Rabu, 06 Februari 2019

Pustakawankah Saya?


Jadi sebutan apa yang pantas untuk seorang yang sehari-harinya duduk di perpustakaan dan memastikan semua orang yang datang kepadanya merasa betul-betul bahagia karena menemukan buku-buku yang sudah lama ingin mereka baca?

Pustakawan? Entah.

Yang jelas, orang itu adalah saya. Disebut pustakawan saya enggan. Tahan dulu komentarmu, saudara-saudara. Saya enggan disebut pustakawan bukan karena saya malu menyebut diri saya pustakawan. Bukan. Sebutan itu hanya terlalu berat disandang bagi seorang saya yang kerjanya serampangan. Beban rasanya sama seperti ketika saya dipanggil ustadzah oleh siswa-siswa di sekolah saya, tapi ditanya fiqih saja saya gelagapan setengah mati. Oke, saya ulangi lagi, disebut pustakawan saya enggan, tapi saya terlalu risih untuk disebut penjaga perpustakaan. Ya, saya memang banyak maunya dan sudah pasti banyak sambatnya.

Sudah hampir tiga tahun saya mengelola perpustakaan sekolah. Sungguh bukan pekerjaan yang mentereng kalau belum sampai pada tahap mengantongi NIP, jujur saja. Di sekolah terutama, pengelola perpustakaan akan kalah pamor dibandingkan dengan guru-guru yang kalau malas mengajar suka pinjam ruang perpustakaan itu. Huft. Btw, saya tidak mencari pamor, jadi saya tidak peduli saya dianggap ada atau tidak.

Pada tahun pertama saya, sekolah tempat saya bekerja itu rupa-rupanya tidak mempunyai ruang khusus perpustakaan. Hanya ada ruangan kecil di sudut bangunan. Sudah kecil, sumpek, raknya hanya satu itupun tidak penuh, bukunya tak ada yang baru, dekat kamar mandi pula. Ekspektasi saya jatuh sejatuh-jatuhnya. Dengan ilmu saya yang sudah menguap entah kemana meski saya baru saja lulus di tahun itu juga, bagaimana saya akan menciptakan perpustakaan ideal yang sudah terbangun di dalam imajinasi-imajinasi saya? Saat itu, saya pesimis sepesimis-pesimisnya. Tapi perasaan semacam itu hanya bertahan satu dua hari. Setelah itu, saya tidak peduli.

Sejak hari itu, saya menjalankan perpustakaan sebisa saya dan seenak saya sendiri. Kan sudah saya katakan kalau saya kerjanya serampangan. Silahkan julid dari sekarang, tapi saya tetap akan melajutkan cerita saya tidak peduli apa. Saya mengabaikan semua kaidah kepustakawanan yang pernah saya pelajari karena sungguh semua yang saya dengarkan di bangku kuliah terasa seperti omong kosong belaka. Berbekal sedikit paham teknis pengolahan buku dan automasi perpustakaan, saya mulai dari situ, saya mulai dari yang saya bisa saja. Saya mengabaikan perasaan-perasaan risih terhadap buku-buku lawas di hadapan saya. Selesaikan satu per satu, selesaikan satu per satu, berulang kali saya merapalkan hal yang sama. Selama beberapa bulan, ruangan yang ditempati masih sama. Saya tidak melakukan usaha apapun untuk membuat perpustakaan yang sempit itu dipindah ke tempat yang lebih luas. Saya terlalu malas berjuang. Alih-alih terlalu menggebu-gebu meminta ruangan perpustakaan yang lebih luas, saya melakukan pendekatan terhadap siswa-siswi di sana, tentang minat baca mereka, tentang buku buku yang mereka inginkan.

Perpustakaan sudah jelas tidak terlalu dilirik oleh “para pemegang kekuasaan di sekolah”.  Kecuali saat waktu akreditasi akan tiba. Tapi, abaikan saja. Itu tidak apa-apa. Jangan mudah sakit hati hanya karena diperlakukan demikian. Saya mengalami hal demikian tentu saja. Kemampuan saya untuk membual tentang hal-hal besar yang akan saya lakukan terhadap perpustakaan yang saya kelola sungguhlah bernilai nol besar. Saya bodoh dalam hal melakukan negosiasi dengan orang-orang penting. Saya lemah dalam hal itu, saya akui. Ketidakmampuan saya itu memaksa saya untuk kemudian mengubah titik fokus saya. Saya fokuskan diri saya kepada para pemustaka. Mereka potensial. Mereka adalah senjata yang paling ampuh yang saya miliki untuk mengubah perpustakaan yang amburadul ini menjadi perpustakaan yang saya inginkan. Kedekatan dengan mereka saya jaga. Keinginan-keinginan mereka saya catat dalam ingatan saya untuk kemudian saya wujudkan di kemudian harinya. Keluhan-keluhan mereka saya benahi sedikit demi sedikit, sebisa dan semampu saya. Timbal baliknya adalah mereka sering datang ke perpustakaan yang saya kelola. Perpustakaan selalu ramai, tak pernah sepi meski koleksi belum seberapa. Sejak saat itu, keberadaan perpustakaan mulai terendus. Arah pandangan para pemegang kekuasaan mulai berpaling. Begitulah selama ini saya bertahan hidup dari krisis pengajuan proposal kegiatan yang  rawan ditolak.

