Sabtu, 30 November 2019

TERAPI AIDS DENGAN BUKU (Momentum Hari AIDS Sedunia)

Oleh: DR. AHMAD SYAWQI, S.AG, S.IPI, M.PD.I
(Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin)

DR. AHMAD SYAWQI, S.AG, S.IPI, M.PD.I
Seperti kita ketahui bersama setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia yang dimulai pada 1988 oleh Organisasi Kesehatan Dunia yang tahun 2019 ini adalah tahun ke-31 hari AIDS diperingati bertepatan pada Hari Minggu, 1 Desember 2019.

Peringatan hari AIDS menjadi moment yang sangat penting, karena bagian upaya kita untuk meningkatkan kesadaran global tentang perjuangan melawan HIV. Juga sebagai dukungan untuk orang dengan HIV dan mengingat mereka yang meninggal akibat penyakit terkait HIV/AIDS. Berangkat dari pengertiannya, Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis dari virus yang menyerang bagian imunitas tubuh seseorang, sehingga rentan terserang berbagai macam penyakit. Sementara Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh akibat serangan HIV.

Penyakit AIDS yang diakibatkan virus HIV adalah gangguan kesehatan yang menjadi momok bagi siapa pun. Ini bukan hanya karena risiko kesehatan yang harus dihadapi, tapi juga stigma negatif masyarakat yang diarahkan kepada pengidap HIV/AIDS yang sering diasosiasikan sebagai seseorang yang memiliki lingkup pergaulan seksual bebas dan tidak sehat, misalnya tunasusila dan mereka yang menggunakan jasanya. Padahal tidak selalu penderita HIV/AIDS merupakan seseorang yang memiliki citra negatif, karena anak-anak yang masih polos pun bisa menjadi korban virus ini. Berangkat dari pengertiannya, Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis dari virus yang menyerang bagian imunitas tubuh seseorang, sehingga rentan terserang berbagai macam penyakit. Sementara Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh akibat serangan HIV.

Berdasarkan data dari The Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) jumlah penderita global data penderita HIV/AIDS di seluruh dunia terdapat 36,9 juta masyarakat berbagai negara hidup bersama HIV dan AIDS pada 2017. Dari total penderita yang ada, 1,8 juta di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Selebihnya adalah orang dewasa, sejumlah 35,1 juta penderita. Penderita HIV/AIDS lebih banyak diderita oleh kaum wanita, yakni sebanyak 18,2 juta penderita. Sementara laki-laki sebanyak 16,9 juta penderita. Sayangnya, 25 persen di antaranya, sekitar 9,9 juta penderita, tidak mengetahui bahwa mereka terserang HIV atau bahkan mengidap AIDS.

Berdasarkan data UNAIDS 2018 mencatat penyebaran HIV di Indonesia mencapai 49 ribu atau tumbuh 16% setiap tahunnya. Indonesia menempati posisi ketiga dengan pertumbuhan penyebaran HIV paling besar di antara negara-negara Asia Pasifik. 23% dari pertumbuhan penyebaran HIV di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, berasal dari anak muda. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup baik soal HIV. Keterbatasan informasi juga membuat Orang dengan HIV AIDS (ODHA) tak mengetahui status penyakit yang mereka derita.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga Juni 2018, ODHA yang mengetahui status penyakitnya hanya sebesar 301.959 orang atau 48% dari 630 ribu orang. Sementara itu, ODHA yang pernah melakukan terapi antiretroviral (ART) sebanyak 195.729 orang. ODHA yang saat ini sedang menjalankan terapi ART baru mencapai 96.298 atau 15%. ODHA yang sudah melakukan tes viral load baru sebanyak 4.462 orang. ODHA yang telah mensupresi virus HIV sebanyak 4.108 atau 0,64%. Karenanya, penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bisa menyampaikan informasi dan sosialisasi mengenai masalah HIV/AIDS.


Terapi AIDS

Bagi sebagian orang memandang bahwa mereka yang mengidap AIDS merupakan suatu penyakit dan aib yang ada pada diri seseorang. Pandangan ini tentunya bisa membuat mereka yang mengidap AIDS menjadi orang yang terasing dari lingkungan mereka bahkan bisa juga membuat jiwa mereka depresi menjadi seorang yang tidak memiliki semangat hidup, sehingga perlu sekali diterapi.

