Senin, 25 Februari 2019

Perpustakaan Sebagai Ruang Sosial, Tantangan di Dunia Nyata dan Digital


Oleh : Bambang Haryanto

Kampanye perpustakaan. Aksi happening di arena Car Free Day Solo, September 2014, untuk memeriahkan Hari Kunjung Perpustakaan 14 September 2014. Upaya membangun ruang sosial di luar gedung perpustakaan.
Anda ketika berkuliah dulu, Anda termasuk golongan pertama atau kedua dalam kategori berikut ini ?

Golongan pertama. Mahasiswa kupu-kupu alias mahasiswa yang kuliah-pulang kuliah-pulang. Mahasiswa kue-kue. Artinya kuliah-gawe kuliah-gawe. Mahasiswa kulom-kulom. Inilah mahasiswa jenis kuliah-lomba menulis kuliah-lomba menulis, karena mereka menekuni dunia tulis-menulis untuk mengikuti lomba menulis.

Golongan kedua. Mahasiswa kuda-kuda, kuliah-dagang kuliah-dagang. Mahasiswa kura-kura, kuliah-rapat kuliah-rapat. Mahasiswa paku-paku. Alias mahasiwa pasukan anti-kuliah, karena mereka pergi ke kampus hanya untuk berdiskusi.

Ada pula mahasiswa kunang-kunang, apa pasalnya ?  Itu sebutan untuk mahasiswa yang gemar pulang berkuliah untuk kemudian nangkring, bersosialisasi bersama teman-teman. Ada juga mahasiwa kudet, singkatan dari kuliah-ngedate.

Kutipan di atas diambil dari tulisan saya yang lalu, yang berjudul “Ngumpet Dimana “Buzzword” Perpustakaan di Kampus-kampus Kita ?” Gara-gara membaca buku karya Ghani Kunto, Youth Marketing : Trik Mengoptimalkan Strategi Marketing Dengan Memancing Suara Anak Muda (2014), saya berpikir ada bagian dari buku itu yang kiranya menarik didaulat menjadi pisau analisis atas hadirnya beragam buzzword di kalangan mahasiswa. Tentu saja, implikasinya terkait dengan keberadaan perpustakaan kampus beserta interaksi para mahasiswa tersebut sebagai penggunanya.

Seperti tertulis di awal, dari beragam buzzword yang ada telah saya coba bagi menjadi dua golongan berdasarkan kadar kerapatan atau densitas interaksi antarmahasiswa dalam beraktivitas. Menurut pandangan saya, pada golongan  pertama kadar atau kualitas interaksi antarmahasiswa lebih longgar dibandingkan dengan golongan kedua. Mahasiswa tipe kupu-kupu atau kukos-kukos, kuliah pulang/kuliah kos, atau pun mahasiswa yang rajin mengikuti lomba penulisan, bisa diasumsikan mereka “kurang gaul” dibandingkan mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan golongan kedua. 

Mahasiswa golongan yang kedua, baik yang beraktivitas dalam kegiatan berdagang, rapat, berdiskusi, nangkring sampai nge-date, dalam buku Youth Marketing disebut sebagai aktor ruang sosial yang mereka ciptakan sendiri untuk diri mereka. Karena  memang anak muda membutuhkan ruang sosial dengan teman-temannya untuk berinteraksi apa adanya. 

Sebelum dikabarkan bangkrut baru-baru ini akibat disrupsi, sebagai contoh, jaringan toko yang buka 24 jam 7-Eleven disebut sukses besar ketika mereka beroperasi di Jakarta. Jaringan toko ini tidak sengaja menemukan resep untuk menciptakan ruang sosial untuk anak-anak muda Jakarta : buka 24 jam, lampu yang terang untuk mengurangi persepsi unsur kriminal yang sepertinya hadir ketika anak muda nongkrong di malam hari, dan mereka diperbolehkan duduk-duduk di lapangan parkirnya.

Kalau Anda keluar rumah di Malam Minggu dan berkeliling di alun-alun kota Anda, saksikan apa yang terjadi di tempat tersebut. Di kota saya, di salah satu pojok alun-alun itu berjajaran sepeda kuno, di pojok lain deretan motor Vespa lama, tak lupa barisan sepeda motor  merek tertentu, yang dikerumuni para pemiliknya. Agak lucu, mereka berhimpun, mengobrol, tetapi sekaligus juga tidak lepas matanya dari gadget mereka. Itulah ruang sosial bagi mereka.

Ruang sosial tak semata dihadirkan berupa tempat, tetapi juga oleh alat. Ketika anak-anak muda kini begitu mudah untuk mengunduh lagu apa pun secara online, ada sebagian anak muda yang menekuni hobi baru : mengoleksi pringan hitam atau vinyl. Sarana mendengarkan lagu yang jadul amat. Cek saja situs komunitas mereka: gilavinyl.com. 

Menyuruk ke dalam untuk mengetahui apa yang terjadi pada mereka, ternyata kepingan piringan hitam itu itu nilainya bukan (semata) sebagai benda teknologi yang mentransmisikan suara, tetapi sebagai alat sosial. Sarana untuk gaul. Bila kita bandingkan dengan proses pembelian musik digital melalui Itunes akan terlihat perbedaannya : pembelian piringan hitam adalah pembelian benda yang bermakna, sedangkan pembelian di Itunes adalah proses pembelian barang atau komoditas. 

Dalam konteks keberadaan ruang sosial, alat sosial sampai terjadinya interaksi sosial, boleh jadi kita bisa melihat posisi perpustakaan, buku dan aktivitas membaca dalam kehidupan sosial para mahasiswa.  Yang saat ini terlintas di benak saya antara lain : 

Pertama, perpustakaan tentu saja adalah ruang sosial, tetapi suka atau tidak suka, kondisinya lebih “steril” dibandingkan suasana kafe atau warung kopi. 

Kedua,membaca buku adalah aktivitas individual, dan baru menjadi kegiatan  atau interaksi sosial apabila sang pembaca bisa berbagi dengan pembaca atau khalayak lainnya. 

Ketiga, buku adalah alat sosial. Dinantikan atau diintensifkan sejauh mana perpustakaan dapat mengangkatnya sebagai sarana interaksi dan pertukaran gagasan dengan pembaca lain yang membaca buku yang sama ? Baik tentang isi, desain sampul, kutipan, dan beragam aspek sesuatu buku tersebut.

Tantangan untuk menghidupkan perpustakaan sebagai ruang sosial yang hidup ini, bagi saya, bisa memicu adrenalin. Karena selain peluang tersebut terbuka dipraktekkan di dunia nyata, kiranya juga menantang untuk dieksplorasi di dunia digital yang maya.

BH/190226

0 komentar:

Posting Komentar