Rabu, 03 April 2019

Literat Di Tengah Hegemoni Budaya Ngobrol

Dengan membiasakan banyak membaca  kita akan menemukan hal-hal baru, mengasah kognisi dan keterampilan berbicara dengan diksi yang tepat"

Oleh: Sirajuddin*

Sesekali membuka gawai di tengah obrolan lepas mingle dengan dalam sebuah obrolan adalah konsekuensi dari kultur dan kearifan lokal masyarakat Indonesia  yang suka ngobrol (chatting culture),  di tengah obrolan sesekali saya melirik bahan bacaan di tangan,  metode ini saya namakan "membaca ngemil"  tapi bukan membaca sambil ngemil atau makan,  gaya membaca yang saya anggap non-mainstream (read anywhere), meskipun demikian tentunya pustakawan adalah makhluk yang tugasnya bukan membaca melulu tapi upaya untuk "menyebar virus membaca" yaaaa...... Pustakawan masih bisa diajak main game, chatting dan berkompromi dengan zaman.

Credit: openclipart

Saya sering terlibat beberapa obrolan-obrolan yang mengemuka seperti kejadian pambantaian di Selandia baru yang di lakoni oleh seorang remaja 28 tahun terkait supremasi kulit putih (White Supremacy) dengan obsesi puluhan halaman manifesto "The Great Replacement"  sebagai justifikasi tindakan brutal dengan menghujamkan peluru ke jamaah jum'at di dua masjid di kota Christchurc Selandia baru.

Ada juga peristiwa pembunuhan oleh seorang dosen senior bergelar doktor dari kota Makassar Sul-sel yang tega menghabisi nyawa teman sekantor yang akrab karena riwayat teman sekampung dan tetangga kompleks yang kini hancur dan berkhir di balik jeruji besi sebagai konsekuensi dari pembiaran mengikuti hawa nafsu dan ambisi dengan apology membela harga diri. Tidak ketinggalan tema politik yang selalu nimbrung kalau bukan opening tentunya sebagai closing topic (bukan ngobrol tanpa ada cerita politik di dalamnya) bahkan sampai ngotot,  dan masih banyak lagi.

Kekerasan yang banyak terjadi bisa muncul ketika kita gagal memenej pikiran yang menurut dr. Ibrahim Elfiky dalam "Terapi Berpikir Positif"  bahwa kita memiliki 60000 pikiran 85 % dari jumlah pikiran itu atau sekitar 45000 adalah negatif thinking. Bentuk ketidak sadaraan terhadap munculnya pikiran negatif ketika menghadapi suatu persoalan (Distorsi Kognitif) sehingga dikatakan bahwa musuh terbesar dari Positif Thinking adalah negatif thinking. (Burns, 1998)

Pikiran terbangun dari habituasi yang membentuk culture dalam diri seseorang dan berfikir adalah wujud eksistensi manusia yang "hanief" cenderung pada kebaikan dan kebenaran, tanpa berfikir kita hanya bagian dari wujud tubuh bukan manusia, berfikir di butuhkan metodologi yang memungkinkan manusia melihat realitas dari dimensi materi dan immateri. 

Dijelaskan dalam Neurosains bahwa otak yang sehat bukan hanya normal tetapi juga berfungsinya neuron yang memungkinkan otak bekerja dengan baik, sehingga baiknya fungsi neuron akan mencerminkan baiknya karakter sebuah bangsa,  Maksudin (2015)

Mengobrol dan berargumen adalah respon dan hasil kerja otak setelah adanya stimulus,  fenomena mengobrol ini terlihat pada budaya orang Indonesia (Indonesian Culture) yang tidak terbiasa menghabiskan waktu dengan membaca. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat 90% usia di atas 10 tahun tidak suka membaca dan hanya menghabiskan waktu nonton tv dan bermain gaget pun kemalasan membaca masih menjadi momok bagi kemajuan literasi masyarkat Indonesia.

Minat setiap orang berkembang secara kompleks sejalan dengan kedewasaan seseorang, hal ini membantu dirinya untuk memilih dan bertindak. (Hurlock, 1996) seyogyanya minat baca berkembang seiring kedewasaan seseorang.

Namun yang menjadi titik kordinat dari narasi ini adalah obrolan dan diskusi itu kadang tidak didasari epistomologi dan ontologi pembahasan masalah dan bermuara pada diskusi yang mandek dan berimplikasi pada  argumen yang tidak koheren terhadap suatu masalah dan hanya sibuk dengan argumen sendiri tanpa memperhatikan topik dan lawan diskusi.

Dengan membiasakan banyak membaca  kita akan menemukan hal-hal baru, mengasah kognisi dan keterampilan berbicara dengan diksi yang tepat kita juga banyak memperoleh kosa kata dan gaya bahasa baru memperoleh wawasan,  pendalaman ilmu serta pemahaman karakter yang mampu meningkatkan rasa empati, simpati, harga diri (self esteem) dan maruah diri semuanya berkelindan mewarnai karakter orang yang banyak membaca.

Yap (1978) misalnya, melaporkan bahwa kemampuan membaca seseorang sangat ditentukan oleh faktor kualitas membacanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca adalah 65% ditentukan oleh banyaknya waktu yang digunakan untuk membaca, 25% oleh faktor IQ, dan 10% oleh faktor-faktor lain berupa lingkungan sosial,  emosional, lingkungan fisik dan sejenisnya.

*Penulis adalah Pustakawan IAIN Parepare

0 komentar:

Posting Komentar