Dalam dunia kepustakawanan, ada satu terapi yang sangat berguna bagi setiap orang termasuk juga penderita AIDS yang mampu membuat jiwa raga seseorang menjadi lebih tenang, sehat, kuat dan bermakna yaitu Biblioterapi. Istilah Biblioterapi berasal dari kata biblion dan therapeia. Biblion berarti buku atau bahan bacaan, sementara therapei artinya penyembuhan. Jadi, biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku yang dibaca.

Sebagai contoh ketika kita membaca Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat kepada hambanya, selain untuk dibaca juga memiliki kemu’jizatan yang luar biasa bagi yang membaca maupun yang mendengarnya yang bisa menjadi media terapi obat (syifa) bagi penyakit rohani dan penyakit masyarakat.

Al-Qurthubi seorang mufassir Islam terkenal menjelaskan, ada beberapa pendapat dalam menafsirkan kata syifa` dalam ayat Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an dapat menjadi terapi bagi jiwa seseorang yang dalam kondisi kebodohan dan keraguan. Kedua, Al-Qur’an membuka jiwa seseorang yang tertutup dan menyembuhkan jiwa yang rapuh. Ketiga, membaca Al-Qur’an juga menjadi terapi untuk menyembuhkan penyakit jasmani dan rohani.

Beberapa penelitian membuktikan seperti yang dilakukan oleh Dr. Al-Qadhi di Klinik Besar Florida, Amerika Serikat mengatakan bahwa membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, baik yang berbahasa Arab maupun bukan, berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan membaca atau dibacakan Al-Qur’an, seseorang dapat mengalami penurunan depresi dan kesedihan, juga memperoleh ketenangan jiwa sebanyak 97%. Penelitian ini ditunjang dengan alat pendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik.

Ada juga peneliti lain yang membuktikan pengaruh Al-Qur’an terhadap kondisi jiwa, yaitu penelitian Muhamad Salim yang dipublikasikan oleh Universitas Boston. Penelitian ini dilakukan pada 5 objek penelitian yang terdiri dari 3 lelaki dan 2 perempuan yang sama sekali tidak mengerti Bahasa Arab dan tidak mengenal Al-Qur’an. Ia melakukan sebanyak 210 kali penelitian yang dibagi dalam dua sesi, yaitu membacakan Al-Qur’an dan membacakan sebuah narasi Bahasa Arab yang bukan merupakan isi Al-Qur’an. Hasilnya, responden mendapatkan ketenangan sebanyak 65% saat mendengar bacaan Al-Qur’an dan mendapat ketenangan sebanyak 35% saat mendengarkan narasi Bahasa Arab yang bukan merupakan isi Al-Qur’an.

Selain itu, seorang dokter asal Malaysia, Dr. Nurhayati juga mengungkapkan dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia tahun 1977 bahwa pembacaan Al-Qur’an juga dapat memberikan ketenangan pada bayi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, bayi yang baru berusia dia hari menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang saat diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari tape recorder.

Menurut seorang psikolog terkenal dan penulis buku psikologi, Dr. Paul A. Hauck mengenai arti sebuah buku bagi kesehatan emosional, "terlalu banyak orang berpendapat bahwa gangguan-gangguan emosional selalu membutuhkan terapi mendalam yang berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Psikologi tidak berbeda dengan geograpi. Keduanya dapat dipelajari melalui pengajaran di kelas dan keduanya dapat menggunakan buku-buku sebagai alat untuk memaksimalkan pengajaran." Melalui Biblioterapi ini sudah biasa digunakan oleh para konselor.

Harus kita akui bahwa biblioterapi ini belum dikenal secara luas oleh semua kalangan dan hanya dilakukan oleh kalangan tertentu yang memiliki hobi membaca tinggi. Mereka biasanya mendatangi konselor yang kemudian menunjukkan buku-buku tertentu untuk dijadikan sebagai terapi jiwa pada saat mengalami stress ringan. Sudah saatnya kita mulai membiasakan diri membaca buku-buku yang penuh inspiratif dan yang sesuai dengan suasana hati kita. Terlebih bagi kita orang Islam untuk membaca Al-Qur’an sebagai penyejuk jiwa.

0 komentar:

Posting Komentar