Jumat, 20 September 2019

Delima "Me Librarian"

Di tengah kemacematan dan hirukpikuk Jakarta, tubuhku terasa lelah sekali melanjutkan perjalanan ke rumah, hingga akhirnya aku memutuskan untuk bermalam di perpustakaan

Bermalam di perpustakaan?
mendengar kalimat ini mungkin akan terasa asing di telinga kita, khususnya perpustakaan di Indonesia. berbeda dengan negara negara maju, public library menjadi rumah idaman untuk menginap bagi para pelancong bahkan tunawisma/gelandangan.

Tiba di perpustakaan, aku putuskan untuk merebahkan diri di sofa sofa empuk di depan TV kabel, hingga ku terlelap tidur. Entah pukul berapa aku terbangun, aku memutuskan untuk berwudu dan sholat untuk merelaksasi badan yang telah lelah.

Hingga azan subuh terdengar sayup di masjid kantor, aku putuskan untuk segera mandi, dan sholat subuh, lalu berangkat ke kantor untuk menghadiri meeting pagi.

saat meeting dimulai, tlp dan wa terus menerus masuk ke handphoneku. Ada yang mengirimkan pesan bernada kesal, marah, dan tidak suka aku bermalam di perpustakaan tadi malam. semua pesan itu membuyarkan konsentrasiku di dalam meeting. Selesai rapat, aku langsung membalas pesan wa tersebut dan minta maaf atas perlakuanku menginap di perpustakaan.

Aku berpikir sepertinya ada ketabuan menginap di perpustakaan, hingga aku berprasangka para pustakawan di negeri ini belum bisa berpikiran bebas menjadikan perpustakaannya sebagai rumah keduanya.

Aku berprasangka apakah para pustakawan di negeri ini masih terinfeksi virus “Generasi Aku”, atau “Me Generation”, padahal dunia hari ini telah berubah, dunia hari ini adalah dunia kolaborasi.

Aku teringat 15 tahun yang lalu, hampir lebih  kuhabiskan usia produktifku di perpustakaan. Bahkan hingga bermalam di perpustakaan untuk belajar, riset serta mengeluarkan produk-produk teknologi perpustakaan bersama orang orang 'sosialis' pendukung gerakan kebebasan dan keterbukaan.

Kejadian malam itu, seakan-akan meyakinkanku bahwa para pustakawan di negeri ini  masih terjangkit virus "Me Generation", sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pola perilaku manusia  yang egois, mementingkan kepentingannya sendiri. Generasi Aku dianggap sebagai generasi narsis. Mereka senang dipuji. Mereka senang memamerkan diri sendiri.

Aku teringat tulisan David Brooks dalam bukunya The Morality of Selfism, dalam bukunya, David Brooks menceritakan ciri-ciri Generasi Aku. Pertama, sebagai bentuk dari pemujaan diri yang berlebihan, Generasi Aku ini aktif sekali di media sosial untuk memamerkan dirinya. Jika ku hubungkan dengan konten medsos perpustakaan di negeri ini, aku hanya melihat keeogisan dari diri mereka  yang hanya sibuk menjual dirinya dengan cara-cara hard selling, mirip akun-akun akun medsos jualan obat diet dan peninggi badan. Tidak menarik sama sekali untuk dikunjungi, apalagi menjadi followernya.

Di era kolaborasi ini, ada baiknya perpustakaan di negeri ini berbenah diri menjadi perpustakaan yang iknlusif terbuka bagi pemustakanya. Biarkan pemustakanya berkreasi, berkolaborasi, bahkan meniduri setiap sudut ruangnya. Jika ini telah menjadi tradisi, maka aku jamin tak perlu lagi para petinggi di negeri  ini memikirkan gerakan literasi, yang konon gerakan ini timbul karena tingkat literasi negeri ini terdegradasi akibat sering nonton televisi.

0 komentar:

Posting Komentar