Rabu, 13 Februari 2019

Perpustakaan Sebagai Lembaga Sensor

Memilih koleksi perpustakaan sekolah dasar, harus melalui banyak pertimbangan, di antaranya kesesuaian level baca, minat dan kepopuleran.

Sebagai pustakawan sekolah dasar, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam pengadaan koleksi. Di antaranya, kesesuaian level baca anak, minat, dan tentunya kepopuleran buku tersebut di antara pembaca seusia mereka. Biasanya sih yang dicari adalah buku yang ada filmnya, seperti Captain America, Captain Underpants, Diary of a Wimpy Kid, dan sejenisnya. Bisa dibayangkan lah yaa buku apa saja yang sering dicari?

Namun, tentu saja koleksi perpustakaan tidak melulu mengikuti kesukaan anak-anak saja. Ada pula koleksi yang harus dibeli meski kurang populer. Seperti misalnya cerita klasik. Mau tidak mau harus dibeli, karena tidak mungkin dong mereka hanya membaca fiksi populer saja? Cerita klasiknya tentu disesuaikan dengan usia dan kemampuan membaca mereka: yang teksnya mudah dan banyak gambarnya.

Selain fiksi, koleksi non fiksi juga harus dibeli. Ini juga buku-buku yang jarang dilirik siswa. Koleksi ini populernya saat mereka riset. Biasanya setelah guru bersabda agar mereka mencari informasi tentang satu topik, barulah buku-buku ini banyak dicari.

Repotnya, jika buku-buku yang sudah dengan hati-hati dipilih ini, ternyata menyebabkan kerusuhan di perpustakaan. Umumnya terjadi jika ada gambar-gambar tidak senonoh di dalamnya. Mulai dari buku cerita bergambar deh. Tidak semua buku cerita bergambar ini aman untuk anak-anak, ternyata. Contohnya buku ini, “Mr. McGee and the Biting Flea.”

Jadi ceritanya Mr. McGee sedang main layangan, tiba-tiba dia merasa ada yang gigit! Maka dia pun berlari sambil membuka bajunya satu persatu.

Tidak hanya baju, dia juga melepaskan celana dan semua sampai jeroannya! Parah kan Mr. McGee? Gak tahu apa kalau itu AURAAATTT..!


Lalu buku klasik “The Jungle Book.” Mowgli setelah besar dan tinggal bersama hewan-hewan sih, sudah lebih beradab ya, dia pakai celana. Mungkin sudah baligh.


Tapi sebelum dia dipelihara sama hewan-hewan, dia ditemukan dalam keadaan bugil. Meski digambar masih balita gitu, tetap saja anak-anak cekikikan melihat paha Mowgli kemana-mana. Duh, aurat lagiii…!

Lalu buku non fiksi harusnya aman dong? Gak juga, ternyata pemirsah!

Ini buku judulnya “Gods, Heroes and Monsters.” Isinya ya tentang mitologi gitu deh, dewa-dewa, hewan dalam mitologi dan sebagainya. Awalnya saya pikir anak-anak kok hebat ih, selalu mengerumuni buku non fiksi, padahal tidak ada info mereka harus riset topik ini.

Mereka sangat ingin tahu ya tentang dunia mitologi, pikir saya. Tapi lama kelamaan kok baca buku rame-rame sambil giggling. Curiga dong saya? Sebelum sempat ditanya, seorang anak bilang kalau buku ini ada gambar seksinya. WHAT? Seksi di mana?

Dibuka halaman, dan ternyata... patung, sodara-sodara! Patung gak pake baju sih, tapi tetap saja, itu P A T U N G! Saya sampai speechless.

Ya sudah lah. Akhirnya memang semua buku harus disensor. Lalu apa yang saya lakukan jika terdapat buku penuh ketidaksenonohan seperti ini? Karena saya bukanlah pelukis atau orang yang punya bakat menggambar, saya langsung angkut buku-buku tersebut ke ruang kelas art, dan meminta gurunya menyensor gambar-gambar tersebut. Guru art kan jago, ya kan? Dan ada saja idenya untuk menutupi gambar-gambar itu.



Seperti yang ini, dia menggambarkan celana dengan spidol. Mr. McGee nggak pamer aurat lagi deh!


Kalau yang ini pakai spidol perak. Ada saja caranya bikin celana yang fashionable di hutan. Untung anak-anak gak nanya, ini celana bikinan designer mana.


Nah, kalau yang ini saya nggak tahu deh bagaimana dia akan berkarya. Soalnya saya belum sempat menemui beliau. Penasaran gak hasilnya gimana? Saya juga :D

**

Penulis: pustakawan sekolah dasar di Bintaro, yang sekarang sukanya main di Instagram dengan akun @bookdragonmomma. Website: book-corner.blogspot.com


3 komentar:

  1. Menarik nih...saya Suka contoh2 nya...mungkin di luaran sana lbh beragam lg ya kasusnya...Bagus nih kalo ada kajiannya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya setuju, pasti banyak yang lebih 'wah' dibanding sekadar menyensor gambar di buku cerita :D mungkin konten buku, atau ideologi penulis, atau apa gitu?

      Hapus
  2. Bagus sekali ulasannya. Memberi motivasi dlm menulis karya fiksi lainnya..

    BalasHapus