Saya pernah mempunyai cita-cita ingin mempunyai perpustakaan seperti Gramedia. Karena gaji saya terlalu kecil untuk menciptakan cita-cita saya itu, maka saya menjadikan perpustakaan yang saya kelola ini sebagai perwujudan cita-cita saya. Lancang sekali bukan? Haha. Jadi, saya memulai membenahi perpustakaan sekolah saya ini dari bagian dalamnya. Saya memulainya dari pembenahan koleksi. Sekolah tempat saya bekerja ini kebetulan terlalu menginginkan siswa-siswinya menjadi orang orang yang mempunyai nilai akademik yang bagus sekaligus mempunyai pribadi yang religius barangkali. Koleksi kebanyakan buku Islami. Saya muak dengan koleksi yang begitu homogen. Lalu, ketika saya mendapat dana dari sekolah entah dengan keajaiban macam apa dan dari mana, saya mengubah total semua tatanan koleksi. Saya terlalu percaya diri kalau saya mempunyai selera buku yang bagus, memang. Tapi, semuanya terbukti. Kunjungan perpustakaan melonjak naik. Begitupun peminjamannya. Literasi kita bukan rendah, tapi koleksi yang tersedia seringnya kurang pas di hati. Ngomong-ngomong literasi, sampai detik ini saya tidak menjalankan program literasi. Kurang cakap saya menjalankannya. Ah, sudahlah.

Sekarang, saya menempati ruangan yang lebih baik. Koleksinya sudah lumayan banyak. Terbitannya terkini. Hampir semua buku sudah kumal bentuknya, saking seringnya berpindah tangan. Beberapa malah tak kembali berbulan bulan. Sudah ada mural mural di dindingnya yang dananya berasal dari kegigihan saya menagih uang uang denda meski sedikit tak tega. Dalam waktu dekat, semoga saya bisa menciptakan ruang baca setara dengan ruang kreatif yang ada di kota-kota. Sampai detik ini, perpustakaan setara Gramedia belum seenuhnya tercipta, tapi saya masih berusaha meski progresnya tak seberapa. Yang saya tahu, pertanyaan semacam “Bu, ada buku ini nggak di sini?” jawabannya lebih sering “ADA”. Sebuah kebahagiaan yang tidak seberapa tapi cukup bermakna bagi saya. Saya juga menghafalkan ratusan nama siswa peminjam buku karena saya terlalu malas mencetak kartu anggota. Saya kerepotan mengendalikan ingatan, tapi mereka bahagia sangat saat saya berhasil mengingat. O iya, perpustakaan yang saya kelola ada di lantai 3. Saya tahu itu tidak strategis. Tapi kabar baiknya adalah dengan segala keterbatasan yang dimiliki, perpustakaan tidak pernah sepi pengunjung walau sehari pun. Saya kadang berharap mereka tiba tiba kehilangan selera untuk membaca, sehariiiiii saja.

Saya mungkin banyak mengabaikan hal-hal teknis ala ala pustakawan sejati masa kini. Saya mengabaikan promosi perpustakaan, saya tidak melakukan kegiatan literasi yang teramat penting itu, saya tidak ingat sama sekali tentang teori teori perpustakaan yang seharusnya dan lain sebagainya. Saya banyak tidak pahamnya. Gilanya, dengan ketidakpahaman saya atas banyak hal, saya malah ingin menciptakan perpustakaan sebagai ruang membaca dan ruang bermain. List game semacam Cluedo, Spelndor, Saboteur, Pictionary sudah ada di dalam pikiran saya untuk saya beli jika sudah ada dana nanti untuk membantu meningkatkan kebahagiaan siapa saja yang telah sudi datang ke perpustakaan. Apapun caranya, sejatinya kita sedang bergerak ke arah yang sama. Kita sama sama ingin generasi saat ini tidak alergi saat mendengar kata buku maupun kata perpustakaan. Kita ingin orang-orang yang masuk ke perpustakaan akan keluar dengan segepok kebahagiaan yang mereka simpan di dalam dirinya. Kita ingin menciptakan kenangan yang baik tentang perpustakaan sekolah.  Siswa-siswa saya yang sudah lulus sering kali mengatakan “kangen” dengan perpustakaan. Bukankah itu sebuah kebanggaan tersendiri di hati saya mengingat di masa masa sekolah, jangankan kangen dengan perpustakaan, ingat saja tidak.

Perpustakaan yang saya kelola tidak sebagus dan semegah perpustakaan yang sudah menjuarai berbagai macam penghargaan nasional memang. Tapi saya tulis besar besar di ruangan “Perpustakaan ini memang sempit, tapi begitu kau masuk ke dalamnya, kau akan merasa lapang”. Ini bukan tentang seberapa bagus dan seberapa megah, tapi bagi saya, semua ini tentang seberapa berpengaruh.

Lalu, saya tanyakan lagi..

Jadi sebutan apa yang pantas untuk seorang yang sehari-harinya duduk di perpustakaan dan memastikan semua orang yang datang kepadanya merasa betul-betul bahagia karena menemukan buku-buku yang sudah lama ingin mereka baca?

Penulis : Atika Nugraheni, S.Hum. (Pustakawan SMAIT Ikhsanul Fikri Mungkid Magelang)

1 komentar: