak banyak dilalui orang, dan karenanya menjadi sedikit seram atau angker. Apalagi ditambah petugasnya gak ramah dan jutek.

Klik. Bulan mendapat hikmah. Kritik buat dirinya. Bulan harus kerja keras, gak mau perpustakaannya seperti itu. Jadi sekarang tahu kan mesti gimana perpustakaan. Mesti gimana pengelola perpustakaan. Mesti gimana layanan perpustakaan. Gak mau kan kalo perpustakaannya jadul seperti itu. Alih-alih pustakawan mengajak orang ke perpustakaanya, yang ada justru perpustakaan itulah tempat yang dihindari karena angker. Jadi,  kalo masih gak mau berubah, siap-siap aja ada mayat di perpustakaan. Hiii syereeem.

*Pustakawan pada Badan Litbang dan Diklat Kementarian Agama

0 komentar:

Posting Komentar