Rabu, 19 Februari 2020

Bookless


Di sebuah grup whatsapp, lagi rame diskursus tentang perpustakaan nonbuku atau bookless library. Ngapain perlunya berubah ?. Rekan saya pustakawan sebuah PTN, sebut saja Paijo menyentil satir keberadaan Bookless yang disamakan dengan pos ronda. Ironi, karena perpustakaan bookless tersebut ada di kampusnya, yang notabene satu institusi tempat Paijo mengabdi.
Tentu, doskih memberikan argumentasi yang kuat:

“Intinya kalau perpustakaan itu hadir tanpa buku, tempat nongkrong, ngobrol, trus apa bedanya dengan Pos Ronda. Akan hilang kesejatiannya”…

Agak sadis…..namun bisa jadi kita dipaksa untuk menyetujui pendapatnya. Kalau perpustakaan bookless serba online, tanpa buku, dan semua sudah disediakan oleh teknologi, lalu pustakawannya ngapain ???

“Terus, apakah itu disebut perpustakaan”, kata Paijo meradang.

Untuk pertanyaan ini, Paijo melanjutkan dengan jawaban satir dan kocak:

“Di Bookless Library, pustakawan bisa berpindah peran menjadi pengelola cafe. Jualan kopi dan indomie rebus, pustakawan yang multiskill”, ha ha ha ha

Menggelikan. Bisa jadi Paijo cuma bercanda dan menggeneralisasikan perubahan konsep perpustakaan dengan serampangan. Wajar, karena seperti yang disampaikannya, doskih mengkroping salah satu sudut pandang. Titik dia berpijak, dan itu manusiawi. Titik sebagai seorang pustakawan. Tipping point pada keakuannya. Dan perubahan yang bisa mengancam eksistensi profesi ini harus dilawan !

“Roh kegiatan kepustakawanan harus berpusat pada pustakawannya. Bukan pengguna atau pemakai”, begitu teriaknya sambil menggoyangkan badannya mengikuti instrumentalia lagu Ambyarnya Didi Kempot.

Hidup Tidak Sesederhana Yang Ada Dipikiran Mas Bro !

Paijo harus belajar dari Nicolaus Copernicus, jenius Fisika yang mengemukakan teori Heliosentris. Pusat tatasurya adalah Matahari. Menjungkilkan kaum agama Lutherian bahwa bumilah pusat semesta. Pendapat kaum agamawan bahwa pusat tatasurya bumi, merepresentasikan pendekatan ke akuannya, egosentris, pustakawan sentris. Yang kemudian dikoreksi oleh Copernicus, Mataharilah yang menjadi pusat. Semesta penggunalah yang harus kita layani.

Hidup bukan selalu perkara idealisme yang berputar di batok kepala kita. Hidup adalah seni dan stategi memecahkan masalah, mencari solusi terbaik dan butuh juga kompromi dan jalan tengah, agar kita tidak mati.

Paijo, mungkin harus berempati terhadap pustakawan eks Britis Council yang akhirnya dibubarkan. Paijo harus mengiliminir egonya ketika perpustakaaan Japan Foundation yang ditutup. Andai saja kang Paijo berprofesi sebagai pustakawan majalah Hai, Tabloid Gatra, Bola, Kontan dll yang sekarat gak bisa bertahan hidup. Atau seperti Perpustakaan PDII LIPI yang bertransformasi dari buku ke data dalam PDDI (Pusat Dokumentasi dan Data Ilmiah Indonesia). 

Karena apa? Ya perubahan! Ya tuntutan jaman karena perkembangan teknologi. Perpustakaan kemudian inovatif mengembangkan layanannya termasuk menyajikan bookless. Toh layanan ini cuma dikembangkan di salah satu sudut perpustakaan. Bukan merubah semuanya, hanya mengembangkan layanan dengan segmen baru. Gak perlu alergi dengan inovasi dan perubahan. Akankah kita melawannya dengan bambu runcing menolak perubahan?

Perubahan dimana kuasa pengguna perpustakaan begitu besar. So perpustakakaan tidak sempat lagi bicara “siapa akunya”, tapi bicara tentang apa yang harus dilakukan agar perpustakaan bisa bertahan dikunjungi dan memuaskan pengguna. Memuaskan pengguna ! Bagaimana kita harus memuaskan pemakai jika kita terlalu melihat output nya ? Kuncinya ada pada harmonisasi. Terlalu menekankan output kepuasan pengguna tanpa menekankan proses akan crowded dan berantakan. Tapi terlalu nguplek dan fokus pada proses yang mbulet dengan melupakan outputnya, ibarat berjalan dengan kacamata kuda. Serampangan.

Ada beberapa point yang saya setujui dengan subtansi Paijo. Perspektif dari sisi pustakawnnya, karena bagaimanapun pustakawan juga merupakan subsistem dari sistem besar kepustakawanan. Solusinya, kita kompromikan juga dengan perspektif pengguna juga yang tak kalah vital. Karena tanpa pengguna toh pustakawan bukan siapa siapa. Meski jika kita terlalu menghamba ke pengguna, bakalan babak belur. 

Nah kasus Britis Council, Japan Foundation, serta perpustakaan lain yang tutup dan bergesernya fokus layanan PDDI LIPI kan karena kuasa manajemen atas tuntutan pengguna juga kan? Tentu perubahan ini menuntut aktifitas dan role pustakawannya yang harus berubah.

Siapkah pustakawan menghadapinya ?

9 komentar:

  1. Anak saya ingin memilih jurusan Ilmu Perpustakaan juga mengikuti jejak emaknya, namun melihat di postingan orang (youtube sih) katanya Ilmu Perpustakaan akan termasuk jurusan yang bakal menghilang di 5/10 tahun mendatang. Jadi galau...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ha ha ha suruh ngobrol sama saya Mba Silvi...loh ternyata anak mba Silvi dah kuliah...kirain masih unyu unyu...

      Hapus
    2. Anak saya yang unyu :D Alhamdulillah dia tetap milih jurusan Ilmu Perpustakaan (maunya dia sendiri lhoo) Dan ya, aku bakal suruh dia ngobrol sama mas Yogi, one day. :)

      Hapus
  2. Perpustakaan yang paling berkesan ya perpustakaan nasional Jakarta, itu seharian juga betah

    BalasHapus
  3. Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat banyak hal di masa lalu mesti berubah.

    Tentu aja gak kebayang kalo suatu saat nanti buku-buku diganti form-nya jadi digital. Mudah-mudahan hal itu gak pernah terjadi :(

    BalasHapus
  4. mantap jiwa ini, saya juga lagi nglanjutin lagi kuliah di UT jurusan ilmu perpustakaan

    BalasHapus
  5. Menurutku sih memang perlu juga perpustakaan digital karena tidak semua orang punya waktu ke perpustakaan, jadi bisa baca buku sambil rebahan. :v

    Tapi memang buku juga jangan sampai hilang, karena membaca buku sensasinya beda dengan baca ebook.

    BalasHapus
  6. Menurutku sih memang perlu juga perpustakaan digital karena tidak semua orang punya waktu ke perpustakaan, jadi bisa baca buku sambil rebahan. :v

    Tapi memang buku juga jangan sampai hilang, karena membaca buku sensasinya beda dengan baca ebook.

    BalasHapus
  7. Cukup google playbook aja yg bookless, peroustakaan wajib dipenuhi buku, komputer dan katalog atau buku digital hanya pemanis, bukan yg utama

    BalasHapus